Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 2)
Hal ini berlawanan dengan sunnah kauniyah yang ditetapkan Allah tentang (metode) perubahan yang terjadi diantara makhluk hidup.
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-ar-rad-ayat-1-11.html#sthash.hjo7SCFX.dpuf
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-ar-rad-ayat-1-11.html#sthash.hjo7SCFX.dpuf
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-ar-rad-ayat-1-11.html#sthash.hjo7SCFX.dpuf
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-ar-rad-ayat-1-11.html#sthash.hjo7SCFX.dpuf
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu yang merubah keadaan mereka sendiri.” (ar-Ra'du 13:11)
Jika
kita berangan-angan bahwa pemerintahan akan berubah, sementara
masyarakatnya sendiri tidak beriman terhadap Dien mereka, yang akan
terjadi adalah masyarakatnya sendiri yang akan melakukan revolusi
(pemberontakan), sebagaimana yang telah terjadi. Sebagai contoh,
akhir-akhir ini di Rusia, Negara ini didirikan dengan cara kekuatan
tirani dan penindasan terhadap rakyatnya melalui pembunuhan, dan lain
sebagainya. Kita akan mendapatkan bahwa masyarakatnya tidak akan
mendukung pemerintahannya, bahkan melawannya. Memang, hukum Allah harus
ditegakkan di atas permukaan bumi, amanah ini harus diemban dan dijaga
oleh orang-orang mu’min.
هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ
وَبِالْمُؤْمِنِينَ
هُوَ
الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِينَ - See more at:
http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-al-anfaal-ayat-62-75.html#sthash.Dcyo3FmM.dpuf
“Dialah Allah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’minin”.
(al-Anfal 8:62).
Kita tidak menunggu Timur maupun Barat menolong Dien
ini, namun ummat ini sendiri yang harus menjadi pengembannya dan
mempertahankan Dien ini.
Inilah
gambaran singkat tentang Hizbut Tahrir, dan tentunya mereka berdebat
tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa Kitab, dan tanpa cahaya.
Kita telah sering duduk dengan mereka, diantara yang pernah kami
utarakan kepada salah seorang dari mereka ketika mendikusikan khobarul
ahad adalah, kita mengatakan
“Telah jelas atasmu bahwa yang haq adalah wajib menerima khobarul ahad, jadi apakah kau akan menerimanya?”,
Dia menjawab,
“Tidak, karena aku harus tetap berpegang dengan pandangan partai.”
Mereka membuat peraturan, bahwa jika pandangan partai berlawanan dengan
pandanganmu, kamu harus berpegang dengan pandangan partai, tidak dengan
pandanganmu sendiri[1].
Maka
kami katakan, lantas, apa hasil dari diskusi denganmu ini? Jika engkau
tidak mau menyerahkan pandangan partai secara pasrah kepada hujjah yang
nyata. Mereka menetapkan suatu peraturan, yakni seseorang harus
mempertahankan pendapat Imam atau negerinya. Adapun jika menyangkut
masalah dosa, dimana pemerintah, kholifah ataupun kelompok bisa berlaku
benar bisa juga salah, maka jika suatu kesalahan yang dilakukan,
bagaimana bisa ia tetap bertahan dengannya padahal ia mengetahui bahwa
hal itu haram?!.
Bayangkan,
sebagai contoh, bahwa ada suatu pemerintah yang bermadzhab Hanafiyyah
yang berpendapat bahwa meminum sedikit alkohol atau dalam jumlah yang
tidak sampai memabukkan adalah boleh, namun yang dilarang adalah jika
berlebihan sehingga memabukkan. Apakah seseorang dalam hal ini harus
berpegang dengan pendapat imamnya? Atau, contoh lain, Imamnya
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana menimpa Imam
Ahmad, apakah lantas ia kemudian harus menerima pendapat imamnya?? Dan
praktek beliau (Imam Ahmad) adalah berlawanan dengan hal ini.
Demikianlah
ulasan singkat tentang Hizbut Tahrir, mereka tidaklah mengikuti islam
(secara kaafah) namun hanya mengemban ide-ide islam saja, mereka
memiliki pendapat-pendapat yang aneh (dan bathil)[2],
Sebagai contoh, mereka tidak memerintahkan isteri-isteri mereka untuk berpakaian secara islami[3],
dikarenakan mereka berpandangan bahwa kaum pria tidak memiliki otoritas
terhadap wanita sampai tegaknya khilafah. Tentu saja hal ini
menyelisihi hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, dimana seorang lelaki harus
berupaya keras menyelamatkan keluarganya dari api neraka,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim 66:6)
PERTANYAAN 1: Mereka mengatakan, “Aku menerima hadits (ahad) dalam Bukhary adalah shahih, namun aku tidak mengimaninya.” Apakah sebaiknya jawaban dan sikap kita terhadap orang seperti ini?
JAWABAN: Teks perkataan mereka tersebut terdapat dalam kitab mereka ad-Dusiyah[4] mengenai hadits (ahad) tersebut. Sebagai contohnya adalah hadits berikut,
”Ketika
kamu selesai dari tasyahud akhir, ucapkanlah : ‘Ya Allah aku berlindung
kepadamu dari siksa kubur dan siksa api neraka dan aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati dan fitnah al-Masih ad-Dajjal.’”
Mereka mengatakan, ‘Aku mengamalkan hadits ini sebagai ilmu, oleh
karena itu kami mengucapkan do’a tersebut, namun kami tidak mengimani
(berita/kandungannya)!?” hal ini sungguh pertentangan yang gila!
Bagaimana mungkin engkau membenarkan/menetapkan suatu pernyataan, namun
engkau tidak meyakininya/mengimaninya? Hal ini sungguh tidak
rasional/tidak masuk akal! Seolah-olah engkau mengatakan, ‘Aku
mengucapkannya dengan lisanku namun tidak aku imani dengan hati’. Mereka
tidak mengimani adanya siksa kubur, mereka tidak mengimaninya namun
membenarkannya!!!
PERTANYAAN 2: Ada hadits shahih tentang siksa kubur yang bukan ahad (Mutawatir).
JAWABAN
: Tentu saja mereka tidak mempercayai hadits yang mutawatir ma’nawiy.
Mutawatir dalam ilmu hadits ada dua kategori, yaitu:
- Mutawatir Lafdhiy (yang lafadhnya mutawatir), seperti hadits, “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di atas api neraka.” dan.
- Mutawatir Ma’nawiy (yang lafadhnya berlainan namun maknanya sama) seperti hadits turunnya Isa al-masih ‘alaihi salam, banyak hadits yang memberitakannya dengan tidak satu lafadh, namun mereka bersepakat akan satu fakta tunggal, yaitu turunnya Isa al-masih. Juga hadits munculnya Dajjal, munculnya Imam Mahdi ‘alaihi salam, dan semua hadits tentang hal ini adalah ahad menurut mereka, bahkan walaupun jika mereka bersepakat tentang indera dan maknanya asalkan selama hadits ini tidak diriwayatkan dengan lafadh tunggal (ahad).
Oleh
karena itu semua sunnah menurut mereka adalah ahad kecuali sebahagian
kecilnya saja. Namun, jika kita tanyakan kepada mereka, ‘Apakah yang
mutawatir darinya?’, mereka tidak bisa menjawabnya. Maka, pernyataan
‘kita membenarkan namun kita tidak mengimani’ adalah benar-benar suatu
pernyataan yang kontradiktif dan mustahil. Sebagaimana ucapan seorang
penyair :
“Yang terburuk dari kemustahilan adalah membawa dua perkara yang berlawanan sekaligus dalam satu waktu”.
Juga sebagaimana perkataan, ‘sekarang malam dan siang’ yang diucapkan
pada satu waktu, hal ini jelas-jelas tidak mungkin!! ‘Benda ini hidup
dan mati’, ‘Kau benarkan dan tidak kau imani’, sedangkan I’tiqod adalah
pembenaran secara pasti, sebagaimana ucapan mereka sendiri,
“I’tiqod adalah pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan di atas bukti dan dalil yang jelas”.
Lantas, bagaimana mungkin engkau mengatakan bahwa engkau membenarkan
kemudian kau katakan juga bahwa kau tak mengimaninya secara pasti. Jadi
pernyataanmu ini bukan pembenaran, melainkan hanyalah keraguan dan
kebimbangan.”
Mereka berupaya menggunakan sebagai hujjah mengenai hal ini, bahwa khobarul ahad hanya membuahkan dhon belaka, dengan menukil,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ
“Mereka
tidaklah mengikuti melainkan hanya persangkaan (dhonn) dan hawa nafsu
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” (an-Najm 53:23)
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan (dhonn), sedangkan
sesungguhnya dhonn itu tidaklah berfaidah sedikitpun terhadap mereka” (an-Najm 53:28).
Padahal,
dzhon yang disebutkan pada ayat ini adalah dhon yang tidak benar atau
tidak terbukti, bukanlah (dhon) sebagai suatu hal yang pasti. Hal ini
ditunjukkan oleh perkataan mereka bahwa khobarul ahad, adalah hujjah
bagi hukum syari’at dan jika hal itu adalah dhan yang bersifat
spekulatif tidak benar, maka mereka tidak akan beribadah kepada Allah
dengannya, dikarenakan dhan tersebut hanyalah berupa khayalan dan
keragu-raguan. Sedangkan dhan yang benar merupakan dhan pada tingkat
yakin. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa keyakinan itu
bertingkat-tingkat, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala :
كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ # ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ # كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
“janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu
mengetahui dengan pengetahuan yang yakin (‘ilmul yaqin).” (at-Takatsur 102:3-5)
Tingkat pengetahuan yang dapat dicapai dari ayat ini adalah menjadi yakin.
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ # ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ # ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Niscaya
kamu benar-benar akan melihat Neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu akan
melihatnya dengan ‘ainul Yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada
hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia)” (at-Takatsur 102:6-8)
Jadi, antara ‘Ilmul Yaqin dengan ‘Ainul Yaqin merupakan sebuah tingkatan, dimana Allah menyebutkan pula di akhir Surat al-Haaqah[6], Haqqul Yaqin.
Dari ayat-ayat di atas, kita memiliki:
- ‘Ilmul Yaqin.
- Haqqul Yaqin dan.
- ‘Ainul Yaqin.
Keseluruhan
darinya adalah al-Yaqin. Jadi, apakah al-Yaqin ini sesuatu yang
bersendirian? Tidak! Bahkan yakin ini adalah sesuatu yang
bertingkat-tingkat, yakin memiliki tingkatan-tingkatan (yang berbeda)!
Namun akarnya adalah satu, yaitu ilmu pengetahuan. Jadi, hadits nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang telah memenuhi 5 syarat shahihnya
hadits, yaitu:
- Silsilah/rantai periwayatan bersambung oleh perawi yang
- Tsiqoh (terpercaya keadilannya)
- Dhabit (cerdas atau hafalannya kuat)
- Tidak syadz (bertentangan dengan yang lebih tsiqah) dan
- Tidak memiliki illat (penyakit/kelemahan yang tersembunyi)
Syarat-syarat
inilah yang melindungi hadits dari kesalahan dan kealpaan. Kita
katakan, memang bisa jadi seorang perawi itu lupa atau salah, namun kita
bisa menjadi yakin dalam perkara ini (yaitu setelah terpenuhinya kelima
syarat tadi), bahwa perawi ini tidak lupa dikarenakan ia adalah seorang
yang dlabit dan tsiqoh pada diennya lagi terpercaya[7],
Serta
diriwayatkan darinya oleh orang-orang sepertinya yang terpercaya dan
memiliki hafalan yang kuat lagi tidak melupakan sesuatu apapun, juga
tidak bertentangan dengan hadits yang lainnya dan tak memiliki ‘illat.
Maka kita bisa menjamin bahwa perawi tersebut tidak lupa, bukan
dikarenakan kita menganggapnya sempurna (ma’shum), namun dikarenakan
kita telah memeriksa dan mengeceknya[8].
Sehingga persyaratan ini menghasilkan ilmu (yakin) kepada kita.
Walaupun seandainya kita berkata, hadits ini hanya membuahkan dhan,
namun dhan yang manakah yang dimaksud? Dhon yang yakin lagi benar
ataukah dhon yang salah. Tentulah mereka akan mengatakan dhon yang
benar! Kemudian kita katakan, Khobar ini adalah sumber bagi aqidah
sebagaimana dalam Firman Allah :
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“yaitu orang-orang yang meyakini (dhon) bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali pada-Nya.”
(al-Baqoroh 2:46).
Kata dhon di sini digunakan sebagai makna
keyakinan/keimanan dari salah satu rukun iman, yaitu iman kepada hari
akhir. Allah Ta’ala berfirman :
إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ
‘Sesungguhnya aku yakin (dhonn), bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.” (al-Haaqah 69:20).
(Penggunaan istilah dzhon) pada ayat ini dinyatakan sebagai pujian terhadap mereka, orang-orang mu’min.
Demikian pula pada ayat,
وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ
“Serta mereka telah mengetahui (dhonn), bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.”
(at-Taubah 9:118)
Pada kisah orang-orang yang ditangguhkan (taubatnya).
Di sini dhon juga bermakna keyakinan/I’tiqod, jadi ia bermakna iman.
Sebagai
ringkasan, mereka mencampur aduk dan inkonsisten, anda dapat melihat
salah seorang dari mereka, misalnya, mencukur habis jenggot mereka,
berpakaian dengan pakaian kafir, tidak bertingkah laku dengan
hukum-hukum islam pada keseharian hidupnya. Dia mendukung ide-ide islam.
Islam menurutnya adalah sebuah cita-cita yang harus
digembar-gemborkannya. Padahal yang diperlukan Islam adalah mengikuti
Islam (secara kaafah), tidak hanya menggembar-gemborkan ide-ide islam
semata. “Sungguh besar kebencian di sisi Allah kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf 61:3)
Oleh : Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly
Maktabah abu Salma Al Atsary
http://dear.to/abusalma
[1]
Dalam buku Mengenal Hizbut Tahrir, terbitan Pustakah Thoriqul Izzah,
hal 21 dikatakan tentang keanggotaan Hizbut Tahrir, “Cara mengikat
individu-individu di dalam hizb adalah dengan memeluk aqidah islam,
matang dalam tsaqofah hizb dan mengambil serta menetapkan ide-ide dan pendapat hizb”
[2] Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka. Di sini saya sebutkan beberapa diantaranya :
- Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nidhomul Ijtima’iy fil islam(Sistem
pergaulan dalam Islam, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 67), “Seorang pria
pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula
sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada
penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah su’al jawab mereka no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970, no 8/Muharam/1390 atau 16/3/1970 dan nusyroh al-ajwibah wal as^ilah tanggal 26/4/1970.
- Hizbut
Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka
wajah tidak termasuk aurot. Taqiyuddin berkata dalam Sistem pergaulan
dalam Islam hal 61, “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin
laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (an-Nur (24) :
30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada
selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak
tangan adalah mubah.”
- Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam Nusyrah jawab wa su’al
no 9 (20/Safar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurot
dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun
hadits-hadits yang warid mengenai larangan musik adalah tidak shohih
haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang
memperbolehkan musik adalah shohih”.
Dan
masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya. Sungguh
suatu musibah besar bagi syabab islam yang tersamarkan dengan
keganjilan-keganjilan fiqhiyyah seperti ini…
[3] Contohnya adalah Hizbut Tahrir memperbolehkan wanita berpakaian dengan celana, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al (2/Muharam/1392
atau 27/2/1972M). Akhowat Hizbut Tahrir juga terkenal dengan pakaiannya
yang bercorak dan bermotif serta berwarna-warni menarik perhatian, hal
ini jelas menyelisihi hikmah disyariatkannya jilbab muslimah.
[4] Ad-Dusiyah hal
6, teks lengkapnya adalah sebagai berikut ; “Dari Abi Hurairah
Radhiallahu 'anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
Sallam: “Jika kamu selesai dari tasyahud akhir, memohonlah engkau perlindungan kepada Allah dari 4 hal, dari adzab jahannam… dst” dan hadits dari Aisyah Radhiallahu 'anha, berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdo’a dalam sholatnya, “Ya Allah aku memohonh kepada-Mu perkindungan dari adzab kubur…dst”.
Dua hadits ini adalah khobar ahad, keduanya berisi anjuran mengamalkan
do’a ini setelah selesai tasyahud, sehingga termasuk sunnah berdo’a
dengan do’a ini setelah selesai tasyahud. Adapun berita yang terkandung di dalamnya boleh dibenarkan namun haram diyakini secara pasti kebenarannya!!! Yaitu beri’tiqod dengan berita dalam hadits ahad atau dengan dalil dhonniy. Namun jika khobar tersebut mutawattir, wajib beri’tiqod dengannya.”
Syaikh Salim al-Hilaly mengomentari pernyataan ini dalam al-Jamaa’at hal.
317, sebagai berikut : “Ucapan tersebut adalah pertentangan yang
membingungkan! Karena mereka memisahkan antara iman dengan I’tiqod, dan
mereka menduga bahwa I’tiqod merupakan tingkatan keimanan setelah iman,
dan mereka tidaklah mengetahui bahwa I’tiqod adalah asas iman. Jika
kalian bukan termasuk orang-orang yang beri’tiqod (Mu’taqidin) maka pastilah kalian bukanlah termasuk orang-orang yang beriman (mu’minin), karena iman tidaklah akan berfaidah tanpa I’tiqod.”
[5] Sebagaimana ucapan Fathi Muhammad Salim dalam al-Istidlal bidh dhonni fil aqiidah (Terj:
Hadits Ahad Dalam Aqidah, Pustaka Thoriqul Izzah, hal. 242), “Semua
hadits ini (hadits yang dinukilnya dalam pembahasan tentang ijma’)
adalah ahad, tidak sampai tingkat mutawatir, sehingga tidak berfaidah
yakin dan qoth’iy. Jadi, tidak sah untuk hujjah bahwa ijma’ ummat
menjadi dalil syar’iy, padahal menyangkut masalah ushul. Jika ada orang
yang mengatakan bahwa hadits-hadits tersebut mutawattir ma’nawy, maka kami katakan kepadanya bahwa mutawatir ma’nawy itu tidak ada.”
[6] Yakni QS al-Haaqah (69) ayat 51 yang berbunyi : “Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar sesuatu yang diyakini (lahaqqul yaqin)”
[7] Syaikh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al-Wabil, MA dalam Asyrotus sa’ah
(Tanda-tanda hari kiamat, Pustaka Mantiq, hal 41) mengatakan. : “Adapun
kelalaian seorang rawi maka hadits ahad yang diriwayatkan harus
ditolak, sebab rawi harus terpercaya dan dhabit, maka hadits yang sholih
tidak boleh mengandung kesalahan rawi. Sedangkan menurut kebiasaan yang
berlaku, bahwa seorang rawi terpercaya yang tidak lupa dan tidak dusta
tidak boleh ditolak haditsnya.”
[8] Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita, maka tabayunlah (cek dan recek)” (al-Hujurat : 6). Imam al-Albany Rahimahullah berkata : “Dalam riwayat lain dibaca ‘tatsabbutlah’,
hal ini menunjukkan bahwa jika yang membawa berita itu adalah orang
yang adil, maka hujjah telah tegak. Tidak lagi wajib untuk diperiksa
namun langsung diterima. Oleh karena itu Ibnul Qoyyim bertkata dalam I’lamul Muwaqqi’in
2/394, “Hal ini ditunjukkan secara pasti diterimanya khobar ahad,
karena tidak lagi membutuhkan klarifikasi. Jika khobar tadi tidak
memberi faidah ilmu tentunya harus diklarifikasi supaya memberi faidah
ilmu.” (al-Hadits hujjatun binafsiha, hal. 57). Dari
penjelasan ini, teranglah bahwa hadits yang telah diperiksa dan memenuhi
syarat keshahihan haidts membuahkan faidah ‘ilmu yakin.
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda