Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 1)

Tanya Jawab Seputar Hizbut Tahrir (Bag 1)  

Berkenaan dengan Hizbut Tahrir yang merupakan partai yang didirikan oleh Taqiyyudin an-Nabhany[1], kami memiliki sejumlah pandangan terhadap partai ini, sebagai berikut:


1. Bahwa mereka tidak menerima ‘khobarul ahad’[2]dalam permasalahan aqidah[3], hal inilah yang menyebabkan mereka keluar dari Ahlus Sunnah pada perkara aqidah[4]

Karena menerima hadits adalah suatu prinsip penting, sedangkan mereka  tidak menerima perkataan Rasulullah dalam perkara aqidah. Mereka tidak mengimani, sebagai contohnya, adanya siksa kubur, mereka tidak mengimani munculnya Dajjal, turunnya Isa al-Masih, dan banyak lagi yang tak mereka imani yang tersebut dalam hadits.[5] 

Hal ini tentunya adalah suatu hal yang bathil, karena hadits ahad yang shohih, yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya, jujur, bersambung sanadnya mulai dari awal sampai akhir, tidak menyelisihi sesuatu yang lebih terpercaya (tsiqoh) dan tidak mengandung ‘illat (kelemahan yang tersembunyi), maka hadits yang memenuhi kelima syarat ini adalah (khobar) yang membuahkan ilmu (yakin), sedangkan  mereka menyatakan hadits ini hanya membuahkan dhon (dugaan/asumsi) belaka. Bantahan terhadap mereka dalam masalah ini secara terperinci, bisa ditemukan pada bukuku yang berjudul, al-Adillah wa asy-Syawaahid fi wujuubi al-akhdzi bi khobar al-wahid fi al-ahkam wa al-aqo^id. Dalam buku ini aku menyebutkan bukti-bukti pendapat mereka dari kitab mereka yang berjudul ad-Dusiyah dan kubantah secara mendetail. Barang siapa yang menghendaki pembahasan mendalam tentang hal ini, silakan merujuk ke kitabku tersebut. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagi kaum muslimin.

2. Partai ini, menuduh Ahlus Sunnah sebagai Jabbariyah yang mereka paparkan secara terang-terangan dalam kitab mereka, ad-Dusiyah, pada pembahasan al-Qodho’ wal Qodar[6], sebagai berikut: “..Jika kita tilik Ahlus Sunnah, yang beranggapan bahwa merekalah yang memiliki pandangan yang keluar dari antara kotoran dan darah, maka merekalah jabariyyah.”[7]

Inilah kejahilan mereka terhadap bagian penting dari aqidah, dimana Ahlus Sunnah senantiasa menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan dan mengingkari apa-apa yang telah Allah ingkari. (Sedangkan) mereka menetapkan bahwa seorang hamba memiliki kehendak yang bebas, kecuali hal-hal yang tidak mungkin melainkan karena kehendak Allah, Yang Maha Sempurna dan terbebas dari segala kekurangan, Yang Maha Tinggi. Ada suatu bukti yang kuat tentang tuduhan ini, kami telah menyebutkannya sebagian dalam bantahan kami terhadap mereka dalam buku ál-Jama’ah al-Islamiyyah.[8]

3. Partai ini juga memiliki beberapa pendapat yang ganjil. Sebagai contoh, mereka memperbolehkan fotografi telanjang dan mereka mengizinkan melihat foto tersebut[9], padahal hal ini mengandung bahaya yang besar terhadap perkara syari’ah. Mengenai hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita menggambarkan wanita lain kepada suaminya seolah-olah ia dapat melihatnya.” Sabda Nabi “seolah-olah ia dapat melihatnya.” adalah tidak langsung melihatnya, namun wanita tersebut tergambar dalam imajinasinya, jadi letak pengharamannya adalah pada munculnya imajinasi tersebut. Lantas, bagaimanakah dengan dengan gambar yang berada langsung secara fisik di depan orang yang memandangnya?! Yang mana gambar itu memperlihatkan hal yang menarik perhatian, mempertontonkan tubuh wanita, bahkan membuka auratnya… tidakkah ini lebih haram?
Kedua, walaupun foto atau gambar tersebut tidak bergerak dan tidak dapat merasakan, namun tetap merupakan gambar yang nyata, dan kebugilan adalah sesuatu yang diharamkan. Lantas, bagaimana bisa kita memperbolehkan memandang sesuatu yang haram?!

Selanjutnya, memandang gambar-gambar demikian ini akan membangkitkan naluri kebinatangan dan kecenderungan syaithaniyyah pada seseorang. Sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram. Bahkan perkara ini telah melampaui batas di antara mereka hingga kepada tingkatan bolehnya mencium wanita ajnabiyah[10], ini sesuatu yang sangat berbahaya!!!

4. Yang lebih berbahaya lagi, mereka telah mengarahkan seluruh perhatiannya untuk melawan hukkam (pemerintah)[11]. (Mereka sering  berkoar-koar), “Pemerintahan ini adalah kaki tangan Amerika, pemerintahan ini adalah boneka Inggris”[12] seolah-olah tak ada satupun (pemerintahan) di dunia ini melainkan (kaki tangan) Amerika dan Inggris. Dan seolah-olah hanya Amerika dan Inggris yang mengatur (menguasai) permasalahan dunia. Hal ini menyebabkan ummat menyimpang dari pemahaman yang benar tentang dien mereka dan jauh dari manhaj Allah dalam merubah perkara ini. Mereka beranggapan, jika mereka merubah pemerintah, mereka akan memperoleh apa yang mereka inginkan[13].


[1]Beliau adalah Syaikh Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Ismail an-Nabhany Rahimahullah, seorang pemikir Islam yang aqidahnya terpengaruh oleh Asy’ariyyah, Maturidiyah dan Mu’tazilah. Beliau adalah cucu dari seorang shufi ghulat (sufi ekstrim) yang terkenal, Yusuf bin Ismail an-Nabhany, penulis kitab Jami’ Karomaat al-Awliyaa’ dan Syawahidul Haqq fil istighotsah bi sayyidil kholqi yang penuh dengan keganjilan-keganjilan shufiyyah yang banyak diadopsi kesultanan Utsmaniyyah. Syaikh Mahmud Syukri al-Alusi telah membantahnya dalam Ghoyatul amaaniy fi roddi ‘alan Nabhany. Beliau dilahirkan tahun 1905 di desa Ijzim, dekat kota Hifa. Beliau menghafal al-Qur’an dan belajar fiqh pada ayahnya, Syaikh Ibrahim an-Nabhany Rahimahullah. Beliau alumnus al-Azhar Mesir dan pernah menjabat sebagai Qodhi di Mahkamah Syari’ah, dan pada tahun 1950 beliau menjadi anggota Mahkamah Isti’naf asy-Syari’ah. Tanggal 10 Desember 1977 beliau wafat di Libanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak dan karyanya menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, diantaranya :
-          Nidhomul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)
-          Nidhomul hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
-          Nidhomul Iqtishodi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
-          Nidhomul Ijtima’i fil Islam(Sistem Pergaulan dalam Islam)
-          At-Takattul Hizby (Pembentukan Partai)
-          Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah 3 jilid (Kepribadian Islam)
-          Nida’ul haar ila aalamil Islamy (Seruan kepada dunia Islam)

Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab di atas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat mu’tazilah. Sebagian besar kitab-kitab di atas telah diterjemahkan oleh penerbit Pustaka Thoriqul Izzah dan al-Izzah, penerbit yang menyebarkan faham Hizbut Tahrir.
[baca : al-Jama’at al-Islamiyyah hal. 287, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah hal. 10 dan Hizbut Tahrir hal 27-29), dan Mawsu’ah al-Muyassarah hal. 344]

[2]Dalam Taisir Mustholahul Hadits karya DR. Mahmud Thohhan, dikatakan : Hadits dari sisi sampainya kepada kita ada dua, yakni Mutawattir dan Ahad. Khobar Mutawattir adalah yang diriwayatkan sekelompok perawi yang banyak (tiap thobaqot tidak kurang dari 10 orang menurut pendapat yang terpilih) yang menurut adat tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta. Sedangkan khobar ahad adalah khobar yang tidak sampai derajat mutawattir.

[3]Hizbut Tahrir menyatakan di dalam kitab ad-Dusiyah  hal. 3 : “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy dan boleh dengan dalil qoth’iy kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qoth’iy, tidak boleh ditetapkan dengan dalil dhonniy sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin,  apabila dalilnya qoth’iy maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya dhonniy maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qoyh’iy…”

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa aqidah adalah “Pembenaran secara pasti sesuai dengan kenyataan menurut dalil”, maka menetapkan aqidah haruslah dengan dalil qoth’iy dan tidak boleh dengan dalil dhonniy. Mereka mensyaratkan dua sisi dalam menerima suatu berita keimanan atau aqoid, yakni :
-          Ats-Tsubut (ketetapan asalnya) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka khobar mutawattir adalah qoth’iy ats-tsubut sedangkan khobar ahad adalah dhonniy ats-tsubut, sehingga khobar ahad tak boleh dijadikan dasar dalam aqidah.
-          Ad-Dilalah (penunjukan lafadh nash) harus qoth’iy tidak boleh dhonniy. Menurut mereka, nash-nash dalil walaupun dari al-Qur’an atau hadits mutawattir yang qoth’iy ats-tsubut belum tentu qoth’iy ad-dilalah, jika menimbulkan interpretasi yang berbeda dari lafadh yang sama, maka dikatakan lafadh tersebut dhonniy ad-dilalah dan tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara aqidah. Sehingga masalah sifat-sifat Allah menurut mereka adalah dhonniy ad-dilalah dan tidak bisa dijadikan perkara aqoid.

Mereka berargumentasi bahwa dhon itu adalah persangkaan belaka dan kebathilan, berangkat dari QS an-Najm : 23, 27 dan 28, Yunus : 36 dan 68, an-Nisa’ 157, al-An’am : 116 dan 148, Shod : 27, al-Jatsiyah : 32, Fushshilat : 22-23, Jin : 5 dan al-Baqoroh : 78. Namun pendapat mereka ini sangat lemah, dan al-Imam al-Albany telah membantahnya dalam artikel yang berjudul Hizbut Tahrir al-Mu’tazilah al-Judud yang dimuat dalam majalah as-Salafiyyah no 2 tahun 1417 hal. 17-23 dan telah diterjemahkan dalam majalah as-Sunnah edisi 3, tahun III 1428/1998 M. dengan judul Hizbut Tahrir Neo Mu’tazilah hal. 43-55. demikian pula dalam al-Hadits hujjah binafsiha, dan lain-lain. [baca :  al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 295, al-Istidlal bidh dhonni fil aqidah]

[4] Ada tiga pendapat tentang apakah khobar ahad bisa dijadikan rujukan ‘ilmu ataukah tidak, yaitu :
Pendapat pertama, menyatakan khobarul wahid bisa membuahkan faidah ilmu sepenuhnya tanpa ada pembatasan dan berlaku pada setiap riwayat yang dibawakan. Pendapat ini dinisbatkan kepada sebagian ulama’ bermadzhab Dhahiri. Pendapat ini lemah dan tertolak.

Pendapat kedua, menyatakan khobarul ahad tidak bisa membuahkan faidah ilmu sama sekali, walaupun disertai dengan qorinah ataupun tidak. Ini pendapat dari kalangan ahlul kalam (mu’tazilah) dan ushuliyyun. Pendapat inipun juga tertolak dan lemah.

Pendapat ketiga, menyatakan khobarul ahad bisa membuahkan ilmu jika disertai dengan qorinah-qorinah. Inilah pendapat sebagiam madzhab Dhohiri (lihat al-Ihkam fi ushulil ahkam I/14 karya Imam Ibnu Hazm adh-Dhahiri), para Muhadditsin dan Imam Madzhab, serta jumhur ahlus sunnah wal jama’ah.
Baca : Manhajul Istidlal ‘ala masaaill I’tiqod ‘inda ahlis sunnah wal Jama’ah, dan Asyratus sa’ah (Tanda-tanda hari kiamat, Yusuf bin Abdullah al-Wabil, Pustaka Mantiq, hal 38-45)

[5] Baca majalah al-Furqon edisi 8 tahun II hal 4-8 dan edisi 9 tahun II hal. 4-9 yang berjudul Mu’tazilah mengguncang aqidah. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa, hadits tentang siksa kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, keluarnya Dajjal, turunnya Isa bin Maryam dan munculnya Imam Mahdi adalah hadits mutawattir ma’nawy.

[6] Mengenai perkara al-Qodho’ wal Qodar, Hizbut Tahrir memiliki pandangan tersendiri yang mereka klaim berbeda dengan pemahaman Ahlus Sunnah,  Qodariyah maupun Jabariyyah. Taqiyuddin an-Nabhany berkata dalam Nidhomil Islam hal. 15, “Masalah Qodho’ dan Qodar sungguh telah memainkan peranan penting dalam madzhab-madzhab Islam. Ahlus Sunnah berpendapat yang ringkasnya mengatakan bahwa manusia itu memiliki kasb ikhtiary di dalam perbuatannya, yang mana mereka dihisab karena kasb ikhtiary tersebut. Sedangkan mu’tazilah berpandangan yang ringkasnya adalah manusia sendiri yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya karena ia sendiri yang menciptakannya. Adapun jabariyyah memiliki pendapat sendiri yang ringkasnya adalah Allahlah yang menciptakan hamba beserta perbuatannya. Ia dipaksa melakukan perbuatannya dan tidak mampu berikhtiar bagaikan bulu yang diterbangkan angin ke mana saja.” 

Beliau melanjutkan dalam paragraf berikutnya, “…Ternyata asas ini tidak berkaitan dengan perbuatan manusia dilihat dari apakah diciptakan oleh Allah atau oleh manusia itu sendiri, juga tidak berkaitan dengan Ilmu Allah dipandang dari sisi kenyataan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui apa yang akan dilakukan oleh hamba-Nya, dimana ilmunya meliputi segala perbuatan hamba, dan tidak pula terkait dengan irodah Allah yang iradah-Nya berkaitan dengan perbuatan hamba sehingga perbuatan tersebut terjadi dengan adanya irodah Allah, juga tidak berhubungan dengan perbuatan hamba dalam lauhul mahfudz, sehingga mau tidak mau ia harus melakukan sesuai dengan apa yang tertulis… Memang benar!!! Semua perkara di atas bukanlah dasar dalam pembahasan al-Qodho’ wal Qodar.”

Bandingkanlah pembahasan Qodho’ wal Qodar metodenya HT dengan metode para ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab mereka, yang membahas masalah Qodho’ wal Qodar ini secara tafshil (terperinci) dan ilmiyah serta lebih rasional dibandingkan metodenya HT maupun kelompok lainnya. Ahlus sunnah berpendapat bahwa Allah memiliki dua macam irodah, yakni irodah kauniyah dan irodah syar’iyyah. Adapun kelompok Mu’tazilah dan Qodariyah, mereka menolak adanya irodah kauniyah, karena jika demikian,menurut pendapat mereka Allah itu dhalim. Mereka bertujuan tanzih (mensucikan) Allah namun mereka terjebak dalam filsafat rasionalis.

[7] Teksnya dalam ad-Dusiyah hal 21-22 sebagai berikut, “Mereka (Ahlus Sunnah) menganggap bahwa pandangan mereka adalah pandangan yang baru, bukan pandangan mu’tazilah dan bukan pula jabariyah. Mereka (Ahlus Sunnah) berkata tentang pandangan mereka (yakni al-Kasb)bahwa pandangan mereka tersebut bagaikan susu yang bersih yang keluar diantara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.”

Kalimat yang diitalickan di atas mengacu pada QS an-Nahl (16) : 66, yang merupakan kinayah. Maksudkan adalah mereka (HT) beranggapan bahwa ahlus sunnah mengklaim pendapatnya bagaikan susu murni, yakni pendapat yang benar, yang keluar diantara kotoran (kinayah bagi pendapatnya mu’tazilah) dan darah (kinayah bagi pendapatnya jabbariyah). Tuduhan mereka ini dimentahkan dan dibantah secara mendetail oleh Syaikh Salim dalam al-Jamaa’at al-Islamiyyah hal. 329-342.

[8] Al-Jamaa’at al-Islamiyyah fii dhou’il Kitaabi wa Sunnah, tentang Hizbut Tahrir, hal. 325-389.

[9] Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang gambar wanita bukan mahram, walaupun dengan syahwat sebagaimana dalam nusyrah (selebaran resmi Hizbut Tahrir) no 16/Syawwal/1388H atau 4/1/1969M. yang berisi. “Memikirkan dengan syahwat, berkhayal dengan syahwat ataupun memandangi foto wanita dengan syahwat tidak haram, demikian pula pergi menonton bioskop adalah tidak haram, dikarenakan yang ditonton hanyalah gambar (benda mati) yang bergerak.”. Demikian pula dalam nusyrah no 21/Jumadil awwal/1390 atau 24/7/1970M, dikatakan, “Sesungguhnya memandang gambar wanita baik dari cermin, di kartu, di surat kabar ataupun yang semisalnya tidaklah haram”.
Jika ada yang membantah hal ini dengan alasan bahwa nusyroh tersebut sudah lama, dan telah dianulir, maka kita jawab, dimanakah bantahan (anulir) dan revisi tersebut??? Jika memang benar pendapat HT ini direvisi kenapa tidak diterangkan ke ummat secara nyata bahwa HT (secara internasional) mengharamkan foto wanita???. Maka kita tidak heran melihat publikasi, majalah atau selebaran mereka penuh dengan gambar-gambar wanita, sebab menurut madzhab mereka hal ini tidak haram.

[10] Hizbut Tahrir berpendapat bahwa mencium wanita ajnabiyah (bukan mahram) adalah mubah tidak haram, sebagaimana dalam nusyrah jawab wa su’al no 24/Rabi’ul Awwal/1390 atau 29/5/1970M. Beberapa syabab yang pernah saya konfirmasi, termasuk mantan murabbi saya juga pernah menjelaskan bahwa isu tentang bolehnya mencium wanita ajnabiyah ini adalah suatu kesalahfahaman. Karena isu ini muncul ketika seorang musyrif Hizbut Tahrir di bandara terlihat mencium mutarobbiah (santri binaan wanita)-nya, yang menurut mereka mutarobbiah yang dicium tersebut adalah saudara perempuan kandung sang musyrif. Wallahu a’lam  tentang benar atau tidaknya klarifikasi ini, namun yang pasti Hizbut Tahrir memperbolehkannya dalam nusyrahnya.

[11] Hal ini diantara yang membedakan antara ahlus sunnah dengan mereka dalam mensikapi ‘umara’ dan hukkam. Di dalam Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal. 36 dikatakan, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran da’wah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus dimusnahkan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan dhalim…”
Dalam hal 37, “…Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”

Dalam hal 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negeri-negeri Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”

[12] Bukan hanya dengungan-dengungan ini saja yang mereka gembar-gemborkan terhadap hukkam atau penguasa kaum muslimin, mereka juga mengatakan bahwa seluruh negri Islam saat ini adalah Darul kufur wal Harb, sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hal 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup di dalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul islam.”

Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya, Hizbut Tahrir Munaqosyah Ilmiyyah li ahammi mabadi^il hizbi wa roddu ‘ilmiy mufashshsal hawla khobari wahid hal 47, “Aku bertanya dengan salah seorang diantara mereka (Hizbut Tahrir) : “Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wa Harb??”, Dia menjawab, “Termasuk darul Kufur dan Harb!”, aku berkata lagi, “Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur??? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk darul Kufur!!” Diapun kebingungan… Ada Seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), “Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?” mereka menjawab, “Tidak ada!!!”, ia bertanya lagi, “Saya ingin berhijrah, kemanakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada darul Islam)???” Mereka kebingungan menjawabnya. [Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Hijrah akan senantiasa ada hingga hari kiamat”]

[13] Inilah manhaj Hizbut Tahrir yang sangat kentara sekali. Mereka lebih memprioritaskan penegakkan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakkan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen serta mendesak. Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran dan kekacauan yang melanda ummat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi ummat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka ummat islam semuanya dalam keadaan berdosa dan ummat wajib ‘ain mengembalikannya. Mereka mengkonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan, namun mereka lupa…atau mereka sengaja melupakan… bahwa segala bentuk musibah dan bencana yang menimpa ummat islam ini dikarenakan kelalaian dan kejahilan ummat ini sendiri terhadap diennya. 

Bagaimana mungkin Allah akan menghancurkan ummat ini dan mencabut kekuasaan mereka jika tidak karena ummat manusia ini sendiri yang melupakan dan melalaikan Allah. Dengan jelas Allah telah menjanjikan kepada ummat ini kekhilafahan dan memperteguh kekuasaan mereka, sebagaimana dalam QS an-Nur ayat 55, “Allah telah berjanji terhadap orang-orang yang beriman diantara kalian dan beramal sholih, Dia sungguh benar-benar akan meneguhkanmu dengan kekhalifahan di muka bumi sebagaimana Allah memberikan kekhalifahan kepada orang-orang sebelummu, Allah juga akan memperteguh agamamu yang Ia ridha sebagai agama kalian, dan Ia sungguh akan mengganti bagi kalian, rasa takut kalian dengan keamanan sentausa.” namun dengan syarat, “Ya’buduwnaniy laa yusyrikuuna biy syai^aa” yang artinya, “Mereka menyembah-Ku semata dan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.” (baca QS an-Nur (24) : 55). Inilah kuncinya, menegakkan Tauhid dan memerangi kesyirikan, atau dengan kata lain ’Tarbiyah’ (pembinaan) wa Tashifiyah (pemurnian). Inilah perbedaan manhaj Hizbut Tahrir yang juz’iy (parsial) dengan manhaj salaf yang kulliyat (integral). Bandingkan manhaj mereka dengan manhaj salaf dengan membaca at-Tashfiyah wa Tarbiyah karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby (telah diterjemahkan oleh Pustaka Imam Bukhori Solo), dan Manhajul Anbiya’ fid Da’wati ila Allah karya Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkholi (beliau adalah Imam Jarh wa Ta’dil, telah diterjemahkan oleh Maktabah Salafy Press) dan kitab-kitab lainnya.

Oleh : Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly
Maktabah abu Salma Al Atsary
http://dear.to/abusalma
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger