”Hadits Hukum Isbal “
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”
Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh kaum musbil hingga menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi secara tinjauan syariat Islam. Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas? Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara berpakaian pun ada aturannya.
Takhrij Hadits
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450),
 an-Nasa’i (no. 5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hadits lain yang lafadznya senada cukup banyak, antara lain,
1. Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat ath-Thabarani dalam al-Kabiir (3/138).
2. Hadits Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu riwayat an-Nasa’i dan Ibnu Majah (no. 3572).
3. Hadits Aisyah x riwayat Ahmad (6/59, 254, 257).
4. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu riwayat Ahmad dan lainnya. (ash- Shahihah, no. 2037) 
Isbal dan Musbil Isbal artinya menggunakan pakaian yang menutupi mata kaki, baik dalam bentuk sarung, celana, maupun jubah. Musbil adalah
 sebutan untuk orang yang melakukan isbal. Isbal telah menjadi pandangan
 sehari-hari dari kalangan kaum muslimin. Ada yang sama sekali tidak 
mengerti tentang keharamannya, ada yang sekadar mengikuti mode dan tren,
 juga ada yang tidak menaruh perhatian sedikit pun tentang hal ini. 
Sebenarnya, bagaimanakah hukum isbal itu? Hukuman apa yang diancamkan 
atas kaum musbil? Apakah hal ini termasuk masalah furu’—menurut 
kalangan tertentu—, sehingga tidak layak untuk diperdebatkan? Benarkah 
hal ini hanya masalah adat dan budaya orang Arab yang tidak berlaku di 
negeri kita, Indonesia? Adakah perbedaan antara musbil yang sombong dan 
musbil yang tidak sombong? Simaklah penjelasan ringkas berikut ini, barakallahu fikum.
Hukum Isbal
Isbal hukumnya haram, bahkan dapat dikategorikan sebagai kabair (dosa besar). Hukum ini berlandaskan pada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya, 
“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.” Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Orang musbil, orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Artinya, masalah isbal bukanlah masalah kecil. Tidak tepat juga jika masalah isbal dinilai sebagai masalah furu’.
 Anggapan sebagian kalangan bahwa masalah isbal hanyalah adat dan budaya
 orang Arab juga tidak benar. Ternyata, isbal termasuk dosa besar sesuai
 dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukum 
isbal hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum 
tersendiri bagi kaum wanita. Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki 
telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud)
Apakah Isbal Hanya Berlaku untuk Sarung?
Sesuai lafadz hadits di atas, seolaholah, zahirnya menunjukkan hukum 
isbal hanya berlaku untuk sarung saja. Benarkah demikian? Al-Imam 
al-Bukhari rahimahullah memberi judul bab untuk hadits di atas 
bab “Pakaian yang Berada di Bawah Mata Kaki Akan Masuk Neraka.” Kemudian
 al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, ”Demikianlah, al-Bukhari rahimahullah menyebutkan secara mutlak dan tidak memberikan taqyid (pembatasan)
 dengan ‘sarung’ sebagaimana yang terdapat di dalam lafadz hadits. Ini 
adalah isyarat bahwa hukum isbal berlaku secara umum baik untuk sarung, 
jubah, maupun pakaian lainnya. Sepertinya, al-Bukhari rahimahullah mengisyaratkan pada lafadz hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah; yang dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibban.” (Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari)
 Hukum isbal yang tidak hanya terbatas pada sarung juga dapat dipahami 
dari hadits-hadits lain tentang isbal yang disebutkan pada kajian kita 
ini.
Musbil Tanpa Disertai Sikap Sombong
Ada sekelompok orang yang kurang bisa menerima hukum isbal secara mutlak. Alasan mereka adalah sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3665) dan Muslim (no. 2085) dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”
Kata mereka, “Larangan isbal hanya berlaku untuk orang yang sombong 
saja! Jika tidak disertai sikap sombong, tidak mengapa.” Jika 
berdasarkan ilmu kita berbicara, bukan hawa nafsu; jika di atas sikap 
hormat kepada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kita 
berhukum, tidak dengan menurutkan kesenangan hati; jika tidak mengambil 
sikap seenaknya kita sendiri, menerima satu hadits dan menolak hadits 
yang lain, walau tidak diakui secara lisan; tentu setiap hadits dapat 
diposisikan sebagaimana mestinya. Lihat dan teladanilah sikap para 
ulama. Mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua masalah.
 1. Musbil disertai sikap sombong
Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”
2. Musbil tanpa diikuti oleh sikap sombong
Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang 
pertama. Orang seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)
Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu
 yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717),
 Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani 
dalam ash-Shahihah (no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. 
Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, 
Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.” 
Jadi, sabda Nabi, “Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya”, tidak berarti apabila isbal tidak disertai sikap sombong maka boleh. Bukan seperti itu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dipahami! Hal lain yang perlu dicermati juga adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau adalah sahabat yang meriwayatkan hadits larangan isbal dengan disertai sikap sombong. Bagaimanakah praktik Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hal ini? Bukankah beliau lebih layak untuk diteladani dalam memahami hadits tersebut? Ternyata, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang meriwayatkan hadits tentang larangan musbil dengan disertai sikap sombong, pada praktiknya menggunakan kain sarung di atas mata kaki, bahkan di pertengahan betis. Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086) meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” Bagaimana dengan Atsar tentang Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu? Sekelompok kecil orang di atas ternyata masih berusaha mencari alasan dan pembenaran, walau sangat dipaksakan. Kata mereka, “Abu Bakr juga terkadang musbil dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan kepada beliau, ‘Sungguh, engkau tidak termasuk yang melakukan isbal dengan disertai sikap sombong’.” Mereka memahami, “Jadi, larangan itu hanya berlaku pada orang musbil yang bersikap sombong. Jika tidak, boleh-boleh saja!” Pembaca, semoga Allah Subhanahu wata’ala menjaga Anda, marilah kita mencermati hadits tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu lebih dekat. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ
 أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ إِنَّكَ 
لَسْتَ : ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
“Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)
Ada beberapa hal yang harus dicermati tentang keadaan Abu Bakr di atas:
1. Tidak ada faktor kesengajaan isbal dari Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
2. Upaya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu untuk selalu menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki.
3. Yang terkadang turun menutupi mata kaki Abu Bakr adalah salah satu
 sisi pakaiannya. Artinya, sisi pakaian yang lain berada di atas mata 
kaki.
4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merekomendasi Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sebagai orang yang tidak sombong. 
Pertanyaannya, ”Apakah riwayat tentang Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
 dapat disamakan dengan kaum musbil yang dengan sengaja telah melakukan 
isbal? Apakah mereka selalu berusaha menaikkan celana jika mulai 
menutupi mata kaki? Siapa yang merekomendasi mereka bebas dari sikap 
sombong?” Praktik Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para 
Sahabat Lihatlah praktik para sahabat dalam hal ini. Abu Ishaq bertutur,
 “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
 Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu 
Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib .” (Majma’ az- Zawaid) Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu.
 Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata 
kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu 
lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424) Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda,
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلُ، فَإِنْ أَبَيْتَ، فَلاَ حَقَّ لِلْإِزَارِ فِيْ الْكَعْبَيْنِ
‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di 
bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak 
untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)
Sebagai penutup, marilah kita meresapi kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
 di bawah ini. Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkisah, “Saat aku berjalan
 di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, 
‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, 
orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَمَا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ؟
“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)
Sekarang, kita bisa menyampaikan kepada siapa saja yang bertanya 
tentang hukum isbal, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diri 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan pakaian di atas mata kaki, bahkan hingga di tengah betis.” Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com 

Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda