Nak, Betapa Aku Merindukamu
Ya’qub bin Sufyan pernah diajak ngobrol oleh
Zaid bin Bisyr. Zaid bin Bisyr bertanya padanya,”Kau tinggal di Mesir-
sebenarnya, apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Ya’qub pun menjawab, “Kalau ibuku, iya masih
hidup. Aku telah bertekad kuat untuk bisa berhaji tahun ini, dan aku
akan menjenguk ibuku di sana.”
Zaid menanggapi, “Subhanallah ! Engkau
tinggal di sini sampai datang awal masa ibadah haji, kemudian engkau
berhaji lalu pada saat itulah engkau baru menengok ibumu. Apa yang
membuatmu merasa aman dari kematian, hingga tinggallah penyesalan dalam
dirimu?” (Akibat menunggu waktu yang lama untuk menjenguk ibunya pada
masa haji, padahal kematian bisa saja datang tiba-tiba dan terhalanglah
cita-cita menjenguk ibunya itu, tersisalah penyesalan saja)
Zaid melanjutkan perkataannya, “Kok saya
mengira bahwa engkau sebenarnya tidak senang dengan keadaanmu yang
sekarang ini -yakni jauh dari ibumu demi mencari ilmu.”
Ya’qub mencoba meluruskan, “Tapi ibu saya rela kok saya tinggal demi hal ini.”
Zaid menanggapi lagi, “Janganlah kau berkata
demikian. Karena sungguh, dahulu saudara-saudara kami apabila telah
memasuki masa tua, mereka berinisiatif untuk controlling di perbatasan
di Alexandria. Di situ mereka akan menghadang Pasukan Fusthath.”
Kemudian Zaid bercerita tentang seseorang
bernama Abu Umar bin Idris bin Yahya Al-Khaulaniy, yang memiliki seorang
ayah yang juga berprofesi sebagai petugas controlling di sana semasa
tuanya. Abu Umar sendiri pun berprofesi sebagai petugas cadangan. Bila
ayahnya ingin bertugas, ayahnya pamitan ke ibunya, dan ibunya
mengizinkan. Demikian juga dirinya, bila ia hendak bertugas, ia pamitan
ke ibunya untuk kemudian akan bertugas di sana selama sebulan atau
lebih.
Pada saat ayahnya meninggal, Abu Umar ingin
semakin menggiatkan diri untuk controlling. Pada saat ia hendak meminta
izin kepada ibunya, ibunya pun mencurahkan segala isi hatinya yang
diam-diam selama ini terpendam :
“Wahai anakku tercinta, kini ibu akan
beritahukan kepadamu isi hati ibu ini, dan kamu berhak untuk mengatur
dirimu sendiri. Nak, Demi Allah, tidaklah kamu pergi menuju Alexandria
kecuali sungguh serasa hati ibu remuk semasa itu jua, hingga akhirnya
kamu pulang, tiba di rumah.”
Abu Umar menanggapi, “Duhai ibu, mengapa ibu
tidak pernah memberitahu aku tentang hal ini, agar aku tak pergi
meninggalkan ibu ?”.
Sang ibu menjelaskan, “Nak, dulu ayahmu masih
hidup. Ibu menganggap ayahmu punya hak atas dirimu, agar kamu berbuat
baik padanya (shift-shift an menggantikan tugas ayah). Maka ibu pun
bersabar, dan mengalah, agar hak-hak ayahmu dapat kamu tunaikan, agar
kamu dapat berbuat baik padanya. Kini, ayahmu telah tiada. Terserah kamu
saja, bila kamu tetap akan pergi setelah ibu curahkan semua uneg-uneg
ini, silahkan pergi saja.”
Abu Umar menyadari, “Aku berlindung kepada
Allah. Mana mungkin aku akan pergi sedangkan ibu telah mencurahkan
segalanya. Andai saja aku tau ini sejak dulu, tentu aku tidak akan
pergi.”
Abu Umar berkata, “Maka aku tak lagi bertugas controlling sampai pada akhirnya ibuku wafat.”
______
lihat di Al-Jaami’ li Akhlaaqi Raawi, di Juz ke-7, judul “استئذان الأبوين في الرحلة ” (Izin dari Kedua Orang Tua dalam Perjalanan Menuntut Ilmu)
lihat di Al-Jaami’ li Akhlaaqi Raawi, di Juz ke-7, judul “استئذان الأبوين في الرحلة ” (Izin dari Kedua Orang Tua dalam Perjalanan Menuntut Ilmu)
Dinukil dari akun: Erik Ben Shareef
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda