Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

HUKUM HADIAH TABUNGAN BANK KONVENSIONAL

HUKUM HADIAH TABUNGAN BANK KONVENSIONAL


 
Sekarang ini banyak sekali hadiah mewah yang ditawarkan oleh berbagai bank kepada nasabahnya. Tak tanggung-tanggung, hadiah tersebut bisa berupa mobil seharga ratusan juta rupiah, atau bahkan sebuah rumah mewah yang berharga milyaran. Hadiah tersebut diberikan kepada nasabah yang memiliki saldo tabungan paling tinggi yang kemudian diundi. Inilah yang menarik orang untuk menyimpan uangnya di bank-bank yang menawarkan hadiah serupa, sehingga bank mendapatkan dana cadangan berlipat ganda.

Lalu apa hukumnya menerima hadiah dari bank seperti kasus tersebut?


Status Fikih dari Tabungan di Bank

Istilah yang umum dipakai bagi orang yang menyimpan uangnya di bank adalah tabungan. Hanya saja di sini tabungan tersebut tidak disimpan sendiri, melainkan dititipkan ke pihak kedua yaitu bank. Alasan utama menyimpan tabungan di bank adalah faktor keamanan dan berbagai fasilitas yang akan diterima setelah tercatat sebagai nasabah bank bersangkutan.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat apa status tabungan seseorang di bank, apakah titipan (wadi’ah), pinjaman (qardh). Penentuan status fikih ini akan berimplikasi hukum turunannya. Bila dikatakan bahwa tabungan itu adalah wadi’ah maka berlakulah ketentuan wadi’ah padanya, dan bila dikatakan sebagai qardh maka yang diterapkan adalah peraturan qardh pada tabungan tersebut. 
Pendapat pertama, bahwa tabungan di bank sejatinya adalah wadi’ah (titipan). Pendapat ini dipegang oleh Bank Islam Dubai, dan menjadi pendapat beberapa ahli ekonomi Islam kontemporer. Bank Syariah di Indonesia juga mengadopsi pendapat ini dengan menjadikan uang yang disimpan nasabah dalam bentuk giro sebagai wadi’ah dengan jaminan (wadi’ah yadu adh-dhamanah).
 
Pendapat kedua, tabungan di bank baik di bank konvensional maupun di bank syariah adalah qardh. Pendapat ini diputuskan oleh Asosiasi Fikih Islam Muktamar Alam Islam yang berpusat di Jedah. Dalam sidangnya di Abu Zhabi tanggal 1 – 5 Dzul Qa’dah 1415 H atau 1 – 6 April 1995 M. Salah satu isinya adalah bahwa simpanan uang dengan rekening berjalan (bisa diambil kapan saja) dalam fikih islam termasuk qardh.
Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, guru besar Fikih dan ushul fikih di universitas Qatar dan tim ahli ekonomi islam di Muktamar Alam Islami, mengatakan bahwa tabungan di bank adalah qardh menurut pandangan fikih dan konstitusi. Beliau menjelaskan dalilnya panjang lebar dalam artikel yang beliau tulis di majalah Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami terbitan Rabithah Al-’Alam Al-Islami edisi kesembilan tahun ketujuh 1416 H / 1995 M. (Lihat halaman 190 dari majalah tersebut).
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, guru besar fikih dan mantan dekan fakultas Syariah Universitas Damaskus, dalam bukunya, ”Al-Mu’amalat Al-Maaliyyah Al-Mu’ashirah”. Pada halaman 458, 477 dan 478.
 
Pendapat inilah yang lebih kuat, mengingat sisi kemiripan antara tabungan biasa di bank, terutama di bank konvensional dengan akad qardh lebih berat dibanding kemiripannya dengan akad wadi’ah.
Salah satu kemiripan antara tabungan di bank dengan qardh adalah bahwa bank sebagai pihak peminjam menggunakan uang itu untuk keperluan bisnisnya. Selain itu, bank hanya akan mengembalikan nilai, bukan barang asli yang dititipkan. Ini adalah bentuk asli dari akad qardh. Persamaan lain adalah bank berkewajiban mengembalikan uang yang disimpan nasabah, apapun yang terjadi pada bank, tanpa menghiraukan apakah bank itu rugi maupun untung dan ini adalah sifat asli dari qardh, dimana si peminjam harus mengembalikan uang pinjaman tanpa menghiraukan apakah bisnisnya untung maupun rugi.
Akan tetapi dalam bank syariah ada bentuk akad lain yaitu akad mudharabah. Sehingga, tabungan yang disimpan di bank syariah dikategorikan mudharabah dan bukan qardh, sehingga penabung dalam hal ini sebagai shahib mal (pemodal) dan bank adalah mudharib (pelaksana) keduanya berhak mendapatkan keuntungan bagi hasil yang tunduk pada kaondisi untung dan rugi. Dengan demikian tabungan mudharabah baik dalam bentuk tabungan biasa, berjangka atau giro adalah sah dan tidak terkena larangan pada qardh yaitu riba.
Selain itu mereka juga menetapkan tabungan deposito dan giro dalam bentuk wadi’ah yadu adh-dhamanah, di mana bank meminta izin kepada nasabah untuk mempergunakan dananya dalam kegiatan bisnis bank. Bila bank mendapat keuntungan maka semua menjadi milik bank dan tidak ada keharusan harus berbagi untung dengan nasabah. Namun, bank tidak dilarang memberikan bonus untuk itu.

Mengenal akad Qardh dan Wadi’ah dalam Syariah Islamiyah
Qardh secara etimologis adalah potongan. Secara istilah bisa diterjemahkan sebagai pinjaman uang. Sedangkan pinjaman barang dalam bahasa fikih biasanya disebut ’ariyah. Bedanya, kalau dalam qardh yang dikembalikan adalah nilai dari barang tersebut, sedangkan dalam ’ariyah yang dikembalikan adalah barang itu sendiri.
Wadi’ah artinya titipan. Dalam fikih Islam akad wadi’ah adalah akad amanah. Artinya, pihak yang diserahi titipan (tempat penitipan) akan menjaga barang yang dititipkan tapi tidak boleh memilikinya atau mempergunakannya tanpa seizin penitip. Akibatnya, dia tidak bertanggung jawab bila terjadi kerusakan atau kehilangan barang titipan itu bila berada terjadi bukan akibat perbuatannya. Dia akan bertanggung jawab bila kerusakan atau kehilangan terjadi karena keteledorannya, misalnya dia memakai barang tersebut lalu rusak akibat pemakaian itu.

Perbedaan antara akad qardh dan wadi’ah meliputi:

a.   Dalam qardh barang yang dipinjamkan menjadi milik peminjam dan dia berhak menggunakannya untuk keperluan apapun tanpa perlu memberitahu pihak yang meminjamkan. Sedangkan dalam wad’iah barang tersebut adalah milik si penitip, sehingga penggunaannya harus atas seizin yang bersangkutan. Izin tersebut bisa dilakukan sejak awal akad dengan lisan atau perjanjian, atau merupakan suatu yang sudah maklum adanya berdasarkan kaidah ”Al-Ma’ruf bainat Tujjar kal Masyruuth bainahum” (Sesuatu yang sudah berlaku umum di kalangan para pebisnis sama hukumnya dengan persyaratan antar mereka).
 
Peminjam dalam akad qardh bertanggung jawab sejak awal untuk mengembalikan barang, baik barang itu rusak atau dia merugi, atau untung. Sedangkan dalam wadi’ah, si penerima titipan hanya bertanggung jawab bila terjadi keteledoran dari pihaknya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW, ”Tidak ada tanggung jawab atas diri penerima titipan.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi, tapi sayang sanadnya dhaif).[1] Tapi bila barang rusak bukan karena keteledorannya maka dia tidak bertanggung jawab. Misal, mobil yang dititipkan hilang dibawa perampok, bila tempat penitipan menyimpannya di luar dan tidak dikunci berarti dia teledor dan bertanggung jawab kepada pemilik titipan, tapi bila dia sudah menyimpannya dengan benar sesuai prosedur kemudian diambil perampok yang berjumlah besar sehingga dia memang tidak sanggup melawannya, maka dia tidak bertanggung jawab untuk mengganti mobil itu.
b.   Pihak yang menerima pinjaman dilarang memberikan insentif kepada pihak yang meminjamkan atas dasar pinjaman itu berdasarkan kaidah, ”Setiap pinjaman yang mendatangkan keuntungan adalah riba.” Kecuali bila insentif itu diberikan setelah melunasi pinjaman dan tidak disyaratkan sebelumnya. Berbeda dengan wadi’ah, di mana si penerima titipan berhak memberi bonus kepada orang yang menitipkan barang kepadanya tanpa syarat.

Setelah menetapkan bahwa tabungan di bank adalah qardh maka berlakulah salah satu hukum penting dalam akad ini yaitu larangan menerima hadiah atas dasar pinjaman.
Berbeda halnya dengan pemberian hadiah atau melebihkan pembayaran tanpa disyaratkan sejak awal akad, tapi hanya berdasarkan kerelaan si kreditur, maka itu diperbolehkan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah punya utang hewan kemudian beliau membayar dengan hewan yang lebih baik dari yang beliau pinjam. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi).[2] 
Juga hadits dari Jabir yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam punya utang kepadanya dan beliau membayar utang itu dengan jumlah yang lebih.[3]
Dalam kaidah fikih disebutkan, ”Setiap utang yang menyeret manfaat maka itu adalah riba”. Maksudnya, bila lantaran utang tersebut ada manfaat tertentu yang diperoleh salah satu pihak, baik debitur maupun kreditur dan manfaat itu bukan buah asli dari utang itu sendiri maka itu termasuk riba yang diharamkan.
Dalam hal ini ada kesepakatan dari seluruh ulama Islam tentang keharaman manfaat dari utang yang disyaratkan sejak awal. Manfaat tersebut bisa berbentuk tambahan pengembalian dari pokok utang (bunga), bisa pula manfaat non materi, misalnya seseorang mengutangkan uang dengan syarat yang berutang ini harus bekerja beberapa hari padanya tanpa diupah, atau harus mengantarnya ke suatu tempat dengan kendaraan milik si pengutang.
Demikian pula dengan hadiah bagi nasabah yang mempunyai saldo tabungan di sebuah bank. Dalam hal ini pembicaraan kita hanya pada bank konvensional, karena tabungan nasabah dalam bank ini statusnya adalah qardh. Sedangkan pada bank syariah ada syubhat bahwa akad yang terjadi antara bank dengan nasabah adalah akad mudharabah atau wadi’ah. Maka, harus kita tangguhkan dulu status tabungan pada bank syariah atau yang mengatasnamakan syari’ah itu di pembahasan tersendiri.

Hukum Memberi Hadiah kepada Kreditur

          Sebelum kita masuk pada pembahasan hadiah tabungan dari bank, maka ada baiknya kita membahas secara runut sedari dasar tentang masalah boleh tidaknya seorang kreditur memberi hadiah kepada  krediturnya (Maksudnya "Debiturnya -Mukhtar Hasan), atau bolehkah seorang kreditur menerima hadiah dari debiturnya.
          Mari kita lihat pendapat para ulama madzhab dalam masalah ini. Di sini saya akan menukil dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fikih dari Kuwait) yang merupakan ensiklopedi fikih terlengkap sampai saat ini. Di entri kata (قرض) (hutang pinjaman) vol. 33 hal. 131-132:

Hadiah untuk debitur akan menjadi jalan membayar dengan tambahan
            Ada perbedaan pendapat tentang hukum hadiah pengutang kepada pemberi utangan dalam beberapa pendapat:
Pertama, pendapat ulama Hanafi tidak ada masalah dengan hadiah dari debitur kepada kreditur. Tapi yang lebih wara’ (menjaga diri) adalah kreditur (yang meminjamkan uang) tidak menerima hadiah tersebut bila dia mengetahui bahwa hadiah itu lantaran hutangan yang dia berikan. Kalau dia tahu bahwa hadiah itu diberikan bukan atas dasar hutangannya melainkan karena hubungan kekerabatan atau pertemanan maka dia tak perlu khawatir menerimanya. Sama halnya bila debitur ini memang dikenal sebagai orang yang dermawan dan royal. Demikian yang disebutkan dalam kitab Muhith oleh As-Sarakhsi. Kalau bukan karena itu berarti berada di area abu-abu maka hendaklah dihindari sampai jelas bahwa hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan hutang.
Kedua, menurut ulama Malikiyyah tidak diperbolehkan bagi seorang debitur memberikan hadiah kepada krediturnya demi mengharap pelunasannya ditangguhkan, dan haram pula bagi kreditur untuk menerima hadiah tersebut bila dia tahu bahwa tujuan sang debitur hanyalah untuk itu. Sebab, hadiah itu berkonsekuensi pada pembayaran tambahan karena adanya pengunduran waktu pelunasan. Kemudian, kalau hadiahnya masih utuh hendaknya dikembalikan tapi kalau sudah hilang maka harus diganti dengan yang sepadan bila ada, atau dibayar harganya bila itu barang yang bisa diuangkan.
Sedangkan kalau debitur tidak bermaksud demikian dan niatnya betul maka dia boleh memberi hadiah kepada krediturnya.
Ibnu Rusyd berkata, “Tapi dimakruhkan bagi pemberi hutangan untuk menerima hadiah itu meski sudah jelas niatnya betul bila si pemberi hutangan ini adalah tokoh yang jadi panutan agar itu tidak menjadi jalan pembolehan ketika kondisi yang tidak memperbolehkan.”
Kemudian para ulama Malikiyyah memberikan syarat pembolehan hadiah itu, yaitu kebersihan tujuan dan terhindar dari tujuan yang dilarang. Mereka katakan kalau hadiah dari orang yang berutang itu haram kecuali memang dia biasa memberi hadiah sebelum berutang dan jelas bahwa itu bukan karena hutangan tersebut. Kalau sudah begitu maka tak lagi diharamkan pada saat masih berutangpun. Atau bisa pula karena adanya factor yang mengharuskan pemberian hadiah misalnya karena ada perbesanan, pertetanggaan atau yang semisalnya. Dalam kondisi demikian maka tak diharamkan hadiah tersebut.
Ketiga, para ulama Syafi’iyyah menyatakan tidak ada masalah seorang kreditur menerima hadiah dari debitur tanpa syarat meski pada barang ribawi.
Al-Mawardi mengatakan, “Akan lebih baik untuk menghindarinya sebelum pelunasan.”
Keempat, para ulama Hanbali berpendapat bahwa bila seorang debitur memberi hadiah kepada krediturnya sebelum pelunasan dan debitur ini tidak meniatkan hadiah itu masuk dalam hitungan hutangnya atau sebagai balas jasa maka tidak diperbolehkan. Kecuali bila telah menjadi kebiasaan mereka berdua untuk saling memberi hadiah sebelum terjadinya utang piutang antara mereka. Kalau sudah biasa maka itu tak dipermasalahkan.
Adapun bila dia memberinya
          Dari penjabaran ini kita bisa tarik kesimpulan bahwa para ulama sepakat akan kebolehan hadiah dari debitur kepada krediturnya sebelum pelunasan bila bersih dari indikasi balas jasa piutang atau diniatkan sebagai keuntungan eksternal bagi kedua pihak. Tapi bila hadiah itu sebagai bentuk terselubung dari sogokan atau diniatkan adanya keuntungan ekstra bagi kedua pihak atau salah satunya maka itu diharamkan. Kecuali pendapat madzhab Syafi’I yang saya rasa masih perlu pendalaman karena belum ada sikap tegas untuk kasus hadiah yang berkenaan dengan hutang piutang.
Selain ulama madzhab para ulama muhaqqiqin dan kontemporer menganggap pemberian manfaat materil maupun non materil dari peminjam uang (kreditur) kepada yang meminjamkan (debitur) sebelum pinjaman itu dikembalikan hukumnya haram. Termasuk di dalamnya memberi hadiah kepada debitur sebelum melunasi pinjaman.


Menurut Asy-Syaukani, tidak diperbolehkan memberi hadiah kepada debitur sebelum melunasi pinjaman bila tujuannya adalah mendapatkan keuntungan dari pinjaman tersebut, karena itu sama dengan riba atau risywah (sogokan). Namun bila hadiah tersebut memang biasa diberikan sebelum terjadi pinjam meminjam antara keduanya, dan tidak ada hubungannya dengan utang piutang, maka itu diperbolehkan. (lihat: Nail Al-Awthar, juz 5, hal. 244).[4]
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni yang merupakan rujukan terbesar dalam madzhab Hanbali[5]. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam fatwanya (lihat: Majmu’ Al-Fatawa, juz 29, hal. 335).
Dalam kitab Al-Mudawwanah (3/179, terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1994) disebutkan:
Hadiah dari Kreditur
Aku[6] berkata, “Apa pendapat Malik tentang seorang yang punya piutang atas diri orang lain, apakah dia boleh menerima hadiah dari krediturnya itu? Dia[7] menjawab, “Menurut Malik, dia tak boleh menerima hadiah itu kecuali kalau mereka berdua memang biasa saling memberi hadiah dan dia (debitur) tahu bahwa hadiah itu tidak ada hubungannya dengan hutang piutang mereka. Kalau demikian maka tak ada masalah dengan hadiah tersebut.
Ibnu Wahb berkata, dari Muhammad bin Amr dari Ibnu Juraij bahwa ‘Atha` bin Abi Rabah, seorang bertanya kepadanya, “Saya meminjamkan uang kepada orang lain lalu dia memberikan hadiah kepada saya.” Maka ‘Atha` menjawab, “Jangan terima.” Orang itu berkata, “Tapi dia memang biasa memberi hadiah sebelum saya pinjamkan uang itu.” ‘Atha`pun berkata, “Kalau begitu boleh kamu ambil.”
Ada orang lain bertanya, “Saya memberikan modal usaha kepadanya (qiradh)?” ‘Atha` menjawab, “Sama dengan pinjaman (hukum hadiahnya –penerj).”
Atha` memberi komentar kepada kedua orang ini, “Kecuali kalau orang yang memberi hadiah itu memang saudaramu yang special, atau teman special yang tidak memberi hadiah hanya lantaran berutang padamu maka silahkan kamu ambil hadiahnya.”
Dari Yahya bin Sa’id yang berkata, “Siapa biasa yang saling memberi hadiah satu sama lain meski ada hubungan utang piutang antara mereka maka tak ada satupun yang menganggapnya terlarang. Tapi kalau itu bukanlah kebiasaan mereka memberi hadiah sebelum terjadinya utang piutang maka hal itu dianggap makruh oleh orang-orang yang menjaga kesucian diri.”
Al Harits bin Nabhan berkata, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, “Sesungguhnya Ubay bin Ka’b pernah berutang uang sesuatu dari Umar bin Khaththab sebesar sepuluh ribu dirham, lalu Ubay memberi Umar hadiah tapi Umar mengembalikannya. Ubaypun berkata, “Penduduk Madinah ini sudah tahu bahwa saya memiliki buah terbaik, apakah anda merasa saya memberi hadiah karena uang anda yang ada pada saya? Terimalah hadiah itu, karena anda tak perlu melarang diri dari makanan kami.”[8]
Maka Umarpun menerima hadiah itu.
Selesai dari Al-Mudawwanah.
Dalil untuk hal ini adalah hadits dari Anas, dimana Rasulullah bersabda, 
"إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ"
”Jika salah seorang dari kalian meminjamkan uang lalu dia diberi hadiah, atau dia diberi jasa pengantaran kendaraan, maka jangan dia naik kendaraan itu dan jangan ambil hadiahnya, kecuali kalau itu memang biasa terjadi di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 2432).
Sayangnya hadits ini dha’if karena dalam sanadnya Yahya bin Abu Ishaq Al-Hana`i yang majhul (tidak dikenal) dan Utbah bin Humaid Adh-Dhabi[9] serta Ismail bin ’Iyasy yang dha’if. Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil buat mengharamkan hadiah tabungan lantaran ke-dhaif-an pada sanadnya.
Abdullah bin Salam pernah berkata kepada Abu Burdah bin Abu Musa,
إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
 
 ”Sesungguhnya kamu sedang berada di negeri yang riba merajalela di dalamnya. Maka jika kamu punya piutang atas diri seseorang, lalu orang itu menghadiahkan kepadamu setumpuk jerami, atau gandum, atau alas kendaraan maka jangan kamu terima, karena itu adalah riba.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 3814).
          Pernyataan Abdullah bin Salam ra ini dikomentari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, “Ada kemungkinan itu adalah pendapat pribadi Abdullah bin Salam, sebab para fuqaha` berpendapat itu akan berhukum riba bila disyaratkan dari awal. Memang, yang lebih wara’ (lebih menjaga diri) adalah tidak melakukannya.”[10]

Beberapa Atsar Sahabat yang melarang hal ini:
          Al-Baihaqi meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572, no. 10930 dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa dia berfatwa tentang seorang yang punya piutang kepada orang lain sebesar 20 dirham, lalu yang berutang ini selalu memberinya hadiah dan setiap dia jual hadiah itu harganya mencapai total 13 dirham. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Jangan kamu ambil lagi (pelunasan hutangnya) darinya kecuali tujuh dirham.”
Maksudnya Ibnu Abbas menghitung hadiah itu sebagai pengembalian hutang dan tak boleh dianggap hadiah biasa.
          Riwayat lain adalah dari Salim bin Abu Al-Ja’d (nomor 10931) yang berkata, “Kami punya tetangga seorang nelayan yang mana dia punya piutang atas orang lain sebesar 50 dirham. Orang yang berutang itu menghadiahkan ikan kepadanya, maka diapun mendatangi Ibnu Abbas menanyakan hal itu, lalu Ibnu Abbas menjawab, “Hitung itu sebagai pembayaran hutangnya kepadamu.”

Apa tujuan perusahaan atau bank memberi hadiah kepada nasabah?
Tujuannya tak lain adalah promosi agar banyak orang lain ikut bergabung menjadi nasabahnya. Dengan demikian dia tidak murni memberikan hadiah tersebut sebagai rasa terimakasih kepada nasabah yang sudah menyimpan uang padanya melainkan mensugesti orang lain untuk juga ikut menabung di bank yang sama, sehingga jumlah uang beredar di bank tersebut makin bertambah. Seolah dikatakan, ”Menabunglah anda di bank kami, niscaya anda akan dapat hadiah.” Bila seperti ini yang terjadi, berarti hadiah yang diberikan sama halnya dengan manfaat yang diperoleh dari sebuah qardh (pinjaman) uang sebelum pelunasan. Dan itu, diharamkan oleh sebagian besar ulama. 
Wallahu a’lam.
Terakhir saya ingin menutup bahasan ini dengan fatwa Komisi Tetap untuk Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang ada hubungannya dengan masalah hadiah dari bank:
Pertanyaan:
Saya menabungkan uang saya di salah satu bank di Kairo, dan saya meminta dari mereka agar tidak memberikan bunga kepada saya. Dan setelah beberapa hari dan setelah saya pergi dari Kairo menuju Saudi Arabia, saya kedatangan surat pemberitahuan dari bank yang menyatakan: Telah dilaksanakan undian terhadap nomor-nomor yang ada di bank, dan nomor-nomor tersebut berurutan sesuai urutan nasabah yang menabung di bank, dan nomor urut saya salah satu nomor yang memenangkan hadiah berbentuk uang, dan mereka memberitahukan, bahwa saya memenangkan uang sebesar 5 Junaih setiap bulan selama satu tahun. Dan mereka bertanya kepada saya, “Apakah uang hadiah tersebut ditambahkan ke rekening saya atau akan Anda ambil cash setiap bulan?” Apakah hadiah ini termasuk riba juga? Dan bila saya ambil, maka saya (gunakan) untuk apa? Apakah harus saya sedekahkan? Dan bila saya tabungkan uang saya di Bank, sedangkan saya mengetahui bahwa mereka akan menggunakannya untuk perniagaan dengan nasabah lainnya, dan mereka telah menentukan keuntungan yang akan diberikan kepada saya tanpa terjadi kerugian, apakah ini juga termasuk riba juga?
Jawaban:
Pertama: Dibolehkan bagi Anda untuk menabungkan uang Anda di bank tanpa bunga bila memang Anda benar-benar terpaksa melakukannya. Tapi Anda tidak boleh mengambil hadiah yang diberikan atas nomor urut Anda, karena itu adalah riba. Pihak bank tidaklah memberikannya kepada Anda kecuali lantaran uang yang Anda tabungkan di bank tersebut. Penamaan mereka terhadap barang yang diberikan kepada Anda dengan hadiah atau imbalan, tidaklah dapat mengeluarkannya dari makna/hakikat riba karena yang penting adalah haekakatnya bukan namanya.
Kalau bukan karena uang Anda yang ditabungkan di bank mereka, sehingga mereka menggunakannya untuk kepentingan mereka, niscaya mereka tidak akan memberi Anda apa yang mereka sebut-sebut sebagai hadiah. Oleh karena itu, Anda tidak boleh mengambil hadiah tersebut.
Kedua: Keuntungan yang telah ditentukan untuk Anda dengan persentase tertentu dari jumlah tabungan Anda yang digunakan oleh bank bersama dengan tabungan nasabah-nasabah lainnya adalah riba murni, maka tidak boleh bagi Anda untuk mengambilnya.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya 
Tertanda:
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ketua), Abdurrazzaq Afifi (Wakil ketua), Abdullah bin Ghudayyan (Anggota).[11]





Anshari Taslim
Diedit ulang 18 Pebruari 2015





[1] Sunan Ibnu Majah, no. 2401, dengan redaksi:
مَنْ أُودِعَ وَدِيعَةً، فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ
“Siapa yang dititipi suatu titipan maka dia tidak menanggung kerusakan.”
Sunan Ad-Daraquthni, no. 2961, redaksinya:
لَا ضَمَانَ عَلَى مُؤْتَمَنٍ
Dianggap dhaif oleh Syu’aib Al-Arnauth dkk dalam tahqiq Sunan Ibni Majah 3/479, juga oleh Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih At-Tahqiq 4/200, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Talkhish Al-Habir 3/210-211 (cetakan Al-Qurthubah).
Tapi Syekh Al-Albani menghasankan hadits Ibnu Majah dalam Irwa` Al-Ghalil 5/385.
[2] Shahih Al-Bukhari, no. 2305, Muslim, no. 1601,  At-Tirmidzi, no. 1317.
[3] Shahih Al-Bukhari, no. 443, Shahih Muslim, no. 715.
[4] Redaksinya adalah:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ لِأَجْلِ عَادَةٍ جَارِيَةٍ بَيْنَ الْمُقْرِضِ وَالْمُسْتَقْرِضِ قَبْلَ التَّدَايُنِ فَلَا بَأْسَ
[5] Teks Al-Mughni 4/211:
وَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ قَبْلَ الْوَفَاءِ، لَمْ يَقْبَلْهُ، وَلَمْ يَجُزْ قَبُولُهُ، إلَّا أَنْ يُكَافِئَهُ، أَوْ يَحْسُبَهُ مِنْ دَيْنِهِ، إلَّا أَنْ يَكُونَ شَيْئًا جَرَتْ الْعَادَةُ بِهِ بَيْنَهُمَا قَبْلَ الْقَرْضِ
[6] Aku di sini adalah Sahnun, salah satu pembesar madzhab Maliki, nama aslinya adalah Abdussalam bin Sa’id bin Habib At-Tanukhi. Dia dijuluki Sahnun yang merupakan nama burung di Magrib karena kecerdasannya. Dialah yang menyusun kitab Al-Mudawwanah yang merupakan kumpulan fatwa Imam Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Qasim.
[7] Dia di sini adalah Abdurrahman bin Qasim, murid langsung Imam Malik bin Anas.
[8] Riwayat ini disebutkan pula oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/572, no. 10929 dan dia katakana munqathi’ (sanadnya terputus). Saya katakan, sebab terputusnya adalah Ibnu Sirin tidak bertemu baik dengan Ubay maupun Umar.
[9] Dianggap dhaif oleh Imam Ahmad menganganggapnya dha’if, sedangkan Abu Hatim menganggapnya shalihul hadits. Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim 6/370.
[10] Fath Al-Bari 8/516 (tahqiq Nizar Firyabi).
[11] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah kumpulan pertama tahqiq Ad-Duwaisy, vol. 13 hal. 347-348.
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger