MACAM-MACAM KHIYAR (HAK PILIH) DALAM AKAD JUAL BELI (Bagian Kedua)
atau
أنواع الخيار في البيع
Oleh: Muhammad Wasitho, Lc
Pada
edisi yang lalu kita telah menjelaskan dua macam khiyar dalam transaksi
jual beli. maka dalam kajian kita kali ini akan dibahas tiga macam
khiyar, yaitu, khiyar ‘aib, khiyar ghabn, dan khiyar tadlis.
Ketiga: Khiyar ‘Aib (hak pilih karena cacat barang)
Yang dimaksud dengan khiyar aib adalah hak pilih untuk membatalkan
atau meneruskan akad bila mana ditemukan aib/cacat pada obyek jual beli,
sedang pembeli tidak tahu tentang hal itu pada saat akad berlangsung.
Atau dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung aib
atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli
berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan
tersebut kepada si penjualnya. (Lihat Al-Wajiz Fi Fiqhi As-Sunnah wa
Al-Kitab Al-‘Aziz karya Abdul Azhim Badawi Al-Khalafi hal. 345).
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menjelaskan, khiyar aib ialah
khiyar yang ditetapkan bagi pembeli dengan sebab adanya aib/cacat dalam
suatu barang yang tidak diberitahukan oleh penjual atau tidak diketahui
olehnya, akan tetapi aib/cacat itu jelas-jelas ada pada barang dagangan
sebelum dijual. (Al-Mulakhkhosh Al-Fiqhi juz. II hal. 27).
Hak pilih ini dimiliki oleh masing-masing dari pihak-pihak yang
terlibat dalam akad (transaksi/perjanjian) untuk membatalkan akad
tersebut bila tersingkap adanya cacat pada obyek transaksi yang
sebelumnya tidak diketahui.
Hikmah disyariatkannya hak pilih ini sangat jelas sekali. Karena
kerelaan pada berlangsungnya perjanjian usaha juga didasari keberadaan
obyek transaksi yang tidak ada cacatnya. Adanya cacat yang tersingkap
menunjukkan rusaknya kerelaan tersebut. Oleh sebab itu disyariatkan hak
pilih terhadap cacat, sehingga bisa mengantisipasi adanya cacat yang
menghilangkan kerelaan.
Ketetapan adanya khiyar ini dapat diketahui secara terang-terangan
atau secara implisit. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara
implisit menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Hal
ini masuk akal karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka
sama suka dan ini hanya mungkin jika barang dan penukarnya tidak
mengandung cacat.
Adapun ketentuan aib/cacat yang memperbolehkan adanya khiyar ini
menurut madzhab Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang
berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang
yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, terpotongnya telinga atau
tanduk binatang yang akan dijadikan kurban. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami
karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 558).
Sedangkan menurut madzhab Hanabilah adalah adanya aib/cacat yang
menyebabkan kekurangan atau kerusakan pada obyek transaksi (barang yang
diperjual-belikan) seperti seorang budak yang dikebiri meskipun harganya
tidak berkurang, dan boleh jadi semakin bertambah mahal nilainya. Atau
adanya aib/cacat yang menyebabkan berkurangnya harga/nilai barang
menurut tradisi para pedagang, meskipun obyek transaksinya (barang yang
diperjual-belikan) itu tidak mengalami pengurangan harga. (Lihat
Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 529).
Khiyar ini berlaku pada transaksi-transaksi pada akad lazim yang
mengandung kemungkinan untuk dibatalkan seperti akad jual beli, ijaroh
(persewaan) dan lain-lain.
Dasar hukum ditetapkannya Khiyar Aib ini diantaranya adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu,
ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda (yang artinya):
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual
barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat
aib/cacat melainkan dia harus menjelaskan (aib/cacat)nya itu”. (HR.
Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani. Ibnu Hajar
Al-Asqalani berkata di dalam Fathul Bari, “Isnadnya jayyid (bagus)”.
Lihat Majma’ Az-zawaid IV/80, dan Nailul Authar V/211).
2. Dan di dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang
artinya):
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang berbuat menipu, maka dia bukan termasuk golongan
kami”. (HR. Muslim I/98 no. 101, 102, dari hadits Abu Hurairah). (Lihat
dalil-dalil ini di dalam Fiqhu As-Sunnah karya Sayyid Sabiq, juz. III
hal. 179).
Dalam khiyar aib pembeli memiliki dua pilihan apakah ia rela dan puas
terhadap barang yang akan dibeli. Kalau ia rela dan puas, maka khiyar
tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang. Namun jika ia
menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut
menjadi batal atau dengan kata lain tidak ada transaksi.
Apabila pembeli mengetahui aib setelah akad, maka baginya berhak
khiyar untuk melanjutkan membeli dan mengambil ganti rugi seukuran
perbedaan antara harga barang yang baik dengan yang terdapat aib, atau
boleh baginya untuk membatalkan pembelian dengan mengembalikan barang
dan meminta kembali uang yang telah dia berikan.
Adapun jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima
barang, maka tidak ada khiyar baginya dan akad (transaksi) telah lazim
terjadi, sebab dia dianggap telah ridha dan menerima adanya cacat
tersebut. (Lihat Fiqhu As-Sunnah karya Sayyid Sabiq juz. III hal. 179).
Khiyar aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah
berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui
adanya cacat baik secara langsung atau ditangguhkan, terdapat dua
pendapat:
Pendapat Pertama: Ulama Hanafiyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah
ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara langsung. (Lihat Raddul
Muhtar IV/93, dan Al-Mughni karya Ibnu Qudamah IV/144. Dinukil dari
Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 566).
Pendapat Kedua: Ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan ketika diketahuinya
cacat, yakni secara langsung menurut adat dan tidak boleh ditangguhkan.
Namun demikian, tidak dianggap menangguhkan jika diselingi shalat, makan
dan minum. Diantara sebabnya, supaya orang yang berakad tidak mudarat
karena mengakhiri yakni hilangnya hak khiyar karena mengakhirkan
sehingga akad menjadi lazim. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah
Az-Zuhaili juz. IV hal. 566).
Cara Pembatalan Akad dan Pengembalian Barang Yang Cacat:
Apabila barang masih berada ditangan pemilik pertama (penjual), yakni
belum diserahkan kepada pembeli, maka akan dianggap telah dikembalikan
(dibatalkan) dengan ucapan pembeli, “saya kembalikan barang itu”. Dalam
hal ini tidak memerlukan keputusan seorang hakim, tidak pula membutuhkan
keridhaan penjual.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus ada kerelaan ketika menyerahkannya atau diserahkan melalui keputusan hakim. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 565-566).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila barang sudah diserahkan kepada pembeli, harus ada kerelaan ketika menyerahkannya atau diserahkan melalui keputusan hakim. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 565-566).
Beberapa hal yang menghalangi pembatalan akad dan pengembalian barang:
- Ridha setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk.
- Menggugurkan Khiyar, baik secara jelas atau adanya petunjuk. Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih)ku”, dan ucapan yang serupa.
- Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
- Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang tetapi berasal dari aslinya, seperti munculnya buah atau lahirnya anak. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami karya Wahbah Az-Zuhaili juz. IV hal. 567-568).
Permasalahan: Apabila pembeli dan penjual berselisih
pada siapa terjadi aib, dan tidak ada qorinah (tanda/bukti) yang
menguatkan salah satunya maka perkataan penjuallah yang diterima
berdasarkan hadits :
إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ
“Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima
adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih “. (HR.
At-Tirmidzi III/570 no.1270, dan Ahmad I/466 no.4447.
Dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil no: 1322)
akan tetapi harus disertai dengan sumpah sebagaimana sabdi Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ
“Al-Bayyinah (mendatangkan bukti) bagi pengklaim/penuduh dan harus
bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. Bukhari V/167 dan Muslim IV/300,
dari hadits Ibnu Abbas).
Keempat: Khiyar Ghabn (hak pilih karena penipuan harga barang)
Yang dimaksudkan dengan khiyar ghabn ialah khiyar akibat tertipu pada
barang maupun harga dengan berlebihan. Atau dengan kata lain, jika
seseorang tertipu dalam jual beli dengan penipuan yang berat, maka
seorang yang tertipu dia diberi pilihan apakah akan melangsungkan
transaksinya atau membatalkannya.
Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad I/313 no.2867, Ibnu Majah III/106 no.2340, dari Ubadah Radhiyallahu ‘Anhu. Lihat Silsilah As-Shahihah, karya Syaikh Al-Albani no: 250) dan sabdanya pula:
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kelapangan darinya (dalam menjualnya)” (HR. Abu Ya’la III/140 no.1570. Lihat Irwaul Ghalil, karya Syaikh Al-Albani no: 1761) .
Dan orang yang tertipu tidak akan lapang jiwanya denga penipuan, kecuali kalau penipuan tersebut adalah penipuan ringan yang sudah biasa terjadi, maka tidak ada khiyar baginya.
Khiyar Ghabn Ada Tiga Gambaran:
Madzhab imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa khiyar ini berlaku
pada tiga keadaan, yaitu dalam talaqqi rukban, tambahan dari an-najasy,
dan al-mustarsil yaitu orang yang tidak tahu harga. Selebih dari itu
terjadi khilaf.
Gambaran Pertama: Talaqqi Rukban (orang-orang kota
menghadang para pedagang yang datang dari pelosok untuk mengambil
(menjualkan) barang dagangan mereka di kota). Jika orang-orang kota
menyambutnya kemudian membeli barang dagangan mereka, dan telah terbukti
secara jelas bahwa mereka (para pedagang dari pelosok) itu tertipu
dengan penipuan yang besar, maka mereka berhak untuk khiyar (memilih
untuk melangsungkan akad jual beli atau membatalkannya), karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ , فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah kalian menghadang pedagang yang datang (dari pelosok) itu,
maka barangsiapa yang menghadangnya dan membeli barangnya, jika kemudian
dia datang ke pasar (dan ternyata mereka mengetahui harga yang
semestinya), maka dia berhak untuk khiyar”. (HR. Muslim V/403 no.3802, dari hadits Abu Hurairah).
Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk
menghadang para pedagang yang datang dari pelosok di luar pasar yang di
dalamnya terdapat jual beli barang, dan beliau memerintahkan jika
penjual itu datang ke pasar lalu dia mengetahui harga-harga barang (yang
beredar pada umumnya, pent), agar penjual tersebut diberi hak pilih
untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam menetapkan khiyar bagi para pedagang yang datang dari pelosok
jika mereka dihadang di tengah jalan oleh para pembeli dari kota, karena
di dalamnya ada unsur penyamaran dan penipuan (harga barang).
Ibnul Qoyim menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
menghadang pedagang yang dating dari pelosok di tengah jalan dan membeli
barangnya sebelum dia sampai di pasar karena adanya unsur penipuan
terhadap penjual, yaitu penjual tidak tahu harga pada umumnya (yang
semestinya), sehingga orang-orang di kota membeli darinya dengan harga
minim. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasalam menetapkan hak
khiyar bagi penjual (pedagang dari desa) setelah dia memasuki pasar.
Adapun tentang adanya khiyar dalam kodisi tertipu tidak ada
pertentangan di kalangan para ulama karena penjual dari pelosok yang
datang ke kota jika dia tidak tahu harga, maka dia teranggap tidak tahu
terhadap harga-harga yang semestinya, sehingga dengan demikian pembeli
telah menipunya. Demikian pula jika penjual menjual sesuatu kepada
pembeli maka bagi pembeli berhak untuk khiyar jika dia masuk pasar dan
merasa tertipu dengan penipuan yang berat (di luar kebiasaan). (Lihat
Hasyiyah Ar-Raudhul Murbi’ IV/434, dinukil dari Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi
karya Syaikh shalaih Al-Fauzan II/24).
Gambaran Kedua: Penipuan yang disebabkan karena
adanya tambahan harga oleh pelaku najasy. Yang dimaksud dengan An-Najisy
ialah orang yag memberikan tambahan harga terhadap barang dagangan
sedangkan dia sendiri tidak berniat untuk membelinya melainkan hanya
sekedar untuk menaikan harga barang terhadap pembeli. Maka ini adalah
perbuatan yang diharamkan. Nabi Shallahllahu ‘alaihi Wasallam telah
melarang tindakan ini dengan sabdanya:
وَلاَ تَنَاجَشُوا
“Janganlah kalian saling berbuat najasy” (HR. Muslim V/302 no.3445,
dari hadits Abu Hurairah), karena pada perbuatan ini ada unsur penipuan
terhadap pembeli dan ini termasuk ke dalam makna Al-Ghisy (penipuan).
Termasuk ke dalam makna Najasy yang diharamkan adalah jika seorang
pemilik barang mengatakan, “aku berikan barang ini kepada orang lain
dengan harga sekian” atau “aku telah membelinya dengan harga sekian”
padahal dia dusta.
Gambaran lain dari perbuatan najasy yang diharamkan adalah jika
seorang pemilik barang mengatakan, “Tidaklah aku menjual barang ini
kecuali dengan harga sekian atau sekian”, dengan tujuan supaya pembeli
mau membelinya dengan harga minimal yang dia sebutkan seperti mengatakan
terhadap suatu barang, “barang ini aku beli seharga lima ribu, dan aku
jual dengan harga sepuluh ribu” dengan tujuan agar pembeli membelinya
dengan harga yang mendekati nilai sepuluh ribu (padahal dia dusta,
-pent).
Gambaran Ketiga: Ghabn Mustarsil.
Ibnul Qoyim berkata: “Di dalam hadits disebutkan, “Menipu orang yang
mustarsil adalah riba”. (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra
V/571 no.10924, 10925 dan 10926.
Hadits ini Bathil sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albani di dalam
Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no: 668, dan Dha’if (lemah) seperti
disebutkan dalam Dha’iful Jami’ no: 2908) .
Mustarsil adalah orang yang tidak tahu harga dan tidak bisa menawar
bahkan dia percaya sepenuhnya kepada penjual, jika ternyata dia ditipu
dengan penipuan yang besar maka dia punya hak untuk khiyar.
Ghabn adalah diharamkan karena padanya mengandung unsur penipuan
terhadap pembeli. Dan di antara beberapa perkara yang diharamkan dan
sering terjadi di pasar-pasar kaum muslimin ialah seperti sebagian orang
ketika membawa barang dagangan ke pasar. Orang-orang di pasar sepakat
untuk tidak menawar barang (dengan harga tinggi), dan mereka dengan
sengaja menyuruh seseorang untuk menawar harga barang itu dari
penjualnya. Apabila tidak ada pembeli yang bersedia menambah harga
pembelian, maka akhirnya penjual itu terpaksa menjualnya dengan harga
murah. Maka ini adalah Ghabn (penipuan) yang dzalim dan diharamkan.
Apabila pemilik (penjual) barang itu mengetahui bahwa dia telah ditipu
maka dia berhak untuk khiyar dan mengambil kembali barangnya. Maka wajib
bagi yang melakukan penipuan seperti ini untuk meninggalkan perbuatan
ini dan bertaubat darinya. Dan bagi yang mengetahui hal ini wajib
baginya untuk mengingkari orang yang berbuat seperti ini dan
menyampaikan kepada pihak yang berwenang untuk ditindak.
Kelima: Khiyar Tadlis
Yaitu khiyar yang disebabkan oleh adanya tadlis. Arti tadlis ialah
menampakkan barang yang aib (cacat) dalam bentuk yang bagus seakan-akan
tidak ada cacat. Kata tadlis diambil dari kata addalas dengan makna
adh-dhulmah (kegelapan), yaitu seolah-olah penjual menunjukan barang
kepada pembeli yang bagus di kegelapan sehingga barang tersebut tidak
terlihat secara sempurna. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, karya Syaikh Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan juz. II hal. 25-26).
Khiyar Tadlis ini ada dua macam:
Pertama : Menyembunyikan cacat barang.
Kedua : Menghiasi dan memperindahnya dengan sesuatu yang menyebabkan harganya bertambah.
Tadlis hukumnya haram. Oleh karenanya, syariat Islam memperbolehkan
pembeli mengembalikan barang yang telah dibelinya jika mengalami tadlis
(penyamaran/pemalsuan) dalam akad jual belinya. karena dia merasa
tertipu dengan membelanjakan hartanya terhadap barang yang dipromosikan
oleh penjual, dan sekiranya dia mengetahui bahwa barang yang dibelinya
itu tidak sesuai dengan yang dipromosikan penjual, tentu dia tidak akan
mengeluarkan hartanyanya untuk membeli barang itu.
Diantara contoh-contoh praktik tadlis yang ada adalah menahan air
susu kambing, sapi dan unta dengan mengikat teteknya ketika hendak
dipajang untuk dijual, sehingga pembeli mengira ternak itu selalu banyak
air susunya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تُصَرُّوا الإِبِلَ وَالْغَنَمَ ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدُ فَإِنَّهُ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْتَلِبَهَا إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا وَصَاعَ تَمْرٍ
“Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja yang
membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak
memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia
pertahankannya dan jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya
(dengan menambah) satu sha’ tamr (kurma).” (Shahih: Shahihul Jami’ no:
7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul Ma’bud IX: 310 no: 3426
dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII: 253, dari Abu
Hurairah).
Contoh praktik tadlis lainnya adalah menghiasi rumah yang cacat untuk
menipu pembeli atau penyewa, menghiasi mobil-mobil sampai nampak
seperti belum pernah dipakai sama sekali dengan maksud untuk menipu
pembeli serta contoh-contoh lainnya dari bentuk penipuan.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk berlaku jujur serta menjelaskan
hakikat dari barang-barang yang akan dijual, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَ
“Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar (hak pilih
antara membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama mereka belum
berpisah; jika mereka jujur dan menjelaskan (aib barangnya), niscaya
mereka berdua diberi barakah dalam jual belinya; dan (sebaliknya) jika
mereka menyembunyikan (aib barangnya) dan berdusta, niscaya barakah jual
beli mereka dihapus.”. (HR. Bukhari II/732 no.1973, dan Muslim III/1164 no.1532. Dan disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ : 2897)
Nabi shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun mengabarkan bahwa jujur dalam
menjual dan membeli adalah merupakan salah satu sebab keberkahan (harta
benda, pent), dan sesungguhnya dusta adalah penyebab hilangnya berkah.
Maka harga (nilai uang) meskipun sedikit apabila disertai dengan
kejujuran, maka Allah akan memberikan berkah padanya, dan sebaliknya
harga yang tinggi/banyak akan tetapi disertai dengan kedustaan maka hal
itu akan mengapuskan berkah dan tidak ada kebaikan padanya.
Demikian penjelasan singkat tentang khiyar Aib, khiyar Ghabn dan khiyar Tadlis. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 10 Volume 1 Tanggal 15 Oktober 2010] Via www.abufawaz.wordpress.com
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda