Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus - 6 (Selesai)

Manhaj Para Nabi dalam Tazkiyatun Nufus

-----------------------------------------------------
Ringkasan Transkrip Audio
Minhajul Anbiya fi Tazkiyaun Nufus
Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim, Lc.
Sumber audio: www.assunnah.mine.nu
------------------------------------------------------
MAKNA TAKWA 
Takwa menurut Bahasa
 
Secara langsung, makna takwa yang menurut istilah atau secara bahasa, takwa dari kata-kata al-wiqayah (yang bermakna) memelihara (atau menjaga sesuatu). Orang yang bertakwa yaitu orang yang menjadikan antara dia dan apa yang ditakutinya diberi pembatas. Kalau seseorang takwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu untuk menghalangi dia dari murka Allah subhanahu wa ta’ala, dari azab Allah subhanahu wa ta’ala. Ini hakikatnya, seseorang yang bertakwa kepada Allah artinya dia menjadikan sesuatu sebagai pelindung antara dia dengan kemurkaan Allah. Bagaimana caranya? Diantaranya adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan ketakwaan.

Disini disebutkan ketakwaan seorang hamba kepada Rabb-nya yaitu dengan menjadikan antara dirinya dan antara apa-apa yang dia takuti dari Tuhannya, berupa kemaharan Allah, kemurkaan Allah, sangsi atau azab Allah dia jadikan ada pemisa supaya dia tidak terjerumus pada hal-hal yang ditakutinya, dengan cara melaksanakan ketaatan kepada Allah azza wa jalla dan menjauhi kemaksiatan terhadap Allah azza wa jalla.

Pernah suatu ketika Umar bin Khaththab radhiallhu anhu bertanya kepada Ubay bin Ka’ab ra tentang ketakwaan, apa yang dimaksud takwa? Maka Kata Ubaid ra: “bukankah anda pernah berjalan di suatu jalan yang berduri? Umar menjawab; “Benar.” Ubaid berkata; “Apa yang anda lakukan (ketika berjalan di atas jalan yang ada durinya)?” Kata Umar; “Aku berhati-hati Ubaiy berkata: “Itulah takwa.”

Jadi ibarat orang yang berjalan di jalan yang banyak durinya tentunya dia berhati-hati agar tidak terkena duri. Demikianlah ketakwaan, ibarat dunia ini penuh dengan duri. Kita memiliki tanggungjawab yang banyak, shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, yang merupakan kewajiban-kewajiban, kemudian amar ma’ruf nahi mungkar, kita mempunyai kewajiban kepada isteri, kepada anak-anak, memberi nafkah kepada mereka, kemudian kita juga dibebankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menjauhi larangan-larangan-Nya, dari ghibah, menipu, berzina, minum khamr dan lain sebagainya. Nah ini sebuah ibarat duri, maka selalu lah berhati-hati dalam berjalan. Bagaimana dia melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi kehidupan ini memang penuh dengan rambu-rambu dalam perjalanan. Maka seseorang harus pandai-pandai mengetahui dimana saat dia berhenti, dimana saat dia berjalan, dimana saat dia berhati-hati. Semua ini gambaran-gambaran tentang kehidupan.

Jadi apa yang digambarkan oleh Ubaiy bin Ka’ab ra dengan takwa ini ada dalam gambaran kehidupan kita, dari tugas dan tanggung jawab kita. Apalagi hidup di zaman seperti ini, durinya lebih banyak, kemaksiatan di mana-mana, setiap saat sekarang ini siapa yang melakukan kemaksiatan ada jalannya, dengan mudah mendapatkannya. Rasa malu seakan-akan hilang dan lenyap. Kalau dahulu ada wanita yang hamil di luar pernikahan itu terjadi kiamat kecil di kampung dan demikian malunya anak itu disingkirkan dari kampungnya. Tetapi zaman sekarang seakan-seakan biasa, kecelakaan kecil. Jadi demikian rusaknya zaman ini. Waiyyazubillah. Maka dari itu, kita harus lebih waspada dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.

Takwa dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Kalimat takwa yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.


1. Disebutkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, hafizahullahu ta’ala, bahwa di dalam Al-Qur’anul Karim kalimat takwa kadang-ladang digandengkan dengan nama Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Ma’idah [5] : 96)

Kalimat takwa ini digandengkan dengan Allah, dikaitkan dengan ketakwaan kepada Allah.

Juga dalam ayat yang lain:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.” (QS Al-Hasyr [59] : 18)

Kemudian pada Surat Al-Baqarah ayat 96 Allah berfirman:


وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Baqarah [2] : 196)

Kemudian sangat banyak ayat-ayat yang lain yang menernangkan penggunaan kalimat takwa dalam Al-Qur’anul Karim kadang-kadang dengan menyambung antara takwa dengan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala, jadi agar kita takut kepada Allah.

Apabila demikian, kalau kata-kata itu disambung dengan nama Allah, takutlah kamu kepada Allah, ini artinya takutlah kamu kepada murka Allah, dan kemarahan-Nya, karena yang paling harus ditakuti yaitu kemurkaan Allah dan kemarahan Allah. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an apabila kita diperintakan ‘takutlah (bertakwalah) kamu kepada Allah’, maka maksudnya kamu kepada murka dan kemarahan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan dari kemurkaan itulah timbulnya azab baik di dunia dan di akhirat. Maka Allah mengatakan dalam surat Al-Imran ayat 28:

وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِ

“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Al-Imran [3] : 28)

Mengapa Allah yang paling ditakuti? Karena disebutkan dalam Al-Qur’an:

هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَةِ

“(Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.” (QS Al-Mudatsir [74] : 56)


Arti ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala adalah sangat pantas untuk ditakuti, dan Dia yang paling dimuliakan dan paling diagungkan dalam hati hamba-hamba-Nya. Sehingga dengan demikian jika seorang menanamkan dalam dirinya bahwa Allah yang paling ditakuti, ini akan mendorong dia untuk menyembak kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada-Nya. Karena Allah yang memiliki segala sifat-sifat kemuliaan dan kebesaran. Allah mampu berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Dia memiliki kekuatan, Dia memiliki adzab, Apabila seorang berbuat demikian, dia bertakwa kepada Allah, mengangungkan Allah, maka Allah pasti akan memberikan kepada dirinya ampunan-Nya.

2. Karena diantara yang ditakuti itu adalah kemurkaan Allah, maka dalam Al-Qur’anul Karim, kadang-kadang kata takwa digandengkan dengan azab (siksa) Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’anul Karim surat Al-Baqarah ayat 24:
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,” (QS Al-BAqarah [2] : 24)

Kemudian dalam surat Al-Imran ayat 131 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”

Kata takwa digandengkan dengan kata zaman (yakni waktu siksaan tersebut). Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 241:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.;”

Jadi kata takwa digandengkan dengan zaman atau hari, yaitu hari kiamat. Karena pada hari itu akan berlangsung perhitungan, akan ditampakkan amalan-amalan manusia.

Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 123 Allah berfirman:

وَاتَّقُوا يَوْمًا لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا

“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikit pun.”


Jadi dalam Al-Qur’anul Karim kata takwa yang pertama dikaitkan dengan Allah, yang kedua dengan sangsi (siksa) yang terdiri dari dua, yaitu zaman (waktu), yakni hari kiamat, dan makan (tempat) yakni neraka.

3. Adapun di dalam sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam, dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selain dari apa yang disebutkan tadi kata takwa dihubungkan dengan larangan-larangan), seperti kata takwa disambung dengan kalimat kezaliman dan sifat pelit dan kikir.

اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Takutlah kamu dari berbuat aniaya (zalim) karena berubat zalim itu merupakan kegelapan-kegelapan di hari kiamat.”

Semakin banyak orang melakukan kezaliman, semakin kegelapan yang didapatinya. (lalu kelanjutan hadits di atas)”

وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Dan takutlah kamu kepada sifat pelit yang amat sangat, sesungguhnya sifat pelit ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, sifat pelit ini telah membawa mereka untuk menumpahkan darah diantara mereka, dan menjadikan mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla.” [1]

Kemudian dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam kalimat takwa dikatikan dengan doa orang-orang yang dizalimi. (Maka) berhati-hati kita mendzalimi orang lain, menuduh seseorang apa yang tidak pernah dilakukannya, inilah kezaliman. Kalau orang tersebut mendoakan yang jelek bagi si penuduh ini maka akan kena cepat atau lambat, meskipun itu orang kafir, atau orang jahat, kalau dia dizalimi dan dia berdoa kepada Allah azza wa jalla maka doanya terkabul.

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiallau anhu ke Yaman, diantara wasiat beliau kepada Mu’adz:

وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
“Takutlah engkau kepada doa orang-oang yang dizalimi, karena antara doa orang yang dizalimi dengan Allah tidak ada pembatas.” [2]

Kemudian kalimat takwa juga dikaitkan dengan dunia dan berbagai syahwat yang ada dalam dunia ini. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam:

فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ


“Takutlah engkau kepada (fitnah) dunia dan takutlah kepada wanita.”[3]


Kemudian kalimat takwa ini di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam dikaitkan dengan hal-hal yang diharamkan.

اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
“Takutlah engkau dari hal-hal yang diharamkan. Niscaya engkau akan menjadi hamba yang paling baik ibadahnya. Hal ini karena seorang yang meninggalkan kemaksiatan dia memiliki banyak waktu untuk taat kepada Allah Azza wa Jalla.”[4]

Kata-kata takwa dikaitkan dengan syubhat, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan agamanya dan. kehormatan” [5]

Setelah kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah maka makna takwa itu adalah kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah Azza wa Jalla, karena mengharapkan pahala di sisi Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dari bimbingan cahaya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau takut dari sangsi Allah. Ini adalah perkataan ini dari Thallab bin Habib radhiallahu anhu.

Dengan demikian apabila seseorang sampai pada derajat ketakwaan yang sebenarnya, yang hakiki, maka pada saat itu lah orang ini akan terbimbing dalam kehidupannya. Jadi pada hakekatnya makna takwa ini adalah mendalam. Kalimat ini banyak diucapkan tapi tidak pernah ditafsirkan. Maka dari itu kalimat takwa itu ibarat sesuatu yang murah. Setiap saat kita dengar dalam ceramah-ceramah, tapi apa makna takwa kepada Allah? Banyak! Takwa kepada Allah dalam ibadah kita; takwa kepada Allah dalam tanggung jawab kita, rumah tangga dan anal-anak kita; takwa kepada Allah dalam tugas-tugas kita, dalam pekerjaan dan amanah-amanah yang diberikan kepada kita. Semuanya ini ada kaitannya dengan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla. Apabila seseorang benar-benar takwa kepada Allah dalam pekerjaannya dalam amanah yang diberikan kepadanya pada tugas dan tanggung jawabnya, maka terciptalah masyarakat yang takwa kepada Allah yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

Lalu dimanakah tempat takwa itu? Tempat takwa adalah di hati seseorang. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
“Takwa itu tempatnya di sini (beliau mengisyaratkan ke dadanya tiga kali).”[6]


Takwa itu tempatnya di hati seseorang. Itulah sebabnya dalam hadits shahih Nabi shallallahu alaihi wasallam menyebutkan:

وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah bahwasanya di dalam jasad seseorang ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka akan baik pula jasad seluruhnya, dan apabila segumpal daging itu rusak, maka jasad pun akan rusak semuanya. Ketahuilah itulah dia jatung.”[7]

Itulah dia jantung, yang diartikan dengan hati manusia, tempat beredarnya darah, yang mana ketika seseorang marah maka berdenyut jantungnya. Itulah yang dimaksud ‘qalbun’.

Ketahuilah bahwa aqidah dan manhaj salaf tidak terlepas dari tazkyatun nufus, tidak terlepas dari akhlak dan moral, tidak terlepas dari ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla.



Sumber: A Learning Page
 
Catatan kaki:
[1] (HR Muslim dari Jabir dari Abdullah. Maktabah Syamilah v1.0 12/456 no. 4675)
[2] HR Muslim dari Ibnu Abbas dari Mu’adz bin Jabal, Maktabah Syamilah 1/111 no. 27.
[3] HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 13/286 no. 4935.
[4] HR Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Maktabah Syamilah v1.0 8/275 no. 2227.
[5] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996.
[6] HR Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 12/426 no. 4650
[7] HR Muslim dari Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu, Maktabah Syamilah v1.0 8/290 no. 2996
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger