Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Aqidah. Show all posts
Showing posts with label Aqidah. Show all posts

Keutamaan Rasa Aman

📚Oleh Asy Syaikh Ibrohim Ar Ruhaily _hafizhohulloh_*

🔶 Rasa aman, secara bahasa artinya adalah lawan dari rasa takut.
(فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَٰذَا الْبَيْتِ * الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ)

"Maka hendaknya mereka menyembah kepada Rabb pemilik rumah ini (Ka'bah). (Dia) yang telah memberikan makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan memberikan keamanan kepada mereka dari rasa takut." (Quraisy: 3-4)
0 comments

Apa itu "Tauhid"?

Apa itu "Tauhid"



Oleh DR Muhammad al-‘Aqil

 

Makna tauhid secara bahasa

Definisi Tauhiid

Tauhiid berasal dari bahasa arab, yang berasal dari kata-kata:
وحد - يوحد - توحيدا

Wahhada, Yuwahhidu, Tawhiidan

Kata وحد (Wahhada) meliputi makna kesendirian sesuatu dalam Dzat, sifat maupun perbuatannya, dan tidak adanya sesuatu yang menyerupainya dan menyertainya dalam kesendiriannya.

Bila huruf ح (ha`) digandakan (yaitu ada dua ha’, pent), menjadi wahhada; maka maknanya adalah menjadikan sesuatu itu satu, atau menisbatkannya kepada ketunggalan/kesendirian.




Makna tauhid secara Istilah
0 comments

RINGKASAN TABLIGH AKBAR "MENCINTAI WALI-WALI ALLAH 'AZZA WA JALLA"

RINGKASAN TABLIGH AKBAR "MENCINTAI WALI-WALI ALLAH 'AZZA WA JALLA"

[Asy-Syaikh Prof. DR. Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallah]


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Assalaamu'alaykum warohmatullaahi wabarokaatuh,

إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه، ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ، فَلا هَادِي لَهُ. وأَشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إِلاَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه.

Sungguh ini adalah saat-saat yang sangat indah, perjumpaan di rumah Allah, tempat yang paling dicintai Allah dalam rangka melakukan ibadah yang sangat agung yaitu menuntut ilmu agama. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلاَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَ ئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَه

"Dan tidaklah ada satu kaum yang berkumpul di rumah Allah; membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, dicurahkan kepada mereka rahmat, malaikat meliputi mereka dan Allah menyebut mereka di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya." [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]

2 comments

Ringkasan Tablig Akbar Syaikh Abdurrazaq

Ringkasan Tablig Akbar Syaikh Abdurrazaq

  • Ringkasan Faidah Seputar Tauhid
  • Pemateri: Syaikh Abdurrazzaq Bin Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
  • Tema : Tauhid (Keesaan) Allah Ta'ala

  BAGIAN 1 : MUQADDIMAH


Tauhid adalah perkara yang paling agung karena ia merupan alasan manusia dan jin diciptakan. Allah berfirman:

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ)

" Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" (Ad Dzariyat: 56)

Tauhid adalah alasan kenapa nabi dan rasul diutus dan kenapa kitab diturunkan. Allah berfirman:

(وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ َ)

"Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (Surat An-Nahl 36)

0 comments

..:: Kedudukan Tauhid Dalam Islam ::..

...:: Kedudukan Tauhid Dalam Islam ::...

[Faedah 01 muqodimah Tabligh Akbar Prof. DR.,Syeikh Abdurrazaq Bin Abdul Muhsin Al Badr Hafidahullah]

Tauhid Merupakan pondasi bagi agama

Dan tidak ada ketaatan , tidak bermanfaat ketaatan kepada Allah tanpa dibangun diatasnya. Tauhid dalam agama ini bagaikan " Akar Pokok sebuah pohon " dimana pohon tdk akan berdiri tanpa akar-akarnya begitu juga agama tidak akan berdiri tegak tanpa tauhid sehingga agama tanpa tuhid  seperti pohon tanpa akar sehingga akan rubuh , krn itu agama tidak akan bisa berdiri tegak.
Bukankah Allah Ta'alaa berfirman : 

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ (26) يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ (27) “ 


Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”  (Qs. Ibrahim: 24-27)
Karena itu tauhid bagi amalan bagaikan akar bagi sebuah pohon 

0 comments

Tauhid Dan Macam-Macamnya...!!!

Tauhid Dan Macam-Macamnya...!!! [1]

Soal: Apa yang anda ketahui tentang tauhid dan macam-macamnya

Jawab oleh Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah

Hany Allah Saja
Tauhid تَوْحِيْدًا adalah bentuk masdhar dari kata وَحَّدَ - يُوَحِّدُ atau "menjadikan sesuatu hanya satu". Tauhid ini tidak akan terealisasi kecuali dengan menolak dan menegaskannya. Yaitu menolak hukum selain yang satu dan menegaskannya.

Misalnya kita katakan "Tidak sempurna tauhid seseorang hingga dia bersaksi tidak ada tuhan selain Allah," maka dia menolak tuhan-tuhan selain Allah, dan hanya menegaskan hanya Allah semata sebagai tuhan. Penolakan yang utuh berarti mengabaikan secara utuh dan penegasan secara utuh berarti tidak memberikan ruang bagi yang lain untuk terlibat di dalam hukum.

0 comments

6 Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

6 Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah setiap orang dari manapun asalnya yang mengikuti ajaran Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya baik dalam hal keyakinan, amalan maupun ucapan.

Ada enam prinsip utama yang membedakan antara Ahlus Sunnah al Jamaah dan golongan lain.

Pinsip Ahlusunnah yang pertama:
Ikhlas dalam Beribadah

Ikhlas menurut arti bahasa: membersihkan atau memurnikan sesuatu dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syar’i, ikhlas adalah membersihkan dan memurnikan ibadah dari segala jenis kotoran syirik.
0 comments

Mengenal Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam

TIGA LANDASAN UTAMA



Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Bagian Terakhir dari Empat Tulisan [4/4]


MENGENAL NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah, bin 'Abdul Muthallib, bin Hasyim. Hasyim adalah termasuk suku Quraisy, suku Quraisy termasuk bangsa Arab, sedang bangsa Arab adalah termasuk keturunan Nabi Isma'il, putera Nabi Ibrahim Al-Khalil. Semoga Allah melimpahkan kepadanya dan kepada Nabi kita sebaik-baik shalawat dan salam.

Beliau berumur 63 tahun, diantaranya 40 tahun sebelum beliau menjadi nabi dan 23 tahun sebagai nabi dan rasul.

Beliau diangkat sebagai nabi dengan "Iqra" yakni surah Al-'Alaq : 1-5, dan diangkat sebagai rasul dengan surah Al-Mudatstsir.

Tempat asal beliau adalah Makkah.

Beliau diutus Allah untuk menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid. Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Wahai orang yang berselimut ! Bangunlah, lalu sampaikanlah peringatan. Agungkanlah Tuhanmu. Sucikalah pakaianmu. Tinggalkanlah berhala-berhala itu. Dan janganlah kamu memberi, sedang kamu menginginkan balasan yang lebih banyak. Serta bersabarlah untuk memenuhi perintah Tuhanmu". [Al-Mudatstsir : 1-7]

Pengertian :

[1] "Sampaikanlah peringatan", ialah menyampaikan peringatan menjauhi syirik dan mengajak kepada tauhid.
[2] "Agungkanlah Tuhanmu". Agungkanlah Ia dengan berserah diri dan beribadah kepada-Nya semata-mata.
[3] "Sucikanlah pakaianmu", maksudnya ; Sucikanlah segala amalmu dari perbuatan syirik.
[4] "Tinggalkanlah berhala-berhala itu", artinya : Jauhkan dan bebaskan dirimu darinya serta orang-orang yang memujanya.


Beliaupun melaksanakan perintah ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun, mengajak kepada tauhid. Setelah sepuluh tahun itu beliau di mi'rajkan (diangkat naik) ke atas langit dan disyari'atkan kepada beliau shalat lima waktu. Beliau melakukan shalat di Makkah selama tiga tahun. Kemudian, sesudah itu, beliau diperintahkan untuk berhijrah ke Madinah.

Hijrah, pengertiannya, ialah : Pindah dari lingkungan syirik ke lingkungan Islami.

Hijrah ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam. Dan kewajiban tersebut hukumnya tetap berlaku sampai hari kiamat. Dalil yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu firman Allah Ta'ala.

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan zhalim terhadap diri mereka sendiri [1], kepada mereka malaikat bertanya :'Dalam keadaan bagaimana kamu ini .? 'Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para malaikat berkata : 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (kemana saja) di bumi ini ?. Maka mereka itulah tempat tinggalnya neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Akan tetapi orang-orang yang tertindas di antara mereka, seperti kaum lelaki dan wanita serta anak-anak yang mereka itu dalam keadaan tidak mampu menyelamatkan diri dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), maka mudah-mudahan Allah memaafkan mereka. Dan Allah adalah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun". [An-Nisaa : 97-99]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman ! Sesungguhnya, bumi-Ku adalah luas, maka hanya kepada-Ku saja supaya kamu beribadah". [Al-Ankabuut : 56]

Al-Baghawi [2], Rahimahullah, berkata :"Ayat ini, sebab turunnya, adalah ditujukan kepada orang-orang muslim yang masih berada di Makkah, yang mereka itu belum juga berhijrah. Karena itu, Allah menyeru kepada mereka dengan sebutan orang-orang yang beriman".

Adapun dalil dari Sunnah yang menunjukkan kewajiban hijrah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Hijrah tetap akan berlangsung selama pintu taubat belum ditutup, sedang pintu taubat tidak akan ditutup sebelum matahari terbit dari barat". [Hadits Riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 4, hal. 99. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Al-Jihad, bab 2, dan Ad-Darimi dalam Sunan-nya, kitab As-Sam, bab 70]

Setelah Nabi Muhammad menetap di Madinah, disyariatkan kepada beliau zakat, puasa, haji, adzan, jihad, amar ma'ruf dan nahi mungkar, serta syariat-syariat Islam lainnya.

Beliau-pun melaksanakan untuk menyampaikan hal ini dengan tekun dan gigih selama sepuluh tahun. Sesudah itu wafatlah beliau, sedang agamanya tetap dalam keadaan lestari.

Inilah agama yang beliau bawa : Tiada suatu kebaikan yang tidak beliau tunjukkan kepada umatnya dan tiada suatu keburukan yang tidak beliau peringatkan kepada umatnya supaya di jauhi. Kebaikan yang beliau tunjukkan ialah tauhid serta segala yang dicintai dan diridhai Allah, sedang keburukan yang beliau peringatkan supaya dijauhi ialah syirik serta segala yang dibenci dan tidak disenangi Allah.

Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, diutus oleh Allah kepada seluruh umat manusia, dan diwajibkan kepada seluruh jin dan manusia untuk mentaatinya. Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Katakanlah. 'Wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua". [Al-Araaf : 158]

Dan melalui beliau, Allah telah menyempurnakan agama-Nya untuk kita, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : ..Pada hari ini [3], telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan Aku lengkapkan kepadamu ni'mat-Ku serta Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu". [Al-Maaidah : 3]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga wafat, ialah firman Allah Ta'ala.

"Artinya :Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka-pun akan mati (pula). Kemudian, sesungguhnya kamu nanti pada hari kiamat berbantah- bantahan di hadapan Tuhanmu". [Az-Zumar : 30-31]

Manusia sesudah mati, mereka nanti akan dibangkitkan kembali. Dalilnya firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Berasal dari tanahlah kamu telah Kami jadikan dan kepadanya kamu Kami kembalikan serta darinya kamu akan Kami bangkitkan sekali lagi" [Thaa-haa : 55]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan Allah telah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalamnya (lagi) dan (pada hari Kiamat) Dia akan mengeluarkan kamu dengan sebenar-benarnya". [Nuh : 17-18]

Setelah manusia dibangkitkan, mereka akan di hisab dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan mereka, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan hanya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat buruk sesuai dengan perbuatan mereka dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan (pahala) yang lebih baik (surga)".[An-Najm : 31]

Barangsiapa yang tidak mengimani kebangkitan ini, maka dia adalah kafir, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan, supaya tiada lagi suatu alasan bagi menusia membantah Allah sebelum (diutusnya), serta beliulah penutup para nabi". [An-Nisaa : 165]

"Artinya : Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakan : 'Tidaklah demikian. Demi Tuhanku, kamu pasti akan dibangkitkan dan niscaya akan diberitakan kepadamu apapun yang telah kamu kerjakan. Yang demikian itu adalah amat mudah bagi Allah". [At-Taghaabun : 7]

Allah telah mengutus semua rasul sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : (Kami telah mengutus) rasul-rasul menjadi penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan supaya tiada lagi suatu alasan bagi manusia membantah Allah setelah (diutusnya) para rasul itu .." [An-Nisaa : 165]

Rasul pertama adalah Nabi Nuh 'Alaihissalam [4], Dan rasul terkahir adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta beliaulah penutup para nabi.

Dalil yang menunjukkan bahwa rasul pertama adalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya .." [An-Nisaa : 163]

Dan Allah telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi Muhammad, dengan memerintahkan mereka untuk beribadat kepada Allah semata-mata dan melarang mereka beribadah kepada thagut. Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) :'Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah thagut itu ..". [An-Nahl : 36]

Dengan demikian, Allah telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya supaya bersikap kafir terhadap thagut dan hanya beriman kepada-Nya.

Ibnu Al-Qayyim [5], Rahimahullah Ta'ala, telah menjelaskan pengertian thagut tersebut dengan mengatakan.

"Artinya : Thagut, ialah setiap yang diperlakukan manusia secara melampui batas (yang telah ditentukan oleh Allah), seperti dengan disembah, atau diikuti atau dipatuhi".

Dan thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :

[1] Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
[2] Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
[3] Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
[4] Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
[5] Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah.

Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Tiada paksaan dalam (memeluk) agama ini. Sungguh telah jelas kebenaran dari kesesatan. Untuk itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang teguh dengan tali yang terkuat, yang tidak akan terputus tali itu. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al-Baqarah : 256]

Ingkar kepada semua thagut dan iman kepada Allah saja, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tadi, adalah hakekat syahadat "Laa Ilaaha Ilallah".

Dan diriwayatkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Pokok agama ini adalah Islam [6], dan tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fi sabilillah". [Hadits Shahih riwayat Ath-Thabarani dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu, dan riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami Ash-Shahih, kitab Al-Imaan, bab 8]

Hanya Allah-lah Yang Mahatau. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad kepada keluarga dan para sahabatnya.


[Disalin dari buku Tiga Landasan Utama, Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal 27-36, Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Da'wah dan Penyuluhan
Urusan Penerbitan dan Penyebaran Kerajaan Arab Saudi]
_________
Foote Note.
[1] Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim terhadap diri mereka sendiri dalam ayat ini, ialah orang-orang penduduk Makkah yang sudah masuk Islam tetapi mereka tidak mau hijrah bersama Nabi, padahal mereka mampu dan sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir supaya ikut bersama mereka pergi ke perang Badar, akhirnya ada diantara mereka yang terbunuh.
[2] Abu Muhammad Al-Husein bin Mas'ud bin Muhammad Al-Farra' atau Ibnu Al-Farra'. Al Baghawi (436-510H - 1044-1117M). Seorang ahli dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Di antara karyanya : At-Tahdziib (fiqh), Syarh As-Sunnah (hadits), Lubaab At-Ta'wiil fi Ma'aalim At-Tanziil (tafsir).
[3] Maksudnya, adalah hari Jum'at ketika wukuf di Arafah, pada waktu Haji Wada.
[4] Selain dalil dari Al-Qur'an yang disebutkan Penulis, yang menunjukkan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama, di sana juga ada hadits shahih yang menyatakan bahwa Nabi Nuh adalah rasul pertama yang di utus kepada penduduk bumi ini, seperti hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al-Anbiya, bab 3 dan riwayat Muslim dalam Shahih-nya kitab Al-Iman, bab. 84. Adapun Nabi Adam Alaihissalam, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari, Radhiyallahu anhu. Beliau adalah nabi pertama. Dan disebutkan dalam hadits ini bahwa jumlah para nabi ada 124 ribu orang, dari jumlah tersebut sebagai rasul 315 orang, dan dalam riwayat lain disebutkan 310 orang lebih. Lihat : Imam Ahmad, Al-Musnad, jilid 5, hal. 178, 179 dan 265.
[5] Abu Abdillah : Muhammad bin Abu Bakar, bin Ayyub, bin Said, Az-Zur'i,Ad-Dimasqi, terkenal dengan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (691-751H - 1292 - 1350M). Seorang ulama yang giat dan gigih dalam mengajak umat Islam pada zamannya untuk kembali kepada tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah serta mengikuti jejak para Salaf Shalih. Mempunyai banyak karya tulsi, antara lain : Madaarij As-Salikin, Zaad Al-Ma'aad, Thariiq Al-Hijratain wa Baab As-Sa'aadatain, At-Tibyaan fi Aqwaam Al-Qur'aan, Miftah Daar As-Sa'aadah.
[6] Silahkan melihat kembali pengertian Islam yang disebutkan oleh Penulis, dalam Tiga Landasan Utama bagian 3/4


0 comments

Ashlu As-Sunnah Wa I'tiqadu Ad-Din, Pokok-Pokok Sunnah Dan I'tiqad Agama


ASHLU AS-SUNNAH WA I'TIQADU AD-DIN
Pokok-pokok Sunnah dan I'tikad Agama,
Dikumpulkan oleh Ibnu Abi Hatim Ar Razi (240-327 H)



Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah radhiyallahu 'anhuma tentang madzhab Ahlus Sunnah dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) juga tentang pemahaman para ulama di berbagai kota yang mereka berdua ketahui, serta apa saja yang mereka berdua yakini. Maka, keduanya berkata: Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh kota baik di Hijaz, Irak, Mesir, Syam, maupun Yaman, maka di antara madzhab yang mereka anut adalah,[1]

1) Imam itu berupa perkataan dan perbuatan[2], bertambah dan berkurang.[3]

2) Al-Qur'an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, dalam segala aspeknya.[4]

3) Takdir yang baik maupun yang buruk adalah dari Allah 'Azza wa Jalla.[5]

4) Di kalangan ummat ini, sebaik-baik orang setelah nabi mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Al-Khaththab, lalu Utsman bin Affan, lalu Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridhai mereka semua-. Mereka Khulafaur Rasyidun Al-Mahdiyun para khalifah yang berpegang teguh kepada agama dan mengikuti kebenaran.[6]

5) Bahwa sepuluh sahabat yang disebut dan dinyatakan oleh Rasulullah -semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya-, masuk jannah, mereka itu sesuai dengan pernyataan beliau [7] dan perkataan beliau itu benar.

6) Memintakan rahmat [8] bagi seluruh sahabat serta keluarga nabi Muhammad -semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya-, serta menahan pembicaraan dari perselisihan yang terjadi di antara mereka.

7) Bahwa Allah 'Azza wa Jalla berada di atas 'Arsy-Nya [9], terpisah dari seluruh makhluk-Nya, sebagaimana sifat yang diinformasikan-Nya dalam kitab-Nya melalui lisan Rasul-Nya - semoga allah mebmerikan shalawat dan salam kepadanya-, tanpa diketahui kaif (bagaimana) nya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

8) Allah Tabaraka wa Ta'ala akan dapat dilihat di akhirat [10]. Segenap penduduk jannah akan melihat-Nya dnegan mata kepala mereka. Allah berbicara, sebagaimana Dia berkehendak.

9) Jannah adalah benar dan neraka adalah benar (adanya). Keduanya adalah makhluk yang kekal abadi.[11] Jannah adalah balasan bagi para wali-Nya sedangkan neraka adalah hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, kecuali yang mendapatkan rahmat-Nya.

10) Shirath adalah benar.[12]

11) Mizan (timbangan), yang memiliki dua sisi timbangan untuk menimbang amalan para hamba, yang baik maupun yang buruk adalah benar.[13]

12) Haudh (telaga) yang dijadikan sebagai penghormatan bagi Nabi -semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya-dan segenap keluarganya adalah benar. [14]

13) Syafa'at adalah benar. Dan bahwa sebagaian ahli tauhid keluar dari neraka berkat adanya syafa'at adalah benar.[15]

14) Adzab kubur adalah benar.[16]

15) Munkar dan Nakir adalah benar.[17]

16) Malaikat mulia yang mencatat amal perbuatan manusia adalah benar.[18]

17) Kebangkitan setelah mati adalah benar.[19]

18) Para pelaku dosa besar berada dalam masyi'ah (kehendak) Allah subhana wa ta'ala. Kita tidak mengkafirkan ahli kiblah disebabkan dosa mereka. Kita menyerahkan urusan batin mereka kepada allah subhana wa ta'ala.

19) Kita melaksanakan kewajiban jihad dan haji bersama imam- imam kaum muslimin, di setiap masa.

20) Kita tidak boleh melakukan pembelotan terhadap para imam atau peperangan di masa fitnah.

21) Kita mendengar dan mentaati siapa saja yang dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin kita. Kita tidak akan melepaskan diri dari ketaatan.

22) Kita mengikuti sunnah dan jamaah serta menghindari sikap menyimpang, perselisihan, dan perpecahan.

23) Jihad berlaku semenjak Allah mengutus nabiNya –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepadanya- hingga terjadinya hari kiamat, bermasa imam-imam kaum muslimin, tanpa ada sesuatupun yang menghapuskannya.

24) Demikian pula haji.

25) Begitu pula pembayaran zakat saimah [20] kepada imam kaum muslimin yang menjadi pemimpin bagi kita.

26) Pada aslinya manusia secara umum digolongkan mukmin berdasarkan hukum-hukum dan pewarisan, adapun hakekat keimanan maka di sisi Allah tidaklah diketahui. Barangsiapa yang berkata bahwa ia seorang mukmin sejati, maka ia adalah orang

yang berbuat bid'ah. Barangsiapa yang berkata bahwa ia adalah orang yang mukmin di sisi Allah, maka ia termasuk pendusta. Sedangkan orang yang mengatakan "saya beriman kepada Allah", maka yang dilakukannya itu benar.[21]

27) Kaum murji'ah adalah kaum yang berbuat bid'ah dan tersesat.

28) Kaum qadariah adalah kaum yang berbuat bid'ah dan tersesat. Barangsiapa di antara mereka yang menyatakan bahwa Allah Ta'ala tidak mengetahui apa yang akan terjadi sebelum terjadinya, maka ia kafir.

29) Kaum Jahmiyah adalah kafir.[22]

30) Kaum rafidhah adalah kaum yang menolak Islam.

31) Kaum khawarij adalah kaum yang meluncur keluar dari agama.[23]

32) Barangsiapa menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, maka ia orang yang kafir kepada Allah Yang Maha Agung; dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari millah. Barangsiapa yang faham tetapi meragukan kekafirannya, maka ia kafir.

33) Barangsiapa yang ragu terhadap kalam Allah 'Azza wa Jalla, bimbang mengenainya dan mengatakan, "saya tidak tahu apakah makhluk ataukah bukan makhluk", maka ia orang yang berfaham jahmiyah.

34) Orang yang bimbang mengenai Al-Qur'an dikarenakan kebodohan, maka musti diajari dan dibid'ahkan, tetapi tidak dikafirkan.

35) Barangsiapa yang mengatakan "Bacaan Al-Qur'an-ku adalah makhluk" atau "Al-Qur'an dengan bacaanku adalah makhluk" maka ia adalah orang yang berfaham jahmiyah.

Syaikh Abu Thalib berkata: Ibrahim bin Umar berkata: ali bin Abdul Aziz berkata: Abu Muhammad berkata:

Saya mendengar ayahku -semoga Allah meridhainya- berkata:

36) Tanda-tanda ahli bid'ah adalah mengumpat ahlul atsar (orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah. Pent)

37) Tanda-tanda orang zindiq adalah mereka mennyebut ahlul atsar sebagai kaum hasywiyah, karena ingin mengpuskan sunnah.

38) Tanda-tanda kaum jahmiyah adlah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum musyabbihah.

39) Tandak-tanda kaum qadariyah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum yang berfaham jabriyah.

40) Tanda-tanda kaum murji'ah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum mukhalifah (yang suka mempertentangkan) atau nuqshaniyah (yang suka mengurangi).

41) Tanda-tanda kaum rafidhah adalah mereka menyebut ahlus sunnah sebagai kaum tsaniyah.

42) Dalam perkara in telah tersesat banyak kelompok (dalam memahami ahlus sunnah), padahal ahlus sunnah hanya menyandang satu nama dan nama-nama ini semua tidak mungkin menyatu (ada) pada mereka.

43) Abu Muhammad bercerita kepada kami, katanya: Dan saya mendengar ayahku dan Abu Zur'ah mengisolasi orang yang memiliki pemahaman yang menyimpang dan melakukan bid'ah, menyalahkan pendapat mereka dengan keras, menolak penulisan buku-buku dengan pendapat tanpa berdasarkan atsar, melarang berteman dengan ahli kalam atau membaca buku-buku mutakallimin, serta berkata: "Penganut ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya."

Telah saya sampaikan semuanya, dan segala puji bagi Allah Rabb semua alam, semoga allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad -shalallahu 'alaihi wasallam- dan para keluarganya. Akhir Kitab I'tiqaduddin.

[Disalin dari Kitabu Ashlussunnah wa Itiqadudien, Penulis Ibnu Abi Hatim Ar-Razi (240-234H), Penerbit Darusy Syarif Linnasyri wat Tauzi, Edisi IndonesiaKitab Ashlussunnah, Penerjemah Hawin Murtadla, Penerbit Darussunnah – Solo]
_________
Foote Note
[1]. Periwayatan hadits diatas dapat dilihat pada text asli dalam bahasa arabnya
[2]. Perkataan (ucapan) dengan lisan, keyakinan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan
[3]. Banyak dalil mengenai hal itu, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala : “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya” [Muhammad : 12]. Allah Ta’ala juga berfriman : “ Dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya” [Al-Muddatstsir : 31]. Dia juga berfirman pula : “Dan apabila kepada mereka dibacakan ayat-ayatNya, maka bertambahlah iman mereka” [Al-Anfal : 2]
[4]. Ia dihafap di dalam dada, diucapkan dengan lidah, dan ditulis di berbagai mushaf. Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu makhluk, maka ia adalah seorang penganut faham Jahmiyah yang sesat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersepakat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.

Peringatan.
Sebagian ahlul ahwa dan orang-orang yang hatinya sakit, menyatakan bahwa Al-Imam Al-Bukhari berkata : “Bacaan al-Qur’anku adalah makhluk”. Pernyataan ini merupakan kebohongan dan kedustaan yang diatasnamakan Al-Bukhari Abu Abdillah “ Sang Matahari Agama dan Dunia” rahimahullah. Itu tidak lain merupakan perkataan orang-orang yang memusuhi dan dengki. Muhammad bin Nashr berkata : Saya pernah mendengar Muhammad bin Ismail Al-Bukhari berkata : “Barangsiapa menyatakan aku pernah mengatakan : ‘Bacaan al-Qur’anku adalaha makhluk maka sesungguhnya ia adalah seorang pendusta. Sungguh aku tidak pernah mengatakannya”. Maka, saya bertanya kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, orang-orang banyak sekali memperbincangkan hal ini. “Ia menjawab : “Yang benar hanyalah apa yang kukatakan ini. “Lihat Hadyus Sari Muqaddimah Fathul Bari 492, Thabaqat Al-Hanabilah 1/277, Siyar A’lam An-Nubala XII/457, Mukhtashar Ash-Shawa’iq, Ibnul Qayyim
[5]. Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya, segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir” [Al-Qamar : 49]. Takdir adalah rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang tidak menerima ketentuan dan takdir Allah dengan ridha, maka hidupnya tidak akan tenang.
[6]. Mengenai hal itu terdapat beberapa hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda : “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin sesudahku”. Riwayat ini melalui jalur Al-Irbadh bin Sariyah. Adapula riwayat dari Ibnu Umar yang berkata : Kami berkata sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup : Sebaik-baik ummat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman”. Muttafaqun Alaih.
[7]. Ada beberapa atsar yang diriwayatkan mengenai hal itu. Dari Sa’id bin Zaid yang berkata : Saya bersaksi atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa saya pernah mendengar beliau bersabda : “Sepuluh orang ada di Jannah : Nabi di Jannah, Abu Bakar di Jannah, Umar di Jannah, Utsman di Jannah, Ali di Jannah, Thalhah di Jannah, Sa’ad bin Malik di Jannah, Abdurrahman bin Auf di Jannah. Bila aku mau, akan kusebutkan yang kesepuluh”, Para sahabat bertanya : “Siapakah dia ?”. Beliau bersabda : “Sa’id bin Zaid”. Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunah selain An-Nasa’i. Ada pula riwayat yang menyebutkan kesepuluh orang itu, dari jalur Abdurrahman bin Auf pada riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad shahih. Di situ yang kesepuluh adalah Az-Zubair bin Al-Awwam Radhiyallahu ‘anhu.
[8]. Memintakan kasih sayang dan ridha untuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan salah satu sifat hamba-hamba Allah yang beriman dan bertakwa, yang di dalam hati mereka tidak terdapat kebencian, kemunafikan dan kedengkian. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak memintakan rahmat dan ridho Allah untuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan mereka semua berada di Jannah berdasarkan keterangan dari nash al-Qur’an. “Dan Allah menjanjikan, untuk masing-masing al-husna (kebaikan). Al-husna (kebaikan) disini aartinya Jannah. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri tyelah menyatakan keridhaanNya kepada mereka. “Allah meridahi mereka, dan merekapun ridha kelada Allah”
[9]. Bersemayamnya Allah diatas Arsy-Nya disebutkan dalam tujuh tempat di al-Qur’an : Al-A’raf : 56, Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Thaha : 5, Al-Furqon : 59, As-Sajdah : 4, Al-Hadid : 4
[10]. Allah Ta’ala berfirman :”Wajah0wajah mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat” [Al-Qiyamah : 22-23]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :”Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan pada malam purnama …” Hadits ini terdapat dalam kitab-kitab shahih.
[11]. Dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 476-477, Imam Ath-Thahawi berkata : “Ahlus Sunnah bersepakat bahwa Jannah dan Neraka adalah dua makhluk Allah yang sekarang telah ada…” Kemudian beliau menyebutkan banyak dalil, diantaranya Allah Ta’ala berfirman : “Telah disediakan (Jannah itu) bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran : 133]. Dia Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman : “Yang telah dsiediakan (Jahannam itu) bagi orang-orang kjafir” [Ali-Imran : 131]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan kisah Isra dan Mi’raj : “Kemudian, saya memasuki Jannah, ternyata ia berupa bukit-bukit permata” Diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Peringatan penting:
Salah satu kesalahan yang banyak menimpa para tokoh adalah penisbatan pendapat mengenai ketidak kekalan Neraka, kepada Al-Hafizh Ibnul Qayyim Rahimahullah hal itu telah diinformasikan kepada kita oleh DR Bakr Abu Zaid dalam bukunya, “At-Ta’alum Wa Atsaruha ‘Ala Al-Fikr wal Kitab”, hal. 100-101.
[12]. Shirat adalah jembatan di atas Jahannam. Kita memohon kesentosaan dan keselamatan kepada Allah. Mengenai itu terdapat banyak hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab shahih, sunan, musnad dan mu’jam. Lihat buku kami : “Asy-Syafa’ah wa Bayaanul Ladzina Yasyfa’un”.
[13]. Allah Ta’ala berfirman : “Kami memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat” [Al-Anbiya : 47]. Ayat-ayat atau hadits-hadits mengenai hal ini telah diketahui.
[14]. Hadits-hadits mengenai telaga ini mencapai derajat mutawatir, diriwayatkan oleh lebih dari tigapuluh sahabat. Lihat “Al-Hidayah wan Nihayah” Ibnu Katsir, As-Sunnah, Ibnu Abu Syaibah, dan Ma’arij Al-Qabul, Al-Hakamiy. Dari Anas bin Malik yang berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Periuk di telagaku besarnya antara Ailah hingga Shan’a di Yaman. Di siana terdapat tempat air sebanyak jumlah bintang-bintang di langit”, Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.
[15] Lihat buku kami, “Asy-Syafa’ah wa Bayanul Ladzina Yasyfa’un kama Warad fil Qur’an was Sunnah Ash-Shahihah”
[16]. Terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal itu. Barangsiapa menyangka bahwa hadits-hadits tersebut tergolong hadits ahad, maka ia keliru.
[17]. Namanya disebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan sanad hasan, dari Abu Hurairah.
[18]. Allah Ta’ala berfirman : “Dan sesungguhnya bagi kamu ada malaikat-malaikat yang mengawasi. Yang mulia dan mencatat” [Al-Infuthar : 10-11]
[19]. Penyebutan tentang kebangkitan ini banyak sekali terdapat dalam Al-Kitab Al-Aziz, khususnya dalam surat-surat Makiyah, demikian pula dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[20]. Saimah adalah binatang-binatang ternak baik itu unta, sapi maupun kambing, yang digembalakan di padang maupun tanah kosong selam satu tahun atau lebih.
[21] Barangsiapa yang ingin lebih mendalami kajian masalah ini, hendaklah ia membaca Aqidah Thahawiyah hal. 390-395
[22]. Jahmiyah adalah nama yang dinisbahkan kepada Jahm bin Shofwan. Dialah orang yang menyatakan peniadaan dan penolakan sifat-sifat Allah.
[23]. Dan mereka adalah anjing penduduk neraka, sebagai mana yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari.

Sumber : Majalah adz Dzakirah
0 comments

Tingkatan Islam, Tingakatan Iman Dan Tingkatan Ihsan

TIGA LANDASAN UTAMA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Bagian Ketiga dari Empat Tulisan [3/4]



MENGENAL ISLAM

Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.

I. Tingkatan Islam

Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :

  • Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa "Laa Ilaaha Ilallaah" (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.
  • Mendirikan shalat.
  • Mengeluarkan zakat.
  • Shiyam pada bulan Ramadhan.
  • Haji ke Baitullah Al-Haram.

[1]. Dalil Syahadat.

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Allah menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Dia, dengan senantiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan (yang haq) selain Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [Al-Imraan : 18]

"Laa Ilaaha Ilallaah"' artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allah.

Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. "Laa Ilaaha", adalah menolak segala sembahan selain Allah. "Illallaah" adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.

Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya : 'Sesungguhnya aku menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku, karena sesungguhnya Dia akan menunjuki'. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka senantiasa kembali (kepada tauhid)". [Az-Zukhruf : 26-28]

"Artinya : Katakanlah (Muhammad) : 'Hai ahli kitab ! Marilah kamu kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu ; hendaklah kita tidak menyembah selain Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya serta janganlah sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka :'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim (menyerahkan diri kepada Allah)". [Ali 'Imran : 64]

Adapun dalil syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan kamu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman". [At-Taubah : 128]

Syahadat bahwa Muhammad adalah Rasulullah, berarti : mentaati apa yang diperintahkannya, membenarkan apa yang diberitakannya, menjauhi apa yang dilarang serta dicegahnya, dan menyembah Allah hanya dengan cara yang disyariatkannya.

[2]. Dalil Shalat dan Zakat serta tafsiran Tauhid.

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya lagi bersikap lurus, dan supaya mereka mendirikan Shalat serta mengeluarkan Zakat. Demikian itulah tuntunan agama yang lurus". [Al-Bayyinah : 5]

[3]. Dalil Shiyam

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu untuk melakukan shiyam, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa". [Al-Baqarah : 183]

[4]. Dalil Haji.

Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Dan hanya untuk Allah, wajib bagi manusia melakukan haji, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan barangsiapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha tidak memerlukan semsesta alam". [Al 'Imran : 97)]

II. Tingkatan Iman.

Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat "Laa Ilaaha Ilallaah", sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang Iman.

Rukun Iman ada enam, yaitu :
  • Iman kepada Allah.
  • Iman kepada para Malaikat-Nya.
  • Iman kepada Kitab-kitab-Nya.
  • Iman kepada para Rasul-Nya.
  • Iman kepada hari Akhirat, dan
  • Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Dalil keenam rukun ini, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Berbakti (dari Iman) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu (dalam shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan Iman) yang sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi..." [Al-Baqarah : 177]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar". [Al-Qomar : 49]

III. Tingkatan Ihsan.

Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :

"Artinya : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu". [Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, sebagaimana akan disebutkan]

Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan". [An-Nahl : 128]

Dan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Asy-Syu'araa : 217-220]

Serta firman-Nya.

"Artinya : Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur'an yang kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain kami adalah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya". [Yunus : 61]

Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril[1] yang masyhur, yang diriwayatkan dari 'Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, dan berkata : 'Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam', maka beliau menjawab :'Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana'. Lelaki itu pun berkata : 'Benarlah engkau'. Kata Umar :'Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : 'Beritahulah aku tenatng Iman'. Beliau menjawab :'Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk'. Ia pun berkata : 'Benarlah engkau'. Kemudian ia berkata : 'Beritahullah aku tentang Ihsan'. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu'. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : 'Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya'. AKhirnya ia berkata :'Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu'. Beliau menjawab : Yaitu : 'Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi'. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : 'Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian". [2]


[Disalin dari buku Tiga Landasan Utama, Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hal 18-26, Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Da'wah dan Penyuluhan Urusan Penerbitan dan Penyebarab Kerajaan Arab Saudi]
________
Fote Note.
[1] Disebut hadits jibril, karena jibril-lah yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan menanyakan kepada beliau tentang, Islam, Iman dan masalah hari Kiamat. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin tentang masalah-masaalah agama.
[2]. [Hadits Riwayat Muslim dalam Shahihnya, kitab Al-Iman, bab 1, hadits ke 1. Dan diriwayatkan juga hadits dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Iman, bab 37, hadits ke 1.

0 comments

Mengenal Allah, Mengenal NabiNya Dan Mengenal Agama Islam Berdasarkan Dalil-Dalil

TIGA LANDASAN UTAMA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Bagian Pertama dari Empat Tulisan [1/4]



Muqaddimah

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.

Ketahuilah, bahwa wajib bagi kita untuk mendalami empat masalah, yaitu :

[1] Ilmu, ialah mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya dan mengenal agama Islam berdasarkan dalil-dalil.
[2] Amal, ialah menerapkan ilmu ini.
[3] Da'wah, ialah mengajak orang lain kepada ilmu ini.
[4] Sabar, ialah tabah dan tangguh menghadapi segala rintangan dalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan berda'wah kepadanya.

Dalilnya, firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Demi masa. Sesungguhnya setiap manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, melakukan segala amal shalih dan saling nasihat-menasihati untuk (menegakkan) yang haq, serta nasehat-menasehati untuk (berlaku) sabar". [Al-'Ashr : 1-3].

Imam Asy-Syafi'i [1] Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Seandainya Allah hanya menurunkan surah ini saja sebagai hujjah buat makhluk-Nya, tanpa hujjah lain, sungguh telah cukup surah ini sebagai hujjah bagi mereka".

Dan Imam Al-Bukhari [2] Rahimahullah Ta'ala, mengatakan :"Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan".

Dalilnya firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka ketahuilah, sesungguhnya tiada sesembahan (yang haq) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu". [Muhammad : 19]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan terlebih dahulu untuk berilmu (berpengetahuan) .... .." [3] sebelum ucapan dan perbuatan.


Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda.

Dan ketahuilah, bahwa wajib bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari dan mengamalkan ketiga perkara ini :

[1] Bahwa Allah-lah yang menciptakan kita dan yang memberi rizki kepada kita. Allah tidak membiarkan kita begitu saja dalam kebingungan, tetapi mengutus kepada kita seorang rasul, maka barangsiapa mentaati rasul tersebut pasti akan masuk surga dan barangsiapa menyalahinya pasti akan masuk neraka.

Allah Ta'ala berfirman :"Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir'aun seorang rasul, tetapi Fir'aun mendurhakai rasul itu, maka Kami siksa ia dengan siksaan yang berat". [Al-Muzammil : 15-16]

[2] Bahwa Allah tidak rela, jika dalam ibadah yang ditujukan kepada-Nya, Dia dipersekutukan dengan sesuatu apapun, baik dengan seorang malaikat yang terdekat atau dengan seorang nabi yang diutus manjadi rasul. Allah Ta'ala berfirman :"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang-pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah". [Al-Jinn : 18]

[3] Bahwa barangsiapa yang mentaati Rasulullah serta mentauhidkan Allah, tidak boleh bersahabat dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu keluarga dekat.

Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah mantapkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan mereka akan dimasukkan-Nya ke dalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung". [Al-Mujaadalah : 22]

Akhi (Saudaraku).
Semoga Allah mebimbing anda untuk taat kepada-Nya.

Ketahuilah, bahwa Islam yang merupakan tuntunan Nabi Ibrahim adalah ibadah kepada Allah semata dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Itulah yang diperintahkan Allah kepada seluruh umat manusia dan hanya itu sebenarnya mereka diciptakan-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku". [Adz-Dzaariyaat : 56]

Ibadah dalam ayat ini, artinya : Tauhid. Dan perintah Allah yang paling agung adalah Tauhid, yaitu : Memurnikan ibadah untuk Allah semata-mata. Sedang larangan Allah yang paling besar adalah syirik, yaitu : Menyembah selain Allah di samping menyembah-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya". [An-Nisaa : 36]

Kemudian, apabila anda ditanya : Apakah tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh manusia ? Maka hendaklah anda jawab : Yaitu mengenal Tuhan Allah 'Azza wa Jalla, mengenal agama Islam, dan mengenal Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


[Disalin dari buku Tiga Landasan Utama, Oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hal 5-9, Kementrian Urusan Islam, Waqaf, Da'wah dan Penyuluhan Urusan Penerbitan dan Penyebaran Kerajaan Arab Saudi]
________

Fote Note.


[1] Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syafi'i Al-Hasyim Al-Quraisy Al-Muthallibi (150-204H - 767-820M) Salah seorang imam empat. Dilahirkan di Gaza (Palestina) dan meninggal di Cairo. Diantara karya ilmiyahnya Al-Umm, Ar-Risalah dan Al-Musnad.
[2] Abu 'Abdillah Miuhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al- Bukhari (194-256H - 810-870M) Seorang Ulama ahli Hadits. Untuk mengumpulkan hadits ia telah menempuh perjalanan yang panjang, mengunjungi Khurasan, Irak, Mesir dan Syam. Kitab-kitab yang disusunnya antara lain Al-Jaami Ash-Shahih (yang lebih dikenal dengan Shahih Bukhari), At-Taarikh, Adh-Dhu'afaa, Khalq Af'aal al-Ibaad.
[3] Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-'ilm, bab.10


0 comments

Antara Roja’ dan Khouf (Kedua)

Antara Roja’ dan Khouf (Kedua)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi



Bentuk-bentuk ketertipuan/ghurur


Salah satu sumber kebodohan dan ketertipuan mereka itu adalah ketika mereka mengandalkan sebagian amal perbuatan yang utama seperti yang tercantum dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mengucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali setiap hari niscaya dihapuskan kesalahan-kesalahannya meskipun banyak sekali seperti buih di lautan.” (Muttafaq ‘alaih). Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ‘Azza wa Jalla mengenai seorang yang berbuat dosa lalu beristighfar, “Hamba-Ku tahu bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukum karenanya, Aku telah ampuni hamba-Ku dan hendaklah dia berbuat apa saja yang dikehendakinya.” (Muttafaq ‘alaih). Dan juga seperti ketertipuan sebagian dari mereka yang mengandalkan amalan puasa ‘Asyuraa’ atau hari Arafah sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata, “Puasa hari ‘Asyuraa’ menghapuskan dosa setahun seluruhnya maka tinggallah puasa arafah sebagai tambahan pahala.” Orang yang tertipu ini tidak menyadari bahwa puasa Ramadhan dan shalat lima waktu yang jelas lebih agung dan lebih mulia daripada puasa hari ‘Arafah dan puasa hari ‘Asyuraa’ tidak akan dapat menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali apabila dosa-dosa besar ditinggalkan! Sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat lima waktu yang satu dengan lainnya, ibadah Jumat menuju Jumat yang lain, Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya, menjadi penghapus dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)


Maka Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya dan shalat Jumat yang satu menuju Jumat berikutnya tidaklah mampu menghapuskan dosa-dosa kecil kecuali disertai dengan meninggalkan dosa besar seluruhnya, sehingga kedua perkara ini bisa saling menguatkan satu dengan yang lain. Lalu bagaimana mungkin puasa sunnah atau ucapan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali yang dikerjakan bisa menghapus dosa-dosa besar yang dilakukan hamba sedangkan dia tetap melanjutkan kemaksiatannya tanpa pernah bertaubat kepada-Nya? Ini sesuatu yang amat mustahil. Terus menerus melakukan dosa-dosa besar menghalangi penghapusan dosa, dan karena itulah tidak ada alasan bagi orang yang mengatakan, “Aku akan berbuat dosa semauku, kemudian aku ucapkan subhaanallaahi wa bihamdihi 100 kali sehingga lenyaplah seluruh dosa yang telah kuperbuat.” Atau dengan mengatakan, “Aku akan melakukan dosa lantas pergi ke Mekkah dan menunaikan umrah sehingga hilanglah semua dosa yang ada pada diriku.” Ini termasuk sikap ghurur/tertipu, dan hal itu sebenarnya merupakan tindakan lancang kepada Allah ta’ala.

Husnuzhan adalah membaguskan amal

Sebagian di antara mereka terkadang mengatakan, “Sesungguhnya kita ini bersangka baik kepada Rabb kita, sebab Allah telah berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Sesungguhnya Aku menurut persangkaan baik hamba-Ku kepada-Ku.” (Muttafaq ‘alaih). Padahal tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya persangkaan baik itu seharusnya melahirkan amal yang baik pula.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bersangka baik terhadap Allah pada hakikatnya adalah dengan memperbaiki amal itu sendiri, karena sesungguhnya hamba terdorong membaguskan amalnya apabila dia memiliki husnuzhan kepada Rabbnya dan dia yakin Allah akan membalas amal-amalnya serta memberikannya pahala atas itu semua dan menerima amal itu darinya, semakin baik persangkaannya terhadap Allah maka semakin bagus pula amalnya, kalau tidak demikian maka husnuzhan saja dengan disertai mengikuti hawa nafsu adalah kelemahan… dan kebanyakan orang yang jahil menyandarkan dirinya kepada rahmat Allah, ampunan dan kemurahan-Nya dan melupakan bahwasanya Dia Maha keras hukumannya, dan mereka lupa kalau “Tidak ada yang bisa menolak siksa-Nya terhadap kaum yang berbuat dosa” dan barang siapa yang bersandar kepada ampunan Allah sementara dia masih terus menerus di dalam dosanya maka dia itu telah berani menobatkan diri sebagai penentang kebijakan Allah.

Terperdaya dengan curahan nikmat


Banyak manusia yang mengira dirinya berada di atas kebaikan dan dia termasuk orang yang selamat dan pemilik kebahagiaan pada hari kiamat disebabkan apa yang dilihatnya berupa nikmat-nikmat Allah yang dicurahkan kepadanya selama di dunia sehingga dia mengatakan, “Seandainya bukan karena Allah ‘azza wa jalla ridha kepadaku niscaya Dia tidak akan menganugerahkan nikmat-nikmat ini.” Si miskin ini meyakini kalau nikmat-nikmat ini datang dengan sebab kecintaan Allah kepadanya, dan dia merasa akan mendapat pemberian di akhirat yang lebih baik dari itu semua, padahal dia senantiasa bergelimang dalam kemaksiatan terhadap Allah, terjerumus dalam perkara-perkara yang diharamkan Allah dan ini merupakan sikap terperdaya/ghurur yang banyak manusia terjatuh ke dalamnya, bahkan kebanyakan masyarakat. Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila kamu melihat Allah ‘Azza wa Jalla melimpahkan kepada seorang hamba segala sesuatu yang disukainya di dunia sementara dia bergelimang kemaksiatan maka sesungguhnya itu adalah istidraaj” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’aam: 44) (Hadits riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani)

Sebagian salaf mengatakan, “Apabila kamu melihat Allah terus menurunkan nikmat-Nya kepadamu sementara kamu bergelimang kemaksiatan kepada-Nya maka waspadalah, karena sesungguhnya itu adalah istidraaj yang ditimpakan kepadamu” Allah ta’ala telah membantah orang yang menyimpan persangkaan seperti ini dengan firman-Nya yang artinya, “Adapun manusia jika Rabbnya mengujinya dengan memuliakannya dan memberikan nikmat kepadanya dia berkata Rabbku telah memuliakanku, adapun jika Rabbnya mengujinya dengan membatasi rizkinya dia berkata Rabbku telah menghinakan aku, sekali-kali tidak demikian.” (QS. al-Fajr: 15-17) artinya tidak semua orang yang Ku-karuniai nikmat (dunia) dan Ku-lapangkan rizkinya pasti orang yang Ku-muliakan, dan tidak setiap orang yang Ku-uji dan Ku-sempitkan rizkinya pasti orang yang Ku-hinakan, bahkan sebenarnya Aku menguji orang yang satu ini dengan nikmat-nikmat dan memuliakan yang satunya dengan adanya ujian. (Pembahasan ‘Waspadai pemahaman Murji’ah’ dst. diambil dari Kutaib ‘Isyruuna ‘Uqbatan fii Thoriiqil Muslim, dengan sedikit perubahan)

Sebab-sebab bertambahnya keimanan

Di antara hal-hal yang akan menumbuhsuburkan keimanan dan membuat batangnya kokoh serta menyebabkan tunas-tunasnya bersemi adalah:
Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap Tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagai konsekuensi yang diharapkan maka pastilah keimanan, rasa cinta dan pengagungan dirinya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat.

Merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun ayat syar’iyah. Karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemahakuasaan-Nya dan hikmah-Nya yang sangat elok itu maka tidak syak lagi niscaya keimanan dan keyakinannya akan semakin bertambah kuat.

Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Karena sesungguhnya pasang surut keimanan itu juga tergantung pada kebaikan, jenis dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik di sisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal itu terbagi menjadi amal yang wajib dan amal sunnah. Sedangkan amal wajib tentu lebih utama daripada amal sunnah apabila ditinjau dari jenisnya. Begitu pula ada sebagian amal ketaatan lebih ditekankan daripada amal yang lainnya. Sehingga apabila suatu ketaatan termasuk jenis ketaatan yang lebih utama maka niscaya pertambahan iman yang diperoleh darinya juga semakin besar. Demikian pula iman akan mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan jumlah/kuantitas amalan. Karena amal itu adalah bagian dari iman maka bertambahnya amal tentu saja akan berakibat bertambahnya keimanan.

Meninggalkan kemaksiatan karena merasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila keinginan dan faktor pendukung untuk melakukan suatu perbuatan atau ucapan maksiat semakin kuat pada diri seseorang maka meninggalkannya ketika itu akan memiliki dampak yang sangat besar dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas iman di dalam dirinya. Karena kemampuannya untuk meninggalkan maksiat itu menunjukkan kekuatan iman serta ketegaran hatinya untuk tetap mengedepankan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 104-105)

Sebab-sebab berkurangnya keimanan


Di antara sebab-sebab yang bisa menyebabkan keimanan seorang hamba menjadi turun dan surut atau bahkan menjadi hilang dan lenyap adalah sebagai berikut:
  • Bodoh tentang Allah ta’ala, tidak mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
  • Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama, tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat kauni maupun syar’i. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yang merasuki hati dan sekujur tubuhnya.
  • Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat.

Oleh karena itulah iman akan turun, melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orang yang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat melakukan satu maksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dan keruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masih menyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar, semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits, “Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat.” Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong. Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan maupun amalan fisik. Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yang semakin besar dan mengerikan. Bahkan terkadang dengan meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi dua. Pertama, ada yang menyebabkan hukuman atau siksa yaitu apabila yang ditinggalkan adalah berupa kewajiban dan tidak ada alasan yang hak untuk meninggalkannya. Kedua, sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksa karena meninggalkannya, seperti: meninggalkan kewajiban karena uzur syar’i (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera), atau tidak melakukan amal yang hukumnya mustahab/sunnah. Contoh untuk orang yang meninggalkan kewajiban karena uzur syar’i atau hissi adalah perempuan yang tidak shalat karena haidh. Sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat Dhuha (disadur dari Fathu Rabbil Bariyah, hal. 105-106)

Demikianlah, iman itu laksana sebuah pohon yang rindang. Dia memiliki benih dan akar yang tertanam di dalam tanah, batang yang kokoh menjulang, ranting serta dedaunan yang semakin menambah elok penampilan. Benih keimanan itu adalah pembenaran (terhadap wahyu) dan ketulusan hati. Dengan benih itulah hati akan hidup dan bertahan. Sementara cabang-cabangnya adalah amal. Dengan sebab amal itulah keimanan di dalam hati akan bertambah subur, kokoh terhunjam dan terus bertahan hidup. Setiap kali cabangnya bertambah banyak maka semakin elok dan sempurnalah pohon keimanan dalam diri seseorang. Akan tetapi apabila cabang-cabang itu telah patah dan berjatuhan satu demi satu, ranting dan dedaunannya juga ikut rontok dan layu maka pohon itu semakin tampak jelek dan tidak sedap dipandang, bahkan sudah hilanglah ciri-ciri kehidupan darinya. Sehingga apabila sudah tidak tersisa satu batang pun maka pohon itu pun kehilangan jati dirinya. Dan apabila benih itu tidak kunjung menumbuhkan batang baru dan cabang harapan, dan pasokan energi dari cahaya matahari tak lagi dia dapatkan. Maka diapun mengering dan terkubur di dalam timbunan tanah. Maka seperti itulah kurang lebih permisalan tentang kemaksiatan yang akan merusak citra dan jati diri sebuah pohon rindang yang bernama keimanan. Lalu siapakah yang mau, siapakah yang rela kehilangan citra dan jati diri bahkan kehilangan nafas dan ruh kehidupannya? (disadur dari At Tauhid li shaffits tsaani ‘aali, hal. 28)

Menyambut ajal


Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat menemui seorang pemuda yang sedang dalam kondisi menjelang maut. Beliau bertanya: “Bagaimana kau dapatkan dirimu?” Dia menjawab: “Aku berharap kepada Allah wahai Rasulullah. Dan aku takut akan dosa-dosaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah dua hal ini terkumpul dalam hati seorang hamba dalam kesempatan semacam ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan akan menyelamatkannya dari bahaya yang ditakutkannya.” (HR. Tirimidzi (983), Ibnu Majah (4261) dinilai hasan oleh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 2/420, lihat Hushulul Ma’muul, hal. 81-82)

Alhamdulillaahilladziibini’matihi tatimmushshalihaat

***


Artikel www.muslim.or.id

0 comments

Antara Roja’ dan Khouf (1)

Antara Roja’ dan Khouf (Pertama)
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi


Makna roja’ dan khouf secara bahasa


Roja’ berarti mengharapkan. Apabila dikatakan rojaahu maka artinya ammalahu: dia mengharapkannya (lihat Al Mu’jam Al Wasith, 1/333) Syaikh Utsaimin berkata: “Roja’ adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai dalam jangka pendek.” (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 57-58) Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan berkata: “Asal makna roja’ adalah menginginkan atau menantikan sesuatu yang disenangi…” (Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Khouf artinya perasaan takut yang muncul terhadap sesuatu yang mencelakakan, berbahaya atau mengganggu (lihat Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 56)


Makna roja’ dan khouf secara istilah


Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali berkata: “Roja’ adalah akhlak kaum beriman. Dan yang dimaksud dengannya adalah menginginkan kebaikan yang ada di sisi Allah ‘azza wa jalla berupa keutamaan, ihsan dan kebaikan dunia akhirat. Dan roja’ haruslah diiringi dengan usaha menempuh sebab-sebab untuk mencapai tujuan…” (Thariqul Wushul, hal. 136) Adapun roghbah ialah rasa suka mendapatkan sesuatu yang dicintai (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 59). Maka apabila seseorang berdoa dan menyimpan harapan yang sangat kuat tercapainya keinginannya maka inilah yang disebut dengan roghbah (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)

Sedangkan makna khouf secara istilah adalah rasa takut dengan berbagai macam jenisnya, yaitu: khouf thabi’i, dan lain sebagainya (akan ada penjelasannya nanti insya Allah) Adapun khosyah serupa maknanya dengan khouf walaupun sebenarnya ia memiliki makna yang lebih khusus daripada khouf karena khosyah diiringi oleh ma’rifatullah ta’ala. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Faathir: 28) Oleh sebab itu khosyah adalah rasa takut yang diiringi ma’rifatullah. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun aku, demi Allah… sesungguhnya aku adalah orang yang paling khosyah kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Bukhari, 5063, Muslim, 1108) Madaarijus Salikin,1/512, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79). Ar Raaghib berkata: Khosyah adalah khouf yang tercampuri dengan pengagungan. Mayoritas hal itu muncul didasarkan pada pengetahuan terhadap sesuatu yang ditakuti… (Al Mufradaat hal 149, dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 89) Adapun rohbah adalah khouf yang diikuti dengan tindakan meninggalkan sesuatu yang ditakuti, dengan begitu ia adalah khouf yang diiringi amalan… (Hushuulul Ma’muul, hal. 87)

Peranan roja’ dan khouf

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah ‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’ (harap). Yang terkuat di antara ketiganya adalah mahabbah. Sebab rasa cinta itulah yang menjadi tujuan sebenarnya. Hal itu dikarenakan kecintaan adalah sesuatu yang diharapkan terus ada ketika di dunia maupun di akhirat. Berbeda dengan takut. Rasa takut itu nanti akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk surga, pent). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS. Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adapun rasa cinta, maka itulah faktor yang akan menjaga diri seorang hamba untuk tetap berjalan menuju sosok yang dicintai-Nya. Langkahnya untuk terus maju meniti jalan itu tergantung pada kuat-lemahnya rasa cinta. Adanya rasa takut akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya, dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya. Ini semua merupakan kaidah yang sangat agung. Setiap hamba wajib memperahtikan hal itu…” (Majmu’ Fatawa,1/95-96, dinukil dari Hushulul Ma’muul, hal. 82-83). Syaikh Zaid bin Hadi berkata: “Khouf dan roja’ saling beriringan. Satu sama lain mesti berjalan beriringan sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan rahmat-Nya…” (Taisirul Wushul, hal. 136. lihat juga Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 60)

Apabila rasa takut hilang


Syaikhul Islam berkata: “Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya. Dan ternyata hawa nafsunya tidak bisa merasa senang dan puas dengan cara berdzikir dan beribadah kepada Allah maka dia pun memilih mencari kesenangan dengan hal-hal yang diharamkan yaitu berbuat keji, meminum khamr dan berkata dusta…” (Majmu’ Fatawa, 1/54,55) dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal.77)

Roja’ dan khouf yang terpuji


Syaikh Al ‘Utsaimin berkata: “Ketahuilah, roja’ yang terpuji hanya ada pada diri orang yang beramal taat kepada Allah dan berharap pahala-Nya atau bertaubat dari kemaksiatannya dan berharap taubatnya diterima, adapun roja’ tanpa disertai amalan adalah roja’ yang palsu, angan-angan belaka dan tercela.” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58) Syaikhul Islam berkata: “Khouf yang terpuji adalah yang dapat menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah. “Sebagian ulama salaf mengatakan: “Tidaklah seseorang terhitung dalam jajaran orang yang takut (kepada Allah) sementara dirinya tidak dapat meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan.” (Al Mufradaat fii Ghariibul Qur’an hal. 162 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 79)

Roja’ dan khouf adalah ibadah


Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang diseru oleh mereka itu justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57) Allah menceritakan kepada kita melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa hukuman-Nya (lihat Al Jadiid, hal. 71) Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka janganlah kalian takut kepada mereka (wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175) Di dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS. al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang (Majmu’ Fatawa, 1/57 dinukil dari Hushuulul Ma’muul, hal. 78)

Roja’ yang disertai dengan ketundukan dan perendahan diri


Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Roja’ yang disertai dengan perendahan diri dan ketundukan tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Memalingkan roja’ semacam ini kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa jadi syirik ashghar dan bisa jadi syirik akbar tergantung pada isi hati orang yang berharap itu…” (Syarh Tsalatsatu Ushul, hal. 58)

Mengendalikan khouf dan roja’


Syaikh Al ‘Utsaimin pernah ditanya: “Bagaimanakah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam urusan roja’ dan khouf ?” Beliau menjawab: “Para ulama berlainan pendapat apakah seseorang harus mendahulukan roja’ ataukah khouf ke dalam beberapa pendapat: Imam Ahmad rahimahullah berpendapat: “Seyogyanya rasa takut dan harapnya seimbang, tidak boleh dia mendominasikan takut dan tidak boleh pula mendominasikan roja’.” Beliau rahimahullah berkata: “Karena apabila ada salah satunya yang lebih mendominasi maka akan binsalah orangnya.” Karena orang yang keterlaluan dalam berharap akan terjatuh dalam sikap merasa aman dari makar Allah. Dan apabila dia keterlaluan dalam hal takut maka akan terjatuh dalam sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Sebagian ulama berpendapat: “Seyogyanya harapan lebih didominasikan tatkala berbuat ketaatan dan didominasikan takut ketika muncul keinginan berbuat maksiat.” Karena apabila dia berbuat taat maka itu berarti dia telah melakukan penyebab tumbuhnya prasangka baik (kepada Allah) maka hendaknya dia mendominasikan harap yaitu agar amalnya diterima. Dan apabila dia bertekad untuk bermaksiat maka hendaknya ia mendominasikan rasa takut agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat.

Sebagian yang lain mengatakan: “Hendaknya orang yang sehat memperbesar rasa takutnya sedangkan orang yang sedang sakit memperbesar rasa harap.” Sebabnya adalah orang yang masih sehat apabila memperbesar rasa takutnya maka dia akan jauh dari perbuatan maksiat. Dan orang yang sedang sakit apabila memperbesar sisi harapnya maka dia akan berjumpa dengan Allah dalm kondisi berbaik sangka kepada-Nya. Adapun pendapat saya sendiri dalam masalah ini adalah: hal ini berbeda-beda tergantung kondisi yang ada. Apabila seseorang dikhawatirkan dengan lebih condong kepada takut membuatnya berputus asa dari rahmat Allah maka hendaknya ia segera memulihkan harapannya dan menyeimbangkannya dengan rasa harap. Dan apabila dikhawatirkan dengan lebih condong kepada harap maka dia merasa aman dari makar Allah maka hendaknya dia memulihkan diri dan menyeimbangkan diri dengan memperbesar sisi rasa takutnya. Pada hakikatnya manusia itu adalah dokter bagi dirinya sendiri apabila hatinya masih hidup. Adapun orang yang hatinya sudah mati dan tidak bisa diobati lagi serta tidak mau memperhatikan kondisi hatinya sendiri maka yang satu ini bagaimanapun cara yang ditempuh tetap tidak akan sembuh.” (Fatawa Arkanil Islam, hal. 58-59)

Macam-macam khouf

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan, Takut itu ada tiga macam:


1. Khouf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya dicela…. akan tetapi apabila rasa takut ini …. menjadi sebab dia meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.

2. Khouf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik akbar.

3. Khouf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 57)

Waspadai pemahaman Murji’ah


Kebanyakan manusia terjatuh di dalamnya kecuali orang-orang yang dirahmati Allah. Yaitu apabila seorang insan tidak lagi menyadari bahwa kemaksiatan itu membahayakan agama, kehidupan dunia dan akhiratnya. Padahal sesungguhnya maksiat adalah penyebab turunnya murka Allah padanya dan dia akan menghadapi berbagai macam bencana karenanya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang artinya, “Dan bencana apapun yang menimpamu maka sesungguhnya itu terjadi karena ulah tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (QS. asy-Syuura: 30). Meskipun demikian, ternyata banyak manusia dikalahkan oleh hawa nafsunya sehingga diapun melakukan berbagai kemaksiatan dan keburukan, terkadang disertai dengan menggantungkan harapannya terhadap pemaafan dan ampunan dari Allah, dan terkadang dengan cara menunda-nunda taubat, terkadang dengan cara beristighfar lisannya akan tetapi senantiasa mengulangi kemaksiatannya, atau terkadang dengan cara menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang disunnahkan (sementara yang wajib diabaikan -pent) atau dengan cara beralasan dengan takdir, dan kebanyakan orang mengira seandainya dia berbuat dosa apapun lantas dia mengucapkan Astahghfirullah maka dengan begitu dosanya akan sirna tanpa menyisakan bekas sesudahnya.

Iman terdiri dari keyakinan, ucapan dan perbuatan


Faktor penyebab mereka terjatuh dalam kesalahan seperti itu adalah karena mereka meyakini bahwa iman itu maknanya sekedar tashdiq/pembenaran saja, dan tidak ada kemaksiatan yang dapat membahayakan keberadaan tashdiq selama iman ada di hati mereka. Sedangkan hakikat keimanan menurut para pengikut kebenaran tegak di atas tiga pilar: Keyakinan dengan hati, Ucapan dengan lisan, Perbuatan dengan anggota badan. Dan amal perbuatan itu termasuk dalam substansi keimanan, iman bisa bertambah dan bisa berkurang, bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.

Harapan yang dusta


Para pelaku maksiat itu berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi (untuk menutupi kesalahan mereka -pent) seperti dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa” (QS. az-Zumar: 53). Ibnul Qayyim mengatakan, “Pernyataan ini termasuk kebodohan yang paling buruk, sebab syirikpun termasuk dalam cakupan ayat ini padahal dia adalah biangnya dosa dan pokoknya. Dan tidak ada perselisihan di kalangan para ulama bahwasanya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang bertaubat. Karena Allah mengampuni dosa setiap orang yang bertaubat dari dosa apapun yang telah dilakukannya. Kalaulah seandainya ayat ini berlaku bagi orang-orang yang tidak bertaubat niscaya nash-nash (dalil) yang berisi ancaman seluruhnya tidak ada gunanya … di dalam surat an-Nisaa’ Allah mengkhususkan dan memberikan catatan dengan firman-Nya yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48) di sini Allah ta’ala memberitakan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik, dan memberitakan kalau dosa yang berada di bawahnya diampuni. Kalau seandainya ayat ini berbicara tentang orang yang bertaubat niscaya tidak perlu dibedakan antara syirik dan selainnya.”

Neraka untuk orang kafir


Di antara mereka (orang-orang murji’ah -pent) ada yang berdalih: ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memberitakan kalau neraka itu “Disiapkan untuk orang-orang kafir” (QS. al-Baqarah: 24) dan aku bukan termasuk golongan mereka, aku hanya termasuk orang yang bermaksiat saja karena itulah maka neraka bukan disiapkan untuk orang-orang semacam aku’. Pemahaman anak-anak tentu lebih baik daripada pemahaman mereka itu; sebab disiapkannya neraka untuk orang-orang kafir tidak berarti meniadakan masuknya orang-orang fasiq dan zhalim, sebagaimana tatkala Allah berfirman tentang Surga yang artinya, “Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133) Dan maksud ayat ini bukan berarti orang yang di dalam hatinya hanya memiliki keimanan sebesar biji sawi tidak memasukinya, padahal nash-nash yang shahih mengabarkan tentang hal itu. Kalaulah mereka mau menggabungkan nash-nash ini niscaya mereka akan terbebas dari belenggu kebodohan ini. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Barang siapa yang durhaka terhadap Allah dan rasul-Nya dan melanggar batas-batas-Nya niscaya dia akan dimasukkan ke dalam neraka kekal di dalamnya dan dia berhak menerima siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisaa’: 14). Lalu apakah yang akan mereka katakan terhadap ayat ini?! Hanya saja kita bukanlah termasuk orang yang membenturkan ayat al-Qur’an satu dengan yang lainnya sehingga kita tidak mengatakan bahwa setiap orang yang bermaksiat itu kekal di dalam neraka; karena kekal di dalam neraka itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang kafir dan musyrik. Dan juga karena sesungguhnya ahli tauhid apabila diputuskan Allah menerima siksa di neraka akibat kemaksiatan mereka maka mereka pada akhirnya akan dikeluarkan darinya dan tidak akan tersisa lagi di dalam neraka satu orangpun ahli tauhid.

-bersambung insya Allah-


Artikel www.muslim.or.id

0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger