Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Keluarga. Show all posts
Showing posts with label Keluarga. Show all posts

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Doa Malam Pertama Bersenggama Cara Menggauli Istri Dimalam Pertama Secara Islam Adab Malam Pertama Adab Bersetubuh

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama

Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:
0 comments

Nafkah Batin Versi Istri.........!!!

Nafkah Batin Versi Istri.........!!!

Ekstrimnya lagi, masalah seks menjadi nomor sekian belas.. jika unsur batiniah yg lain tidak dipenuhi.inilah nafkah batin yang diharapkan istri dari suami mereka:

1. Suami membantu pekerjaan rumahtangga, pasti ada perbedaan sikap istri.
Jika pulang kerja, suami main lempar barang dan perintah ini itu, masih ditambah komentar soal rumah yang tidak rapi, atau anak-anak yang belum mandi.. dengan suami yang pulang kerja bertanya dengan lembut, “Mau dibantu apa sayang?”
Malah itu gagang pel jadi tidak tega lho pak untuk diberikan pada Anda..

2. Mempercayai Istri mengelola keuangan.
Nafkah lahir, bukan soal berapa nominalnya. Tapi juga soal seberapa terbuka suami terhadap istrinya.
Istri yang dijatah uang belanja dengan mepet, serta masih dicurigai nilep uang dengan komentar “Masa uang segitu udah habis? Kan baru seminggu?”, secara batiniah tentulah lebih nelangsa daripada istri yang diberi uang belanja disertai kepercayaan dan keterbukaan suami.
Sukur-sukur disertai ucapan, “Ini gajiku sekian rupiah..kamu kelola ya..jika kurang untuk membiayai rumahtangga kita, aku akan bekerja lebih keras lagi,”
Batin seperti diguyur gerimis sepanjang hari rasanya..

0 comments

BIMBINGAN MENJAGA KEHARMONISAN HUBUNGAN SUAMI ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BIMBINGAN MENJAGA KEHARMONISAN HUBUNGAN SUAMI ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

asy-Syaikh Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Seorang penanya berkata:
Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- telah berwasiat untuk memperlakukan/mempergauli para wanita (istri-istri kita) dengan baik. Maka bagaimanakah bentuk pergaulan yang baik kepada mereka (para istri) dalam kondisi mereka juga banyak kesalahannya?

2 comments

Bila Suami Melarang Mengunjungi Kedua Orang Tua??

Bila Suami Melarang Mengunjungi Kedua Orang Tua??

Pertanyaan : Bila suami saya melarang saya untuk membesuk ayah saya yang sakit maka apakah saya wajib mentaati suami saya?, lalu benarkah kisah berikut ini?

"Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang akan berangkat berperang, yang berpesan kepada istrinya : "Hai istriku janganlah sekali-kali engkau meninggalkan rumah ini, sampai aku kembali pulang." Secara kebetulan, ayahnya menderita sakit, maka wanita tadi mengutus seorang laki-laki menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : "Agar dia mentaati suaminya". Demikian pula si wanita, mengutus utusan tidak hanya sekali sehingga akhirnya dia mentaati suaminya dan tidak berani keluar rumah.

Maka ayahnya pun meninggal dunia dan dia tetap tidak melihat mayat ayahnya dan dia tetap sabar. Sehingga suaminya kembali pulang. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah ta'ala telah mengampuni wanita tersebut, disebabkan ketaatannya kepada suaminya."

JAWAB :

Kisah yang disebutkan ini merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam Al-Mu'jam Al-Awshoth (7/332 no 7648), lafalnya sebagai berikut :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لاَ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا وَكَانَ أَبُوْهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ وَكَانَتْ فِي أَعْلاَهَا فَمَرَضَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَمَاتَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ غَفَرَ لِأَبِيْهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya ada seseorang yang bersafar dan memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumah. Ayah sang wanita tinggal di lantai dasar rumah, sedangkan sang wanita tinggal di lantai atas. Ayanya lalu sakit, maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyebutkan kondisi ayahnya (*yaitu sang wanita ingin keluar dari rumahnya untuk menjenguk dan merawat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, "Hendaknya engkau ta'at kepada suamimu". Lalu ayahnyapun meninggal. Maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (*minta izin keluar rumah untuk melayat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, "Taatlah engkau kepada suamimu", lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya (mengabarkan) bahwasanya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan sang wanita kepada suaminya"

Hadits ini adalah hadits yang lemah, Al-Haitsami berkata

وَفِيْهِ عِصْمَةُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ

"Pada sanadnya ada perawi yang bernama 'Ishmah bin Al-Mutawakkil, dan ia adalah perawi yang lemah" (Majma' Az-Zawaaid 4/573 no 7666).

Dan lemahnya hadits ini juga telah dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab (16/413) dan juga oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul Gholiil (7/76-77 no 2015)

Sebagian fuqohaa (Ahli Fiqih) dari madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali berdalil dengan hadits ini akan bolehnya seorang suami melarang istrinya menghadiri (melayat) jenazah orang tuanya.

Imam As-Syafii berkata :

وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا ، وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ "

"Dan suaminya berhak untuk melarang istrinya menghadiri (melayat) janazah ibunya, ayahnya, dan anaknya, akan tetapi aku tidak menyukai hal ini" (Al-Haawi 9/584)

Setelah menukil perkataan Imam As-Syafii ini Al-Mawardi berkata, "Dan perkataan Imam Syafii ini benar, seorang suami boleh melarang istrinya keluar rumah, karena sang suami senantiasa memiliki hak yang berkesinambungan untuk menikmati/menggauli istrinya dan keluarnya sang wanita menjadikan sang suami luput dari haknya yang berkesinambungan ini. Dan juga sang suami berhak untuk dalam rangka menjaga kesucian air maninya (yang telah ia letakkan pada istrinya, yaitu jika istrinya keluar rumah dikhawatirkan terjerumus pada perbuatan keji-pen) . Dan jika ayah istrinya atau ibunya sakit maka sang suami berhak untuk melarangnya menjenguk kedua orang tuanya. Dan jika kedua orang tuanya meninggal maka sang suami juga berhak untuk untuk melarangnya menghadiri (melayat) jenazah keduanya dikarenakan sebab yang telah kami sebutkan. Dan hal ini sebagaimana seseorang yang menyewa pekerja untuk bekerja dalam waktu yang telah ditentukan, maka ia berhak untuk melarang pekerja tersebut keluar dari tempat kerjanya" (Al-Haawi 9/584, dan Al-Maawardi lalu berdalil dengan kisah di atas)

Ibnu Qudaamah rahimahullah dari madzhab Hanbali berkata :

"Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang bersuami lalu ibu sang wanita tersebut sakit ;

طَاعَةُ زَوْجِهَا أَوْجَبُ عَلَيْهَا مِنْ أُمِّهَا إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا

"Ketaatan kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika sang suami mengizinkannya".

Lalu Ibnu Qudamah berdalil dengan kisah di atas (Lihat : Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudaamah 8/144-145 dan Al-Mughni 8/130)

Akan tetapi telah jelas bagi kita bahwasanya kisah di atas diriwayatkan dengan sanad yang lemah. Karenanya tidak bisa dijadikan landasan pijakan pengambilan hukum. Selain itu makna hadits tentang kisah ini juga menyelisihi banyak perkara yang telah disepakati, hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dalam hal ini menyelisihi pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.

Beliau berkata, "Tatkala hadits ini tidak shahih di sisi kami, karena diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam (Al-Mu'jam) Al-Awshoth dan penyakitnya adalah (perawi yang bernama) Muhammad 'Aqiil Al-Khuzaa'i, ini dari sisi isnad hadits.

Juga dari sisi lain bahwasanya matan hadits (tekstual hadits) juga menyelisihi beberapa perkara yang telah disepakati. Sesungguhnya ayah sang wanita memiliki hak-hak yang sangat banyak yang harus ditunaikan oleh putrinya. Yang paling jelas dari hak-hak tersebut diantaranya adalah :

- Haknya sebagai seorang ayah, karena Allah berfirman وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (Hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua kalian sabaik-baiknya). Dimana Allah menggandengkan perintah berbakti kepada kedua orang tua dengan perintah untuk beribadah kepada-Nya.

- Haknya sebagai sesama muslim, karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ "Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima", dan diantaranya adalah وَإِذَا مَرَضَ فَعُدْهُ "Jika ia sakit maka jenguklah dia"

- Hak untuk disilaturahmi. Allah telah berkata (*kepada rahim sebagaimana dalam hadits qudsi) : اشْتَقَقْتُ لَكِ اسْمًا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ "Aku telah mengambil namamu dari isytiqooq (pecahan) namaku, maka barangsiapa yang menyambungmu maka aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskanmu maka aku akan memutusnya"

- Hak kemanusiaan, مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يُرْحَمُ (*karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam); "Barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati"

- Hak sang ayah untuk memperoleh pertolongan untuk melangsungkan hidupnya (*sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، وَدَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْجَنَّةَ فِي هِرَّةٍ "Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing (*yang ia kurung dan tidak diberi makan hingga mati) dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing (*yang ditolongnya)"

- Hak sebagai seorang tetangga (*Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda), مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ "Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk memperhatikan tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa Allah akan memerintahkan seorang tetangga memiliki hak warisan (menjadi ahli waris) dari tetangganya"

Jika telah jelas perkara di atas maka dibenci seorang suami yang melarang istrinya untuk menjenguk ayahnya yang sakit atau melarangnya untuk berbakti kepada orang tuanya atau melarangnya untuk menampakkan kasih sayang dan perhatiannya kepada kedua orang tuanya" (Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 16/413-414)

Pendapat Imam An-Nawawi adalah pendapat yang lebih kuat mengingat dalil yang disebutkan oleh beliau rahimahullah. Dan pendapat ini sesuai dengan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki.

Az-Zaila'i Al-Hanafi berkata :

وَقِيلَ لَا يَمْنَعُهَا مِنْ الْخُرُوجِ إلَى الْوَالِدَيْنِ ، وَلَا يَمْنَعُهُمَا مِنْ الدُّخُولِ عَلَيْهَا ...وهُوَ الصَّحِيحُ

"Dan dikatakan bahwasanya seorang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk mengunjungi kedua orang tuanya, ia juga tidak boleh melarang kedua orang tua istrinya untuk menemui istrinya….dan inilah pendapat yang benar (Tabyiinul Haqoo'iq li Az-Zaila'i, beserta hasyiyah Al-Syilbi 3/58-59

Bahkan seorang istri wajib mendurhakai suaminya yang melarangnya untuk merawat ayahnya yang sakit, jika ternyata tidak ada orang lain yang merawatnya. Karena tidak merawat ayah adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah yang telah memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah"

Zainuddin Ibnu Nujaim Al-Hanafi berkata

وَلَوْ كان أَبُوهَا زَمِنًا وَلَيْسَ له من يَقُومُ عليه مُؤْمِنًا كان أو كَافِرًا فإن عليها أَنْ تَعْصِيَ الزَّوْجَ في الْمَنْعِ

"Jika ayahnya sakit dan tidak ada yang merawatnya –baik sang ayah seorang mukmin ataupun kafir- maka wajib bagi sang istri untuk durhaka kepada suaminya yang melarangnya merawat ayahnya" (Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 3/237, lihat juga 4/212)

Demikian juga dalam madzhab Malikiyah, jika seorang suami bersumpah untuk tidak mempertemukan istrinya dengan kedua orangtuanya atau bersumpah dengan melarang sang istri untuk mengunjungi kedua orang tuanya maka wajib baginya untuk membatalkan sumpahnya (Lihat Syarh Mukhtashor Al-Kholiil 4/188)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 11-04-1433 H / 04 Maret 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
0 comments

Kiat agar Anak Cinta Al-Quran pada Usia Dua Tahun

Kiat agar Anak Cinta Al-Quran pada Usia Dua Tahun

 

Pada usia ini, sangat tidak mungkin keberadaan pengajaran Al-Quran atau pun menghafalkannya menjadi sempurna. Namun, dimulainya metode-metode pendidikan yang paling utama dalam upaya menanamkan kecintaan anak-anak terhadap Al-Quran sesudah tahun kedua, yakni berdasarkan keteladanan. Aktivitas keteladanan pada fase ini merupakan bagian penting dan inti dalam mengarahkan perilaku anak.

Karena itu, semenjak tahun kedua, jika anak kecil merasakan kecintaan kedua orang tuanya terhadap Al-Quran dari celah-celah perilaku keduanya, maka perasaan ini akan berpindah kepada dirinya secara otomatis, tanpa harus ada usaha keras dari keduanya.

Jika ia mendengar lantunan Al-Quran di rumahnya atau ia terbiasa melihat orang tuanya membaca Al-Quran, ini semua akan melahirkan perasaan senang terhadap Al-Quran pada dirinya.

Jika ia memperhatikan bahwa kedua orang tuanya merasa gembira dengan adanya seorang Syaikh yang melantunkan Al-Quran saat keduanya sedang memutar channel radio, lalu kedua orang tuanya duduk untuk mendengarkan Syaikh tersebut dengan penuh perhatian dan ketenangan, maka ia akan belajar menaruh perhatian dengannya dan tidak mengutamakan sesuatu yang lain di atasnya.

Jika ia melihat keduanya memilih tempat-tempat yang paling utama dan paling tinggi untuk meletakkan mushaf, lalu keduanya tidak meletakkan seuatu pun di atas Al-Quran tersebut, serta keduanya tidak meletakkannya pada tempat-tempat yang tidak layak, maka sesungguhnya hal tersebut akan merembes ke dalam akal sehat anak. Dengan demikian, seiring dengan berjalannya waktu, ia akan mengetahui bahwa mushaf ini merupakan sesuatu yang agung, besar, mulia, serta wajib dihormati, dicintai, dan disucikan.

Dari sisi lain, jika suatu saat anak merasa risau dengan kedua orang tuanya yang melalaikan dirinya karena membaca Al-Quran, lalu ia menghampiri keduanya dan menghentikan aktivitas keduanya, maka keduanya janganlah membentak dan menghardik. Namun hendaklah salah satu dari keduanya justru merengkuhnya dalam pelukan serta berkata kepada anaknya, “Ini adalah kitab Allah.” Dengan demikian, anak akan merasa cinta terhadap Al-Quran Al-Karim.

Pada fase ini, anak lebih banyak belajar dengan cara taklid (mengikuti orang lain) daripada pembicaraan. Selain itu, dengan tanpa disadari, program “menjadikan anak cinta Al-Quran” pada usia ini akan menjadi sempurna dan terus mengikatnya.

Jika seorang anak tumbuh di dalam rumah yang di dalamnya hanya ada nyanyian, musik yang memekik, tarian dansa, dan yang semisal itu, apa kiranya yang bisa diharapkan dari si anak?
Oleh karena itu, jika Anda hendak menanamkan kecintaan terhadap Al-Quran pada anak-anak, berusahalah untuk menjadi teladan yang baik dalam berinteraksi dengan Al-Quran Al-Karim.
Disarikan dari buku Mendidik Anak Cinta Al-Qur’an, karya Dr. Sa’ad Riyadh, 2007 M/1428 H, Sukoharjo: Insan Kamil.
0 comments

_ MENGAPA CINTA TAK SEINDAH DULU ? _

_ MENGAPA CINTA TAK SEINDAH DULU ? _

Tatkala dua anak manusia saling menjalin hubungan asmara yang tidak halal alias pacaran, maka semua yang ada pada diri kekasihnya tampak indah dipandang mata. Senyumnya, tawanya, bicaranya cemberutnya, marahnya, menangisnya, duduknya, berdirinya, berjalannya, tidurnya, serta semua yang ada dari ujung rambut sampai ujung kaki; segalanya tampak begitu indah mempesona. Seolah sang kekasih tak memiliki cacat cela apapun. Indah dan sempurna. Rasa cinta pun begitu menggelora. Seolah ingin memiliki seutuhnya. Tak ingin melepasnya. Ingin selalu menjaganya. Tak ingin menyakitinya.

Namun, setelah keduanya bertemu dalam ikatan pernikahan, dan bahtera rumahtangga baru berjalan 4 atau 5 bulan, semuanya seakan berubah total. Segala yang terlihat kini seakan tak menyisakan warna indah lagi. Pesona itu telah memudar. Gelora cinta yang pernah ada, rasa rindu yang dulu menggebu, kini entah kemana hilang berlalu.

Di saat cinta itu telah halal oleh pernikahan, justru segalanya terasa membosankan. Tak ada lagi hasrat ingin memiliki. Segala yang ada pada pasangannya kini tak lebih dari lukisan buram yang menjenuhkan. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, semuanya tak lagi menarik dipandang.

Ada apa ini? Apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa cinta itu tak seindah dulu lagi? Mengapa saat masih pacaran, semuanya terlihat begitu indah, namun setelah menikah malah tak indah lagi?

Ketahuilah..... Itulah cinta yang semu. Cinta yang dibingkai dari nafsu syahwat semata. Cinta yang tumbuh bersemi dari tiupan, bisikan, dan godaan syaithon. Cinta yang tidak bersumber dari oase iman, tidak atas nama Allah, tidak dengan cara yang diridhoi oleh Allah.

Saat masih masa pacaran, segalanya tampak begitu indah; karena syaithonlah yang menghias-hiasi pasangannya. Syaithon telah menyihir pandangan mata agar segala yang terlihat pada diri sang kekasih tampak indah semuanya. Tidak ada lain tujuan syaithon kecuali agar manusia yang berpacaran itu semakin jatuh terperosok dalam kubang perzinaan.

Namun, setelah menikah, sang kekasih tak lagi indah, tak lagi menarik, tak lagi mempesona. Hal ini karena syaithon sudah tidak lagi menghias-hiasi pasangan yang sudah halal. Justru sebaliknya, syaithon beralih strategi. Tidak lagi menghias-hiasi; namun justru menjelek-jelekkan sang kekasih yang telah halal. Jadilah segala yang ada pada kekasih tampak jelek dan membosankan. Matanya jelek, hidungnya, bibirnya, wajahnya jelek, tangan, kaki, badan, semuanya jelek. Senyumnya, ketawanya, duduknya, berdirinya, berjalannya, semuanya juga jelek. Kalau sudah seperti ini keadaannya, maka terjadilah perselingkuhan atau perceraian. Karena dia merasa tak lagi bahagia bersama pasangannya. Karena nafsu syahwatnya tak lagi menemukan keindahan pada kekasihnya.

Inilah realita yang banyak terjadi pada pasangan rumahtangga yang mengawali mahligainya dengan cara yang keliru dan haram, yaitu pacaran. Artis-artis itu adalah contoh paling riil untuk kasus semacam ini. Kawin cerai, kawin cerai.

Lihatlah para artis itu. Saat masih pacaran, terlihat amat mesra dan romantis. Dunia seakan milik berdua. Seakan tak mungkin terpisahkan. Sehidup semati. Seia sekata. Sumpah dan janji cinta pun berhamburan mewarnai kisah kasih yang nista tersebut.

Namun, setelah menikah, dengan dana milyaran rupiah, baru berjalan sekian bulan, rumahtangga mulai goncang, kacau, ribut, hingga biduk pun tenggelam dalam lautan angkara murka. Cerai !

Sungguh berbeda halnya bila mahligai itu tercipta dengan cara yang halal dan penuh ridho Allah. Dimulai dari ta'arruf syar'i, proses nazhor, khithbah, hingga berakhir di pelaminan. Semuanya sesuai tuntunan Islam.

Masing-masing pihak pun saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan. Penilaian lebih ditekankan pada aspek akhlaq dan agama serta kecukupan ekonomi yang sewajarnya; bukan melulu klik secara fisik. Jadilah hati menerima kehadirannya karena Allah semata. Cinta karena Allah. Menikah karena Allah.

Maka, proses yang halal seperti ini, insyaAllah tak ada bagian syaithon di dalamnya. Kalaupun ada, itupun sangat sedikit dan tidak banyak berpengaruh.

Jadilah mahligai pernikahan yang dibangun semata karena Allah, cinta karena Allah, insyaAllah akan jauh lebih awet, tenang, damai, dan bahagia. Semakin hari semakin indah. Indah yang sesungguhnya. Indah yang terpancar dari rahmat Rabb Yang Maha Indah. Bukan indah yang merupakan manipulasi dari hiasan syaithon.

Akhir kata, jika kita mendambakan jalinan rumahtangga yang indah seutuhnya, sakinah mawaddah wa rahmah, ada 2 hal utama yang patut kita perhatikan:

1. Jangan membangun rumahtangga dari pondasi yang haram, yaitu pacaran. Karena siapa yang membangun mahligai dari budaya pacaran, sejatinya ia telah melibatkan syaithon sebagai arsitekturnya.

2. Jika berumahtangga dari proses ta'arruf syar'i, maka jangan menjadi pemuja fisik. Fisik memang perlu. Tapi bukan segalanya. Lihatlah agama dan kecukupan ekonomi sewajarnya.

Semoga bermanfaat.

Sumbe: Akun FB Al Ustadz Ammi Ahmad Alawi ACC
0 comments

Bila Suami Melarang Mengunjungi Kedua Orang Tua??

 
Pertanyaan : Bila suami saya melarang saya untuk membesuk ayah saya yang sakit maka apakah saya wajib mentaati suami saya?, lalu benarkah kisah berikut ini?

"Pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada seorang laki-laki yang akan berangkat berperang, yang berpesan kepada istrinya : "Hai istriku janganlah sekali-kali engkau meninggalkan rumah ini, sampai aku kembali pulang." Secara kebetulan, ayahnya menderita sakit, maka wanita tadi mengutus seorang laki-laki menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasullullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada utusan itu : "Agar dia mentaati suaminya". Demikian pula si wanita, mengutus utusan tidak hanya sekali sehingga akhirnya dia mentaati suaminya dan tidak berani keluar rumah.

Maka ayahnya pun meninggal dunia dan dia tetap tidak melihat mayat ayahnya dan dia tetap sabar. Sehingga suaminya kembali pulang. Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah ta'ala telah mengampuni wanita tersebut, disebabkan ketaatannya kepada suaminya."

JAWAB :

Kisah yang disebutkan ini merupakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam Al-Mu'jam Al-Awshoth (7/332 no 7648), lafalnya sebagai berikut :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلاً خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لاَ تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا وَكَانَ أَبُوْهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ وَكَانَتْ فِي أَعْلاَهَا فَمَرَضَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَمَاتَ أَبُوْهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَطِيْعِي زَوْجَكِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ غَفَرَ لِأَبِيْهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا

Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya ada seseorang yang bersafar dan memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumah. Ayah sang wanita tinggal di lantai dasar rumah, sedangkan sang wanita tinggal di lantai atas. Ayanya lalu sakit, maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyebutkan kondisi ayahnya (*yaitu sang wanita ingin keluar dari rumahnya untuk menjenguk dan merawat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, "Hendaknya engkau ta'at kepada suamimu". Lalu ayahnyapun meninggal. Maka sang wanita mengirim (utusan) kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam (*minta izin keluar rumah untuk melayat ayahnya-pen) maka Nabi berkata, "Taatlah engkau kepada suamimu", lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan kepadanya (mengabarkan) bahwasanya Allah telah mengampuni ayahnya karena ketaatan sang wanita kepada suaminya"

Hadits ini adalah hadits yang lemah, Al-Haitsami berkata

وَفِيْهِ عِصْمَةُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ وَهُوَ ضَعِيْفٌ

"Pada sanadnya ada perawi yang bernama 'Ishmah bin Al-Mutawakkil, dan ia adalah perawi yang lemah" (Majma' Az-Zawaaid 4/573 no 7666).

Dan lemahnya hadits ini juga telah dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab (16/413) dan juga oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul Gholiil (7/76-77 no 2015)

Sebagian fuqohaa (Ahli Fiqih) dari madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali berdalil dengan hadits ini akan bolehnya seorang suami melarang istrinya menghadiri (melayat) jenazah orang tuanya.

Imam As-Syafii berkata :

وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا ، وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ "

"Dan suaminya berhak untuk melarang istrinya menghadiri (melayat) janazah ibunya, ayahnya, dan anaknya, akan tetapi aku tidak menyukai hal ini" (Al-Haawi 9/584)

Setelah menukil perkataan Imam As-Syafii ini Al-Mawardi berkata, "Dan perkataan Imam Syafii ini benar, seorang suami boleh melarang istrinya keluar rumah, karena sang suami senantiasa memiliki hak yang berkesinambungan untuk menikmati/menggauli istrinya dan keluarnya sang wanita menjadikan sang suami luput dari haknya yang berkesinambungan ini. Dan juga sang suami berhak untuk dalam rangka menjaga kesucian air maninya (yang telah ia letakkan pada istrinya, yaitu jika istrinya keluar rumah dikhawatirkan terjerumus pada perbuatan keji-pen) . Dan jika ayah istrinya atau ibunya sakit maka sang suami berhak untuk melarangnya menjenguk kedua orang tuanya. Dan jika kedua orang tuanya meninggal maka sang suami juga berhak untuk untuk melarangnya menghadiri (melayat) jenazah keduanya dikarenakan sebab yang telah kami sebutkan. Dan hal ini sebagaimana seseorang yang menyewa pekerja untuk bekerja dalam waktu yang telah ditentukan, maka ia berhak untuk melarang pekerja tersebut keluar dari tempat kerjanya" (Al-Haawi 9/584, dan Al-Maawardi lalu berdalil dengan kisah di atas)

Ibnu Qudaamah rahimahullah dari madzhab Hanbali berkata :

"Imam Ahmad berkata tentang seorang wanita yang bersuami lalu ibu sang wanita tersebut sakit ;

طَاعَةُ زَوْجِهَا أَوْجَبُ عَلَيْهَا مِنْ أُمِّهَا إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهَا

"Ketaatan kepada suaminya lebih wajib baginya daripada kepada ibunya, kecuali jika sang suami mengizinkannya".

Lalu Ibnu Qudamah berdalil dengan kisah di atas (Lihat : Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudaamah 8/144-145 dan Al-Mughni 8/130)

Akan tetapi telah jelas bagi kita bahwasanya kisah di atas diriwayatkan dengan sanad yang lemah. Karenanya tidak bisa dijadikan landasan pijakan pengambilan hukum. Selain itu makna hadits tentang kisah ini juga menyelisihi banyak perkara yang telah disepakati, hal ini sebagaimana telah ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang dalam hal ini menyelisihi pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.

Beliau berkata, "Tatkala hadits ini tidak shahih di sisi kami, karena diriwayatkan oleh At-Thobroni dalam (Al-Mu'jam) Al-Awshoth dan penyakitnya adalah (perawi yang bernama) Muhammad 'Aqiil Al-Khuzaa'i, ini dari sisi isnad hadits.

Juga dari sisi lain bahwasanya matan hadits (tekstual hadits) juga menyelisihi beberapa perkara yang telah disepakati. Sesungguhnya ayah sang wanita memiliki hak-hak yang sangat banyak yang harus ditunaikan oleh putrinya. Yang paling jelas dari hak-hak tersebut diantaranya adalah :

- Haknya sebagai seorang ayah, karena Allah berfirman وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا (Hendaknya kalian berbuat baik kepada kedua orang tua kalian sabaik-baiknya). Dimana Allah menggandengkan perintah berbakti kepada kedua orang tua dengan perintah untuk beribadah kepada-Nya.

- Haknya sebagai sesama muslim, karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ "Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima", dan diantaranya adalah وَإِذَا مَرَضَ فَعُدْهُ "Jika ia sakit maka jenguklah dia"

- Hak untuk disilaturahmi. Allah telah berkata (*kepada rahim sebagaimana dalam hadits qudsi) : اشْتَقَقْتُ لَكِ اسْمًا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ "Aku telah mengambil namamu dari isytiqooq (pecahan) namaku, maka barangsiapa yang menyambungmu maka aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskanmu maka aku akan memutusnya"

- Hak kemanusiaan, مَنْ لاَ يَرْحَمُ النَّاسَ لاَ يُرْحَمُ (*karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam); "Barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati"

- Hak sang ayah untuk memperoleh pertolongan untuk melangsungkan hidupnya (*sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam), دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ، وَدَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْجَنَّةَ فِي هِرَّةٍ "Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing (*yang ia kurung dan tidak diberi makan hingga mati) dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing (*yang ditolongnya)"

- Hak sebagai seorang tetangga (*Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda), مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ "Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk memperhatikan tetangga, sampai-sampai aku menyangka bahwa Allah akan memerintahkan seorang tetangga memiliki hak warisan (menjadi ahli waris) dari tetangganya"

Jika telah jelas perkara di atas maka dibenci seorang suami yang melarang istrinya untuk menjenguk ayahnya yang sakit atau melarangnya untuk berbakti kepada orang tuanya atau melarangnya untuk menampakkan kasih sayang dan perhatiannya kepada kedua orang tuanya" (Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 16/413-414)

Pendapat Imam An-Nawawi adalah pendapat yang lebih kuat mengingat dalil yang disebutkan oleh beliau rahimahullah. Dan pendapat ini sesuai dengan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki.

Az-Zaila'i Al-Hanafi berkata :

وَقِيلَ لَا يَمْنَعُهَا مِنْ الْخُرُوجِ إلَى الْوَالِدَيْنِ ، وَلَا يَمْنَعُهُمَا مِنْ الدُّخُولِ عَلَيْهَا ...وهُوَ الصَّحِيحُ

"Dan dikatakan bahwasanya seorang suami tidak boleh melarang istrinya keluar rumah untuk mengunjungi kedua orang tuanya, ia juga tidak boleh melarang kedua orang tua istrinya untuk menemui istrinya….dan inilah pendapat yang benar (Tabyiinul Haqoo'iq li Az-Zaila'i, beserta hasyiyah Al-Syilbi 3/58-59

Bahkan seorang istri wajib mendurhakai suaminya yang melarangnya untuk merawat ayahnya yang sakit, jika ternyata tidak ada orang lain yang merawatnya. Karena tidak merawat ayah adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah yang telah memerintahkan untuk berbakti kepada orang tua, dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang shahih

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah"

Zainuddin Ibnu Nujaim Al-Hanafi berkata

وَلَوْ كان أَبُوهَا زَمِنًا وَلَيْسَ له من يَقُومُ عليه مُؤْمِنًا كان أو كَافِرًا فإن عليها أَنْ تَعْصِيَ الزَّوْجَ في الْمَنْعِ

"Jika ayahnya sakit dan tidak ada yang merawatnya –baik sang ayah seorang mukmin ataupun kafir- maka wajib bagi sang istri untuk durhaka kepada suaminya yang melarangnya merawat ayahnya" (Al-Bahr Ar-Rooiq Syarh Kanz Ad-Daqooiq 3/237, lihat juga 4/212)

Demikian juga dalam madzhab Malikiyah, jika seorang suami bersumpah untuk tidak mempertemukan istrinya dengan kedua orangtuanya atau bersumpah dengan melarang sang istri untuk mengunjungi kedua orang tuanya maka wajib baginya untuk membatalkan sumpahnya (Lihat Syarh Mukhtashor Al-Kholiil 4/188)

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 11-04-1433 H / 04 Maret 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
0 comments

Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!

 Nikahilah Aku Tapi Dengan Syarat Tidak Berpoligami!!
 


Pertanyaan:
Assalamu'alaykum Warohmatulloh Wabarokatuh
Ustadz firanda yang semoga ustadz dan keluarga mendapat penjagaan dari Allah, ana seorang akhwat yang saat ini sedang melakukan proses ta'aaruf dengan seorang ikhwan yang menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah. Pertanyaan ana, mungkin ustadz sudah bisa menebak dari judul/subject message ini, yaitu apa boleh menolak untuk dipoligami ? Apakah seorang wanita boleh memberi syarat kepada seorang lelaki yang hendak menikahinya agar tidak boleh berpoligami?

Ana selama mengaji hampir 2 tahun, mendapat salah satu kaidah yaitu : lebih diutamakan menolak mafsadah (kerusakan) daripada mendapat maslahat (manfaat)'. Ana, jujur merasa berat kalau nanti harus dipoligami ustadz. Tidak hanya masalah perasaan tapi juga dari pihak keluarga ana yang sangat memandang rendah terhadap laki-laki yang beristri lebih dari satu. Selain itu juga, ikhwan yang sedang berproses ta'aruf dengan ana juga belum punya pekerjaan alias hanya mengandalkan uang beasiswanya. Ana takut jika nanti ikhwan tersebut ada niatan untuk poligami dan nekat untuk menikah lagi padahal dari sisi dunia keluarga ana melihat belum mampu/miskin, keluarga besar ana akan melihat betapa jeleknya orang Islam yang hanya memikirkan syahwat dan syahwat tanpa memikirkan bagaimana menafkahi nanti. Ana bukanlah akhwat pondokan dengan background keluarga yang mengenal Islam dengan baik, saudara ana juga ada yang non-Islam. Ana dulu berkuliah dan mengaji di salafy sejak semester 6.

Mohon nasehat dari ustadz, wa Jazaakumullohu Khoyro.
Di jawab Oleh Firanda Andirja Abidin Lc. MA 
(Beliau sekarang sedang menempuh program Doctoral pada jurusan  Aqidah di Islamic University of Madinah

Walaikum salam warahmatullahi wa barakaatuh. Dari pertanyaan di atas maka jelas bahwa ukhti yang bertanya paham betul akan disyari'atkannya poligami, dan merupakan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi pertanyaan ukhti; Bolehkah seorang wanita memberi persyaratan kepada calon suaminya agar tidak berpoligami?

Lantas apakah persayaratan seperti ini tidak melanggar syari'at?

Apakah sang suami kelak wajib memenuhi persyaratan seperti ini?, ataukah boleh melanggar janjinya untuk tidak berpoligami karena ada kemaslahatan yang lain?

Para pembaca yang dirahmati Allah, para ulama dalam buku-buku fikih mereka membedakan antara dua hal :

Pertama : Syarat-syarat sah nikah


Kedua : Syarat-syarat yang dipersyaratkan dalam nikah yang diajukan oleh salah satu dari dua belah pihak calon mempelai.

Adapun hal yang pertama yaitu tentang syarat-syarat sah nikah maka hal ini sudah ma'ruuf seperti : adanya wali dari pihak wanita, keridhoan dua belah pihak calon mempelai, adanya dua saksi, dan tidak adanya penghalang dari kedua belah pihak yang menghalangi pernikahan (seperti ternyata keduanya merupakan saudara sepersusuan, atau karena ada hubungan nasab yang menghalangi seperti ternyata sang wanita adalah putri keponakan calon suami, atau sang wanita adalah muslimah dan sang lelaki kafir, atau sang wanita adalah dari majusiyah, atau sang wanita masih dalam masa 'iddah, atau salah satu dari keduanya dalam kondisi muhrim, dll)

Namun bukan hal ini yang menjadi pembahasan kita, akan tetapi pembahasan kita adalah pada poin yang kedua yaitu tentang seroang wanita yang memberi persyaratan tatkala melangsungkan akad nikah dengan sang lelaki, atau sebaliknya.

Permasalahan ini merupakan salah satu cabang dari permasalahan utama yang diperselisihkan oleh para ulama, yaitu tentang persyaratan yang disyaratkan dalam 'akad-'akad, baik 'akad (transaksi) jual beli maupun 'akad pernikahan. Dan khilaf para ulama tentang hal ini telah dijelaskan dengan sangat panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al-'Qowaa'id An-Nuurooniyah.

Akan tetapi pembicaraan kita terkhususkan kepada permasalahan yang ditanyakan, yaitu apakah boleh bagi sang wanita tatkala akan menikah memberi persyaratan agar sang lelaki tidak berpoligami?

Telah terjadi khilaf diantara para ulama dalam permasalahan ini sebagaimana berikut ini:

Madzhab Hanafi

Adapun Madzhab Hanafi maka mereka membolehkan persyaratan seperti ini. Jika seorang wanita diberi mahar oleh sang calon suami kurang dari mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat maka boleh bagi sang wanita untuk memberi persyaratan, seperti mempersyaratkan bahwa agar ia tidak dipoligami. Dan persyaratan ini diperbolehkan dan dianggap termasuk dari mahar karena ada nilai manfaat bagi sang wanita. Akan tetapi menurut madzhab Hanafi jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar wanita tersebut secara penuh sebagaimana mahar para wanita yang semisalnya menurut adat. (lihat Al-'Inaayah bi syarh Al-Hidaayah 5/10, fathul Qodiir 7/176 maktabah syamilah)

Madzhab Malikiyah

Madzhab Maliki memandang bahwa persayaratan seperti ini merupakan persayaratan yang makruh. Dan madzhab Maliki memiliki perincian dalam permasalahan ini, sbb :

-         Persayaratan seperti ini makruuh, dan tidak lazin/harus untuk dipenuhi oleh sang calon suami.

-         Akan tetapi persayaratan ini wajib dipenuhi oleh sang suami jika persayaratannya disertai dengan sumpah dari sang calon suami

-         Jika persyaratan ini diajukan oleh sang wanita dengan menjatuhkan sebagian maharnya maka wajib bagi sang suami untuk memenuhinya. Misalnyan mahar nikah sang wanita adalah 20 juta, lantas sang wanita berkata, "Aku menjatuhkan 5 juta dari maharku dengan syarat sang lelaki tidak boleh berpoligami" lalu disetujui oleh sang lelaki maka wajib bagi sang lelaki untuk memenuhi persyaratan tersebut. Jika ternyata sang lelaki akhirnya berpoligami maka ia harus membayar mahar 5 juta tersebut kepada sang wanita. (lihat perincian ini di At-Taaj wa Al-Ikliil 3/513)

-         Bahkan Imam Malik pernah ditanya tentang seorang wanita yang memberi persyaratan kepada calon suaminya, "Jika engkau berpoligami maka hak untuk bercerai ada padaku", kemudian sang lelakipun berpoligami, lantas sang wanitapun menjatuhkan cerai (talak) tiga. Akan tetapi sang suami tidak menerima hal ini dan menganggap hanya jatuh talak satu. Maka apakah jatuh talak tiga tersebut,?, Imam Malik menjawab : "Ini merupakan hak sang wanita, dan adapun pengingkaran sang suami maka tidak ada faedahnya" (lhat Al-Mudawwanah 2/75)

Madzhab As-Syafi'iyah

Madzhab As-Syafii membagi persyaratan dalam pernikahan menjadi dua, syarat-syarat yang diperbolehkan dan syarat-syarat yang dilarang.

Pertama : Adapun syarat yang diperbolehkan adalah syarat-syarat yang sesuai dengan hukum syar'i tentang mutlaknya akad, contohnya sang lelaki mempersyaratkan kepada sang wanita untuk bersafar bersamanya, atau untuk menceraikannya jika sang lelaki berkehendak, atau berpoligami. Sebaliknya misalnya sang wanita mempersyaratkan agar maharnya dipenuhi, atau memberi nafkah kepadanya sebagaimana nafkah wanita-wanita yang lainnya, atau mempersyaratkan agar sang lelaki membagi jatah nginapnya dengan adil antara istri-istrinya. Persyaratan seperti ini diperbolehkan, karena hal-hal yang dipersayratkan di atas boleh dilakukan meskipun tanpa syarat, maka tentunya lebih boleh lagi jika dengan persayaratan.

Kedua : Adapun persyaratan yang tidak diperbolehkan maka secara umum ada empat macam:

1. Persyaratan yang membatalkan pernikahan, yaitu persyaratan yang bertentangan dengan maksud pernikahan. Contohnya jika sang lelaki mempersayaratkan jatuh talak bagi sang wanita pada awal bulan depan, atau jatuh talak jika si fulan datang, atau hak talak berada di tangan sang wanita. Maka pernikahan dengan persayaratan seperti ini tidak sah.

2. Persyaratan yang membatalkan mahar akan tetapi tidak membatalkan pernikahan. Contohnya persyaratan dari pihak lelaki, misalnya sang wanita tidak boleh berbicara dengan ayah atau  ibunya atau kakaknya, atau sang lelaki tidak memberi nafkah secara penuh kepada sang wanita. Demikian juga persayaratan dari pihak wanita, misalnya : sang lelaki tidak boleh berpoligami atau tidak boleh mengajak sang wanita merantau. Maka ini seluruhnya merupakan persyaratan yang batil karena mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti ini maka batalah mahar sang wanita yang telah ditentukan dalam akad, dan jadilah mahar sang wanita menjadi mahar al-mitsl (yaitu maharnya disesuaikan dengan mahar para wanita-wanita yang semisalnya menurut adat istiadat).

3. Persyaratan yang hukumnya tergantung siapa yang memberi persayaratan. Misalnya persyaratan untuk tidak berjimak setelah nikah. Maka jika yang memberi persayratan tersebut adalah pihak wanita maka hal ini haram, karena jimak adalah hak sang lelaki setelah membayar mahar. Dan jika sebaliknya persayaratan tersebut dari pihak lelaki itu sendiri maka menurut madzhab As-Syafii hal tersebut adalah boleh

4. Persyaratan yang diperselisihkan oleh ulama madzhab As-Syafi'i, yaitu persyaratan yang berkaitan dengan mahar dan nafaqoh. Jika sang wanita mempersyaratkan agar tidak dinafkahi maka pernikahan tetap sah, karena hak nafkah adalah hak sang wanita. Akan tetapi persyaratan ini membatalkan mahar yang telah ditentukan, maka jadilah mahar sang wanita adalah mahar al-mitsl. Akan tetapi jika yang mempersyaratkan adalah dari pihak lelaki maka para ulama madzhab syafii berselisih pendapat. Ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya batil, dan ada yang berpendapat bahwa akad nikahnya sah akan tetapi membatalkan mahar yang telah ditentukan bagi sang wanita sehingga bagi sang wanita mahar al-mitsl. (lihat Al-Haawi 9/506-508)

Madzhab Hanabila

Madzhab Hanbali membagi persyaratan dalam nikah menjadi tiga bagian;

Pertama : Persyaratan yang harus ditunaikan, yaitu persayaratan yang manfaatnya dan faedahnya kembali kepada sang wanita. Misalnya sang wanita mempersayatkan agar sang suami tidak membawanya merantau atau tidak berpoligami. Maka wajib bagi sang suami untuk memenuhi dan menunaikan persyaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikan syarat ini maka sang wanita berhak untuk membatalkan tali pernikahan. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khottoob, Sa'ad bin Abi Waqqoosh, Mu'aawiyah, dan 'Amr bin Al-'Aash radhiallahu 'anhum. (lihat Al-Mughni 7/448)

Kedua : Persyaratan yang batil dan membatalkan persyaratan itu sendiri akan tetapi pernikahan tetap sah, seperti jika sang lelaki mempersyaratkan untuk menikah tanpa mahar, atau tidak menafkahi sang wanita, atau sang wanitalah yang memberi nafkah kepadanya, atau ia hanya mendatangi sang wanita di siang hari saja. Dan demikian juga jika sang wanita mepersyaratkan untuk tidak digauli atau agar sang lelaki menjauhinya, atau agar jatah nginapnya ditambah dengan mengambil sebagian jatah istrinya yang lain. Maka seluruh persyaratan ini tidak sah dan batil (lihat Al-Mughni 7/449)

Ketiga : Persyaratan yang membatalkan akad nikah, seperti pernikahan mut'ah (nikah kontrak sementara setelah itu cerai), atau langsung dicerai setelah nikah, dan nikah syigoor, atau sang lelaki berkata, "Aku menikahi engkau jika ibumu merestui atau si fulan setuju". (lihat Al-Mughni 7/449)
Dari penjelasan di atas maka jelas bahwa empat madzhab seluruhnya memandang sahnya persyaratan tersebut dan sama sekali tidak merusak akad nikah. Khilaf hanya timbul pada hukum memberi persyaratan ini dari pihak wanita. Madzhab Hanafi dan Hanbali memandang bolehnya persayratatn ini. Madzhab Maliki  memandang makruhnya hal ini. Dan hukum makruh masih masuk dalam kategori halal. Adapun As-Syafii memandang bahwa persyaratan ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan, hanya saja jika terjadi maka persyaratan tersebut tetap tidak merusak akad nikah.

Dalil akan bolehnya persyaratan ini :

Para ulama yang memperbolehkan persyaratan agar sang suami tidak poligami, mereka berdalil dengan banyak dalil, diantaranya:

Pertama : Keumuman dalil-dalil yang memerintahkan seseorang untuk menunaikan janji atau kesepakatan. Seperti firman Allah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS Al-Maaidah :1)

Kedua : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

"Syarat yang palih berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita)" (HR Al-Bukhari no 2721 dan Muslim no 1418)

Dan persyaratan untuk tidak berpoligami merupakan persyaratan yang diajukan oleh sang wanita dalam akad nikahnya, sehingga wajib bagi sang lelaki untuk menunaikannya.

Ketiga : Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka (tidak menyelishinya-pen), kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram" (HR At-Thirimidzi no 1352 dan Abu Dawud no 3596 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dan jelas bahwasanya seseroang yang menikah dan tidak berpoligami maka hal ini diperbolehkan dan tidak melanggar persyaratan. Maka jika perkaranya demikian berarti persyaratan untuk tidak berpoligami diperbolehkan dan harus ditunaikan oleh sang suami. Adapun persyaratan yang menghalalkan sesuatu yang haram maka tidak diperbolehkan, seperti seroang wanita yang menikah dengan mempersyaratkan agar calon suaminya menceraikan istri tuanya. Hal ini jelas diharamkan oleh syari'at.

Keempat : Hukum asal dalam masalah akad dan transaksi –jika diridhoi oleh kedua belah pihak- adalah mubaah hingga ada dalil yang mengaharamkan

Adapun dalil yang dijadikan hujjah oleh para ulama yang mengharamkan persyaratan ini adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

"Barang siapa yang memberi persyaratan yang tidak terdapat di Kitab Allah maka persyaratan itu batil, meskipun ia mempersyaratkan seratus persyaratan"
(HR Al-Bukhari no 2155 dan Muslim 1504)

Akan tetapi maksud dari sabda Nabi ini adalah persyaratan yang tidak dihalalkan oleh Allah. Karena konteks hadits ini secara lengkap menunjukan akan hal ini. Konteks hadits secara lengkap adalah sebagai berikut :

Aisyah berkata :

جَاءَتْنِي بَرِيْرَةُ فَقَالَتْ كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ وُقِيَّة فَأَعِيْنِيْنِي، فَقُلْتُ : إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أُعِدَّهَا لَهُمْ وَيَكُوْنُ وَلاَؤُكِ لِي فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى أَهْلِهَا فَقَالَتْ لَهُمْ فَأَبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهَا، فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِهِمْ وَرَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فَقَالَتْ : إِنّي قَدْ عَرَضْتُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَأَبَوْا إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ الْوَلاَءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْ عَائِشَةُ النَّبِيَّ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خُذيْهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلاَءَ فَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ وَإِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

"Bariroh (seorang budak wanita-pen) datang kepadaku dan berkata, "Aku telah membeli diriku (mukaatabah-pen) dengan harga Sembilan uuqiyah, dan setiap tahun aku membayar satu uqiyah (40 dirham), maka bantulah aku. Maka aku (Aisyah) berkata, "Jika tuanmu suka maka aku akan menyiapkan bayaran tersebut dengan wala'mu pindah kepadaku". Maka pergilah Bariroh kepada tuanya dan menyampaikan hal tersebut, akan tetapi mereka enggan dan bersikeras bahwasanya walaa'nya Bariroh tetap pada mereka. Maka Barirohpun kembali kepada Aisyah –dan tatkala itu ada Rasulullah sedang duduk-, lalu Bariroh berkata, "Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka (tuannya) akan tetapi mereka enggan kecuali walaa'ku tetap pada mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar hal itu (secara global-pen), lalu Aisyah mengabarkan perkaranya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi berkata, "Belilah Bariroh (untuk dibebaskan) dari mereka dan beri persyaratan kepada mereka tentang walaa'nya, karena walaa' adalah kepada orang yang membebaskan". Maka Aisyahpun melakukannya, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam berdiri di hadapan manusia lalu memuji Allah kemudian berkata, "Amma Ba'du, kenapa orang-orang memberi persyaratan-persyaratan yang tidak terdapat di kitab Allah (Al-Qur'an), maka persyaratan apa saja yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maka merupakan persyaratan yang batil, meskipun seratus persayratan. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditunaikan, dan persyaratan Allah lebih kuat untuk diikuti, sesungguhnya walaa' hanyalah kepada orang yang membebaskan" (HR Al-Bukhari no 2168)

Maka jelaslah dari konteks hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan persyaratan yang terdapat dalam kitab Allah adalah seluruh persyaratan yang diperbolehkan oleh Allah dan RasulNya, dan bukanlah maksudnya persyaratan yang termaktub dan ternashkan dalam Al-Qur'an. Karena permasalahan "Walaa' itu hanya kepada orang yang membebaskan" sama sekali tidak termaktub dalam Al-Qur'an, akan tetapi merupakan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Oleh karenanya persyaratan yang tidak diperbolehkan adalah persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah, yang maksudnya adalah seluruh perysaratan yang tidak disyari'atkan dan tidak diperbolehkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.
Inti dalam masalah persyaratan baik dalam pernikahan maupun dalam akad-akad transaksi secara umum adalah : Seluruh persyaratan yang hukum asalnya adalah mubaah maka boleh dijadikan persayratan jika dirihdoi oleh kedua belah pihak. (lihat Al-Qowaad An-Nurroniyah hal 285)
Karenanya pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini –Wallahu A'lam- adalah pendapat madzhab Hambali, bahwasanya persyaratan tersebut diperbolehkan dan wajib untuk ditunaikan oleh suami jika menerima persyaratan tersebut. dan inilah yang telah dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al-Qwaaid An-Nurroniyah dan juga Syaikh Al-Utsaimin (lihat As-Syarh Al-Mumti' 12/164, 167)


Kesimpulan :


Para ulama madzhab telah berselisih yang kesimpulannya sebagai berikut:

A. Madzhab Hanbali membolehkan persyaratan seperti ini, dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persyaratan tersebut. Dan persyaratan ini sama sekali tidak merusak akad nikah dan juga tidak merusak mahar.

B. Adapun pendapat Madzhab Hanafi maka persyaratan ini diperbolehkan jika sang wanita menjatuhkan sebagian nilai maharnya. Dan wajib bagi sang suami untuk menunaikan persayaratan ini. Jika sang suami tidak menunaikannya maka sang wanita mendapatakan mahr al-mitsl

C. Madzhab Maliki memandang persyaratan ini merupakan persyaratan yang makruh

D. Adapun pendapat madzhab Syafi'i maka ini merupakan persyaratan yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi jika terjadi maka persyaratan tersebut tidak merusak akad nikah, hanya saja merusak mahar yang telah ditentukan, sehingga mahar sang wanita nilainya berubah menjadi mahar al-mitsl.


Dari sini nampak bahwa jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa persyaratan seperti ini (agar sang suami tidak berpoligami) merupakan persayratan yang sah dan diperbolehkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan :
1. Hendaknya para lelaki yang hendak menikah untuk tidak mengajukan persyaratan ini tanpa dipersyaratkan oleh sang wanita, karena ini merupakan bentuk menjerumuskan diri dalam kesulitan.

2. Demikian juga jika sang wanita mempersyaratkan tidak poligami, maka hendaknya sang lelaki tidak langsung menerima, dan hendaknya ia berpikir panjang. Karena ia tidak tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa saja nantinya sang wanita sakit sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri sebagaimana mestinya atau hal-hal lain yang nantinya memaksa dia untuk berpoligami. Dan hendaknya sang lelaki ingat bahwa jika ia menerima persyaratan tersebut maka hendaknya ia menunaikannya karena seorang mukmin tidak mengingkari janji dan tidak menyelisihi kesepakatan.

3. Hendaknya para wanita yang memberi persayratan ini jangan sampai terbetik dalam benaknya kebencian terhadap syari'at poligami, hendaknya ia tetap meyakini bahwa poligami adalah disyari'atkan dan mengandung banyak hikmah di balik itu.

4. Hendaknya para wanita tidaklah memberi persyaratan tersebut kecuali jika memang kondisinya mendesak, karena sesungguhnya dibalik poligami banyak sekali hikmah. Dan sebaliknya persyaratan seperti ini bisa jadi membawa keburukan. Bisa jadi sang wanita akhirnya memiliki anak banyak, dan telah mencapi masa monopuse, sedangkan sang suami masih memiliki syahwat dan ingin menjaga kehormatannya, namun akhirnya ia tidak bisa berpoligami. Maka jadilah sang lelaki membenci sang wanita namun apa daya ia tidak mampu untuk berpisah dari sang wanita mengingat kemaslahatan anak-anaknya.

5. Jika akhirnya sang lelaki berpoligami maka sang wanita diberi pilihan, yaitu menggugurkan persyaratannya tersebut dan menerima suaminya yang telah menyelisihi janji sehingga berpoligami ataukah sang wanita memutuskan tali akad pernikahan. Dan terputusnya tali pernikahan disini bukanlah perceraian, akan tetapi akad nikahnya batal. Sehingga jika sang wanita ingin kembali lagi ke suaminya maka harus dengan pernikahan yang baru.

Madinah, 16 05 1432 H / 20 04 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger