MEMAHAMI RUKUN DAN SYARAT SAHNYA JUAL BELI
Oleh: Muhammad Wasitho, Lc
Pada
dasarnya hukum muamalah adalah mubah (diperbolehkan) sebagaimana yang
telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih dalam kitab-kitab mereka
dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi ‘Al-Ashlu Fil
Asy-ya-i Wal A’yani Al-Ibahatu’. Kaidah ini berlandaskan beberapa dalil
syar’i, di antaranya adalah firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori muamalah yang dihalalkan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al Baqarah: 275).
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa
yang bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa
yang memadharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk
jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak
memenuhi syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli
tersebut.
PENGERTIAN JUAL BELI
Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan
pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli)
dengan imbalan suatu barang lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul,yaitu
suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang
bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal
tersebut:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.”
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka
ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara
yang nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama suka, seperti adanya
ucapan penyerahan dan penerimaan.
MACAM-MACAM JUAL BELI
Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
- Jual beli barang dengan uang tunai
- Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter)
- Jual beli uang dengan uang (Sharf)
- Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya diserahkan kemudian)
- Jual beli Murabahah ( Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.”
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli
yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak,
penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami
akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.
RUKUN JUAL BELI:
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1.Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2. Al-‘Aqd (transaksi),
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
Masing-masing rukun memiliki syarat;
- Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali
atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya
adalah milik tuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa
menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik
penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang
dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’:
6).
Para ulama ahli tafsir mengatakan:“Ujilah mereka supaya kalian
mengetahui kepintarannya”, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki
kecakapan dalam melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya
hingga ia baligh. Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan
harta kepada orang yang tidak bisa mengendalikan harta.
- Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah II/737 no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)
Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada
kondisi tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta
miliknya, seperti bila seseorang memiliki hutang kepada pihak lain dan
sengaja tidak mau membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa
orang tersebut untuk menjual hartanya, lalu membayarkan hutangnya, bila
dia tetap tidak mau menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak
yang berwenang agar menyelesaikan kasusnya atau memberikan hukuman
kepadanya (bisa dengan penjara atau selainnya). Nabi bersabda: “Orang
kaya yang sengaja menunda-nunda pembayaran hutangnya telah berbuat
zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi.” (HR. Abu Daud)
Masalah: Hukum membeli barang dengan harga miring dari seseorang yang butuh uang tunai karena kepepet (terpaksa)
Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama fiqih, tetapi pendapat
yang rojih (terkuat) ialah yang mengatakan dibolehkan dan bahkan
dianjurkannya jual beli seperti ini dalam rangka membantu saudara seiman
yang membutuhkan uang tunai secepatnya. Juga dikarenakan tidak terdapat
unsur keterpaksaan, karena orang ini akan menjual barangnya kepada
siapapun dengan harga miring. Namun sebagian ulama dalam mazhab hanbali
memakruhkan membeli barang tersebut meskipun transaksinya sah.
Adapun hadits yang berbunyi:
نَهَى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli barang dari
orang yang sedang kepepet”, adalah hadits dho’if (lemah), diriwayatkan
oleh Abu Daud no. 3384. (lihat Shohih Fiqhis Sunnah IV/271)
- Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini
dengan harga sekian”. Dan Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli
mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab
Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk
jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan
lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz
ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka
ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih
pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang
merupakan mazhab maliki dan hanbali. (lihat. Raudhatuthalibin 3/5).
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’
hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak
mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara
penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga
dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan
mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua
belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang
menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat
tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).
Imam Baijuri –seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata, “mengikuti
pendapat yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, agar
tidak berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang
mengucapkan lafaz ijab-qabul saat berjual beli akan ditertawakan…”
(lihat. Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).
Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada
mesin lalu barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak
di super market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul.
Wallahu a’lam.
- Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ).
Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
A. Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan
syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk
memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud
dan Baihaqi dengan sanad shahih)
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram
sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai,
babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset
atau VCD musik dan porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini
tidak halal dan tentunya tidak berkah, karena musik telah diharamkan
Allah dan rasul-Nya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada diantara umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik”. (HR. Bukhari no.5590)
B. Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan
kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi
sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya
untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada
di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli
barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi
wasallam menjawab:
لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud II/305 no.3503)
Dan tidak boleh hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun belum terjadi serah-terima barang.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada
rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau
bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual
sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad)
C. Barang yang dijual bisa diserahkan kepada sipembeli,
maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang
dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual
burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap, hal ini
sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu
Said, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
melarang membeli hamba sahaya yang kabur”. (HR.Ahmad)
D. Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual.
Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar
penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka
bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka
dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli
tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi
rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan
mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual
bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang
bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh
padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang
dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk
jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. Karena nabi
shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli yang mengandung unsur
gharar (ketidak jelasan/penipuan). (HR. Muslim)
Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung
kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang,
kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan
bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan).
wallahu a’lamu bish-showab.
Demikianlah penjelasan singkat tentang rukun dan syarat sahnya jual
beli. Semoga dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 6 Volume 1 Tanggal 15 Juni 2010] Via www.abufawaz.wordpress.com
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda