HUKUM HADIAH TABUNGAN BANK KONVENSIONAL
Sekarang ini
banyak sekali hadiah mewah yang ditawarkan oleh berbagai bank kepada
nasabahnya. Tak tanggung-tanggung, hadiah tersebut bisa berupa mobil seharga
ratusan juta rupiah, atau bahkan sebuah rumah mewah yang berharga milyaran.
Hadiah tersebut diberikan kepada nasabah yang memiliki saldo tabungan paling
tinggi yang kemudian diundi. Inilah yang menarik orang untuk menyimpan uangnya
di bank-bank yang menawarkan hadiah serupa, sehingga bank mendapatkan dana cadangan
berlipat ganda.
Istilah yang
umum dipakai bagi orang yang menyimpan uangnya di bank adalah tabungan. Hanya
saja di sini tabungan tersebut tidak disimpan sendiri, melainkan dititipkan ke
pihak kedua yaitu bank. Alasan utama menyimpan tabungan di bank adalah faktor
keamanan dan berbagai fasilitas yang akan diterima setelah tercatat sebagai
nasabah bank bersangkutan.
Para ulama
kontemporer berbeda pendapat apa status tabungan seseorang di bank, apakah
titipan (wadi’ah), pinjaman (qardh). Penentuan status fikih ini akan
berimplikasi hukum turunannya. Bila dikatakan bahwa tabungan itu adalah wadi’ah
maka berlakulah ketentuan wadi’ah padanya, dan bila dikatakan sebagai qardh
maka yang diterapkan adalah peraturan qardh pada tabungan tersebut.
Pendapat pertama, bahwa tabungan di bank sejatinya adalah wadi’ah
(titipan). Pendapat ini dipegang oleh Bank Islam Dubai, dan menjadi pendapat
beberapa ahli ekonomi Islam kontemporer. Bank Syariah di Indonesia juga
mengadopsi pendapat ini dengan menjadikan uang yang disimpan nasabah dalam
bentuk giro sebagai wadi’ah dengan jaminan (wadi’ah yadu adh-dhamanah).
Pendapat kedua, tabungan di bank baik di bank konvensional maupun di bank syariah adalah qardh. Pendapat ini diputuskan oleh Asosiasi Fikih Islam Muktamar Alam Islam yang berpusat di Jedah. Dalam sidangnya di Abu Zhabi tanggal 1 – 5 Dzul Qa’dah 1415 H atau 1 – 6 April 1995 M. Salah satu isinya adalah bahwa simpanan uang dengan rekening berjalan (bisa diambil kapan saja) dalam fikih islam termasuk qardh.
Prof. Dr. Ali
Ahmad As-Salus, guru besar Fikih dan ushul fikih di universitas Qatar dan tim
ahli ekonomi islam di Muktamar Alam Islami, mengatakan bahwa tabungan di bank
adalah qardh menurut pandangan fikih dan konstitusi. Beliau menjelaskan
dalilnya panjang lebar dalam artikel yang beliau tulis di majalah Majma’
Al-Fiqhi Al-Islami terbitan Rabithah Al-’Alam Al-Islami edisi kesembilan tahun
ketujuh 1416 H / 1995 M. (Lihat halaman 190 dari majalah tersebut).
Hal senada
diungkapkan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, guru besar fikih dan mantan dekan
fakultas Syariah Universitas Damaskus, dalam bukunya, ”Al-Mu’amalat
Al-Maaliyyah Al-Mu’ashirah”. Pada halaman 458, 477 dan 478.
Pendapat inilah yang lebih kuat, mengingat sisi kemiripan antara tabungan biasa di bank, terutama di bank konvensional dengan akad qardh lebih berat dibanding kemiripannya dengan akad wadi’ah.
Salah satu
kemiripan antara tabungan di bank dengan qardh adalah bahwa bank sebagai pihak
peminjam menggunakan uang itu untuk keperluan bisnisnya. Selain itu, bank hanya
akan mengembalikan nilai, bukan barang asli yang dititipkan. Ini adalah bentuk
asli dari akad qardh. Persamaan lain adalah bank berkewajiban mengembalikan
uang yang disimpan nasabah, apapun yang terjadi pada bank, tanpa menghiraukan
apakah bank itu rugi maupun untung dan ini adalah sifat asli dari qardh, dimana
si peminjam harus mengembalikan uang pinjaman tanpa menghiraukan apakah
bisnisnya untung maupun rugi.
Akan tetapi dalam bank syariah ada bentuk akad lain yaitu akad mudharabah. Sehingga, tabungan yang disimpan di bank syariah dikategorikan mudharabah dan bukan qardh, sehingga penabung dalam hal ini sebagai shahib mal (pemodal) dan bank adalah mudharib (pelaksana) keduanya berhak mendapatkan keuntungan bagi hasil yang tunduk pada kaondisi untung dan rugi. Dengan demikian tabungan mudharabah baik dalam bentuk tabungan biasa, berjangka atau giro adalah sah dan tidak terkena larangan pada qardh yaitu riba.
Selain itu mereka juga menetapkan tabungan deposito dan giro dalam bentuk wadi’ah yadu adh-dhamanah, di mana bank meminta izin kepada nasabah untuk mempergunakan dananya dalam kegiatan bisnis bank. Bila bank mendapat keuntungan maka semua menjadi milik bank dan tidak ada keharusan harus berbagi untung dengan nasabah. Namun, bank tidak dilarang memberikan bonus untuk itu.
Akan tetapi dalam bank syariah ada bentuk akad lain yaitu akad mudharabah. Sehingga, tabungan yang disimpan di bank syariah dikategorikan mudharabah dan bukan qardh, sehingga penabung dalam hal ini sebagai shahib mal (pemodal) dan bank adalah mudharib (pelaksana) keduanya berhak mendapatkan keuntungan bagi hasil yang tunduk pada kaondisi untung dan rugi. Dengan demikian tabungan mudharabah baik dalam bentuk tabungan biasa, berjangka atau giro adalah sah dan tidak terkena larangan pada qardh yaitu riba.
Selain itu mereka juga menetapkan tabungan deposito dan giro dalam bentuk wadi’ah yadu adh-dhamanah, di mana bank meminta izin kepada nasabah untuk mempergunakan dananya dalam kegiatan bisnis bank. Bila bank mendapat keuntungan maka semua menjadi milik bank dan tidak ada keharusan harus berbagi untung dengan nasabah. Namun, bank tidak dilarang memberikan bonus untuk itu.
Mengenal akad
Qardh dan Wadi’ah dalam Syariah Islamiyah
Qardh secara
etimologis adalah potongan. Secara istilah bisa diterjemahkan sebagai pinjaman
uang. Sedangkan pinjaman barang dalam bahasa fikih biasanya disebut ’ariyah.
Bedanya, kalau dalam qardh yang dikembalikan adalah nilai dari barang tersebut,
sedangkan dalam ’ariyah yang dikembalikan adalah barang itu sendiri.
Wadi’ah artinya
titipan. Dalam fikih Islam akad wadi’ah adalah akad amanah. Artinya, pihak yang
diserahi titipan (tempat penitipan) akan menjaga barang yang dititipkan tapi
tidak boleh memilikinya atau mempergunakannya tanpa seizin penitip. Akibatnya,
dia tidak bertanggung jawab bila terjadi kerusakan atau kehilangan barang
titipan itu bila berada terjadi bukan akibat perbuatannya. Dia akan bertanggung
jawab bila kerusakan atau kehilangan terjadi karena keteledorannya, misalnya
dia memakai barang tersebut lalu rusak akibat pemakaian itu.
Perbedaan antara
akad qardh dan wadi’ah meliputi:
a.
Dalam qardh barang yang dipinjamkan
menjadi milik peminjam dan dia berhak menggunakannya untuk keperluan apapun
tanpa perlu memberitahu pihak yang meminjamkan. Sedangkan dalam wad’iah barang
tersebut adalah milik si penitip, sehingga penggunaannya harus atas seizin yang
bersangkutan. Izin tersebut bisa dilakukan sejak awal akad dengan lisan atau
perjanjian, atau merupakan suatu yang sudah maklum adanya berdasarkan kaidah ”Al-Ma’ruf
bainat Tujjar kal Masyruuth bainahum” (Sesuatu yang sudah berlaku umum di
kalangan para pebisnis sama hukumnya dengan persyaratan antar mereka).
Peminjam dalam akad qardh bertanggung jawab sejak awal untuk mengembalikan barang, baik barang itu rusak atau dia merugi, atau untung. Sedangkan dalam wadi’ah, si penerima titipan hanya bertanggung jawab bila terjadi keteledoran dari pihaknya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ”Tidak ada tanggung jawab atas diri penerima titipan.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, tapi sayang sanadnya dhaif).[1] Tapi bila barang rusak bukan karena keteledorannya maka dia tidak bertanggung jawab. Misal, mobil yang dititipkan hilang dibawa perampok, bila tempat penitipan menyimpannya di luar dan tidak dikunci berarti dia teledor dan bertanggung jawab kepada pemilik titipan, tapi bila dia sudah menyimpannya dengan benar sesuai prosedur kemudian diambil perampok yang berjumlah besar sehingga dia memang tidak sanggup melawannya, maka dia tidak bertanggung jawab untuk mengganti mobil itu.
b.
Pihak yang menerima pinjaman dilarang
memberikan insentif kepada pihak yang meminjamkan atas dasar pinjaman itu
berdasarkan kaidah, ”Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan adalah
riba.” Kecuali bila insentif itu diberikan setelah melunasi pinjaman dan
tidak disyaratkan sebelumnya. Berbeda dengan wadi’ah, di mana si penerima
titipan berhak memberi bonus kepada orang yang menitipkan barang kepadanya
tanpa syarat.
Setelah
menetapkan bahwa tabungan di bank adalah qardh maka berlakulah salah satu hukum
penting dalam akad ini yaitu larangan menerima hadiah atas dasar pinjaman.
Berbeda halnya
dengan pemberian hadiah atau melebihkan pembayaran tanpa disyaratkan sejak awal
akad, tapi hanya berdasarkan kerelaan si kreditur, maka itu diperbolehkan berdasarkan
hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
pernah punya utang hewan kemudian beliau membayar dengan hewan yang lebih baik
dari yang beliau pinjam. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi).[2]
Juga hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dimana
Nabi shallallahu alaihi wa sallam punya utang kepadanya dan beliau membayar
utang itu dengan jumlah yang lebih.[3]
Dalam kaidah
fikih disebutkan, ”Setiap utang yang menyeret manfaat maka itu adalah riba”.
Maksudnya, bila lantaran utang tersebut ada manfaat tertentu yang diperoleh
salah satu pihak, baik debitur maupun kreditur dan manfaat itu bukan buah asli
dari utang itu sendiri maka itu termasuk riba yang diharamkan.
Dalam hal ini
ada kesepakatan dari seluruh ulama Islam tentang keharaman manfaat dari utang
yang disyaratkan sejak awal. Manfaat tersebut bisa berbentuk tambahan
pengembalian dari pokok utang (bunga), bisa pula manfaat non materi, misalnya
seseorang mengutangkan uang dengan syarat yang berutang ini harus bekerja
beberapa hari padanya tanpa diupah, atau harus mengantarnya ke suatu tempat
dengan kendaraan milik si pengutang.
Demikian pula
dengan hadiah bagi nasabah yang mempunyai saldo tabungan di sebuah bank. Dalam
hal ini pembicaraan kita hanya pada bank konvensional, karena tabungan nasabah
dalam bank ini statusnya adalah qardh. Sedangkan pada bank syariah ada syubhat
bahwa akad yang terjadi antara bank dengan nasabah adalah akad mudharabah atau
wadi’ah. Maka, harus kita tangguhkan dulu status tabungan pada bank syariah
atau yang mengatasnamakan syari’ah itu di pembahasan tersendiri.
Hukum Memberi
Hadiah kepada Kreditur
Sebelum kita masuk pada pembahasan
hadiah tabungan dari bank, maka ada baiknya kita membahas secara runut sedari
dasar tentang masalah boleh tidaknya seorang kreditur memberi hadiah kepada krediturnya (Maksudnya "Debiturnya -Mukhtar Hasan), atau bolehkah seorang kreditur menerima hadiah dari debiturnya.
Mari kita lihat pendapat para ulama
madzhab dalam masalah ini. Di sini saya akan menukil dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fikih dari Kuwait) yang merupakan ensiklopedi fikih
terlengkap sampai saat ini. Di entri kata (قرض)
(hutang pinjaman) vol. 33 hal. 131-132:
Hadiah untuk
debitur akan menjadi jalan membayar dengan tambahan
Ada perbedaan pendapat tentang hukum
hadiah pengutang kepada pemberi utangan dalam beberapa pendapat:
Pertama,
pendapat ulama Hanafi tidak ada masalah dengan hadiah dari debitur kepada
kreditur. Tapi yang lebih wara’ (menjaga diri) adalah kreditur (yang meminjamkan
uang) tidak menerima hadiah tersebut bila dia mengetahui bahwa hadiah itu
lantaran hutangan yang dia berikan. Kalau dia tahu bahwa hadiah itu diberikan
bukan atas dasar hutangannya melainkan karena hubungan kekerabatan atau
pertemanan maka dia tak perlu khawatir menerimanya. Sama halnya bila debitur
ini memang dikenal sebagai orang yang dermawan dan royal. Demikian yang
disebutkan dalam kitab Muhith oleh As-Sarakhsi. Kalau bukan karena itu berarti
berada di area abu-abu maka hendaklah dihindari sampai jelas bahwa hadiah
tersebut tidak ada hubungannya dengan hutang.
Kedua, menurut
ulama Malikiyyah tidak diperbolehkan bagi seorang debitur memberikan hadiah
kepada krediturnya demi mengharap pelunasannya ditangguhkan, dan haram pula
bagi kreditur untuk menerima hadiah tersebut bila dia tahu bahwa tujuan sang
debitur hanyalah untuk itu. Sebab, hadiah itu berkonsekuensi pada pembayaran
tambahan karena adanya pengunduran waktu pelunasan. Kemudian, kalau hadiahnya
masih utuh hendaknya dikembalikan tapi kalau sudah hilang maka harus diganti
dengan yang sepadan bila ada, atau dibayar harganya bila itu barang yang bisa
diuangkan.
Sedangkan kalau
debitur tidak bermaksud demikian dan niatnya betul maka dia boleh memberi
hadiah kepada krediturnya.
Ibnu Rusyd
berkata, “Tapi dimakruhkan bagi pemberi hutangan untuk menerima hadiah itu
meski sudah jelas niatnya betul bila si pemberi hutangan ini adalah tokoh yang
jadi panutan agar itu tidak menjadi jalan pembolehan ketika kondisi yang tidak
memperbolehkan.”
Kemudian para
ulama Malikiyyah memberikan syarat pembolehan hadiah itu, yaitu kebersihan
tujuan dan terhindar dari tujuan yang dilarang. Mereka katakan kalau hadiah
dari orang yang berutang itu haram kecuali memang dia biasa memberi hadiah
sebelum berutang dan jelas bahwa itu bukan karena hutangan tersebut. Kalau
sudah begitu maka tak lagi diharamkan pada saat masih berutangpun. Atau bisa
pula karena adanya factor yang mengharuskan pemberian hadiah misalnya karena
ada perbesanan, pertetanggaan atau yang semisalnya. Dalam kondisi demikian maka
tak diharamkan hadiah tersebut.
Ketiga, para
ulama Syafi’iyyah menyatakan tidak ada masalah seorang kreditur menerima hadiah
dari debitur tanpa syarat meski pada barang ribawi.
Al-Mawardi
mengatakan, “Akan lebih baik untuk menghindarinya sebelum pelunasan.”
Keempat, para
ulama Hanbali berpendapat bahwa bila seorang debitur memberi hadiah kepada
krediturnya sebelum pelunasan dan debitur ini tidak meniatkan hadiah itu masuk
dalam hitungan hutangnya atau sebagai balas jasa maka tidak diperbolehkan.
Kecuali bila telah menjadi kebiasaan mereka berdua untuk saling memberi hadiah
sebelum terjadinya utang piutang antara mereka. Kalau sudah biasa maka itu tak
dipermasalahkan.
Adapun bila dia
memberinya
Dari penjabaran ini kita bisa tarik
kesimpulan bahwa para ulama sepakat akan kebolehan hadiah dari debitur kepada
krediturnya sebelum pelunasan bila bersih dari indikasi balas
jasa piutang atau diniatkan sebagai keuntungan eksternal bagi kedua pihak. Tapi
bila hadiah itu sebagai bentuk terselubung dari sogokan atau diniatkan adanya
keuntungan ekstra bagi kedua pihak atau salah satunya maka itu diharamkan.
Kecuali pendapat madzhab Syafi’I yang saya rasa masih perlu pendalaman karena
belum ada sikap tegas untuk kasus hadiah yang berkenaan dengan hutang piutang.
Selain ulama
madzhab para ulama muhaqqiqin dan kontemporer menganggap pemberian manfaat
materil maupun non materil dari peminjam uang (kreditur) kepada yang
meminjamkan (debitur) sebelum pinjaman itu dikembalikan hukumnya haram.
Termasuk di dalamnya memberi hadiah kepada debitur sebelum melunasi pinjaman.
Menurut Asy-Syaukani, tidak diperbolehkan memberi hadiah kepada debitur sebelum melunasi pinjaman bila tujuannya adalah mendapatkan keuntungan dari pinjaman tersebut, karena itu sama dengan riba atau risywah (sogokan). Namun bila hadiah tersebut memang biasa diberikan sebelum terjadi pinjam meminjam antara keduanya, dan tidak ada hubungannya dengan utang piutang, maka itu diperbolehkan. (lihat: Nail Al-Awthar, juz 5, hal. 244).[4]
Hal senada juga
diungkapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni yang merupakan rujukan
terbesar dalam madzhab Hanbali[5].
Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam fatwanya (lihat: Majmu’
Al-Fatawa, juz 29, hal. 335).
Dalam kitab
Al-Mudawwanah (3/179, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1994) disebutkan:
Hadiah dari
Kreditur
Aku[6]
berkata, “Apa pendapat Malik tentang seorang yang punya piutang atas diri orang
lain, apakah dia boleh menerima hadiah dari krediturnya itu? Dia[7]
menjawab, “Menurut Malik, dia tak boleh menerima hadiah itu kecuali kalau
mereka berdua memang biasa saling memberi hadiah dan dia (debitur) tahu bahwa
hadiah itu tidak ada hubungannya dengan hutang piutang mereka. Kalau demikian
maka tak ada masalah dengan hadiah tersebut.
Ibnu Wahb
berkata, dari Muhammad bin Amr dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha` bin Abi Rabah,
seorang bertanya kepadanya, “Saya meminjamkan uang kepada orang lain lalu dia
memberikan hadiah kepada saya.” Maka ‘Atha` menjawab, “Jangan terima.” Orang
itu berkata, “Tapi dia memang biasa memberi hadiah sebelum saya pinjamkan uang
itu.” ‘Atha`pun berkata, “Kalau begitu boleh kamu ambil.”
Ada orang lain
bertanya, “Saya memberikan modal usaha kepadanya (qiradh)?” ‘Atha` menjawab,
“Sama dengan pinjaman (hukum hadiahnya –penerj).”
Atha` memberi
komentar kepada kedua orang ini, “Kecuali kalau orang yang memberi hadiah itu
memang saudaramu yang special, atau teman special yang tidak memberi hadiah
hanya lantaran berutang padamu maka silahkan kamu ambil hadiahnya.”
Dari Yahya bin
Sa’id yang berkata, “Siapa biasa yang saling memberi hadiah satu sama lain
meski ada hubungan utang piutang antara mereka maka tak ada satupun yang
menganggapnya terlarang. Tapi kalau itu bukanlah kebiasaan mereka memberi
hadiah sebelum terjadinya utang piutang maka hal itu dianggap makruh oleh
orang-orang yang menjaga kesucian diri.”
Al Harits bin
Nabhan berkata, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, “Sesungguhnya Ubay bin Ka’b pernah
berutang uang sesuatu dari Umar bin Khaththab sebesar sepuluh ribu dirham, lalu
Ubay memberi Umar hadiah tapi Umar mengembalikannya. Ubaypun berkata, “Penduduk
Madinah ini sudah tahu bahwa saya memiliki buah terbaik, apakah anda merasa saya
memberi hadiah karena uang anda yang ada pada saya? Terimalah hadiah itu,
karena anda tak perlu melarang diri dari makanan kami.”[8]
Maka Umarpun
menerima hadiah itu.
Selesai dari
Al-Mudawwanah.
Dalil untuk hal
ini adalah hadits dari Anas, dimana Rasulullah bersabda,
"إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى
لَهُ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ، إِلَّا
أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ"
”Jika salah
seorang dari kalian meminjamkan uang lalu dia diberi hadiah, atau dia diberi
jasa pengantaran kendaraan, maka jangan dia naik kendaraan itu dan jangan ambil
hadiahnya, kecuali kalau itu memang biasa terjadi di antara mereka.” (HR. Ibnu
Majah, no. 2432).
Sayangnya hadits
ini dha’if karena dalam sanadnya Yahya bin Abu Ishaq Al-Hana`i yang majhul
(tidak dikenal) dan Utbah bin Humaid Adh-Dhabi[9]
serta Ismail bin ’Iyasy yang dha’if. Dengan demikian hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah atau dalil buat mengharamkan hadiah tabungan lantaran
ke-dhaif-an pada sanadnya.
Abdullah bin
Salam pernah berkata kepada Abu Burdah bin Abu Musa,
إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا
فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ
حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
”Sesungguhnya kamu sedang berada di negeri
yang riba merajalela di dalamnya. Maka jika kamu punya piutang atas diri
seseorang, lalu orang itu menghadiahkan kepadamu setumpuk jerami, atau gandum,
atau alas kendaraan maka jangan kamu terima, karena itu adalah riba.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahihnya, no. 3814).
Pernyataan Abdullah bin Salam ra ini
dikomentari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Ada kemungkinan itu adalah pendapat
pribadi Abdullah bin Salam, sebab para fuqaha` berpendapat itu akan berhukum
riba bila disyaratkan dari awal. Memang, yang lebih wara’ (lebih menjaga diri)
adalah tidak melakukannya.”[10]
Beberapa Atsar
Sahabat yang melarang hal ini:
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam As-Sunan
Al-Kubra 5/572, no. 10930 dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa dia berfatwa tentang
seorang yang punya piutang kepada orang lain sebesar 20 dirham, lalu yang
berutang ini selalu memberinya hadiah dan setiap dia jual hadiah itu harganya
mencapai total 13 dirham. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Jangan kamu ambil
lagi (pelunasan hutangnya) darinya kecuali tujuh dirham.”
Maksudnya Ibnu
Abbas menghitung hadiah itu sebagai pengembalian hutang dan tak boleh dianggap
hadiah biasa.
Riwayat lain adalah dari Salim bin Abu
Al-Ja’d (nomor 10931) yang berkata, “Kami punya tetangga seorang nelayan yang
mana dia punya piutang atas orang lain sebesar 50 dirham. Orang yang berutang
itu menghadiahkan ikan kepadanya, maka diapun mendatangi Ibnu Abbas menanyakan
hal itu, lalu Ibnu Abbas menjawab, “Hitung itu sebagai pembayaran hutangnya
kepadamu.”
Apa tujuan perusahaan atau bank memberi hadiah kepada nasabah?
Tujuannya tak
lain adalah promosi agar banyak orang lain ikut bergabung menjadi nasabahnya.
Dengan demikian dia tidak murni memberikan hadiah tersebut sebagai rasa
terimakasih kepada nasabah yang sudah menyimpan uang padanya melainkan
mensugesti orang lain untuk juga ikut menabung di bank yang sama, sehingga
jumlah uang beredar di bank tersebut makin bertambah. Seolah dikatakan,
”Menabunglah anda di bank kami, niscaya anda akan dapat hadiah.” Bila seperti
ini yang terjadi, berarti hadiah yang diberikan sama halnya dengan manfaat yang
diperoleh dari sebuah qardh (pinjaman) uang sebelum pelunasan. Dan itu,
diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Terakhir saya
ingin menutup bahasan ini dengan fatwa Komisi Tetap untuk Fatwa Kerajaan Arab
Saudi yang ada hubungannya dengan masalah hadiah dari bank:
Pertanyaan:
Saya menabungkan uang saya di
salah satu bank di Kairo, dan saya meminta dari mereka agar tidak memberikan
bunga kepada saya. Dan setelah beberapa hari dan setelah saya pergi dari Kairo
menuju Saudi Arabia, saya kedatangan surat pemberitahuan dari bank yang
menyatakan: Telah dilaksanakan undian terhadap nomor-nomor yang ada di bank,
dan nomor-nomor tersebut berurutan sesuai urutan nasabah yang menabung di bank,
dan nomor urut saya salah satu nomor yang memenangkan hadiah berbentuk uang,
dan mereka memberitahukan, bahwa saya memenangkan uang sebesar 5 Junaih setiap
bulan selama satu tahun. Dan mereka bertanya kepada saya, “Apakah uang hadiah
tersebut ditambahkan ke rekening saya atau akan Anda ambil cash setiap bulan?”
Apakah hadiah ini termasuk riba juga? Dan bila saya ambil, maka saya (gunakan)
untuk apa? Apakah harus saya sedekahkan? Dan bila saya tabungkan uang saya di
Bank, sedangkan saya mengetahui bahwa mereka akan menggunakannya untuk
perniagaan dengan nasabah lainnya, dan mereka telah menentukan keuntungan yang
akan diberikan kepada saya tanpa terjadi kerugian, apakah ini juga termasuk
riba juga?
Jawaban:
Pertama: Dibolehkan bagi Anda untuk menabungkan uang Anda di
bank tanpa bunga bila memang Anda benar-benar terpaksa melakukannya. Tapi Anda
tidak boleh mengambil hadiah yang diberikan atas nomor urut Anda, karena itu
adalah riba. Pihak bank tidaklah memberikannya kepada Anda kecuali lantaran
uang yang Anda tabungkan di bank tersebut. Penamaan mereka terhadap barang yang
diberikan kepada Anda dengan hadiah atau imbalan, tidaklah dapat
mengeluarkannya dari makna/hakikat riba karena yang penting adalah haekakatnya
bukan namanya.
Kalau bukan karena uang Anda yang
ditabungkan di bank mereka, sehingga mereka menggunakannya untuk kepentingan
mereka, niscaya mereka tidak akan memberi Anda apa yang mereka sebut-sebut
sebagai hadiah. Oleh karena itu, Anda tidak boleh mengambil hadiah tersebut.
Kedua: Keuntungan yang telah ditentukan untuk Anda dengan
persentase tertentu dari jumlah tabungan Anda yang digunakan oleh bank bersama
dengan tabungan nasabah-nasabah lainnya adalah riba murni, maka tidak boleh
bagi Anda untuk mengambilnya.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya
Tertanda:
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua),
Abdurrazzaq Afifi (Wakil ketua), Abdullah bin Ghudayyan (Anggota).[11]
Anshari Taslim
Diedit ulang 18 Pebruari 2015
[1]
Sunan Ibnu Majah, no. 2401, dengan redaksi:
مَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ
“Siapa yang dititipi suatu titipan maka dia tidak
menanggung kerusakan.”
Sunan Ad-Daraquthni, no. 2961, redaksinya:
لَا ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
Dianggap dhaif oleh Syu’aib Al-Arnauth
dkk dalam tahqiq Sunan Ibni Majah 3/479, juga oleh Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih
At-Tahqiq 4/200, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Talkhish Al-Habir 3/210-211
(cetakan Al-Qurthubah).
Tapi Syekh Al-Albani menghasankan
hadits Ibnu Majah dalam Irwa` Al-Ghalil 5/385.
[2]
Shahih Al-Bukhari, no. 2305, Muslim, no. 1601,
At-Tirmidzi, no. 1317.
[3]
Shahih Al-Bukhari, no. 443, Shahih Muslim, no. 715.
[4]
Redaksinya adalah:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا
كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ
الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ
دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ وَإِنْ
كَانَ ذَلِكَ لِأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ
التَّدَايُنِ فَلَا بَأْسَ
[5]
Teks Al-Mughni 4/211:
وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ قَبْلَ الْوَفَاءِ، لَمْ يَقْبَلْهُ،
وَلَمْ يَجُزْ قَبُولُهُ، إلَّا أَنْ يُكَافِئَهُ، أَوْ يَحْسُبَهُ مِنْ دَيْنِهِ،
إلَّا أَنْ يَكُونَ شَيْئًا جَرَتْ الْعَادَةُ بِهِ بَيْنَهُمَا قَبْلَ الْقَرْضِ
[6]
Aku di sini adalah Sahnun, salah satu pembesar madzhab Maliki, nama aslinya adalah
Abdussalam bin Sa’id bin Habib At-Tanukhi. Dia dijuluki Sahnun yang merupakan
nama burung di Magrib karena kecerdasannya. Dialah yang menyusun kitab
Al-Mudawwanah yang merupakan kumpulan fatwa Imam Malik yang diriwayatkan oleh
Ibnu Qasim.
[7]
Dia di sini adalah Abdurrahman bin Qasim, murid langsung Imam Malik bin Anas.
[8]
Riwayat ini disebutkan pula oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572, no.
10929 dan dia katakana munqathi’ (sanadnya terputus). Saya katakan, sebab
terputusnya adalah Ibnu Sirin tidak bertemu baik dengan Ubay maupun Umar.
[9]
Dianggap dhaif oleh Imam Ahmad menganganggapnya dha’if, sedangkan Abu Hatim
menganggapnya shalihul hadits. Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim
6/370.
[10]
Fath Al-Bari 8/516 (tahqiq Nizar Firyabi).
[11]
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah kumpulan pertama tahqiq Ad-Duwaisy, vol. 13 hal.
347-348.
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda