Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Kaidah Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Kaidah Fiqh. Show all posts

Kaidah Dalam Beribadah



Kaidah Dalam Beribadah


 

َالأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ


"Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan"
Masjid an-Nabawiy as-Syarif Madinah - KSA
Ada beberapa dalil , diantaranya adalah ayat Al Qur'an surah al Hujurat :1

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)
Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.
فاَ الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ

"Hukum asal dari ibadah adalah batal, hingga tegak dalil (argument) yang memerintahkannya" ( Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 44 dan Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal. 344, Dar al Fikr, Beirut))
Ibadah pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.
Hukum haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.. Apabila tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.
اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ التَّوْقِيِفُ وَاْلإِ تِّبَاعُ

"Hukum asal ibadah adalah tauqif dan ittiba' ( bersumber pada ketetapan Allah dan mengikuti Rasul) ( Abdul Hamid Hakim dalam al Bayan : 188)
Dalinya berdasarkan hadits :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang membuat suatu amalan dalam agama kita ini yang tidak ada tuntunannya (contohnya), maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Bukhori no. 2679. HR. Muslim no. 1718). (Hadits Shahih)
Hukum-hukum dalam beribadah sudah baku, hak mutlak / otoritas Allah (karena Dia- lah yang menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat” dari Allah dengan cara mengikuti Rasulullah, manusia hanya menjalankan sesuai isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih). Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai, ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.
اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ

" Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada) perintah"

Dalilnya adalah:
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az Zumar : 11)
Tanpa adanya perintah Allah atau dari Rasul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara beribadah dan cara menyembah kepada Allah hanyalah Allah semata.
Maka tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar tadi) dipandang baik oleh orang [baca : bid'ah hasanah] dan dilakukan oleh orang banyak. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya, atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَخْرُصُونَ
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." [ QS. Al An'am : 116]

Dalam ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah ! itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَƒ
"Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )

Kalau tidak ada perintah Allah, atau kalau tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru, Guru Tariqat dll) maka merekalah yang kita sembah. Karena mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri (seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Allah. Ingat ! Hanya Allah yang membuat cara ibadah dan hanya Allah yang patut disembah atau di ibadahi,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ dan tidaklah Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah,
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن

Tidak ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian di ikuti oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in. Kita tidak boleh meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai orang yang alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (ittiba') cara Rasulullah, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah dalam beribadah dan muamalah adalah dengan cara mempelajari Hadits-hadits yang shahih.
اَلأَصْلُ فِى ْالِعبَا دَاتِ اْلحَظْرُ وَاْلمَنْعُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ الْمَشْرُوْعِيَّةِ

"Prinsip dasar dalam berbagai ibadah itu " bahaya" dan "terlarang", hingga adanya dalil yang menunjukkan pensyari'atannya".

Ibadah adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengharap ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan (mencari pahala). Allah-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyari'atkan Allah. Sebab hanya Pembuat Syari'at (Allah) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa yang kita sembah ?
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah, yang mensyari'atkan untuk mereka apa yang tidak diizinkan Allah" (QS. As-Syura : 21)
Sembahan-sembahan selain Allah, maksudnya adalah orang-orang yang menciptakan cara beribadah sendiri, tanpa ada dalil dari Allah dan petunjuk Rasul]
Hakikat ibadah tercermin dalam dua hal : 
  • Tidak ada yang di ibadahi kecuali hanya Allah. 
  • Tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.
    Atau dalam pengertian yang lain : 
    • Ikhlas hanya kepada Allah semata 
    • Amalan tersebut harus dikerjakan atas tuntunan (ittiba') kepada Rasulullah.

Ikhlash dan mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadat
لا تقبل العبادة إلا بالإخلاص والمتابعة

“Tidak diterima ibadat kecuali dengan ikhlas dan mutaba’ah ( mengikuti cara Rasul )”


Keterangan :
Ikhlash :
Seseorang yang beramal, maka niatnya tidak terlepas dari tiga kemungkinan :
a.       Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Maka inilah yang diterima, karena syarat ikhlas telah terpenuhi padanya
b.      Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali dunia dan perhiasannya. Ini tertolak, karena berlawanan dengan ikhlash
c.       Keinginannya dia sekutukan antara keinginan kepada Allah dengan keinginan kepada makhluk. Dalam beramal dia meinginkan Allah dan sekaligus juga menginginkan pujian, sanjungan, kedudukan dan kehormatan. Inipun juga tertolak.


Mutaba’ah :
Yaitu melaksanakan ibadat yang kaifiyatnya sebagaimana kaifiyat yang dilaksanakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. tanpa penambahan dan pengurangan, seperti shalat sebagaimana beliau shalat, berpuasa sebagaimana beliau berpuasa dan berhaji sebagaimana beliau berhaji. Banyak dalil yang menekankan syarat ( mutaba’ah ) ini. Maka setiap ayat yang mensyaratkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai contoh dan teladan adalah sebagai petunjuk wajib untuk mengikuti beliau dalam hal yang demikian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada teladan yang baik untuk kamu, bagi yang mengharapkan Allah dan hari kemudian dan bagi orang-orang yang berdzikir yang banyak kepada Allah” ( Al Ahzab : 21 )

Mengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dalam hal ibadat terikat dalam kemungkinan empat syarat :


1. Tatacara.
Yaitu yang tatacaranya mengikuti tatacara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. seperti shalat ( shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat ) dan haji ( ambillah tatacara haji kamu dariku ). Maka siapa saja yang melakukan suatu ibadat ( seperti ini ) yang tatacaranya berbeda dengan tatacara yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. maka ibadatnya menjadi bathal, lantaran bukan beracuan pada perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Tempat.
Bila sebuah ibadat yang pelaksanaannya dikhususkan pada tempat tertentu, maka sebenarnya tidak boleh melakukannya di tempat yang lainnya kecuali dengan dalil yang membenarkannya di tempat tersebut; seperti haji, thawaf, sa’i dan menyembelih al hadyu ( qurban haji )


3. Waktu ( zaman ).
Bila suatu ibadat yang memiliki waktu tertentu yang tidak shah ( pelaksanaannya ) kecuali di waktu tersebut, maka tidak boleh melakukannya pada waktu yang lain. Karena mesti mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. dalam hal waktu ( pelaksanaannya ). Seperti waktu berhaji, shalat lima waktu dan puasa Ramadlan.

4. Qadar ( ukuran ).
Bila syari’at telah menentukan ukuran tertentu untuk suatu ibadat, maka sebenarnya siapapun tidak boleh menambah atau menguranginya. Penambahan dan pengurangan ini tidak shah kecuali dengan dalil yang mengesahkannya. Karena bila tidak ada ( dalilnya ), hal itu tidak boleh. Seperti bilangan raka’at shalat lima waktu, bilangan melontar jumrah, bilangan thawaf, bilangan sa’i, nishab zakat, bilangan kafarat dan hudud dan lain-lain. Semua ini telah ditentukan ukurannya. Maka setiap muslim wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. tentang ukuran tersebut.

[ talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ]
Kaidah Dalam Muamalah

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

"Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ

"Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah"
Muamalah pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu “HALAL”.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا 

"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu" (QS. Al Baqarah : 29)

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ
"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)
Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Allah lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.
Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya berubah.
Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan.
Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.
Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :
لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه
"Kalau sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" daripada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama daripada kita.

Contoh :
Shalat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rasulullah shalat, berdasarkan syari’at Allah. Atas perintah Allah : "Dirikanlah shalat ! أَقِْيمُوا الصَّلاَة  Bagaimana cara shalatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rasulullah, Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya shalat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara shalat yang baru. Seperti Shalat Hadiyah, ada tidak dalilnya ?

Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ
أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah.
Contoh :
Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.
Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Peshallallahu ‘alaihi wa sallamat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Peshallallahu ‘alaihi wa sallamat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Peshallallahu ‘alaihi wa sallamat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا

"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu" (QS. Al Maidah : 3)

Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Allah sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat dari Allah dan Rasulnya. Apa-apa yang datangnya dari Allah pasti disampaikan oleh Rasulullah, dan tidak ada yang disembunyikan.

Wallahu a'lam.
0 comments

Dalam Kondisi Darurat Hal Yang Terlarang Dibolehkan

Dalam Kondisi Darurat Hal Yang Terlarang Dibolehkan


Ada kaedah fikih yang berbunyi: Adh-Dharurat Tubihu Al-Mahzhurat, artinya "dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan".



Tak ada sejumput keraguan yang bersemayam dalam hati akan sempurnanya agama Islam yang indah ini. Tak hanya dalam hal-hal kompleks dan urgen, tapi Islam juga mengatur setiap aspek kehidupan hingga hal-hal terkecil yang acap kali terabaikan. Tak heran jika seandainya seluruh umur kita pergunakan untuk mempelajari ilmu agama ini, hal itu tidaklah cukup untuk mencakup kesemuanya. Lihatlah betapa tebalnya kitab-kitab yang membahas segala permasalahan hukum-hukum di dalam Islam.

Oleh sebab itu, cendekia muslim mencoba merumuskan suatu disiplin ilmu yang memudahkan kita mengetahui sekian banyak hukum suatu permasalahan dengan langkah yang lebih praktis. Alhasil, dibentuklah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama Qawaid Al-Fiqh, atau kaidah-kaidah fikih.

1 comments

Kaidah Fiqih: Sesuatu Hukum Menjadi Sah dan Sempurna Jika Terpenuhi Syarat dan Rukunnya Serta Tidak Ada Penghalangnya

Kaidah Fiqih: Sesuatu Hukum Menjadi Sah dan Sempurna Jika Terpenuhi Syarat dan Rukunnya Serta Tidak Ada Penghalangnya

 

 Kaidah fikihSebagaimana telah dimaklumi, masalah fiqih terus berkembang sejalan dengan berjalannya waktu dan timbul berbagai permasalahan baru yang dialami umat. Para ulama telah berjuang dan bekerja keras dengan memperhatikan berbagai dalil-dalil wahyu dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga bisa merumuskan berbagai kaidah untuk bisa digunakan sepanjang masa, sampaipun terhadap masalah-masalah yang belum pernah ada wujudnya pada zaman turunnya wahyu. Dari sini diketahuilah betapa pentingnya ilmu qowa’id fiqhiyyah ini. Imam al-Qorrofi berkata, “Barang siapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaidah tersebut.

0 comments

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG

HUKUM ASAL IBADAH ADALAH TERLARANG


Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsary


Teks Kaidah**
الأصل في العبادات التحريم

Yusuf Al-Qaradhawi berkata dalam bukunya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21) setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dengan cara wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits, “Barangsiapa yang mebuat hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia di tolak”.

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kecuali kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’at yang ditentukanNya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapa pun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak.. Sebab hanya Allah yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepadaNya.

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) : “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih [1] hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah (hal 112) berkata, “Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah atau yang disukaiNya, maka penempatannya hanya melalui syari’at”

Dalam Majmu Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata, “Semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Allah dan RasulNya, dan tidak boleh seorang pun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Allah kecuai dengan dalil syar’i”.

Demikian yang menjadi pedoman generasi Salafus Shalih, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Allah meridhai mereka.

Diriwayatkan oleh Nafi’ Radhiyallahu ‘anhu, “Seseorang bersin di samping Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulih (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan kepada RasulNya)’. Maka Ibnu Umar berkata, “Dan saya mengatakan, Alhamdulillah wassalamu ‘ala Rasulillah. Tetapi tidak demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kami. Beliau mengajarkan agar kami mengatakan, “Alhamdulillah ‘ala kulli hal” (segala puji bagi Allah dalam segala hal) [2]

Dari Sa’id bin Musayyab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab : “Tidak, tetapi Allah akan menyiksa kamu karena menyalahi Sunnah” [3]

Al-Alamah Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah jawaban yang kuat untuk mematahkan argument ahlu bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi menghidupkan dzikir dan shalat. Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka dengan menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan shalat!. Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat dan yang lainnya”

Sufyan bin Uyainah berkata, “Saya mendengar bahwa seseorang datang kepada Malik bin Anas Radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Wahai Abu Abdullah (nama panggilan Malik), dari mana saya ihram?” Ia berkata, “Dari Dzulhulaifah, tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ihram” Ia berkata, “Saya ingin ihram dari masjid dari samping makam (nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), “Ia berkata, “Jangan kamu lakukan. Sebab saya mengkhawatirkan engkau tertimpa fitnah”, Ia berkata, “Fitnah apakah dalam hal ini? Karena aku hanya menambahkan beberapa mil saja!” Ia berkata, “Fitnah manakah yang lebih besar daripada kamu melihat bahwa kamu mendahului keutamaan yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sesungguhnya Allah berfirman, “Maka hendaklah orang –orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih [4], [5]

Dan betapa indahnya apa yang ditulis Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah kepada sebagian gubernurnya ketika mewasiatkan mereka untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah. Saya mewasiatkan kepdamu agar bertakwa kepada Allah, sederhana dalam melaksanakan perintahNya serta mengikuti sunnah RasulNya dan meninggalkan hal-hal baru yang dibuat orang-orang yang setelahnya dalam sesuatu yang telah berlaku sunnahnya dan cukupkanlah dengannya.

Ketahuilah, bahwa tidaklah seorang melakukan bid’ah melainkan telah datang sebelumnya dalil yang menyalahkannya dan telah datang pula pelajaran yang menunjukkan kebid’ahan perbuatan tersebut. Maka hendaklah kamu memegang teguh sunnah. Sebab sesungguhnya sunnah itu akan melindungimu dengan izin Allah.

Ketahuilah, bahwa orang yang melakukan sunnah akan mengetahui bahwa melanggarnya akan mengakibatkan kesalahan, tergelincir dan kedunguan. Sebab orang-orang yang dahulu menyikapinya dengan ilmu, dan dengan pandangan yang tajam, mereka menganggap cukup. Mereka adalah orang yang paling kuat dalam mengkaji, namun mereka tidak mencari-cari. [6]

Kesimpulannya, dalam pemahaman syari’at adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (tauqifiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan Allah sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba dari membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. [7]

Diantara contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidak menganjurkannya dan tidak membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Allah meridhai mereka. Jika hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah hanya terbatas pada nash dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.

[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Allah padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.
Banyak orang yang mencampuradukkan antara ibadah dengan yang lainnya, dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan memnggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh !
Sumber:: http://almanhaj.or.id
Untuk memperluas cakrawala anda silahkan klik disini
_________
Foote Note
** Teks dari (Administratur)
[1]. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah.
[2]. HR Tirmidzi 2738, Hakim IV/265-266, Harits bin Usamah Al-Baghdadi dalam Musnadnya 200 (Bughiyyah Al-Bahits dan Al-Mazzi dalam Tahdzib Al-Kamal VI/553 dengan sanad Hasan.
[3]. HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II/466, Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazzaq III/52, Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nashr : 84 dengan sanad Shahih.
[4]. Qur’an surat An-Nuur : 63
[5]. HR Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqih I/148, Abu Nu’aim dalam Al-hilyah VI/326, Al-Baihaqi dalam Al-Madhal : 236, Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah : 98 dan Abu Syamah dalam Al-Ba’its : 90 yang disandarkan kepada Khallal
[6]. Al-Ibanah No. 163 dan Syarah Ushul As-Sunnah No. 16
[7]. Marwiyyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12 Syaikh Bakr Abu Zaid
0 comments

Hukum Wasilah Bergantung Pada Tujuannya

Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuanny.
QAWA'ID FIQHIYAH 

الوَسِيْلَةُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ
Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya

Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya ialah bahwasanya perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut. 

Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut. 

Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kullliyah (menyeluruh), yang membawahi beberapa kaidah lain. 

Pengertian الوَسِيْلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawaazim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut. 

Jadi, apabila Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari'at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang Ia Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi hamba-Nya berupa lawaazim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna. Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna merupakan perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut. 

Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majlis dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabilillah (di jalan Allah l ), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasilah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٢٠﴾ وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangk

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [at-Taubah/9:120-121]. 

Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ أَوَ سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. [HR Muslim].[1] 

Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan sholat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan. 

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). [Yasin/36:12]. 

Yang dimaksudkan dengan "bekas-bekas yang mereka tinggalkan" pada ayat di atas ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain. 

Maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut. 

Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa menjadi sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut. 

Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2] : "Jika datang waktu sholat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana". Dikarenakan kewajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.

Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil. 

Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam : 

Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu 'ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah. Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-masing. 

Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang merupakan bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh muasyarakat luas. 

Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu 'ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang. 

Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma`ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyolatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.

Termasuk pula dalam kaidah ini, usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah (sarana) baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, isteri, anak-anak, budak, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya. Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, dan tidak bisa dipenuhi kecuali dengan mencari rizki dan berusaha mendapatkannya. 

Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda datangnya waktu shalat, mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang yang membutuhkan hal tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.

Termasuk pula dalam kaidah ini, setiap perkara mubah yang menjadi wasilah (jalan) untuk meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua pada shalat Jum'at, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [al-Jumu'ah/62:9].

Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya untuk kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi minuman keras (khamr). Atau menjual senjata kepada orang dalam kondisi fitnah, atau menjualnya kepada musuh dan perampok. Dan juga tidak diperbolehkan menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya dalam berjudi.

Termasuk dalam kaidah ini pula, adalah perbuatan seseorang yang diberi wasiat oleh orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberi wasiat tersebut. Atau pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pemilik harta [3] supaya segera memperoleh warisan tersebut. Maka, keduanya dikenai hukuman dengan tidak berhak memperoleh isi wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut. 

Demikian pula seorang suami yang menindas istri tanpa alasan yang dibenarkan, agar istri menyerahkan kekayaan kepada suami hingga mau menceraikannya. 

Begitu pula, hiyal (tipu-muslihat) yang ditempuh sebagai wasilah untuk melaksanakan perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka hukumnya adalah haram. Sedangkan hiyal yang dipergunakan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan maupun tersembunyi. 

Hal ini merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tatkala menyebutkan muslihat yang dilakukan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya:

كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ

Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. [Yûsuf/12:76].

Sama dalam masalah ini tipu-daya untuk menyelamatkan jiwa dan kekayaan, sebagaimana yang dilakukan Khidhir dengan cara merusak perahu yang ia tumpangi supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zhalim yang merampas setiap perahu bagus yang ia lihat. 

Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan peruntukan muslihat tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak. 

Termasuk pula dalam kaidah ini, adalah firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…. [an-Nisâ`/4:58]. 

Sedangkan yang dimaksud dengan amanat, adalah segala sesuatu yang seseorang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, seperti barang titipan, mengurus anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk menjalankan amanat kepada kepada pemiliknya, adalah menjaga amanat tersebut dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai. 

Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut, adalah memberikan makanan dan lainnya jika yang diamanatkan tersebut bernyawa. Adapun dalam penggunaannya, tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan. 

Di antara cabang kaidah ini, adalah bahwasannya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat kepada semua wasilah yang dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang pada perkara yang diharamkan tersebut. Misal, menyendiri dengan wanita yang bukan mahramnya, atau melihat kepada sesuatu yang diharamkan. 

Atas dasar itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no.1599)
Termasuk cabang kaidah ini pula, adalah adanya larangan mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian. Misalnya, menyerobot pembeli dari penjual muslim lainnya, menimpali akad orang lain, melamar wanita yang sudah dilamar orang lain, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain.

Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula, adalah memberikan dorongan untuk komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkataan maupun perbuatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Pengecualian dalam Kaidah ini

Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah permasalahan nadzar. Hal ini dikarenakan suatu hikmah tertentu yang khusus pada permasalahan tersebut. Sebab, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib, sedangkan bernadzar hukumnya makruh. Padahal menunaikan nadzar tidaklah bisa dilaksanakan kecuali dengan menetapkan nadzar. 

Oleh karena itu, Nabi n memerintahkan agar nadzar dilaksanakan dan melarang orang untuk bernadzar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ , وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيْلِ

Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya nadzar itu dikeluarkan dari seorang yang bakhil. [HR Bukhâri].[5] 

Keadaan demikian ini karena mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar terjebak pada kesulitan padahal awalnya ia berada dalam kelapangan. Wallahu a'lam. 

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du'aa`, Bab: Fadhl al-Ijtima' 'ala Tilawatil-Qur`ân, no. 2699 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lafaznya adalah:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
[2]. Al Mughni 1/314
[3]. Misalnya, seorang anak membunuh orang tuanya yang kaya, dengan tujuan agar segera mendapatkan warisan dari sang ayah, Red.
[4]. HR Bukhâri no. 52, dan Muslim no. 1599 dari Nu'man bin Basyir -radhiyallahu 'anhu.

0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger