Imam al-Albani : Muhadits Tanpa Guru dan Sanad?
Photo 1 : Al-Albani di Perpustakaan al-Maktab al-Islami di Beirut |
Nama
beliau sudah sangat akrab ditelinga penuntut ilmu syar’i , baik yang
pro atau kontra kepadanya. Tidak salah lagi, karena beliau adalah
muhadits zaman ini, penulis yang produktif dan berkualitas, penyeru
kepada sunnah dan musuh ahli bid’ah: Muhammad Nashruddin bin Haji Nuh
Najati al-Arnauth[1]
al-Albani –rahimahullahu-, yang wafat pada tahun 1420 H bertepatan
dengan tahun 1999 M. Adapun orang yang tidak suka kepadanya yang menuduh
beliau sebagai muhadits tanpa sanad dan guru!!. Maka orang ini tidak
lepas dari dua perkara, pertama ia seorang jahil atau kedua ia seorang
pendusta.
Para pembaca yang budiman…
Dalam
perjalanannya menuntut ilmu, al-Albani belajar beberapa kitab fiqh,
lughoh dan lainnya kepada Ayahnya, seorang ulama bermazhab Hanafi dari
Albania. Kepada Ayahnya ini pula, Syaikh al-Albani mengkhatamkan
al-Qur’an beserta tajwidnya. Tidak terlalu banyak kisah tentang Syaikh
Nuh Najati al-Hanafi ini, namun dalam biografi Syaikh al-Muhadits Abdul
Qadir al-Arnauth rahimahullahu diterangkan bahwa Syaikh Abdul Qadirpun
pernah belajar kepada Syaikh Nuh Najati, bapak dari Syaikh al-Albani.
Hal ini menunjukan bahwa bapak beliau bukanlah ulama sembarangan, beliau
temasuk ulama rujukan di kalangan mazhab Hanafi baik di negerinya
maupun setelah hijrah ke Damaskus. Di Masjid Bani Umayyah, jika Imamnya
berhalangan, Syaikh Nuh Najatilah yang menggantikan menjadi imam. Fakta
ini sebenarnya sudah cukup menggugurkan tuduhan sebagian orang jahil
yang menuduh Syaikh al-Albani sebagai muhadits tanpa guru. Tuduhan yang
mustahil bagai igauan di siang bolong. Bahkan al-Albani dididik sejak
kecil dalam lingkungan keluarga ulama.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami
tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Qs. Ath-Thuur 21).
Ayah
Syaikh al-Albani hijrah dari Albania untuk menyelamatkan agama diri dan
keluarganya dari cengkraman penguasa jahat, maka Allah melahirkan
untuknya seorang anak yang menjadi ulama yang benar-benar sebagaimana
doa Ayahnya dalam namanya: “Nashruddin” yakni penolong as-Sunnah
(ad-Din).
Para pembaca yang budiman…
Pada
tahun-tahun berikutnya, al-Albani muda sudah giat menghadiri
durus-durus Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani (w. 1386 H/ 1967 M) seorang
ulama Syam yang bermazhab Hanafi yang sekaligus menjadi imam mesjid
Bani Umayyah, Damaskus.[2]
Syaikh al-Albani sempat membaca kitab-kitab fiqh Hanafi seperti Maraqil
Falah Syarh Nurul ‘Iddhah, juga sebagian kitab dalam ilmu sharaf, nahwu
dan balaghah kepadanya. Seringkali mereka berdua berdialog dalam
berbagai macam pembahasan ilmu. Meskipun demikian, al-Albani bukanlah
orang yang begitu saja menerima perkataan gurunya ini. Setidaknya ada
satu kisah yang menggambarkan kemerdekaan sikap Syaikh al-Albani itu
dari penyakit taqlid yang melanda umat Islam di masa itu.
Photo 2 : Photo Syaikh Nuh Najati al-Albani, ayah Muhadits Nashr al-Albani |
Suatu
ketika Syaikh al-Albani muda pernah membaca dalam Tarikh Ibnu Asakir
tentang kuburan Nabi Yahya ‘alaihissalaam yang terletak di Masjid Bani
Ummayah yang kesimpulan pembahasannya sampai pada bahwa shalat di mesjid
tersebut tidak diperbolehkan.
Syaikh al-Albani kemudian secara rahasia
memaparkan kesimpulan pendapatnya itu kepada Syaikh Sa’id al-Burhani.
Syaikh Sa'id lalu berkata kepadanya, “Tulislah segala sesuatu yang telah
engkau temukan dalam permasalahan ini”. Syaikh al-Albani berkata, “Maka
aku tulis pendapatku itu dalam tiga atau empat halaman kemudian
kuserahkan kepadanya. Beliau berkata kepadaku, “Aku akan berikan jawaban
padamu setelah Idul Fitri”.
Saat itu kami berada pada bulan Ramadhan.
Ketika tiba waktunya, kudatangi beliau, namun beliau berkata kepadaku,
“Semua yang engkau tulis ini tidak memiliki dasar karena seluruh sumber
nukilanmu bukanlah sandaran bagi mazhab kami !!!”. Kata al-Albani: “Aku
tidak mengerti makna ucapannya ini, karena aku menukilnya dari
kitab-kitab madzhab Hanafi seperti kitab Mabariqul Azhar Syarh
Masyariqil Anwar –sebuah kitab madzhab Hanafi- dan juga Mirqatul Mafatih
Syarh Misykatil Mashabih karya Mulla Ali Qari’ –seorang Hanafi
sebagaimana telah ma’ruf- serta nash-nash lainnya. Namun semuanya tidak
digubris, sama persis seperti sikap ayahku”.
Kejumudan
yang melanda manusia dizaman itu yang menjadi salah satu pendorong
baginya untuk mempelajari sunnah lebih dalam lagi. Maka beliaupun
menghadiri berbagai kajian ahlus sunnah yang diadakan oleh para ulama
sunnah dizamannya yang berpemikiran merdeka seperti Syaikh al-Muhadits
Ahmad bin Muhammad Syakir –ahli hadits Mesir pada zamannya- (w. 1377 H)
dan Syaikh al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar (w. 1396 H) [3]
–keduanya adalah ulama yang termasuk murid dari Syaikh al-Allamah
Jamaluddin al-Qasimi-. Beliau pun rajin membaca Majalah al-Manar yang
diprakarsai oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridho, yang getol menyeru umat
keluar dari penyakit taqlid. Majalah ini telah berhasil menginspirasi
banyak ulama seperti Syaikh Abdurrazaq Hamzah, Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di dan lainnya, termasuk pula al-Imam al-Albani.
Photo 3 : Syaikh Muhammad Sa’id al-Burhani |
Adakah al-Albani Memiliki Sanad?
Tidak
sebagaimana dikatakan orang-orang bahwa beliau adalah muhadits tanpa
sanad, karena sebenarnya Syaikh al-Albani rahimahullahu mendapatkan
ijazah hadits ammah[4]
dari Syaikh Muhammad Raghib bin Mahmud bin Hasyim Thabakh al-Halabi
rahimahullahu (1293 – 1370 H), seorang ahli sejarah dan musnid Halab di
zamannya.[5]
Syaikh ath-Thabakh ini pernah menjadi dosen hadits, ushul hadits dan
sejarah di Fakultas Syari’ah al-Ashriyah di Kota Halab. Ia juga
merupakan penulis beberapa buku bagus, diantara yang menarik yang pernah
ditulisnya adalah kitab yang berjudul, “Dzu al-Qarnain wa Sadd
ash-Shin: Man Huwa wa Aina Huwa”. Dalam buku ini Syaikh ath-Thabakh
berpendapat bahwa orang Arab lebih dahulu menemukan benua Amerika
sebelum orang-orang barat.[6]
Syaikh
at-Thabakh mengijazahkan kepada Syaikh al-Albani tsabat beliau yang
terkenal, “al-Anwar al-Jaliyah fi Mukhtashar al-Tsabat al-Halabiyah”,
tanpa diminta, melainkan beliau sendiri yang berinisiatif memberikannya
kepada Syaikh al-Albani rahimahullahu.[7]
Seorang
mujiz kami, Syaikh Ahmad alu Ibrahim al-‘Anqori hafizahullahu,
menuturkan bahwa Syaikh Zuhair asy-Syawisy rahimahullahu mengatakan
kepadanya, bahwa beliau menyaksikan langsung pengijazahan itu bersama
Ustadz Muhammad ath-Thayib, peristiwa itu terjadi ditahun 1365 H.
Sebagaimana diisyaratkan pula oleh Syaikh al-Albani sendiri dalam
kitabnya Shahih Sunan Abu Dawud (5/253-254), setelah menyebutkan hadits
Musalsal al-Mahabah yang terkenal itu,
وقد أجازني بروايته الشيخ الفاضل راغب الطباخ رحمه الله
”Dan
sungguh telah memberikan ijazah kepadaku untuk riwayat hadits musalsal
ini Syaikh al-Fadhil Raghib at-Thabakh rahimahullahu...”.
Dalam Tsabat tersebut disebutkan 15 Masyaikh yang Syaikh ath-Thabakh meriwayatkan darinya[8],
satu diantara mereka adalah Syaikh al-Muhadits as-Salafi Abu Bakr bin
Muhammad Arif Khuwaqir al-Hanbali (w. 1349 H), yang telah meriwayatkan
dari setidaknya tiga Muhadits dan Musnid Salafi di masanya, yaitu
al-Allamah Ahmad bin Ibrahim bin Isa an-Najdi (w. 1329 H), Sayyid Husein
bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H), dan Syaikh Nadzir Husein Muhadits
ad-Dihlawi (w. 1320 H), sebagaimana tertera dalam Tsabat beliau ”Tsabat
al-Atsbat asy-Syahirah” .
Sanad melalui jalur inilah yang akan kami uraikan berikut ini.
Silsilah Sanad al-Albani
Berikut
diantara contoh sanad “keguruan” Syaikh al-Albani rahimahullahu yang
paling bagus dan tersambung sampai kepada Imam-Imam Dakwah seperti:
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan
yang lainnya –rahimahumullahu sampai kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam:
Photo 4 : Syaikh Muhammad Raghib ath-Thabakh |
Syaikh al-Albani
meriwayatkan dari Syaikh Muhammad Raghib Ath-Thabakh dengan ijazah ammah
untuk semua riwayat, yang meriwayatkan dari al-Muhadits as-Salafi
Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali (w. 1349 H), dari
Muhadits as-Salafi Syaikh Ahmad bin Ibrahim bin Isa An-Najdi (w. 1329
H), dari al-Allamah al-Mujadid ats-Tsani Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1285 H) – penulis kitab Fathul Majid-, dari kakeknya, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab[9], dari Abdullah bin Ibrahim al-Madini, dari Mufti Hanabilah Abdulqadir Ath-Taghlabi [10].
Al-Muhadits
As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga
meriwayatkan dari Al-Allamah Husein bin Muhsin al-Anshori (w. 1327 H),
dari Al-Allamah Muhammad Nashr al-Hajimi dan Al-Allamah Ahmad bin
Muhammad asy-Syaukani, keduanya dari Bapak yang kedua yaitu Al-Imam al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani[11] -penulis kitab Nailul Authar-, dari al-Allamah Abdul Qadir Ahmad Al-Kaukabani dari Al-Allamah Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani –penulis Sabulus Salam-.
Al-Muhadits
As-Salafi Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Arif Khuwaqir Al-Hanbali juga
meriwayatkan dari Syaikh Nadir Husein Muhadits ad-Dihlawi, dari Syaikh
Muhammad Ishaq Muhadits ad-Dihlawi, dari kakeknya pada pihak ibu Syaikh
Abdul Aziz Muhadits ad-Dihlawi, dari Bapaknya Syaikh al-Mujadid Waliyullah Ahmad bin Abdurrahim Muhadits ad-Dihlawi (w. 1176 H) –penulis Hujjatullah al-Balighah-. [12]
Al-Allamah
Muhammad Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani dan Syaikh Waliyullah Muhadits
ad-Dihlawi, keduanya meriwayatkan dari Abu Thahir al-Kurani yang
meriwayatkan, dari Bapaknya, Ibrahim Al-Kurani.[13]
Syaikh
Abdulqadir Ath-Taghlabi Al-Hanbali dan Syaikh Ibrahim al-Kurani
meriwayatkan dari Abdul Baqi bin Abdul Baqi Al-Hanbali, yang
meriwayatkan dari Ahmad bin Muflih Al-Wafai, dari Musa bin Ahmad
Al-Hajawi –penulis al-Iqna’-, dari Ahmad bin Muhammad al-Maqdisi, dari
Ahmad bin Abdullah Al-Askari, dari Ala’uddin al-Mardawi –penulis
al-Inshaf-, dari Ibrahim bin Qundus al-Ba’ali, dari Ibn al-Lahm, dari Ibn Rajab al-Hanbali, dari Ibn Qayyim al-Jauziyah dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
dari Syaikhul Islam Abdurrahman Ibn Qudamah dari pamannya al-Imam
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah -penulis al-Mughni- dari al-Imam Abi
al-Fatah bin al-Minni dari al-Imam Abu Bakr Ahmad ad-Dainuri dari
al-Imam Abi al-Khathab Mahfudz bin Ahmad al-Kalwadzani dari al-Qadhi Abi
Ya’la Ibn al-Fara’ dari al-Imam Abi Abdullah al-Husein bin Haamad dari
al-Imam Abu Bakar Abdul Aziz al-Khallal dari al-Imam Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal dari Bapaknya Imam Ahmad bin Hanbal dari al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dari al-Imam Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.[14]
Murid Beliau dalam Riwayah
Sangat
ramai murid al-Albani dari berbagai negeri, namun sangat sedikit yang
meriwayatkan dari beliau. Hal itu disebabkan Syaikh Al-Albani tidak
terlalu membuka pintu dalam persoalan ini. Beliau rahimahullahu berkata,
أنا لا أفتح على نفسي هذا الباب
“Saya tidak membuka pintu dalam bab ini bagi diriku”. [15]
Dan Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang ijazahnya ini:
هي لا تعني لي شيئاً، وإنما نرد بها فقط على الحاقدين
“Ijazah
tersebut tidak menarik perhatianku sedikit pun. Ijazah tersebut hanya
aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki”.[16]
Diantara
yang sedikit itu -yakni yang meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani- adalah
guru dan mujiz kami dari Maroko yaitu Al-Allamah al-Muhadits Muhammad
Amin Bu Khubzah al-Hasani ath-Tathawani hafizahullahu (lahir 1351 H).[17]
Dikisahkan
kepada kami bahwa sedikitnya ada tiga cara bagi Syaikh Muhammad Bu
Khubzah dalam meriwayatkan dari Imam Al-Albani rahimahullahu,
sebagaimana dikatakan oleh guru kami, al-Musnid Muhammad Ziyad Umar
Tuklah[18] hafizahullahu:
Pertama,
Beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani secara munawalah untuk
sebagian kitab-kitab beliau rahimahullahu di Madinah dan Amman,
diantaranya:
1. Shifat Shalat Nabi shallallahu’alaihi wasallam
2. Shalat Tarawih Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
3. Shalat Ied fil Mushaliy
4. Tasdid al-Ishabah
5. Fahrisat Kitab al-Hadits bil Dhahiriyah
6. Silsilah Ahadits Adh-Dhaifah Jilid 4 [19]
Photo 5 : Munawalah al-Albani kepada Syaikh Muhammad Bu Khubzah, lalu ijazah Bu Khubzah kepada Syaikh al-Hadutsi.
Kedua,
beliau meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani melalui qiroat kepadanya
sebagian manuskrip dari kitab Sunan Nasai al-Kubro dalam suatu pertemuan
diantara mereka di Tathawan, Maghrib.
Ketiga, izin secara lisan dari Syaikh Al-Albani untuk meriwayatkan secara ammah, berkata Syaikhuna Muhammad Ziyad Tuklah,
استأذنه شيخنا في الرواية العامة، فقال له بالحرف الواحد: اروِ عني إن شئت. وقال لي شيخنا: وأنا أشاء ذلك وأحبه
“Syaikhuna
(Muhammad Bu Khubzah) meminta izin kepada Imam al-Albani dalam riwayat
ammah, maka Imam al-Albani berkata kepadanya dengan perkataan singkat,
“Riwayatkanlah dariku jika kamu mau”, dan Syaikhuna (Muhammad Bu
Khubzah) telah berkata kepadaku, “Dan saya sangat ingin dan
menyenanginya”.
Photo 6 : Syaikh Muhammad Bu Khubzah
|
Perkataan singkat dari Imam al-Albani ini bermakna izin atau ijazah secara ammah (umum) insyaallah Ta’ala.
Maka,
dengan ketiga cara inilah (munawalah, qiroat, dan izin) guru kami
Syaikh Muhammad Bu Khubzah meriwayatkan dari Syaikh Al-Albani
rahimahullahu.
Diantara
yang sedikit lainnya –yang meriwayatkan dari Imam al-Albani
rahimahullahu- adalah Syaikhuna al-Musnid Musa’ad bin Basyir as-Sudani
hafizahullahu (lahir tahun 1363 H/1944 M) yang dikenal dengan Haji
As-Sadirah.[20]
Berkata
Syaikhuna at-Tuklah dalam Tsabat al-Kuwait-nya pada pembahasan biografi
Syaikh Musa’ad halaman 159, “Mengabarkan kepadaku guru kami Musa’ad
al-Basyir berkali-kali, sesungguhnya Syaikh Nashr al-Albani memberi
ijazah kepadanya di tahun 1397 H, di rumah Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab al-Bana di Jeddah. Dan Syaikh Musa’ad berkata kepadaku, “Syaikh
Al-Albani memberi ijazah kepadaku untuk kitabnya, dan ia juga berkata
kepadaku dengan singkat,
أجزتك عن شيخي راغب الطباخ
“Aku ijazahkan kepadamu dari guruku Raghib ath-Thabakh”,
Dan beliau (Syaikh al-Albani)pun tidak berkata lebih dari itu”.
Berkata Syaikhuna Abu al-Hajaj Yusuf bin Ahmad Alu Alawi[21],
“Dan ucapan Syaikh Nashr, “Aku ijazahkan kepadamu dari guru saya Raghib
ath-Thabakh”, maksudnya tidak lain adalah ijazah riwayat, yaitu ijazah
ammah”.
Photo 7 : Syaikh Musa’ad bin Basyir as-Sudani
|
Syaikhuna
Abu Hajaj al-Alawi mengatakan bahwa terdapat orang yang lainnya yang
meriwayatkan dari al-Albani, diantaranya; Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Beliau
berkata, “Dan yang lain, telah tsabit bahwa sesungguhnya Syaikh telah
memunawalahkan sebagian kitabnya, seperti kepada guruku Ahmad ar-Rifa’i
yang mana syaikh telah memunawalahkan sebagian kitabnya. Berkata Syaikh
ar-Rifa’i kepada Syaikh Nashr, “Munawalah menurut cara para ahli hadits”
maka tertawa Syaikh Al-Albani”.[22]
Tidak
diketahui secara pasti periwayatan melalui ijazah ammah bagi Syaikh
al-Albani kecuali dari arah Syaikh Raghb Thabakh ini saja. Namun ini
bukan aib, bahkan justru pada kisah ijazah riwayat Syaikh al-Albani
rahimahullahu terdapat pelajaran berharga bagi ahli riwayah zaman ini.
Syaikh al-Albani hanya memiliki satu ijazah saja, tapi menghasilkan
ratusan jilid tulisan yang berkualitas. Berbeda dengan zaman sekarang,
seseorang kadang memiliki ratusan bahkan ribuan guru riwayah namun tidak
menghasilkan satu juz pun karya yang berkualitas.
Disini
letak kebenaran dari apa yang dikatakan oleh salah satu murid al-Hafizh
Ibn Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu yaitu al-Hafizh Ibnu Rajab
rahimahullahu dalam Bayan Fadhl ilmu Salaf ala ilm Khalaf hal 58,
فليس العلم بكثرة الرواية , ولا بكثرة المقال , ولكنه نور يقذف في القلب , يفهم به العبد الحق , ويميز به بينه وبين الباطل
“Ilmu
itu tidak diukur dengan banyaknya riwayat dan perkataan, akan tetapi
ilmu itu adalah cahaya yang dimasukan kedalam hati yang dengannya
seseorang mengenal kebenaran, membedakan antara yang haq dengan yang
batil..”. Selesai. [as-Surianji]
Sumber : Dinukil secara sempurna di sini
[1] Al-Arnauth ini istilah orang-orang Syam bagi orang yang berasal dari wilayah Albania dan sekitarnya.
[2]
Beliau adalah Muhammad Sa’id bin Abdurrahman bin Muhamad Sa’id
al-Burhani ad-Dagistani al-Hanafi (1311 - 1386 H). Leluhurnya adalah
pendatang dari wilayah Dagestan. Ayahnya seorang ulama di Damaskus,
adapun dia hanya melanjutkan kursi ayahnya. Syaikh Sa’id juga termasuk
ulama riwayat, hanya saja al-Albani tidak meminta ijazah kepadanya
karena memang tidak menginginkannya. Dalam riwayat, Syaikh al-Burhani
ini meriwayatkan dari Bapaknya Abdurrahman al-Burhani, Syaikh Badruddin
al-Hasani, Syaikh Muhammad Shalih al-Aamadi, Syaikh Mahmud al-Athar, dan
Syaikh Muhammad al-Hasyimi. Hal itu dituturkan dalam ijazah salah satu
guru kami dalam riwayat Syaikh Dr. Muhammad Muti’ie Hafizh yang
meriwayatkan secara langsung dari Syaikh al-Burhani ini lewat ijazah,
dan bahkan secara sama’i untuk beberapa matan ringkas seperti Arbain
an-Nawawiyah dan al-Ajluniyah.
[3]
Menurut beberapa sumber, dari Syaikh Muhammad Bahjat ini, Syaikh
Al-Albani secara khusus meriwayatkan Musnad Ahmad bin Hambal. Kalau ini
benar, maka riwayat Syaikh al-Albani tersambung kepada Syaikh Jamaluddin
al-Qasimi, karena Syaikh al-Baithar meriwayatkan dari Syaikh Jamaluddin
al-Qasimi.
[4]
Syaikh al-Faqih Muhammad Shalih bin Utsaimin rahimahullahu mengatakan
dalam kitabnya yang ringkas tapi bagus, Ilmu mustholahil hadits, bahwa
diantara ijazah yang sah adalah ijazah ammah (umum) seperti perkataan
mujiz, “Saya memberi ijazah kepadamu untuk semua riwayat dariku”.
Sehingga setiap riwayat yang sah dari mujiz tersebut boleh diriwayatkan
berdasarkan pemberian riwayat yang bersifat umum ini.
[5] Lihat Al-‘Alam – Az-Zarkili (6/123-124), Natsr al-Jawahir (3/1165- 1167) dan lainnya.
[6] Hal. 40.
[7] Ulama wa Mufakkirun 'araftuhum karya Ustadz Muhammad al-Majdzub (I/288).
[8] Guru beliau lainnya dapat dilihat pula dalam Imdad al-Fatah hal 308-312.
[9]
Perlu diketahui bahwa periwayatan Syaikh Abdurrahman bin Hasan kepada
kakeknya, masih menjadi perbincangan diantara ahli riwayat. Apakah
Syaikh Abdurrahman meriwayatkan secara qiroat saja kitab-kitab kakeknya
tanpa disertai ijazah riwayah ammah, atau juga melalui ijazah ammah?!.
Namun sebagian Masyaikh secara jelas menyebutkan periwayatan Syaikh
Abdurahman dari Kakeknya melalui ijazah ammah, dalam teks ijazah-ijazah
mereka. Diantaranya : Syaikh Sa’ad bin Atiq, Syaikh Muhadits Muhammad
Badi’uddin ar-Rasyidi, Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, Syaikh Sulaiman bin
Hamdan, Syaikh Abu Bakar Arif Khuwaqir dan juga dalam ijazah dari Guru
Kami Syaikh Prof. Dr. Ashim al-Quryuthi hafizahullahu, walahu’allam.
[10] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Tsabat Mufti al-Hanabilah bi Damasyiq”.
[11] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “Ithaful Akabir bi Isnad ad-Dafatir”.
[12] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Irsyad ila Muhimmat Ilm al-Isnad”.
[13] Tsabat beliau dikenal dengan nama, “al-Umam li Iqaz Al-Himam”.
[14] Lihat Tsabat al-Atsbat asy-Syahirah hal 64-71.
[15] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[16] Lihat Tadzkirul Nabihin karya Syaikh Rabi al-Madhkali hal 13.
[17]
Beliau meriwayatkan pula dari : Syaikh Ahmad bin Shadiq al-Ghumari,
Syaikh Abdul Hay al-Kattani, Syaikh Abdul Hafizh al-Fihri al-Fasi,
Syaikh Thahir bin Asyhur al-Tunisi dan lainnya sebagaimana dalam
ijazahnya kepadaku.
[18]
Syaikh at-Tuklah meriwayatkan dari banyak sekali syaikh (300-an lebih),
sebagiannya disebutkan dalam ijazahnya kepadaku. Dan beliau membaca
kepada guru-gurunya itu banyak sekali kitab. Penulis saksikan kalau
beliau termasuk ahlinya dibidang ilmu riwayah ini.
[19] Lihat Mazhahirul Syarfi wal ‘Ijah al-Mutajaliyah fi Fahrisah Syaikh Muhammad Bu Khubzah Hal 230
[20]
Selain dari al-Albani, Syaikh Musa’ad meriwayatkan pula dari Syaikh
Umar al-Faqi, Syaikh Abdul Hayy al-Kattani, Syaikh Muhammad Hafizh
Tijani, Syaikh Abu Hasan Ali an-Nadwi, Syaikh Abdullah an-Najdi, Syaikh
Yasin al-Fadani, dan lainnya.
[21]
Syaikh Abu al-Hajaj termasuk yang banyak gurunya dalam riwayat, sekitar
150 syaikh, sebagaimana disebutkan dalam Tsabat Ijazahnya kepadaku dan
kepada ikhwan yang ikut dalam istida ijazah di grup “Belajar Hadits”
yang dikelola oleh saya sendiri.
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda