Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Ketimpangan Manhaj Muwazanah, Manhaj Islam Dan Para Imam Dalam Mengkritik Perkataan Dan Person

Ketimpangan Manhaj Muwazanah, Manhaj Islam Dan Para Imam Dalam Mengkritik Perkataan Dan Person


Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2


Telah kita jelaskan pada pembahasan yang lalu bahwa membantah ahli bid’ah dan mengkritik mereka adalah salah satu dari pokok-pokok agama yang agung, bahkan merupakan jihad fi sabilillah yang paling utama, karena ahli bid’ah lebih berbahaya dibandingkan orang kafir. Membantah ahli bid’ah adalah salah satu pokok-pokok manhaj salaf yang diterapkan oleh para ulama salaf dari masa ke masa.

Tetapi ternyata baru-baru ini muncul kelompok sururiyyah [1] atau quthbiyyah [2] yang menyebarkan keragu-raguan terhadap manhaj salaf dalam membantah ahli bid’ah, bahkan berusaha mengganti manhaj salaf dalam masalah ini dengan manhaj mereka. Mereka cetuskan manhaj yang baru di dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok yang mereka namakan manhaj muwazanah, yaitu manhaj yang mengharuskan bagi siapa saja yang mengkritik kesalahan person, tulisan ataupun kelompok untuk menyebutkan kebaikan dan kejelekannya secara bersamaan, karena ini adalah sikap yang adil menurut mereka. [3]. Manhaj ini dinamakan juga oleh para pencetusnya sebagai manhaj Al-‘Adl wal Inshaf.[4]

Berikut ini akan kami paparkan ketimpangan manhaj muwazanah dan bahwasanya keadilan yang hakiki adalah manhaj Islam yang dipraktekan oleh generasi terbaik dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam kaum muslimin, dengan banyak menukil dari risalah Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang berjudul Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub Wath-Thowaif, cetakan kedua tahun 1413H.
MANHAJ ISLAM DAN PARA IMAM DALAM MENGKRITIK PERKATAAN DAN PERSON

[A]. Allah Subhanahu wa Ta’ala Memuji Orang-Orang Yang Beriman Tanpa Menyebut Kejelekan Mereka Dan Mencela Orang-Orang Kafir Dan Munafiq Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang beriman di dalam ayat-ayat yang banyak, dan menyebutkan pahala yang agung yang Dia siapkan bagi orang-orang yang beriman, tanpa menyebutkan sedikitpun dari kesalahan mereka –seperti yang diharuskan oleh para pencetus manhaj muwazanah- padahal : ‘Setiap anak Adam adalah selalu berbuat kesalahan”, dan hikmah yang diambil dari menyebut kebaikan mereka tanpa menyebut kejelekan mereka adalah untuk menggerakkan hati setiap manusia agar meniru dan meneladani mereka.

Di sisi lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang kafir dan munafik di dalam ayat-ayat yang banyak tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kekufuran dan kesesatan mereka telah merusak kebaikan-kebaikan mereka dan menjadikannya tidak bernilai sama sekali seperti debu yang berterbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [Al-Furqan : 23]

Demikian juga Allah mengkisahkan kepada kita umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul-rasul mereka. Allah sebutkan kekufuran dan kebatilan mereka dan kemudian hukuman kepada mereka dan penghancuran mereka, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena tujuan yang asasi dari penyebutan kisah mereka adalah sebagai peringatan kepada umat-umat sesudah mereka agar menjauhi perbuatan mereka dari kekufuran dan pendustaan kepada rasul-rasul mereka, supaya tidak mengalami kehancuran sebagaimana kehancuran mereka.

Kemudian Allah juga menyebut orang-orang Yahudi dan Nashara dengan sifat-sifat buruk yang ada pada mereka, dan mengancam mereka dengan ancaman yang keras, tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka yang telah mereka hilangkan nilainya dengan kekufuran dan pendustaan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta penyelewengan mereka terhadap kitab mereka.

Inilah manhaj Allah didalam mencela orang-orang kafir dan munafiq, dan inilah manhaj yang paling adil, karena Allah adalah Dzat yang Maha adil.

[B]. Peringatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Umatnya Dari Bahaya Ahli Bid’ah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, karena kebaikan mereka tidak bernilai, sedangkan bahaya mereka lebih besar daripada maslahat yang diharapkan dari kebaikan mereka.

Dari Aisyah bahwasanya dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini.

“Artinya : Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kalian. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman keapda ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” [Ali-Imran : 7]

Aisyah berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat ; mereka itulah yang disebut Allah dalam kitabNya, maka awaslah dari mereka!” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 4547 dan Shahih Muslim 2665]

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Akan datang pada akhir umarku orang-orang yang menyampaikan kepada kalian apa-apa yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pernah didengar oleh bapak-bapak kalian, maka awaslah kalian dari mereka!” [Sahih Muslim 1/12]

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa ahli bid’ah tentu memiliki kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh sama sekali kebaikan mereka, dan tidak menyebutkannya sama sekali, dan tidak mengatakan : “Ambillah manfaat dari kebaikan mereka dan sebutkanlah kebaikan mereka ketika mengkritik mereka!”

Tetapi sangat disayangkan bahwa keadaan sekarang ini telah berbalik seratus delapan puluh derajat, sekarang sering kita dapati seorang yang mengaku bermanhaj salaf tetapi dia loyal kepada ahli bid’ah, membela manhaj ahli bid’ah dan membela tulisan-tulisan mereka dengan mati-matian, dan di lain pihak mereka jauhkan umat dari ahli haq dan ahli sunnah ! Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raaji’uun.

[C]. Sikap Para Sahabat Dan Tabi’in Terhadap Ahli Bid’ah

Ibnu Umar berkata tentang kelompok qadariyyah : “Jika engkau bertemu mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dari Ibnu Umar” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahihnya 1/140]

Abu Qilabah berkata : “Janganlah kalian duduk-duduk dengan ahli ahwa, karena aku khawatir mereka akan menjerumuskan ke dalam kesesatan mereka, dan mengaburkan persepsi kalian terhadap mereka” [Syarhus Sunnah oleh Imam Baghowi 1/227]

Maka lihatlah bagaimana sikap tegas para sahabat, tabi’in dan para imam terhadap ahli bid’ah, mereka peringatkan umat dari kejelekan ahli bid’ah tanpa menyebut sedikitpun dari kebaikan mereka, hal ini didasarkan atas pemahaman mereka yang benar terhadap kaidah-kaidah Islam, di antaranya kaidah masyhur.

“Menjauhkan mafsadah (kerusakan) didahulukan atas mendatangkan mashlahat”

[D]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Meyebutkan Aib Orang-orang Tertentu Tanpa Menyebut Kebaikan Mereka Dengan Tujuan Nasihat.

[1]. Dari Aisyah bahwasanya ada seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya maka dia bersabda : “Dia adalah sejelek-jelek kerabat”. Ketika dia duduk, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya, ketika orang itu telah pergi Aisyah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah ketika engkau melihatnya engkau bermuka manis, dan bersikap ramah kepadanya !”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Aisyah, kapan engkau melihatku berbuat keji?! Sesungguhnya sejelek-jelek derajat manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut kepada kejekannya” [Shahih Bukhari 6032]

Al-Imam Al-Qurthubi berkata :”Hadits ini menunjukkan bolehnya ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat kefasikan atau kemaksiatan yang keji atau yang semisal itu dari kecurangan dalam menghukumi dan seruan kepada kebid’ahan, dan bolehnya mudarah (bersikap membujuk) terhadap mereka dan menjauhi bahaya kejelekan mereka selama hal itu tidak membawa kepada sikap mudahanah (menjilat) dalam agama Allah” [Fathul Bari 10/452]

[2]. Ketika Fatimah bintu Qois selesai iddahnya, dia dipinang oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya : “Adapun Abu Jahm maka dia adalah seorang laki-laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan tangan), adapun Mua’wiyah maka dia adalah seorang yang miskin tidak punya harta sama sekali, maka menikahlah dengan Usama bin Zaid” [Shahih Muslim 1480]

Tidak diragukan lagi bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah memiliki banyak keutamaan dan kebaikan, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kebaikan keduanya karena yang diharapkan oleh Fatimah bintu Qois adalah nasihat dan saran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dua orang yang meminangnya.

Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka mewajibkan dalam keadaan seperti ini untuk menyebut kebaikan keduanya, tanpa memperdulikan bahwa orang yang meminta nasihat akan semakin bertambah bingung dan bahkan bisa jadi terjerumus ke dalam mudharat.

[3]. Dari Aisyah bahwasanya Hindun bintu Utbah berkata : “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang mencukupiku dan mencukupi anak-anaku, kecuali kalau aku mengambil darinya dalam keadaan dia tidak tahu?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Ambillah apa yang mencukupimu dan mecukupi anak-anakmu dengan cara yang ma’riuf” [Muttafaq ‘Alaih, Shahih Bukhari 3564 dan Shahih Musalim 1714]

Al-Hafidz Ibnu hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebut seseorang dengan sifat yang tidak dia sukai jika tujuannya untuk meminta fatwa, mengadu, dan yang semisalnya, dan ini adalah salah satu dari keadan-keadaan yang dibolehkan.

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Hindun ketika menyebutkan kejelekan Abu Sufyan tanpa menyebut kebaikannya, padahal jelas bahwa Abu Sufyan memiliki kebaikan yang banyak.
Adapun para pencetus manhaj muwazanah, maka mereka tidak memperhatikan hal-hal seperti ini, tidak bisa membedakan antara maslahat dan mafsadah, bahkan mereka tinggalkan segi maslahat, mereka remehkan bahaya bid’ah dan mudharatnya, mereka belum sampai kepada faidah nasihat yang telah didapati oleh Islam dan para imam salaf, ketika mereka tinggalkan hal itu, terbayang kepada mereka bahwa menyebut kejelekan dan bid’ah person atau kelompok sebagai peringatan dan nasihat kepada umat merupakan sikap yang tidak adil dan penghianatan !!

[E]. Kritikan Para Imam Terhadap Ahli Bid’ah Dan Para Perawi

Para imam banyak memberikan kritikan terhadap ahli bid’ah dan para perawi, dan mereka tidak pernah mengisyaratkan sama sekali wajibnya memakai manhaj muwazanah. Mereka menulis kitab-kitab tentang Jarh wat Ta’dil, kitab-kitab tentang pembelaan kepada sunnah dan bantahan kepada hali bid’ah dan celaan kepada mereka, kitab-kitab tentang ‘ilal, kitab-kitab tentang hadits-hadits yang maudhu (palsu), dalam keadaan sama sekali tidak mereka wajibkan manhaj muwajanah di dalam kitab-kitab yang mereka tulis, bahkan mereka menulis kitab-kitab yang khusus dalam Jarh (celaan) pada perawi, tanpa mensyaratkan sama sekali manhaj muwazanah ini !

Adapun orang-orang yang mewajibkan manhaj muwazanah maka akan menganggap bahwa yang dilakukan para imam di atas merupakan sikap yang dzolim dan khianat !, kita berlindung kepada Allah dari manhaj yang sesat ini.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]
_________
Foote Note
[1]. Nisbah kepada seorang yang bernama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin, seorang yang masyhur dengan penyimpangannya dan permusuhannya kepda para ulama salaf di dalam majalahnya As-Sunnah yang terbit di London dan di dalam tulisan-tulisannya. Dia ini dikatakan oleh Syaikhuna Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad sebagai seorang yang dengki kepada ulama ahli sunnah, untuk mengenal lebih lanjut tentang dia bisa dibaca Ajwibah Mufidah oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 51-56 dan Fitnatut Takfir wal Hakimiyah oleh Muhammad Al-Husain hal. 92-97
[2]. Nisbah kepda Sayyid Quthb seorang tokoh yang dikenal banyak penyimpangannya dari manhaj yang lurus, untuk membentengi diri dari bahaya pemikirannya bisa membaca kitab Mauriduz Zilat Fai Akhto’i Dhilal oleh Syaikh Abdullah Ad-Duwasiy, dan beberapa kitab Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ Al-Madkhaly seperti Adhwa’ Islamiyah ‘Ala Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi, Matha’in Sayyid Quthb Fi Ashaabi Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Awashim Mimma Fi Kutub Sayyid Quthb Minal Qowasim.
[3]. Lihat Manhaj Ahlis sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallaftihim oleh Ahmad Shouyan! Hal 27. Dhawabith Raiisiyyah Fi Taqwimil Jama’atil Islamiyah oleh Zaid Az-Zaid ! sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal.39, Min Ahkhlaqid Da’iyyah oleh Salman Al-Audah! Hal.40 sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thowaif oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 45 dan Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah minal Bida’ wal Mubtadi’ah oleh Abdurrahman Abdul Khaliq! Hal. 1-2 sebagaimana dalam Jama’ah Wahidah oleh Syaikhuna (guru kami) Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 149
[4]. Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-‘Adnani hal. 27
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger