Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Imam al-Albani : Muhadits Tanpa Guru dan Sanad?

Imam al-Albani : Muhadits Tanpa Guru dan Sanad?


 
New Picture
Photo 1 : Al-Albani di Perpustakaan al-Maktab al-Islami di Beirut
Nama beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh Najati al-Arnauth[1] al-Albani –rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang pendusta. 

Para pembaca yang budiman… 
Dalam perjalanannya menuntut ilmu, al-Albani belajar beberapa kitab fiqh, lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh al-Albani mengkhatamkan al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh al-Muhadits Abdul Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh al-Albani. Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak kecil dalam lingkungan keluarga ulama. 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala, 

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Qs. Ath-Thuur 21). 

Ayah Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah (ad-Din).

Para pembaca yang budiman… 

Pada tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam mesjid Bani Umayyah, Damaskus.[2] Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu. 

New Picture (1)
Photo 2 : Photo Syaikh Nuh Najati al-Albani, ayah Muhadits Nashr al-Albani
Suatu ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid tersebut tidak diperbolehkan. 

Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id al-Burhani. Syaikh Sa'id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban padamu setelah Idul Fitri”. 

Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan. Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku, “Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber nukilanmu bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.

Kejumudan yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh al-Muhadits Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H) dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w. 1396 H) [3] –keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani. 

New Picture (2)
Photo 3 : Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani
Adakah al-Albani Memiliki Sanad?
 
Tidak sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan ijazah hadits ammah[4] dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di zamannya.[5] Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika sebelum orang-orang barat.[6]
 
Syaikh at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”, tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya kepada Syaikh al-Albani rahimahullahu.[7]
 
Seorang mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu, menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu terjadi ditahun 1365 H. Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani sendiri dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu, 

وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله

”Dan sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh rahimahullahu...”. 


Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8], satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah” .
Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini. 

Silsilah Sanad al-Albani
 
Berikut diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti: Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: 

New Picture (3)
Photo 4 : Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabakh
Syaikh al-Albani meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari Muhadits as-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329 H), dari al-Allamah al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi [10]

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-. 

Al-Muhadits As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]
 
Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]
 
Syaikh Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, dari Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi –penulis al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]
 
Murid Beliau dalam Riwayah
 
Sangat ramai murid al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata, 

أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب

“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]
 
Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini: 

هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين

“Ijazah tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]
 
Diantara yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]
 
Dikisahkan kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu, sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar Tuklah[18] hafizahullahu: 

Pertama, Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman, diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]
 
Photo 5 : Munawalah al-Albani kepada Syaikh Muhammad Bu Khubzah, lalu ijazah Bu Khubzah kepada Syaikh al-Hadutsi.
 
Kedua, beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan diantara mereka di Tathawan, Maghrib.
Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah, 

استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه

“Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat ammah, maka Imam al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat, “Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan menyenanginya”. 

New Picture (5)
Photo 6 : Syaikh Muhammad Bu Khubzah
Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala. 

Maka, dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani rahimahullahu. 

Diantara yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji As-Sadirah.[20]
 
Berkata Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata kepadaku dengan singkat, 

أجزتك عن شيخي راغب الطباخ

“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,

Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21], “Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah ammah”.

New Picture (6)
Photo 7 : Syaikh Musa’ad bin Basyir as-Sudani
Syaikhuna Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang meriwayatkan dari al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits” maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]
 
Tidak diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh al-Albani rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini. Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang, seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas. 

Disini letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58, 

فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل

“Ilmu itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang batil..”. Selesai. [as-Surianji] 

 


[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.
[2] Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 - 1386 H). Leluhurnya adalah pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus, adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah, dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3] Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin al-Qasimi.
[4] Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”. Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa Mufakkirun 'araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9] Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!. Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17] Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari, Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi, Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam ijazahnya kepadaku.
[18] Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih), sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20] Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21] Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar 150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits” yang dikelola oleh saya sendiri.
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger