Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Tazkiyatun Nufus. Show all posts
Showing posts with label Tazkiyatun Nufus. Show all posts

TAZKIYATUN-NUFUS - 004

TAZKIYATUN-NUFUS - 004

Halaqoh - 004
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah - 3
Ikhlas Bagian 3
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc 

بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
السلام عليكم ورحمة اللّه ﺗﻌﺎﻟﯽٰ وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طيّبًا مباركًا فيه كَمَا يحبّوا ربّنا ويرضى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ  وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. لا نبيّ ولا رسول بعده. أَمَّا بَعْدُ؛

Ikhwanī wa akhawatī fillah rohimani wa rohimakumullahu jamī'an, saudara dan saudari ku sekalian dimanapun anda berada yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kembali pada halaqah yang keempat ini   in syā Allāh, kita melanjutkan masih pada bab ikhlas. Masih pada penjelasan lanjutan dari halaqah yang ketiga.  

Berkata Mu'allif (penulis) Syaikh DR Ahmad Farid  hafizhahullāhu Ta'ala, setiap harapan dari harapan-harapan dunia, setiap bagian dari bagian dunia yang jiwa menjadi tenang dengannya, yang hati cenderung kepadanya, sedikit atau banyaknya, apabila telah mencampuri amalan, maka akan mengotori kejernihan amalan tadi, sehingga hilanglah ikhlasnya.
0 comments

TAZKIYATUN-NUFUS - 003

TAZKIYATUN-NUFUS - 003
Halaqoh - 003
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah - 2
Ikhlas Bagian - 2 
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بهدا إلى يوم القيامة، أَمَّا بَعْدُ

Ikhwan fiddin wa akhawat fillah rohimani wa rohimakumullah, pada halaqah yang ketiga ini   ان شاء الله, kita akan membahas masih pada rangkaian tentang ikhlas, khususnya adalah tentang pengertian dari ikhlas.
Mu'allif Syaikh DR Ahmad Farid حفظه الله mengatakan :
0 comments

TAZKIYATUN-NUFUS - 002

TAZKIYATUN-NUFUS - 002
Halaqoh - 002
Bab 1: Ikhlas dan Mutaba'ah - 1
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.

IKHLAS dan I'TIBA mengikuti Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah DUA SYARAT untuk diterimanya amal. 

Allah subhanahu wata'ala tidak menerima amalan dari amal-amal sehingga terpenuhi di dalam amal tersebut dua syarat, yaitu:

  1. Ikhlas yaitu syarat bathin.
  2. Mengikuti Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam, yaitu syarat dhohir,
Jadi, Allah subhanahu wata'ala tidak akan menerima amalan seorang hamba, sehingga dia betul-betul memurnikan amalan tersebut hanya karena  Allah subhanahu wata'ala. 

Ini perkara penting di dalam tazkiyatun nufus, bahwa terkadang seorang mengabaikan amalan yang dilakukannya, apakah sudah ikhlas atau belum, dia tidak memperhatikannya, padahal seharunya dia perhatian, bahwa ikhlas adalah syarat mutlak agar amalannya diterima, ini syarat bathin karena yang tahu hanya Allah subhanahu wata'ala. 

Sedangkan yang kedua adalah dengan mengikuti sunnah Rosulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, ini dikatakan syarat dhohir karena nampak.

Dan meskipun sudah ikhlas namun tidak mengikuti sunnah Rosulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam, maka bisa tertolak.

Dalil:

QS Al-Muluk ayat 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."

Yang dimaksud dengan "yang paling baik amalannya", adalah (Fudl bin Iyyadh) mengatakan: "yaitu yang paling ikhlas dan paling benar"

Sesungguhnya amalan, apabila ikhlas tapi tidak benar, maksudnya tidak mutaba'ah yakni tidak mengikuti sunnah RasuluLLah  Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka tidak diterima. Dan juga berlaku sebaliknya. Meskipun benar yakni mengikuti sunnah RasuluLLah  Muhammad shallallahu alaihi wasallam tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima.

Oleh karena itu Allah subhanahu wata'ala mengatakannya dalam QS. Al-Kahfi ayat 110:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada Tuhannya dengan suatu apapun."

Yang dimaksud dengan AMAL SHOLEH disini adalah yang berkesuaian dengan SUNNAH.
Maksudnya mengikuti sunnah RasuluLLah shallallahu alaihi wa sallam .

Yang dimaksud dengan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadat kepada Tuhannya dengan suatu apapun adalah IKHLAS.

QS. An-Nisaa ayat 125:

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, dan diapun berbuat ikhsan."

Maksud dari menyerahkan dirinya kepada Allah adalah ikhlas.

Yang yang dimaksud dengan ihsan adalah mutaba'ah, yaitu mengikuti sunnah RasuluLLah  shallallahu alaihi wa sallam .

Disalin oleh:
Ummu Della (17 Muharam 1436H)
Dimuroja'ah oleh:
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.
Berdasarkan Kitab Tazkiyatun Nufus
(Penulis : Syaikh DR Ahmad Farid)
0 comments

TAZKIYATUN-NUFUS - 001

TAZKIYATUN-NUFUS - 001
Halaqoh - 001
Bab Muqadimah Tazkiyatun Nufus
Ustadz Tauhiddin Ali Rusdi Sahal, Lc.

Assalamu'alaikum warohmatuLlahi wabarokatuh
Alhamdulliahi washsholatu wassalamu 'ala RosuliLLah, wa'ala 'alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bihuda ila yaumil qiyamah.

'Amma ba'ad
AlhamduliLLah kita bersyukur kepada Allah subhanahu wata'ala yang dengan segala kenikmatanNya ALLah mudahkan kita untuk kembali mengawali mempelajari diinuLLah, khususnya yang berkaitan dengan tazkiyatun nufus, kaitannya dengan ilmu pensucian jiwa, bersihnya hati.
0 comments

NASIHAT SYAIKH 'ABDURROZAAQ MENGHADAPI FITNAH ZAMAN INI…!!!

NASIHAT SYAIKH 'ABDURROZAAQ MENGHADAPI FITNAH ZAMAN INI…!!!

✒ Ustadz Badru Salam, Lc, حفظه الله تعالى

Asy-Syaikh Prof Dr 'Abdurrozzaaq bin 'Abdil Muhsin
  1. Berdoa
  2. Mentadabburi Quran
  3. Menuntut ilmu
  4. Mujahadah
  5. Panutan Yang Benar, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
  6. Mengingat hari akhirat
  7. Berteman dengan Teman-teman yang sholeh

  • Berdoa
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita doa agar kita tetap istiqomah di jalannya dan mengikuti manhaj yang mulia ini. Doa ini sangat penting untuk kita amalkan dan selalu berharap Allah ‘azza wajalla wafatkan kita didalam Iman dan Islam sesuai manhaj yang haq ini.

0 comments

Keutamaan Membaca Al Qur’an

Keutamaan Membaca Al Qur’an

Sebagian orang malas membaca Al Quran padahal di dalam terdapat petunjuk untuk hidup di dunia.



Sebagian orang merasa tidak punya waktu untuk membaca Al Quran padahal di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Sebagian orang merasa tidak sanggup belajar Al Quran karena sulit katanya, padahal membacanya sangat mudah dan sangat mendatangkan kebaikan. Mari perhatikan hal-hal berikut:

Membaca Al Quran adalah perdagangan yang tidak pernah merugi

{الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)}

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

قال قتادة  رحمه الله: كان مُطَرف، رحمه الله، إذا قرأ هذه الآية يقول: هذه آية القراء.

“Qatadah (wafat: 118 H) rahimahullah berkata, “Mutharrif bin Abdullah (Tabi’in, wafat 95H) jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran” (Lihat kitab Tafsir Al Quran Al Azhim).

0 comments

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 6 (Selesai)

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus

-----------------------------------------------------
Ringkasan Transkrip Audio
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
Sumber audio: www.assunnah.mine.nu
------------------------------------------------------
MAKNA TAKWA 
Takwa menurut Bahasa
 
Secara langsung, makna takwa yang menurut istilah atau secara bahasa, takwa dari kata-kata al-wiqayah (yang bermakna) memelihara (atau menjaga sesuatu). Orang yang bertakwa yaitu orang yang menjadikan antara dia dan apa yang ditakutinya diberi pembatas. Kalau seseorang takwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu untuk menghalangi dia dari murka Allah subhanahu wa ta’ala, dari azab Allah subhanahu wa ta’ala. Ini hakikatnya, seseorang yang bertakwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu sebagai pelindung antara dia dengan kemurkaan Allah. Bagaimana caranya? Diantaranya adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan ketakwaan.

Disini disebutkan ketakwaan seorang hamba kepada Rabb-nya yaitu dengan menjadikan antara dirinya dan antara apa-apa yang dia takuti dari Tuhannya, berupa kemaharan Allah, kemurkaan Allah, sangsi atau azab Allah dia jadikan ada pemisa supaya dia tidak terjerumus pada hal-hal yang ditakutinya, dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah azza wa jalla dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah azza wa jalla.

Pernah suatu ketika Umar bin Khaththab radhiallhu anhu bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra tentang ketakwaan, apa yang dimaksud takwa? Maka Kata Ubaid ra: “bukankah anda pernah berjalan di suatu jalan yang berduri? Umar menjawab; “Benar.” Ubaid berkata; “Apa yang anda lakukan (ketika berjalan di atas jalan yang ada durinya)?” Kata Umar; “Aku berhati-hati Ubaiy berkata: “Itulah takwa.”

Jadi ibarat orang yang berjalan di jalan yang banyak durinya tentunya dia berhati-hati agar tidak terkena duri. Demikianlah ketakwaan, ibarat dunia ini penuh dengan duri. Kita memiliki tanggungjawab yang banyak, shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, yang merupakan kewajiban-kewajiban, kemudian amar ma’ruf nahi mungkar, kita mempunyai kewajiban kepada isteri, kepada anak-anak, memberi nafkah kepada mereka, kemudian kita juga dibebankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjauhi larangan-larangan-Nya, dari ghibah, menipu, berzina, minum khamr dan lain sebagainya. Nah ini sebuah ibarat duri, maka selalu lah berhati-hati dalam berjalan. Bagaimana dia melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kehidupan ini memang penuh dengan rambu-rambu dalam perjalanan. Maka seseorang harus pandai-pandai mengetahui dimana saat dia berhenti, dimana saat dia berjalan, dimana saat dia berhati-hati. Semua ini gambaran-gambaran tentang kehidupan.

Jadi apa yang digambarkan oleh Ubaiy bin Ka’ab ra dengan takwa ini ada dalam gambaran kehidupan kita, dari tugas dan tanggung jawab kita. Apalagi hidup di zaman seperti ini, durinya lebih banyak, kemaksiatan di mana-mana, setiap saat sekarang ini siapa yang melakukan kemaksiatan ada jalannya, dengan mudah mendapatkannya. Rasa malu seakan-akan hilang dan lenyap. Kalau dahulu ada wanita yang hamil di luar pernikahan itu terjadi kiamat kecil di kampung dan demikian malunya anak itu disingkirkan dari kampungnya. Tetapi zaman sekarang seakan-seakan biasa, kecelakaan kecil. Jadi demikian rusaknya zaman ini. Waiyyazubillah. Maka dari itu, kita harus lebih waspada dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Takwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Kalimat takwa yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.


1. Disebutkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, hafizahullahu ta’ala, bahwa di dalam Al-Qur’anul Karim kalimat takwa kadang-ladang digandengkan dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Ma’idah [5] : 96)

Kalimat takwa ini digandengkan dengan Allah, dikaitkan dengan ketakwaan kepada Allah.

Juga dalam ayat yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.” (QS Al-Hasyr [59] : 18)

Kemudian pada Surat Al-Baqarah ayat 96 Allah berfirman:


وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Baqarah [2] : 196)

Kemudian sangat banyak ayat-ayat yang lain yang menernangkan penggunaan kalimat takwa dalam Al-Qur’anul Karim kadang-kadang dengan menyambung antara takwa dengan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, jadi agar kita takut kepada Allah.

Apabila demikian, kalau kata-kata itu disambung dengan nama Allah, takutlah kamu kepada Allah, ini artinya takutlah kamu kepada murka Allah, dan kemarahan-Nya, karena yang paling harus ditakuti yaitu kemurkaan Allah dan kemarahan Allah. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an apabila kita diperintakan ‘takutlah (bertakwalah) kamu kepada Allah’, maka maksudnya kamu kepada murka dan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan dari kemurkaan itulah timbulnya azab baik di dunia dan di akhirat. Maka Allah mengatakan dalam surat Al-Imran ayat 28:

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِ

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Al-Imran [3] : 28)

Mengapa Allah yang paling ditakuti? Karena disebutkan dalam Al-Qur’an:

هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“(Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS Al-Mudatsir [74] : 56)


Arti ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala adalah sangat pantas untuk ditakuti, dan Dia yang paling dimuliakan dan paling diagungkan dalam hati hamba-hamba-Nya. Sehingga dengan demikian jika seorang menanamkan dalam dirinya bahwa Allah yang paling ditakuti, ini akan mendorong dia untuk menyembak kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada-Nya. Karena Allah yang memiliki segala sifat-sifat kemuliaan dan kebesaran. Allah mampu berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Dia memiliki kekuatan, Dia memiliki adzab, Apabila seorang berbuat demikian, dia bertakwa kepada Allah, mengangungkan Allah, maka Allah pasti akan memberikan kepada dirinya ampunan-Nya.

2. Karena diantara yang ditakuti itu adalah kemurkaan Allah, maka dalam Al-Qur’anul Karim, kadang-kadang kata takwa digandengkan dengan azab (siksa) Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim surat Al-Baqarah ayat 24:
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,” (QS Al-BAqarah [2] : 24)

Kemudian dalam surat Al-Imran ayat 131 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”

Kata takwa digandengkan dengan kata zaman (yakni waktu siksaan tersebut). Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 241:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.;”

Jadi kata takwa digandengkan dengan zaman atau hari, yaitu hari kiamat. Karena pada hari itu akan berlangsung perhitungan, akan ditampakkan amalan-amalan manusia.

Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 123 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا

“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun.”


Jadi dalam Al-Qur’anul Karim kata takwa yang pertama dikaitkan dengan Allah, yang kedua dengan sangsi (siksa) yang terdiri dari dua, yaitu zaman (waktu), yakni hari kiamat, dan makan (tempat) yakni neraka.

3. Adapun di dalam sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selain dari apa yang disebutkan tadi kata takwa dihubungkan dengan larangan-larangan), seperti kata takwa disambung dengan kalimat kezaliman dan sifat pelit dan kikir.

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Takutlah kamu dari berbuat aniaya (zalim) karena berubat zalim itu merupakan kegelapan-kegelapan di hari kiamat.”

Semakin banyak orang melakukan kezaliman, semakin kegelapan yang didapatinya. (lalu kelanjutan hadits di atas)”

وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Dan takutlah kamu kepada sifat pelit yang amat sangat, sesungguhnya sifat pelit ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, sifat pelit ini telah membawa mereka untuk menumpahkan darah diantara mereka, dan menjadikan mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla.” [1]

Kemudian dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam kalimat takwa dikatikan dengan doa orang-orang yang dizalimi. (Maka) berhati-hati kita mendzalimi orang lain, menuduh seseorang apa yang tidak pernah dilakukannya, inilah kezaliman. Kalau orang tersebut mendoakan yang jelek bagi si penuduh ini maka akan kena cepat atau lambat, meskipun itu orang kafir, atau orang jahat, kalau dia dizalimi dan dia berdoa kepada Allah azza wa jalla maka doanya terkabul.

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiallau anhu ke Yaman, diantara wasiat beliau kepada Mu’adz:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Takutlah engkau kepada doa orang-oang yang dizalimi, karena antara doa orang yang dizalimi dengan Allah tidak ada pembatas.” [2]

Kemudian kalimat takwa juga dikaitkan dengan dunia dan berbagai syahwat yang ada dalam dunia ini. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ


“Takutlah engkau kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada wanita.”[3]


Kemudian kalimat takwa ini di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dikaitkan dengan hal-hal yang diharamkan.

اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Takutlah engkau dari hal-hal yang diharamkan. Niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling baik ibadahnya. Hal ini karena seorang yang meninggalkan kemaksiatan dia memiliki banyak waktu untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla.”[4]

Kata-kata takwa dikaitkan dengan syubhat, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agamanya dan. kehormatan” [5]

Setelah kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah maka makna takwa itu adalah kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah Azza wa Jalla, karena mengharapkan pahala di sisi Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dari bimbingan cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau takut dari sangsi Allah. Ini adalah perkataan ini dari Thallab bin Habib radhiallahu anhu.

Dengan demikian apabila seseorang sampai pada derajat ketakwaan yang sebenarnya, yang hakiki, maka pada saat itu lah orang ini akan terbimbing dalam kehidupannya. Jadi pada hakekatnya makna takwa ini adalah mendalam. Kalimat ini banyak diucapkan tapi tidak pernah ditafsirkan. Maka dari itu kalimat takwa itu ibarat sesuatu yang murah. Setiap saat kita dengar dalam ceramah-ceramah, tapi apa makna takwa kepada Allah? Banyak! Takwa kepada Allah dalam ibadah kita; takwa kepada Allah dalam tanggung jawab kita, rumah tangga dan anal-anak kita; takwa kepada Allah dalam tugas-tugas kita, dalam pekerjaan dan amanah-amanah yang diberikan kepada kita. Semuanya ini ada kaitannya dengan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla. Apabila seseorang benar-benar takwa kepada Allah dalam pekerjaannya dalam amanah yang diberikan kepadanya pada tugas dan tanggung jawabnya, maka terciptalah masyarakat yang takwa kepada Allah yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

Lalu dimanakah tempat takwa itu? Tempat takwa adalah di hati seseorang. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Takwa itu tempatnya di sini (beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali).”[6]


Takwa itu tempatnya di hati seseorang. Itulah sebabnya dalam hadits shahih Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan:

وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad seseorang ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baik pula jasad seluruhnya, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka jasad pun akan rusak semuanya. Ketahuilah itulah dia jatung.”[7]

Itulah dia jantung, yang diartikan dengan hati manusia, tempat beredarnya darah, yang mana ketika seseorang marah maka berdenyut jantungnya. Itulah yang dimaksud ‘qalbun’.

Ketahuilah bahwa aqidah dan manhaj salaf tidak terlepas dari tazkyatun nufus, tidak terlepas dari akhlak dan moral, tidak terlepas dari ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla.



Sumber: A Learning Page
 
Catatan kaki:
[1] (HR Muslim dari Jabir dari Abdullah. Maktabah Syamilah v1.0 12/456 no. 4675)
[2] HR Muslim dari Ibnu Abbas dari Mu’adz bin Jabal, Maktabah Syamilah 1/111 no. 27.
[3] HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 13/286 no. 4935.
[4] HR Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 8/275 no. 2227.
[5] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996.
[6] HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 12/426 no. 4650
[7] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996
0 comments

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 5

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 5

-----------------------------------------------------
Ringkasan Transkrip Audio
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
Sumber audio: www.assunnah.mine.nu
------------------------------------------------------


Akhlak yang Mulia dan Tazkiyatun Nufus


Kalau ada orang yang bertanya – pada Syaikh Salim bin Ied al-Hilali – bahwa hadits yang dibawakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ini adalah berkaitan dengan akhlak, maka apa kaitannya dengan tazkiyatun nufus? Kata beliau jawabannya adalah: “Bukankah pensucian diri itu juga terbentuk dari akhlak yang mulia, dan istiqamah diatas akhlak yang mulia ini? Dan berpegang pada akhlak-akhlak yang tinggi dan mulia itu? Bukankah termasuk bagian dari tazkiyatun nufus adalah mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia? Dan apabila anda ingin – kata beliau – untuk menambah pengetahuan atau keterangan dalam masalah ini, ketahuilah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah qudwah hasanah, contoh teladan yang telah beliau shallallahu alaihi wasallam berikan kepada umat ini.

Dimana beliau shallallahu alaihi wasallam sebagai contoh yang bergerak di antara manusia dengan akhlaknya yang mulia. Maka Allah Subhahanu wa Ta’ala dalam firman-Nya memuji Nabi shallallahu alaihi wasallam, Allah mentazkiah Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan rekomensasi diantara adab-adab dan akhlaknya. Allah memberikan tazkiyah kepada akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Allah menjadi saksi atas kemuliaan akhlak beliau, makanya Allah berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam [68] : 4)

Banyak ulama yang memberikan penafsiran tentang ayat ini, dan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali bahwa penafsiran yang paling benar dalam menafsirkan ayat ini adalah perkataan Aisyah radhiallahu anha, as-siddiqah binti as-siddiq – seorang yang benar puteri seorang yang benar- tatkala dia ditanya tentang akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka dijawab oleh Aisya radhiallahu anha:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an”[1]

Yaitu apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an diwujudkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-hari. Beliau ibarat Al-Qur’an yang berjalan, artinya apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an ditampakkan dengan amal perbuatan beliau. Ini menunjukkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti beliau,

Makna “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an” yaitu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi seorang yang benar-benar melaksanakan Al-Qur’an, baik pada perintah-perintah Al-Qur’an atau larangan-larangan Al-Qur’an, ini seakan-akan menjadi tabiat bagi beliau shallallahu alaihi wasallam. Maka perintah apapun yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan larangan apapun yang dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an ditinggalkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini suatu realita dalam kehidupan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka Allah memberikan kepada beliau semacam perangai yang mana perangai bersumber dari Al-Qur’anul Karim, menjadi tabiat beliau. Apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an menjadi kepribadian Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka dari itu segala pujian yang disebutkan dari akhlak dan moral yang diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam itu selalu baik. Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa mendapat pujian dalam masalah akhlak beliau, perbuatan serta perangai Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Berkaitan dengan masalah akhlak, ada beberapa hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menerangkan tentang keutamaan akhlak dan bahwasanya akhlak itu tidak terlepas dari iman, tidak terlepas dengan manhaj, tidak terlepas dengan aqidah. Hal ini terbukti dari hadits-hadits yang menggambarkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti yang mulia.

Keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia:

Keutamaan yang pertama:

Diantara hadits-hadits yang menerangkan tengtng kemuliaan akhlak adalah bahwasanya akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan amalan seseorang di hari kiamat. Jadi antara keuataman-keutamaan akhlak yang merupakan buah dari tazkiyatun nufus. Yang pertama adalah akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan di hari kiamat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abi Hurairah dari Abu Darda radhiallahu anhu:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ




“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang Mu’min pada hari kiamat yang melebihi timbangan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah benci kepada sesuatu yang keji dan ucapan-ucapan yang jelek.” [2]


Maka salah satu bentuk akhlak yang mulia adalah dengan berbicara dengan perkataan yang baik dan sopan. Hadits shahih lighairihi (menurut Syaikh.

Hadits ini menunjukkan bahwasanya akhlak yang baik salah satu diantara amal-amal shalih yang besar, yang mana seorang hamba akan mendapatkan pahala yang besar itu pada catatan amalnya di hari kiamat kelak dan tatkala ditimbang amalan-amalan tersebut.

Dan bahwa perkataan yang jelek, perkataan yang kotor, perkataan yang keji itu adalah dibenci Allah subhanahu wa ta’ala. Allah membenci ucapan-ucapan yang kotor dan keji.

Keutamaan yang kedua:

Bahwa akhlak yang mulia adalah salah satu penyebab yang sangat banyak memasukkan seorang hamba ke surga. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu ta’ala anhu, dia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ


“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang apakah yang banyak memasukkan seseorang ke surga? Nabi menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.” 


وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْج
ُ

Kemudian beliau ditanya tentang apakah yang paling banyak memasukkan seseorang kepada ke neraka. Nabi menjawab: “Mulut dan kemaluan.” [3]


Jadi yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka, yaitu orang yang tidak menjaga lisannya dan yang tidak memelihara kemaluannya, tidak memelihara kehormatannya.

Dari hadits ini menunjukkan perintah agar seseorang senantiasa takwa kepada Allah azza wa jalla dan berperangai yang baik, berakhlak yang mulia. Kemudian hadits ini juga menunjukkan larangan, agar kita berhati-hati dalam berbicara, menjaga lisan kita, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah azza wa jalla. Kita menjaga lisan dari ucapan-ucapan kufur, dari ghibah, adu domba (namimah), bersaksi palsu, menuduh orang berzina dengan lisan-lisan ini. Berhati-hatilah dengan semua itu, karena semua itu akan memasukkan seseorang ke dalam neraka. Atau menuduh seorang Muslim dengan sesuatu yang tidak ada padanya, ini termasuk diantara hal-hal yang akan membahayakan seseorang, ancaman bagi dirinya.

Keutamaan yang ketiga

Bahwa akhlak yang mulia adalah penyempurna iman seseorang. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abu Hurairah, ia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantarta kalian adalah orang yang paling baik kepada isterinya.” [4]

Banyak sebelum ini kejadian-kejadian yang dahsyat yang kami mengetahui dan mendapat input dari beberapa isteri-isteri orang-orang yang mengaku mereka salafi, dalam manhaj, yang berteriak di atas mimbar-mimbar bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang kepada manhaj salaf, tetapi isteri-isteri mereka menangis karena dipukul, mengeluhkan tentang perbuatan suami-suami mereka terhadap mereka. ini merupakan pelajaran bagi kalian supaya kalian mengetahui, jangan cepat mempercayai seseorang. Kalau kita ingin mengukur orang itu baik atau tidak baik, kita melihat bagaimana orang itu terhadap isterinya. Mudah-mudahan mereka (yang berbuat tidak sepatutunya terhadap isteri-isterinya) kembali bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan menjadi lebih baik.

Jadi hadits ini menunjukkan tentang bahwa iman itu bertingkat-tingkat sampai pada derajat kesempurnaan. Dan yang menyempurnakan iman adalah akhlak yang mulia. Jadi orang Mu’min yang paling sempurna imannya yaitu orang yang paling baik akhlaknya. Yang paling baik budi pekertinya.

Kemudian perlu juga anda memahami apa yang dimaksud dengan akhlak. Seorang berjalan di depan orang tua sambil menunduk sambil ruku’ itu bukan akhlak, karena Islam tidak mengajarkan seseorang untuk ruku’ di hadapan orang lain. Kita berjalan biasa, tegak, kita bisa menggantikan sikap tunduk itu dengan ucapan “permisi”, atau “maaf saya akan lewat”, itu pun suatu tata cara yang baik. Tidak mesti harus tunduk, bahkan ini tidak diperbolehkan. Jadi tidak dibolehkan seorang menunduk, ruku’ kepada orang lain walaupun itu dikatakan kesopanan, etika yang mulia, tidak. Selama bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka etika itu tidak benar, siapapun yang membuat etika itu.

Keutamaan yang keempat

Bahwasanya akhlak yang mulia dapat mengangkat derajat seseorang sama dengan orang yang senantiasa berpuasa dan sholat di malam hari. Hal ini berdasarkan hadits Aiysah radhiallahu anha, ia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seorang Mu’min benar-benar dengan akhlaknya yang mulia akan bisa mencapai derajat orang yang banyak berpuasa dan yang banyak shalat di malam hari.” [5]

Dengan demikian bahwasanya akhlak yang mulia dapat melipatgandakan pahala seseorang, atau pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mencapai derajat orang-orang senantiasa berpuasa di siang hari dan bangun untuk shalat di malam hari.

Keutamaan yang kelima

Diantara keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia, bahwasanya orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi dengan akahlaknya yang mulia. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abu Umamah Al-Bahiliyyah radhiallahu anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Saya sebagai pemberi jaminan sebuah rumah di sruga yang bawa bagi orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dia hanya bercanda. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi mereka yang mulia akhlaknya. [6]

Keutamaan yang keenam

Bahwasanya orang-orang yang berakhlak mulia mereka adalah orang-orang yang paling dekat tempat tinggalnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam pada hari kiamat nanti di surga kelak, Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
  
“Sesungguhnya orang yang paling kucintai diantara kamu sekalian dan orang yang paling dekat tempat duduknya dengan tempatku di hari kiamat yaitu orang-orang yang paling baik budi pekertinya di antara kamu sekalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kamu sekalian dan orang yang paling jauh tempat duduknya di hari kiamat yaituats-tsarnaruuna, al-mutasyaddiquuna (orang yang paling banyak berbicara). Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Kami telah mengetahui makna ats-tsarnaruuna[7] dan al-mutasyaddiquuna[8] lalu apakah al-mutafaihikun?” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang takabur.” [9]


Jadi intinya adalah orang-orang yang paling dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang paling dekat majelisnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam di hari kiamat kelak adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang paling baik.

Itulah diantara keutamaan akhlak yang mulia yang mana di zaman ini, jangankan orang yang awam yang mungkin tidak mengerti tentang diin, orang-orang yang paham agama yang membawa dakwah salafiyah dab sebagaubta, justru mereka tidak memberikan contoh tentang akhlak yang mulia kepada pengikut mereka. Sehingga banyak diantara manusia yang tadinya mereka senang dan cinta kepada dakwah ini, karena mereka mendapatkan kebenaran dalam dakwah ini, mereka lari dan meninggalkan dakwah ini tatkala melihat akhlak-akhlak segelintir manusia yang demikian bejat dan rusak, yang merusak dakwah ini. Banyak terjadi seperti itu.

Maka dari itu dengan demikian kita telah mengetahui tentang bagaimana akhlak yang mulia itu sangat mempengaruhi dalam tazkiyatun nufus, membersihkan jiwa manusia.


Bagian Enam : 
___________________________
Catatan Kaki:

[1] HR Ahmad dalam Musnadnya – Maktabah Syamilah v1.0 50/116 no. 23460[2] HR Tirmidzi, Maktabah Syamilah v1.0 7/284 no. 1925[3] HR Tirmdzi Maktabah Syamilah v1.0 7/286 no. 1927 [4] HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 4/390 no. 1082[5] HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/420 no. 4165[6] HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/422 no. 4167[7] Yakni orang-orang yang katsirul kalam takallufan – banyak berbicara walaupun tidak ada kepentingan (dinukil dari penjelasan al-ustadz)[8] Yaitu orang yang kadang-kadang berbicara tentang seseorang apa-apa yang tidak ada pada orang itu, melampaui batas kepada seseorang dengan pembicaraannya dan membuat-buat mulutnya ketika berbicara agar orang tertarik dengan pembicaraannya dan seterusnya (dinukil dari penjelasan al-ustadz)[9] HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 7/309 no. 1941
0 comments

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 4

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 4

-----------------------------------------------------
Ringkasan Transkrip Audio
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
Sumber audio: www.assunnah.mine.nu
------------------------------------------------------

Kita ketahui bahwasanya takwa kepada Allah adalah tazkiyatun nufus. Karena orang yang tidak takwa kepada Allah Azza wa Jalla sulit untuk bersih jiwanya, sulit untuk bersih hatinya. Orang-orang yang bisa bersih hatinya, jwanya, adalah orang-orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali berkata bahwa ‘Persamaan antara Takwallah dengan tazkiyatun nufus ibarat sejengkal sama dengan sejengkal yang lain, sehasta sama dengan sehasta yang lain.’

Allah berfirman:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,” (QS Asy-Syams {91] :7-8)

Kemudian Allah berfirman:



قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا


“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syam {91] : 9-10)


Maka setiap amal ketaatan kepada Allah azza wa jalla yang dilakukan seseorang berarti dia telah mensucikan jiwanya.

Contohnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’la: قَد أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى sungguh telah beruntung ornag-orang yang mensucikan diri mereka… lalu dia mengingat nama tuhannya, nama rabbnya lalu kemudian dia melakukan shalat. Apalagi sebuah hadits yang disebutkan tadi:



الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ


“Shalat yang lima (waktu), shalat dari Jum’at ke Jum’at, puasa dari Ramadhan ke Ramadhan merupakan penebus dosa-dosa yang berada diantaranya, selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamila v1.0 2/23 no. 344)


Ini menunjukkan bahwa amalan-amalan kebaikan, amalan-amalan ketaatan yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ini adalah sebagai sarana mensucikan jiwa seseorang yang dengannya dia mendapatkan keuntungan. Demikian sebaliknya bahwa وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا dan telah merugilah orang-orang yang telah mengotori jiwanya. Mengotori dengan kemaksiatan, baik maksiat hati, maksiat pandangan, maksiat pendengaran. Semua kemaksiatan-kemaksiatan itu akan mengotori jiwa seseorang. Sulit untuk bersih selama orang itu bermaksiat. Nah disini firman Allah Allah memberikan pada diri seseorang itu dua kemampuan, untuk ketakwaan dan kemaksiatan. Kemudian Allah menyebutkan قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَاْ Setelah mengilhami manusia dengan ketakwaan dan kefasikan, kemudian Allah menyebutkan beruntunglah orang-orang yang mensucikannya yaitu bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan merugilah orang-orang yang mengotori dirinya, yaitu orang-orang yang berbuat kefasikan, berubat kemaksiatan. Jadi sangat erat hubungannya antara ketakwaan dengan tazkiyatun nufus.


Di dalam surat yang lain, surat An-Najm ayat 32 Allah berfirman: فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ “maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci” – maka janganlah kalian mensucikan diri kalian, artinya kalian mengatakan bahwa kami ini orangorang shalih, jangan! Kemudian apa kata Allah: هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى “karena Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang bertakwa”. Setelah Allah melarang – janganlah kalian mensucikan diri kalian, kalian mengatakan kalian paling shalih, kalian paling taat, jangan, karena Dialah yang paling mengetahui tentang siapa yang bertakwa.

Kemudian juga di dalam surat Al-Lail Allah berfirman:



وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى


“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya,” (QS Al-Lail : 17-18)


Neraka akan dijauhkan dari orang yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Siapa orang yang bertakwa itu? Yaitu orang yang mengeluarkan hartanya untuk mensucikan dirinya. Maka disini ada kata ‘atqa – berkaitan dengan takwa. Siapa yang bertakwa itu? Salah satu bentuk ketakwaan tatkala dia mengeluarkan sebagian dari hartanya untuk membersihkan dirinya. Jadi dengan demikian bahwa ayat-ayat ini membukitakan kepada kita tentang hubungan antara ketawaan dan tazkiyatun nufus. Bahwa takwa itu adalah tazkiyatun nufus, dan tazkiyatun nufus adalah ketakwaan.


Juga Nabi shallallahu alaihi wasallam berdoa: اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا ‘Ya Allah Berikanlah pada jiwa ini ketakwaannya, وَزَكِّهَا– dan sucikanlah dia. Yaitu dengan ketakwaan tadi. Setelah Allah memberikan ketakwaan, Allah mensucikan, ini permintaan beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena kalau jiwa itu takwa kepada Allah - أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا – sesungguhnya engkau sebaik-baik yang mensucikannya. أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا –Engkau pemelihara dan pelindungnya.(HR Muslim dari Zaid bin Arqam, Maktabah Syamilah v1.0 13/251 no. 4899).

Pensucian jiwa manusia merupakan salah satu diantara rukun diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Hal ini disebutkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizahullahu ta’ala bahwasanya pensucian diri manusia dan pembersihannya dari sifat-sifat yang jelek, dari sifat-sifat yang buruk serta pemurniannya dari noda-noda yang mengotorinya, serta mengangkat jiwa itu kepada akhlak yang mulia dan akhlak yang shaleh ini diantara salah satu dari misi-misi yang disampaikan atau yang dengannya Allah mengutus Nabi alaihis shalatu wassalam. Dimana pada saat itu zaman tersebut telah kosong dari kenabian setelah diangkatnya Nabi Isa alaihis salam maka ada tenggang waktu dimana Allah tidak mengutus seorang rasul kurang lebih 500 tahun. Kemudian Allah mengutus Nabi alaihis shalatu was salam. Yang dengannya, atau dengan perantaraann Nabi ini Allah menurunkan kitab Al-Qur’an, dan melalui dengan beliau pula kita diajarkan sunnah Nabi alaihis shalatu was salam yang suci. Ayat-ayat Al-Qur’an sudah dibacakan pada awal pembukaan pembahasan kita pada hari ini. Diantara firman Allah tersebut adalah surat Al-Baqarah ayat 151:


كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2] : 151)

Kemudian juga ada surat Al-Imran ayat 164 : -sungguh Allah telah memberikan anugerah, Allah telah memberikan nikmat kepada orang-orang Mukminin - tatkala Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan manusia dengan bahsa mereka, - yang mana nabi itu atau rasul itu membacakan ayat-ayat-Nya – dan mensucikan jiwa-jiwa mereka – dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan al-hikmah – padahal mereka sebelumnya termasuk orang-orang berada dalam kesesatan yang nyata.



لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ


“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”


Jadi tujuan atau misi yang dibawa oleh Nab alaihis shalatu was salam adalah untuk mensucikan orang-orang beriman. Kalau kita melihat urutan ini, dimana Allah mengatakan pada dua ayat ini وَيُزَكِّيكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا dalam surat Al-Baqarah : 151, kemudian dalam surat Al-Imran وَيُزَكِّيكُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ .
Juga pada surat Al-Jumu’ah ayat 2: يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ Rasul membacakan kepada mereka ayat-ayat kami dan mensucikan jiwa-jiwa mereka.

Ini membuktikan bahwa Al-Qur’anul Karim adalah kitab yang benar-benar dapat membersikan jiwa seseorang apabila kitab itu dibaca, dibaca, direngungkan maknanya dan diamalkan. Karena pada ayat-ayat ini sebelum mereka disucikan jiwanya, Allah menyebutkan dia (Nabi shallallahu alaihi wasallam) membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membacakan kepada mereka Al-Qur’an, mengajarkan kepada mereka Al-Qur’an. Kemudian dengan Al-Qur’an itu ajaran tauhid, ajaran-ajaran keimanan dan seterusnya, itu membersihkan jiwa mereka.

Kemudian dalam surat Al-Jumu’ah ayat 2 Allah berfirman:


هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (QS Al-Jumu’ah [62] : 2)

Demikian pula dakwah atau misi Nabi alaihis salatu was salam dalam mensucikan jiwa manusia, misi ini pun telah dibawa pula oleh seorang Nabi sebelumnya, yaitu Nabi Ibrahim alaihis shalatu was salam, yaitu tatkala dia berdoa kepada Allah Azza wa Jalla ::


وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqara [2] : 127-129)

Disini menunjukkan bahwa wahyu Allah, Al-Qur’an dan Sunnah itulah yang dapat dan mampu mensucikan jiwa manusia, hati manusia, dan inilah ajaran Nabi Ibrahim aalaihis shalatu was salam, dia meminta kepada Allah, agar Allah mengutus seorang rasul yang mengajarkan kepada umatnya kitab Allah dan Sunnah Rasul, kemudian mensucikan jiwa-jiwa mereka. Maka dari itu wahai kaum Muslimin, sesungguhnya pensucian jiwa adalah salah satu diantara tuntunan millah Ibrahim, tuntunan agama Nabi Ibrahim alaihis salam. Dan ini adalah diantara wasiat Nabi Ibrahim untuk membangun ummat yang pasrah dan tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Maka kita harus menerima dan orang yang tidak senang kepada millah Ibrahim adalah orang yang bodoh dan tidak mengerti. Oleh karena itu Allah mengatakan dalam Al-Qur’anul Karim :


وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Al-Baqarah [2] : 130)

Kemudian selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".”


Kemudian wasiat ini disampaikan Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya:


وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".”

Ini diantara dalil-dalil dari Al-Qur’anul Karim bahwasanya salah satu misi yang dibawa oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika dia diutus oleh Allah Azza wa Jalla adalah mensucikan jiwa-jiwa manusia, mensucikan jiwa-jiwa orang-orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla.

Adapun dalil-dalil dari Sunnah, diantaranya adalah sabda Nabi alaihis shalatu was salam yang berbicara tentang akhlak, yang merupakan bagian dari tazkiyatun nufus. Diantara sunnah-sunnah Nabi yang menerangkan tentang masalah ini, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :


انما بعثت لاتمم مكارم الاخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhak yang mulia.”(HR Al-Baihaqi, dalam Sunan Al-Kubra 10/129, dari Abu Hurairah dalam Maktabah Syamilah v1.0)


Dalam riwayat yang lain


إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku ditutus untuk menyempurnakan akhlak yang shaleh.“ (HR Ahmad dalam Musnadnya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 18/137 no. 8595)


Hadits ini dihasankan oleh para ulama, diantaranya Syaikh Albani dan Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali hafizahullahu ta’ala.

Di dalam hadits ini, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhak yang mulia.” Dalam hadits ini merupakan keterangan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwasanya salah satu kepentingan beliau tatkala diutus oleh Allah Azza wa Jalla yaitu untuk menanamkan qawaid, menanamkan tonggak-tonggak, fondasi akhlak yang mulia, dan menyempurnakan agar menjadi akhlak yang shaleh yang mulia dan akhlak yang terpuji. Disini kata Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizahullahu ta’ala, bahwa hadits ini menunjukkan bahwasanya tazkiyatun nufus – mensucikan jiwa- memiliki peranan yang sangat penting di dalam membentuk sebuah masyarakat yang berada di bawah khilafah ar-rasyidah, yaitu masyarakat tyang berakhlak yang mulia di atas manhaj Nabi alaihis shalatu was salam. Bahwa akhlak yang mulia merupakan bagian daripada kehidupan Islam dan tidak bisa dipisahkan. Tidakkah kita melihat bagaimana akhlaf shalafus shaleh ridwanallahu ajma’in, bagaimana akhlak mereka dalam masyarakat yang dibentuk oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka dari itu apabila ada orang yang memisahkan antara akhlak dengan manhaj, antara akhlak dengan aqidah, ini adalah suatu kesalahan dan kekeliruan. Bahwa manhaj salaf tidak lepas dari akhlak yang mulia. Maka kita lihat, bagaimana akhlak para ulama, bagaimana mereka terhadap orang tua mereka, bagaimana mereka terhadap isteri-isteri mereka, bagaimana mereka terhadap keluarga mereka. Ini semua menunjukkan dengan akhlak yang mulia yang dimiliki oleh salafus shaleh ridhwanallahu ajma’in.

0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger