Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 5

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 5

-----------------------------------------------------
Ringkasan Transkrip Audio
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
Sumber audio: www.assunnah.mine.nu
------------------------------------------------------


Akhlak yang Mulia dan Tazkiyatun Nufus


Kalau ada orang yang bertanya – pada Syaikh Salim bin Ied al-Hilali – bahwa hadits yang dibawakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam ini adalah berkaitan dengan akhlak, maka apa kaitannya dengan tazkiyatun nufus? Kata beliau jawabannya adalah: “Bukankah pensucian diri itu juga terbentuk dari akhlak yang mulia, dan istiqamah diatas akhlak yang mulia ini? Dan berpegang pada akhlak-akhlak yang tinggi dan mulia itu? Bukankah termasuk bagian dari tazkiyatun nufus adalah mengajak manusia untuk berakhlak yang mulia? Dan apabila anda ingin – kata beliau – untuk menambah pengetahuan atau keterangan dalam masalah ini, ketahuilah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah qudwah hasanah, contoh teladan yang telah beliau shallallahu alaihi wasallam berikan kepada umat ini.

Dimana beliau shallallahu alaihi wasallam sebagai contoh yang bergerak di antara manusia dengan akhlaknya yang mulia. Maka Allah Subhahanu wa Ta’ala dalam firman-Nya memuji Nabi shallallahu alaihi wasallam, Allah mentazkiah Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan rekomensasi diantara adab-adab dan akhlaknya. Allah memberikan tazkiyah kepada akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Allah menjadi saksi atas kemuliaan akhlak beliau, makanya Allah berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al-Qalam [68] : 4)

Banyak ulama yang memberikan penafsiran tentang ayat ini, dan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali bahwa penafsiran yang paling benar dalam menafsirkan ayat ini adalah perkataan Aisyah radhiallahu anha, as-siddiqah binti as-siddiq – seorang yang benar puteri seorang yang benar- tatkala dia ditanya tentang akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka dijawab oleh Aisya radhiallahu anha:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an”[1]

Yaitu apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an diwujudkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam kehidupan sehari-hari. Beliau ibarat Al-Qur’an yang berjalan, artinya apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an ditampakkan dengan amal perbuatan beliau. Ini menunjukkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti beliau,

Makna “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an” yaitu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadi seorang yang benar-benar melaksanakan Al-Qur’an, baik pada perintah-perintah Al-Qur’an atau larangan-larangan Al-Qur’an, ini seakan-akan menjadi tabiat bagi beliau shallallahu alaihi wasallam. Maka perintah apapun yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan larangan apapun yang dilarang oleh Allah dalam Al-Qur’an ditinggalkan oleh beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini suatu realita dalam kehidupan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka Allah memberikan kepada beliau semacam perangai yang mana perangai bersumber dari Al-Qur’anul Karim, menjadi tabiat beliau. Apa-apa yang terdapat dalam Al-Qur’an menjadi kepribadian Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka dari itu segala pujian yang disebutkan dari akhlak dan moral yang diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam itu selalu baik. Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa mendapat pujian dalam masalah akhlak beliau, perbuatan serta perangai Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Berkaitan dengan masalah akhlak, ada beberapa hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menerangkan tentang keutamaan akhlak dan bahwasanya akhlak itu tidak terlepas dari iman, tidak terlepas dengan manhaj, tidak terlepas dengan aqidah. Hal ini terbukti dari hadits-hadits yang menggambarkan tentang kemuliaan akhlak dan budi pekerti yang mulia.

Keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia:

Keutamaan yang pertama:

Diantara hadits-hadits yang menerangkan tengtng kemuliaan akhlak adalah bahwasanya akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan amalan seseorang di hari kiamat. Jadi antara keuataman-keutamaan akhlak yang merupakan buah dari tazkiyatun nufus. Yang pertama adalah akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan di hari kiamat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abi Hurairah dari Abu Darda radhiallahu anhu:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ




“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang Mu’min pada hari kiamat yang melebihi timbangan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah benci kepada sesuatu yang keji dan ucapan-ucapan yang jelek.” [2]


Maka salah satu bentuk akhlak yang mulia adalah dengan berbicara dengan perkataan yang baik dan sopan. Hadits shahih lighairihi (menurut Syaikh.

Hadits ini menunjukkan bahwasanya akhlak yang baik salah satu diantara amal-amal shalih yang besar, yang mana seorang hamba akan mendapatkan pahala yang besar itu pada catatan amalnya di hari kiamat kelak dan tatkala ditimbang amalan-amalan tersebut.

Dan bahwa perkataan yang jelek, perkataan yang kotor, perkataan yang keji itu adalah dibenci Allah subhanahu wa ta’ala. Allah membenci ucapan-ucapan yang kotor dan keji.

Keutamaan yang kedua:

Bahwa akhlak yang mulia adalah salah satu penyebab yang sangat banyak memasukkan seorang hamba ke surga. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah radhiallahu ta’ala anhu, dia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ


“Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah ditanya tentang apakah yang banyak memasukkan seseorang ke surga? Nabi menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.” 


وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْج
ُ

Kemudian beliau ditanya tentang apakah yang paling banyak memasukkan seseorang kepada ke neraka. Nabi menjawab: “Mulut dan kemaluan.” [3]


Jadi yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka, yaitu orang yang tidak menjaga lisannya dan yang tidak memelihara kemaluannya, tidak memelihara kehormatannya.

Dari hadits ini menunjukkan perintah agar seseorang senantiasa takwa kepada Allah azza wa jalla dan berperangai yang baik, berakhlak yang mulia. Kemudian hadits ini juga menunjukkan larangan, agar kita berhati-hati dalam berbicara, menjaga lisan kita, karena semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah azza wa jalla. Kita menjaga lisan dari ucapan-ucapan kufur, dari ghibah, adu domba (namimah), bersaksi palsu, menuduh orang berzina dengan lisan-lisan ini. Berhati-hatilah dengan semua itu, karena semua itu akan memasukkan seseorang ke dalam neraka. Atau menuduh seorang Muslim dengan sesuatu yang tidak ada padanya, ini termasuk diantara hal-hal yang akan membahayakan seseorang, ancaman bagi dirinya.

Keutamaan yang ketiga

Bahwa akhlak yang mulia adalah penyempurna iman seseorang. Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abu Hurairah, ia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantarta kalian adalah orang yang paling baik kepada isterinya.” [4]

Banyak sebelum ini kejadian-kejadian yang dahsyat yang kami mengetahui dan mendapat input dari beberapa isteri-isteri orang-orang yang mengaku mereka salafi, dalam manhaj, yang berteriak di atas mimbar-mimbar bahwa mereka adalah orang-orang yang berpegang kepada manhaj salaf, tetapi isteri-isteri mereka menangis karena dipukul, mengeluhkan tentang perbuatan suami-suami mereka terhadap mereka. ini merupakan pelajaran bagi kalian supaya kalian mengetahui, jangan cepat mempercayai seseorang. Kalau kita ingin mengukur orang itu baik atau tidak baik, kita melihat bagaimana orang itu terhadap isterinya. Mudah-mudahan mereka (yang berbuat tidak sepatutunya terhadap isteri-isterinya) kembali bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan menjadi lebih baik.

Jadi hadits ini menunjukkan tentang bahwa iman itu bertingkat-tingkat sampai pada derajat kesempurnaan. Dan yang menyempurnakan iman adalah akhlak yang mulia. Jadi orang Mu’min yang paling sempurna imannya yaitu orang yang paling baik akhlaknya. Yang paling baik budi pekertinya.

Kemudian perlu juga anda memahami apa yang dimaksud dengan akhlak. Seorang berjalan di depan orang tua sambil menunduk sambil ruku’ itu bukan akhlak, karena Islam tidak mengajarkan seseorang untuk ruku’ di hadapan orang lain. Kita berjalan biasa, tegak, kita bisa menggantikan sikap tunduk itu dengan ucapan “permisi”, atau “maaf saya akan lewat”, itu pun suatu tata cara yang baik. Tidak mesti harus tunduk, bahkan ini tidak diperbolehkan. Jadi tidak dibolehkan seorang menunduk, ruku’ kepada orang lain walaupun itu dikatakan kesopanan, etika yang mulia, tidak. Selama bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka etika itu tidak benar, siapapun yang membuat etika itu.

Keutamaan yang keempat

Bahwasanya akhlak yang mulia dapat mengangkat derajat seseorang sama dengan orang yang senantiasa berpuasa dan sholat di malam hari. Hal ini berdasarkan hadits Aiysah radhiallahu anha, ia berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya seorang Mu’min benar-benar dengan akhlaknya yang mulia akan bisa mencapai derajat orang yang banyak berpuasa dan yang banyak shalat di malam hari.” [5]

Dengan demikian bahwasanya akhlak yang mulia dapat melipatgandakan pahala seseorang, atau pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sehingga mencapai derajat orang-orang senantiasa berpuasa di siang hari dan bangun untuk shalat di malam hari.

Keutamaan yang kelima

Diantara keutamaan-keutamaan akhlak yang mulia, bahwasanya orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi dengan akahlaknya yang mulia. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dari Abu Umamah Al-Bahiliyyah radhiallahu anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Saya sebagai pemberi jaminan sebuah rumah di sruga yang bawa bagi orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dia hanya bercanda. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi mereka yang mulia akhlaknya. [6]

Keutamaan yang keenam

Bahwasanya orang-orang yang berakhlak mulia mereka adalah orang-orang yang paling dekat tempat tinggalnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam pada hari kiamat nanti di surga kelak, Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
  
“Sesungguhnya orang yang paling kucintai diantara kamu sekalian dan orang yang paling dekat tempat duduknya dengan tempatku di hari kiamat yaitu orang-orang yang paling baik budi pekertinya di antara kamu sekalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kamu sekalian dan orang yang paling jauh tempat duduknya di hari kiamat yaituats-tsarnaruuna, al-mutasyaddiquuna (orang yang paling banyak berbicara). Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Kami telah mengetahui makna ats-tsarnaruuna[7] dan al-mutasyaddiquuna[8] lalu apakah al-mutafaihikun?” Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Yaitu orang-orang yang takabur.” [9]


Jadi intinya adalah orang-orang yang paling dekat dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang paling dekat majelisnya dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam di hari kiamat kelak adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang paling baik.

Itulah diantara keutamaan akhlak yang mulia yang mana di zaman ini, jangankan orang yang awam yang mungkin tidak mengerti tentang diin, orang-orang yang paham agama yang membawa dakwah salafiyah dab sebagaubta, justru mereka tidak memberikan contoh tentang akhlak yang mulia kepada pengikut mereka. Sehingga banyak diantara manusia yang tadinya mereka senang dan cinta kepada dakwah ini, karena mereka mendapatkan kebenaran dalam dakwah ini, mereka lari dan meninggalkan dakwah ini tatkala melihat akhlak-akhlak segelintir manusia yang demikian bejat dan rusak, yang merusak dakwah ini. Banyak terjadi seperti itu.

Maka dari itu dengan demikian kita telah mengetahui tentang bagaimana akhlak yang mulia itu sangat mempengaruhi dalam tazkiyatun nufus, membersihkan jiwa manusia.


Bagian Enam : 
___________________________
Catatan Kaki:

[1] HR Ahmad dalam Musnadnya – Maktabah Syamilah v1.0 50/116 no. 23460[2] HR Tirmidzi, Maktabah Syamilah v1.0 7/284 no. 1925[3] HR Tirmdzi Maktabah Syamilah v1.0 7/286 no. 1927 [4] HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 4/390 no. 1082[5] HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/420 no. 4165[6] HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/422 no. 4167[7] Yakni orang-orang yang katsirul kalam takallufan – banyak berbicara walaupun tidak ada kepentingan (dinukil dari penjelasan al-ustadz)[8] Yaitu orang yang kadang-kadang berbicara tentang seseorang apa-apa yang tidak ada pada orang itu, melampaui batas kepada seseorang dengan pembicaraannya dan membuat-buat mulutnya ketika berbicara agar orang tertarik dengan pembicaraannya dan seterusnya (dinukil dari penjelasan al-ustadz)[9] HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 7/309 no. 1941
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger