AKU, SUAMIKU DAN DIA
"Aku harus berpoligami. Harus, tak boleh tidak.” Suamiku berkata dengan nada suara keras dan tegas. Itu sudah sering diungkapkan olehnya. Setidaknya satu bulan terakhir ini. Oo ya kami baru menikah 3 tahun, dan baru dikaruniai seorang anak berusia 1, tahun. Aku berasal dari keluarga miskin, demikian juga suamiku. Aku dilahirkan dan sesar di sebuah desa kecil, antara kota Sleman dan Muntilan, Jawa Tengah. Suamiku berasal dari Wonosobo.
Kami menikah saat usia kami sama-sama 26 tahun. Kami berasal dari satu
almamater di Jogjakarta. Kami sudah sama-sama menggondol S1. Karena
selama 4 tahun kami mengaji di majelis ilmu yang sama, lalu diantara
kami ada ketertarikan kemudian menikah. Saat menikah kami tak
bermodal sama sekali. Suamiku belum memiliki pekerjaan. Bahkan untuk
mengontrak rumahpun, kami mendapat bantuan keuangan dari keluarga besar
kami.
Untuk walimah pernikahan? Jangan tanya. Kami menikah hanya
dengan akad sederhana, dan mengundang beberapa orang dan tetangga saja.
Yang terpenting, nikah kami sah secara hukum, dan secara administrasi
kenegaraan. Soal pesta, tak kami pikirkan sama sekali. Setelah menikah, suamiku berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan modal ijazah S1 nya, namun tak juga beroleh hasil. Kebetulan bidang yang dikuasainya juga sangat jarang yang
membutuhkannya. Kalaupun ada perusahaan akan menuntut pengalaman kerja
bertahun-tahun, dan tentu saja suamiku belum punya.
Suamiku
berusaha untuk berjualan, mengikuti temannya. Tapi tampaknya ia tak
berbakat di dunia bisnis. Berkali-kali ia ikut berdagang, dan justru
selalu saja mengecewak an orang lain. Akhirnya kami banyak hidup
dari belas kasihan orang lain. Uniknya suamiku seolah-olah tak merasa
bersalah sama sekali. Hany aku yang sering menanggung malu. Betapa tidak
karena setiap hari kami pergi –seringkali berjalan kaki– ke
rumahteman-teman suamiku secara bergantian. Kami sengaja berlama-lama di
rumah mereka, sehingga datang waktu makan. Setelah itu baru kami pamit,
dan pergi ke rumah teman suamiku yang lain. Tak jarang sebagian
mengetahui kondisi kami sehingga saat pulang kami diberi ongkos. Hal itu
berjalan hingga satu tahun lebih.
Kalu sudah tidak nyaman pergi
ke rumah teman-temannya, suami akan mengajakkku menginap satu atau dua
pecan di rumah orang tuanya, atau di rumah orang tuaku. Setelah itu, ke
rumah kerabat-kerabatnya. Begitu seterusnya. Sebagai wanita tentu
rasa malu ku lebih kentara. Menjalani kehidupan rumah tangga seperti
itu, selain menyebalkan, juga menebalkan muka ku. Bisa para pembaca
bayangkan, betapa malunya aku, saat setiap hari harus menumpang makan di
rumah orang. Dan bagaimana pula ketika akhiornya banyak dari sahabat
suamiku akhirnya mengetahui kebiasaan kami itu.
Memang tak pernah
mendapat penolakan. Mereka juga selalu menyambut kami dengan suka cita.
Apalagi dalam budaya Jawa, menerima tamu itu adalah kehormatan. Aib
bagi mereka kalau harus menolak kedatangan kami, atau membiarkan kami
tanpa dihormati. Setelah 1,2 tahun kami menjalani pernikahan,
suamiku diterima mengajar di sebuah SDIT. Meski jauh dari yang
dimauinyatapi kami menerima tawaran itu dengan suka cita. Mimimal kami
punya penghasilan bulanan. Meski jumlahnya tidak seberapa.
Dari
situ kami mulai bisa makan di rumah sendiri, ya setelah lebih satu tahun
menikah. Tentu saja hidup kami masih sangat kekurangan. Jangan berpikir
untuk bisa membeli pakaian atau peralatan rumah tangga. Sekadar untuk
makan tanpa meminta kepada orang lain saja itu sudah lumayan. Dan aku
sudah sangat mensyukurinya. Karena setidaknya aku tak lagi harus
menanggung malu pergi ke sana kemari, hanya untuk menumpang makan. Aku
sedik it bernapas lega.
1,7 tahun sudah suamiku mengajar di SDIT
tersebut. Gajinya dinaikkan sedikit. Kini kami bisa menabung sedikit
demi sedikit untuk membeli keperluan primer lainnya, termasuk pakaian,
juga kebutuhan alat-alat masak dan sejenisnya. Tapi datang pula hal lain yang merisaukan hatiku. Suamiku sedang berhasrat kuat untuk berpoligami. Kebetulan di pengajian, ustadz kami sering membahas persoalan tersebut. Dari berbagai penjelasannya ssuamikumemahami bahwa poligami itu adalah sunnah. Intinya bahwa setiap muslim disunnahkan untuk berpoligami.
“Orang yang tidak berpoligami, itu pengecut,” ujar ustadz kami.
Simak saja firman Allah:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
"Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya." (An Nisaa: 3)
“Nah, seorang muslim yang gak berpoligami, berarti ia penakut…”
Ungkapan itu disampaikan dengan canda, tapi ditanggapi dengan begitu
serius oleh jama’ah pengajian. Terutama kaum prianya. Berderai tawa
mereka mendengar seloroh ustadz kami tadi. Ini memang pemahaman
keliru yang cenderung fatal yang difahami oleh sebagian kaum muslimin,
di lingkungan pengajian. Banyak anggapan beredar bahwa poligami itu
memang disunnahkan secara khusus. Padahal, asal hukum poligami hanyalah
mubah, diperbolehkan, dengan syarat mampu berlaku adil.
Memang
hukumnya bisa bervariasi, seperti halnya menikah. Tapi pada sebagian
kaum muslimin, poligami dianggap sebagai syariat khusus, disunnahkan
secara spesifik, sehingga setiap mereka berjuang keras untuk bisa
beristri lagi, tanpa memperhatikan kemampuan, tanpa mencermati situasi
dan kondisi. Bahkan mengabaikan sama sekali pendapat dan keadaan
istrinya!!!
Itu pula yang terjadi di lingkungan pengajian kami,
terutama akibat dari berbagai nasihat wejangan salah kaprah dari ustadz
tadi. Kalaupun ada ustadz-ustadz lain yang memberi penjelasan poligami
secara lebih komprehensif, malah justru kurang diminati dan tak
ditanggapi secara layak. Sehingga sebagai akibatnya, kebanyakan hadirin terprovokasi untuk berlomba-lomba menikah lagi termasuk suamiku.
“Aku harus berpoligami. Harus tak boleh tidak. “ Itu yang kini sering dikampanyekannya.“Tapi mas keadaan kita masih seperti ini? Untuk kehidupan sehari-hari kita bertiga saja, sudah kepayahan…”“Dik rezeki itu Allah yang menentukan. Setiap mulut, sudah ada jatahnya sendiri-sendiri. Kamu kan dengar penjelasan ustadz kemarin?”“Aku tahu. Sebagai wanita kamu cenderung menolak syariat poligami, kan?”“Enggak, mas…”“Lalu apa?”“Sebatas yang pernah aku baca, berpoligami itu kan ada syaratnya…”“Berlaku adil kan? Darimana Adik bisa tahu, kalau aku bukan tipikal orang yang bisa berlaku adil?”“Bukan soal itu mas.”“Lalu?”“Poligami itu bisa berbeda-beda hukumnya. Dan pelaksanaannya juga harus dibangun di atas dasar kemaslahatan rumah tangga secara umum. Artinya, harus dilakukan dengan penuh perhitungan. Bila menimbulkan mudharat, lebih baik tidak diamalkan. Kecuali dalam kondisi darurat…”“Ah itu hanya alasan mempersulit jalan menuju poligami kan? Menurut yang kupahami, poligami itu adalah hukum asal dari pernikahan. ‘Nikahilah 2, 3 atau 4 bagi yang betul-betul berlaku adil?”“Tapi perintah ‘nikahilah’ itu kan ada di depan, dan cukup satu saja, itu ada di belakang?”Tapi dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir edisi terjemahan, bukan begitu penjelasannya, Mas. Di situ dijelaskan seperti yang kukatakan tadi…..”“Sudahlah, bilang saja, bahwa kamu menolak di poligami…”“Tidak sejauh itu, Mas….”“Sudahlah, pokoknya aku harus berpoligami. Titik.”
Aku terdiam.
Selama hampir sebulan, suamiku selalu bicara soal poligami. Yang lebih
hampir membuatku tak nyaman, seringkali ‘ustadz’ mampir ke rumah kami,
dan membahas soal keinginan suamiku berpoligami. Mereka s eolah-olah tak
lagi memperdulikan perasaanku sebagai wanita. Guru dan murid itu,
begitu nyamannya mengobrolkan poligami, seolah-olah aku tak ada di dekat
mereka!!
Akhirnya, suamiku ditawari oleh ustadz tsdi seorang
muslimah dari Purworejo. Ia kini tinggal di Jogja, ia tinggal bersama
kakak kandungnya, ia lulusan SMU di Purworejo, dan tidak malanjutkan
kuliah. Tapi membantu sang kakak menjaga toko busana muslimah di rumah
kakaknya tersebut. O ya, itu sudah yang ketiga kalinya,
suamiku ditawari. Yang pertama, ia tidak setuju, karena kurang menyukai
calon yang disodorkan. Dua kali selanjutnya, suamiku mau, namun gagal
karena kedua orang tua si gadis, tak mau putrinya dinikahi sebagai
isteri kedua.
Nah, kali ini klop sudah. Mareka berdua sepakat
untuk menikah, dan kedua orang tua si gadis juga merestuinya. Meski
mereka pun tahu, kondisi perekonomian kami yang empot-empotan. Persoalannya, si gadis juga berasal daris keluarga tak berpunya. Hanya
kakak kandungnya yang sedikit berada. Selain dosen. Ia juga juga punya
usaha kesil-kecilan di rumahnya. Selebihnya, saudara-saudaranya semua
hidup di bawah garis kemiskinan.
Tentu saja itu bukan hal yang
membuatku tidak menghargainya sama sekali. Tapi, aku sangat
mengkhawatirkan kehidupan kami, terlebih secara nyata kami hidup serba
kekurangan. Bila dengan satu rumah tangga saja demikian, apalagi dengan
dua orang istri? Aku bingung dibuatnya. Tapi pernikahan itu tetap
dilakukan. Sama dengan saat menikah denganku, akad dilakukan secara
sederhana saja. Dan lagu pun mendendang kembali. Untuk mengontrak rumah
pun, suamiku harus pinjam sana pinjam sini.
Rumah kontrakan
maduku itu, tak jauh dari tempat tinggalku, kebetulan aku dan suamiku
sekarang mengontrak secara gratis, fasilitas dari tempat suamiku
mengajar. Tapi kini kami harus berpikir keras untuk mencari biaya sewa
rumah, buat istri baru suamiku. Tapi Alhamdulillah antara aku dan
maduku, tak terjadi hal-hal yang kurang menyenangkan. Kami bisa saling
memahami, dan berusaha membangun saling pengertian. Kami juga saling
mengunjungi, hampir setiap hari. Kadang kami masak bersama, dan
melakukan segala hal bersama. Tapi persoalan memang datang dari
hal-hal yang sudah kami duga sebelumnya. Kini suamiku harus berpikir
keras untuk memenuhikebutuhan kami. Gaji sebagai guru SDIT, tentu tak
cukup buat makan dan memnuhi kebutuhan kami bersama.
Masalahnya
suamiku juga bukan tipe pekerja keras. Meski berasal dari keluarga tak
punya, orangtuanya dulu seorang pegawai negeri sipil. Sehingga ia hnaya
tahu pola kerja sebagai pegawai sebagai cara mencari nafkah. Sudah tak
punta bakat berdagang, semangat bekerjapun masih sangat mengkhawatirkan. Di SDIT, suamiku pun sering mendapat teguran, karena mangkir mengajar.
Bila ditanya, alasannya sedang tidak focus, bingung memikirkan keluarga.
Tapi kenyataannya setiap kali tidak mengajar suamiku hanya
tidur-tiduran di rumah saja. Aku juga malu ketika pihak sekolah
sering datang ke rumah, dan mempertanyakan soal jadwal mengajarnya yang
kian hari kian sering kosong. Padahal gaji bulanan selalu dibayar penuh
tepat waktu.
“Kalau bapak gak bisa mengajar lagi, tidak masalah. Kami akan cari guru pengganti. Tapi kami butuh kepastian..” itu ucapan yang terakhir kali dilontarkan guru SDIT, di rumah kami. Betapa malunya diri ini. Saat itu gilirannya tidur di rumahku.“Saya masih ingin mengajar pak. Tapi saya memang sedang tidak mampu berkonsentrasi..”“Ya pak kami pribadi bisa mengerti. Tapi kasihan ank-anak sering kosong pelajarannya. Para wali murid juga sudah mulai mempertanyakan soal itu..”“Ya Insya Allah saya akan segera aktif kembali..”
Tapi janji itu tinggal janji. Suamiku tetap saja malas. Dia lebih sering
banyak mengobrol dengan teman-temannya, membicarakan rencana bisnis
yang tidak pernah kesampaian. Aku tahu suamiku bukan tak mau
berusaha. Hanya saja ia terlalu idealis. Seringkali ia mengungkapkan
konsepnya yang melambung-lambung tentang bisnis, tapi di areal yang
sulit dijangkau oleh kemampuan kami sekarang ini. Dan aku pun tahu bahwa
kecakapan suamiku di soal bisnis, hanya pada tataran teorit is saja.
Sehingga, dari hari ke hari ia tak juga menggeluti usaha apapun.
Padahal, kebutuhan kami kian hari kian bertambah.
Dan yang ku
khawatirkan terjadi juga. Pihak SDIT memecat suamiku. Meski itu
dilakukan dengan bahasa yang santun, melalui surat resmi dan secara
langsung di depan suamiku di kantor sekolah, tapi tetap saja kami shock.
Aku dan maduku juga semakin ketar-ketir. Bayangkan saja, anakku kini sudah 2 tahun lebih. Kebutuhannya sudah semakin banyak. Maduku sekarang juga sedang mengandung. Ia
juga butuh asupan makanan yang lebih layak. Sementara penghasilan
suamiku satu-satunya yang begitu kami harapkan –meski jauh dari
mencukupi- kini melayang sudah. Pikiran kami kalut.
Anehnya suamiku terlihat biasa-biasa saja. “Insya Allah ada rezki dari arah yang tidak disangka-sangka…” suamiku berdalih lagi. Ia mulai mencari pekerjaan lain, dengan membantu berdagang sate. Itu
berlangsung 2 bulan. Tapi, karena juga berkali-kali mangkir, ia kembali
diberhentikan. Ia juga pernah ikut ngerneti truk tetangga. Hanya bertahan satu bulan, ia sudah kembali berhenti. ‘Ga tahan dengan kondisi kehidupan para supir truk. Menyeramkan,” ujar suamiku saat menceritakan pengalamannya sebagai kernet. Satu tahun sudah, semenjak berhenti sebagai pengajar di SDIT, suamiku
berlari dari satu usaha ke usaha yang lain. Tapi ujungnya nyaris sama:
kalau tidak diberhentikan karena malas, berhenti sendiri tanpa sebab
yang jelas.
Maduku kini sudah dikaruniai seorang anak lelaki
manis, berusia 4 bulan. Anakku sendiri udah berusia 3 tahun. Kehidupan
kami kembang kempis tak karuan. Kami sering bertemu, dan saling
mengeluhkan kondisi kami. Kami tahu, mungkin tak pantas kami
berkeluhkesah seperti ini. Tapi ini realitas yang tak dapat kami
pungkiri. Suami kami terbukti tak mampu menghidupi kami secara layak,
dan tak terlihat gigih mencari rezeki demi penghidupan kami. Maka
hasil pertemuan selalu kami sampaikan sebagai saran kepada suamiku.
Tapi ia nyaris tak menggubris usul-usul kami. Termasuk, melamar lagi ke
SDIT, di mana ia pernah meng ajar dahulu. Karena kini kami harus
mengontrak rumah dengan biaya kami sendiri, sementara penghasilan kami
juga tak jelas. “Kalau bapak masih mau mengajar di sini, tidak
masalah. Kami terima dengan terbuka. Asalkan bapak bisa disiplin
mengajar, seperti guru-guru yang lain…” ungkap kepsek SDIT tersebut,
saat aku dan maduku berkunjung ke sana. Tapi saat itu kami sampaikan ke suami kami, ia menolak.
“Aku malu mengajar di sana lagi. Tak usah saja…”“Tapi kita butuh penghasilan…”“Tidak harus mengajar kan kita bisa cari usaha lain…”Sebagai wanita, kami tak bisa berbuat lebih. Kami pernah memberi usul, bagaimana kalau aku yang mengajar di SDIT tersebut? Suamiku justru marah luar biasa.“Sebagai wanita muslimah yang baik, kamu harus menjaga pergaulan. Di SDIT itu, kamu sulit menjaga pergaulanmu dengan para pengajar pria…”
Aku pun terdiam.
Maduku memberi usul untuk membuat kue, dan ditawarkan ke warung-warung.
Suamiku juga menolak.
“Wanita, lebih baik di rumah saja…”
Kami kembali terbungkam.
Hari-hari berlalu dengan nada yang sama: kesusahan. Suamiku tak kunjung
memperoleh pekerjaan layak, atau yang ia tekuni dengan baik. Banyak
yang menawarkan pekerjaan untuknya, tapi kadang ia tolak, ataupun jika
diterima dan digeluti sebentar, lalu berhenti lagi. Sebagai
wanita kami juga penuh kekurangan. Kami sempat ‘membocorkan’ kondisi
keluarga kami, kepada satu-dua orang muslimah, teman mengaji kami. Terus
terang, kami terpaksa bercerita untuk mencari solusi dan pemecahan.
Tapi hingga kini belum juga terlihat jalan keluarnya. Aku maupun
maduku pernah sesekali berinisiatif untuk mundur, maksudku biarlah aku
pisah dari suamiku. Tapi maduku justru menawarkan hal yang sama, biar
dia saja yang dicerai, agar aku bisa hidup layak bersamanya. Tentu saja
aku tak setuju.
Lama bergaul dengannya, di antara kami sudah
terjalin tali kasih. Aku sayang kepadanya. Aku tak ingin ia menderita.
Sebagaimana dia pun tak mau diriku merana Tapi para pembaca sekalian,
apa yang dapat kami lakukan? Kami ingin semua berbahagia. Dan kami selalu berusaha untuk bersabar dan tabah menjalani segalanya. Tapi sampai kapan? Kondisi kami kian hari kian memburuk saja. Meski tak kuyup prahara,
tapi kami mulai merasakan gelegar derita. Percikan-percikan kecil duka
yang makin hari makin menggemuruh, dan membuat kami makin tak punya
daya.
Pembaca sekalian, BUKAN KAMI MENOLAK DIPOLIGAMI. Tapi bila
beginilah yang harus terus kami alami, lambat laun, wajarlah, bila kini
kami mulai membencinya…
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُون
َ"Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui." (Al Baqarah: 216)
(Dinukil dari buku Aku Wanita yang Dipoligami yang disusun oleh Abu 'Umar Basyir [truncated by WhatsApp]
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda