Lelaki itu seperti lelaki tua biasa. Biasanya
lelaki tua sepertinya ditemui di lambung Masjid Nabawi, sebagai jamaah umroh akibat
terlalu lama menunggu giliran haji. Atau lelaki tua sepertinya ada di sawah,
kelelahan mencangkul walau matahari baru naik setengah. Bisa juga
lelaki sepertinya kita temui sedang duduk-duduk di teras sambil menghias pot
bunga, membersihkan rumput, dan menanam pohon kecil di pekarangan. Atau, kalau
kita menyaksikan berita banjir di TVRI, lelaki seperti ini biasanya
diwawancarai karena terlambat mendapat jatah bantuan mie instan. Dia jenis
lelaki yang mudah didapati. Lelaki tua yang biasa ditemui dalam kehidupan
sehari-hari.
Di usianya yang sudah
memasuki kepala enam, wajar jika seluruh rambut di kepalanya memutih. Tiap-tiap
helai itu adalah gambaran masalah yang dilaluinya, guratan-guratan kerut di
wajahnya adalah lambang goresan waktu yang jemawa. Tangan kanan dan kirinya tak
lagi sekuat dulu. Bahunya yang dulu kekar, kini mulai kurus dan membungkuk.
Ototnya lemah. Kadang dia beristighfar sambil menarik napas panjang
ketika lelah. Tapi kawan, matanya istimewa. Di situlah pusat gravitasi pesona
dirinya. Matanya itu, sang jendela hati, adalah layar yang mempertontonkan
jiwanya yang tak pernah kosong. Seseorang yang biasa kucium tangannya. Ayah,
kupanggil ia.
...
Ayahku
adalah ayah pada umumnya. Ayah yang ketika aku kecil, menyediakan tempat duduk
istimewa untukku saat karnaval kota malam Idul Fitri.
Dia mendudukkanku di bahunya, digenggamnya erat kakiku agar nyaman saat duduk.
Tak ia pedulikan karnaval itu. Karena tawaku adalah karnaval baginya.
Bahagiaku adalah iringan semangat hidupnya.
Aku juga masih kecil saat itu. Ayah hanya seorang
supir truk batubara di pedalaman Kalimantan. Bekerja selepas Isya lalu
pulang sehabis Shubuh. Ayah adalah lelaki pendiam, tak banyak
bicara. Tak suka memukul. Tak pandai ia marah. Walau begitu, ayah adalah tolak
ukur tindakan bagiku, contoh hidup tingkah laku. Tak pernah ia cerewet
menyuruhku salat. Ia hanya mengerjakan, lalu mengajakku bersamanya. Sesederhana
itu, Kawan. Ia juga sangat ingin aku sering-sering membaca Al-Quran,
walau tak pernah ia menyuruh. Walau tak pernah ia mencontohkan cara membaca Al-Quran.
Kau tahu kenapa, Kawan? Karena kutahu, ia pun terbata membacanya.
Biasanya aku menghabiskan waktu bersama ayahku
tiap akhir pekan. Aku senang berada di bak truk besarnya. Beliau duduk
bersamaku sambil bercerita. Tentang para pahlawan, tentang panorama-panorama,
bintang dan planet-planetnya, tentang semesta, juga tentang kota-kota yang
pernah disinggahinya. Dia senang bercerita tentang banyak kota, dan aku tahu
kota impiannya adalah Mekkah dan Madinah. Jauh, jauh di lubuk hatinya ia
mendambakan kota itu melebihi kota manapun di dunia. Walau dia tak
mengatakannya langsung, tapi aku tahu dengan sendirinya, seolah ada bahasa lain
selain bahasa lisan, bahasa yang dijalin antara seorang anak dan ayahnya dari
hati ke hati.
“Ayah
ingin sekali pergi haji.”
Begitu
kiranya jika kata itu diucapkan.
...
Aku
masih muda, sedang ayah menua. Semenjak krisis ekonomi, harga batubara anjlok.
Ayah dengan setumpuk masalah keuangan yang menimpanya bangkrut. Truk besar tua
kami mogok. Rusak. Sekarat. Seolah bosan terlalu lama memikul
bongkahan-bongkahan batu hitam langka. Tak bisa lagi diperbaiki karena tak ada
biaya. Ayah tak bisa lagi bekerja. Ayah menganggur bertahun-tahun lamanya.
Ayah
pun sekarang menikmati masa tuanya dengan belajar banyak dari agama. Sering
pergi ke kajian-kajian ilmiah. Rajin ia membaca. Berlama-lama dengan kumpulan
buku dan majalahnya. Jiwa tua itu masih sangat antusias. Sesuatu yang tak ia
dapat selagi muda. Matanya, iya matanya, selalu membulat ketika menjelaskan
kalau bid’ah itu semuanya sesat. Walau kata-katanya sedikit,
aku dibuatnya percaya kalau semua kesesatan itu tempatnya di neraka. Dia juga
orang paling mengamati tiap senti celana. Dijaganya agar aku tak menjulurkan
pakaian melebihi batasnya. Ayah sangat senang pergi ke masjid. Tak pernah absen
ia ke sana. Tubuh tuanya itu mendadak kuat jika berjalan sebelum waktu Shubuh yang
dingin, dan jika ia pergi ke masjid sebelum Maghrib, maka ia akan
datang ke rumah setelah Isya. Dengan kaki-kaki tuanya. Hampir satu
kilometer jauhnya.
Setelah
lulus sekolah menengah atas di sebuah kota di Banjarmasin, aku merantau belajar
menjadi mekanik handphone dan komputer di tempat pamanku, di
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah setahun di sana dan merasa punya skill,
aku kembali ke Banjarmasin dengan tujuan bisa kuliah sambil membuka sebuah toko service
handphone dan komputer. Aku mulai membeli alat-alat service,
juga iklan di sana-sini. Mendadak, aku terkenal dengan julukan tukang handphone.
Aku menjalankan bisnis ini pelan-pelan, dari pintu ke pintu. Mulai dari
keluarga sampai orang-orang di sekitarku. Pelangganku pun bermacam-macam,
Kawan. Dari tukang kambing, pedagang asongan, pengangguran, ustadz,
ibu rumah tangga, sampai mahasiswa. Kau tahu, Kawan, kenapa mereka senang aku
memperbaiki telepon tangan mereka? Jawabannya adalah karena mereka bisa
menentukan garansi semau mereka.
Namun
hari itu, Kawan, hari itu adalah hari aku bersama ayah pergi ke sebuah majelis
taklim, di mana setelah memberikan tausiyah, seorang ustadz menawarkan
beasiswa bagi lulusan SMA yang ingin menghafal Al-Quran di
Bogor. Ayah menunduk. Didengarnya iklan itu dengan seksama. Aku melihat
matanya.
“Ayo
kita pulang, Yar.”
Mata
teduhnya tak bisa mengecohku. Sembilan belas tahun menjadi anaknya tentu aku
mengerti maksudnya.
Ia
ingin Aku lebih baik darinya. Bisa membaca Al-Quran dengan
sempurna. Tak seperti dirinya yang terbata. Namun tak bisa ia meminta. Ia masih
tak banyak bicara.
“Saya
mendaftar beasiswa itu, Yah. Kalau diterima Saya langsung berangkat ke Bogor.”
Kulihat
matanya membulat. Wajahnya berseri seketika.Walau tanpa kata, namun ada senyum
di sana. Bagiku, melihatnya tersenyum adalah sebuah harta.
...
Dan
akhirnya aku benar-benar mendapatkan beasiswa itu. Walau aku tahu, aku
sebenarnya tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik, setidaknya aku
akan berusaha. Setidaknya aku akan belajar untuk membuatnya bangga. Aku ingin
mengajarinya, membaca Al-Quran bersamanya. Walau aku sadar,
Aku hanya seorang tukang service handphone. Tapi Kawan,
bukankah Syaikh Albani yang nama beliau sering kujumpai di
buku dan majalah ayahku juga pernah menjadi seorang mekanik jam?
Hari
itu aku meninggalkannya merantau lagi ke pulau Jawa. Setelah mencium tangannya,
aku memeluknya. Hangat sekali peluknya, seperti selimut bagi seorang
gelandangan kota Malang yang kedinginan. Jam dua malam.
“Hati-hati,
Yar.”
Ia
masih tak banyak berkata. Namun pelukannya itu bermakna. Nasihatnya mengandung
harapan besar. Harapan agar anaknya bernasib lebih baik darinya. Dan begitulah
seorang ayah seharusnya.
...
Aku
merantau, menuju pulau Jawa. Tak muluk aku ingin jadi orang yang hafal Al-Quran,
bagiku bisa membacaAl-Quran dengan baik saja sudah lebih dari cukup.
Mungkin bisa menjadi imam di kampung saat tarawih dengan ayahku menjadi makmum saja,
aku sudah sangat bahagia. Karena aku telah berjanji membuatnya bangga. Tapi
karena Allah, tetap menjadi niat yang utama.
...
Musim-musim
berganti, setiap tahun aku pulang sekali. Mengunjungi ayah yang kurindui setiap
hari. Ayahku adalah anak keenam dari empat belas bersaudara. Semuanya kaya raya
kecuali dia, semua sudah naik haji kecuali dia.
Kini,
setelah ia tak lagi memiliki perkerjaan, harapannya untuk naik haji hilang
pelan-pelan. Namun bukan ayah namanya jika kehilangan semangatnya, dengan
sedikit uangnya ia ikut mencicil TV kabel berlangganan, yang mana dibayar
urunan beberapa keluarga dalam satu perumahan. Dengan TV tabung tahun 1998,
dicarinya channel Mekkah dan Madinah. Di saat ia tidak berada
di masjid, maka acara dua stasiun TV Arab Saudi itulah teman kesukaannya. Ia
senang memonton sambil bersandar pada sebuah kursi. Jika ia bosan dengan siaran
di Mekkah, maka digantinya ke siaran stasiun Madinah, jika bosan lagi, maka
akan kembali ke stasiun semula. Terus berpindah seperti itu. Layaknya metromini jurusan
Blok M-Pasar Minggu yang tak singgah ke terminal lain. Jika si tukang kameramen
mengambil gambar Masjid Nabawi, lalu menyorot karpet hijau antara mimbar dan
makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, maka bibirnya
bergerak, seolah ia sedang meminta, berharap agar doanya diterima. Lain lagi
jika sang kameramen menyorot ka’bah, maka ayah bangun dari
sandarannya, dipasangnya kacamatanya agar tak samar pandangannya, seolah ia
membayangkan dirinya berada di sana lalu mengitari rumah tua itu dengan
bahagianya. Dipandangnya ka’bah dan beberapa bagian Masjidil
Harom dengan haru, lalu diliriknya wajahku, seolah berkata,
“Kau
lihat, Yar.. itu prosesi umroh. Lihat Yar! Lihat Baitullah,
itu kiblat kita. Tahukah engkau, Anakku, Ayah sangat ingin ke sana. Ayah ingin
mencium hajar aswad, Ayah ingin berlari-lari kecil
seperti orang di Shafa dan Marwa itu, Yar..
Lihat! ”
Aku
kelu. Pria pendiam ini juga menyimpan cita-citanya dalam diam.
Yang
membuat pilu di hatiku semakin ngilu adalah ketika melihatnya di masjid bergaul
dengan teman-teman seumurannya yang semuanya juga sudah pernah menunaikan
ibadah haji. Adalah adat di kampung kami bahwa sebuah pemuliaan panggil memanggil
dengan sebutan “haji”. Teman-temannya kadang memanggil ayah dengan sebutan haji
hanya untuk memuliakan ayah yang umurnya terlihat lebih tua dari mereka. Aku mafhum,
ayah kelu di hatinya. Ingin ia seperti teman-temannya. Panggilan itu hanya
fatamorgana untuknya. Seperti melihat air di aspal nun jauh, semu, tak ada
apa-apa.
Pernah
suatu hari ayah menolong seseorang di jalan. Orang itu berterima kasih sembari
mendoakan,
“Terimakasih,
Pak. Semoga Bapak cepat naik haji,” lirihnya.
Hari
itu aku melihat ayahku tersenyum. Senyum itu, Kawan, senyum itu begitu dalam
maknanya, untukku dan untuknya. Untuknya karena doa itu masuk ke hatinya lalu
ia berharap agar di-ijabah Tuhan pemilik timur dan barat. Untukku,
karena aku ingin sekali melihat ayahku tersenyum lagi, seperti hari ini, aku
ingin sekali ayah pergi ke rumah Allah. Tuhan pemilik arah kiblat.
...
Di
tengah perantauanku di Pulau Jawa. Setelah berganti-ganti pondok tahfizh beberapa
kali, aku bermukim di Jogja. Hari itu, aku menelpon ayah, mengabari bahwa ada
tes penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam Madinah. Pria tua itu
terperanjat. Lalu membanjiriku dengan kata. Bercerita ia, tiap detail katanya
adalah semangat dan intonasinya berupa letupan-letupan motivasi. Ia laksana
merapi yang menumpahkan seluruh larva. Mencurahkan apa yang ia rasa. Ia
berjanji akan memberiku apapun yang kuperlukan untuk bisa ikut tes perguruan
tinggi yang ia katakan sebagai universitas Islam terbaik di dunia. Aku pun
terperanjat. Ganjil sekali, seolah itu bukan ayahku yang pendiam.
Dan
yang paling membuatku haru adalah ketika ia berkata, “Jangan pikirkan masalah
uang, Nak, jangan pikirkan. Ayah yang akan mencarikan. Insya Allah.”
Terisak
ia.
Kau
tahu, Kawan, ayahku sekarang hanya supir ambulan sebuah masjid, itu pun
terkadang. Tak setiap hari ia dapat uang. Ia berjanji akan menyisipkan namaku
dalam setiap doanya, di sepertiga malamnya. Setiap harinya.
...
Hari
itu dua puluh dua tahun usiaku. Berada di pedalaman Jawa selepas salat Shubuh.
Aku bersama dua orang temanku, Isnan dan Mukhroji. Kami baru saja mengikuti tes
masuk Universitas Islam Madinah di Pondok Pesantren Darussalam, Gontor,
Ponorogo. Kami memutuskan pulang setelah Shubuh. Nahas, pedalaman
Ponorogo itu bukanlah Bogor yang angkot bisa lewat 24 jam. Kami menunggu sampai
matahari meninggi. Berharap ada tumpangan transportasi.
Mukhroji
cemas, ia harus secepatnya sampai ke Tegal karena ada suatu urusan keluarga.
Berkali-kali pemuda tinggi ini menoleh ke sana-kemari berharap angkutan
pedesaan segera datang. Sebentar duduk, ia bangkit berdiri, lalu menoleh lagi.
Kawanku ini mungkin mendapat musykil yang berat dalam
keluarganya. Lain lagi si Isnan, pemuda ramah asal Klaten ini ingin cepat
pulang karena hampir setiap hari di sini ia memakan pecel khas Jawa Timur. Yang
mana efek sampingnya adalah bosan, tak selera makan, dan sedikit mengganggu
pencernaan. Pemuda terakhir, yaitu Aku, dengan alasan yang sama dengan Isnan.
Karena kami membeli makanan secara patungan. Di pagi itu, kami menunggu dengan
kumpulan rasa bosan.
Namun
di ujung jalan, sayup-sayup bayangan kecil muncul, membesar dan kian dekat
dengan tiga orang malang tadi. Bayangan itu menjadi nyata berupa sebuah mobil
besar, gagah, dan nyaring bunyinya. Sebuah truk. Namun wajah dua temanku datar.
Berbeda denganku yang sumringah tiap melihat sebuah truk. Kulambaikan tangan,
girang aku. Berteriak-teriak seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat
ayunan di sebuah taman bermain.
Truk
itu berhenti. Aku membuka pintu. Seorang pria di sana. Tak terlalu muda. Kutaksir
empat puluhan umurnya. Pandangan matanya, seolah sudah tahu sebelumnya bahwa
tiga orang di pinggir jalan itu hanya akan merepotkannya. Wajahnya sangar.
Mimiknya kasar. Otot-otot badannya besar. Ia mirip tukang pukul seorang pejabat
yang baru saja dilantik menjadi bupati.
Namun
semua itu mencair ketika aku menatap matanya. Seolah ia melihat sesuatu di
wajahku. Wajah yang seolah bicara. Berbicara bahwa ayahku adalah supir truk
seperti dirinya. Dia pun seolah mengerti apa yang kubahasakan lewat wajah.
Mungkin ada bahasa yang kurasa hanya aku dan para supir-supir truk saja yang
memahaminya. Atau mungkin juga karena wajahku memelas dengan sempurna.
“Naiklah!”
Ia langsung ramah. Entah kemana si tukang pukul bupati ini menaruh mimik seram
yang diperagakannya sebelumnya.
Isnan
dan Mukhroji naik dan duduk disamping sang supir. Hanya bisa untuk dua orang
tempat duduknya. Aku? Ah, Kawan, aku mencari tempat favoritku. Menaiki bak truk
itu. Bak itu hanya persegi panjang dari besi dengan sisa-sisa pasir
berhamburan, melayang dan berputar terbawa angin. Aku duduk di sana. Hening.
Bergoyang-goyang di jalan pedesaan yang bergelombang. Aku melamun. Di sana
seolah ada lorong waktu yang membawaku jauh. Jauh ke masa lalu. Ke masa
kecilku. Bersama ayahku di sebuah bak truk. Aku melihat ia bercerita. Aku
mendengar intonasi khasnya. Aku mendengar suara kecilku tertawa. Aku merasa
tubuh kecilku digendongnya. Wajah mudanya masih kuingat dalam pikiranku.
Sesekali ia bercerita sambil mengusap rambut ikalku. Aku terbuai fantasi. Indah
sekali.
Lorong
waktu itu lalu mengembalikanku ke dunia nyata. Aku sendiri di sini
merindukannya. Dalam sebuah bak truk dengan sisa-sisa pasir di dalamnya. Mataku
sakit diserang butiran-butiran pasir yang melayang dalam pusaran angin di bak.
Tapi bukan itu alasanku untuk meneteskan air mata. Air itu jatuh karena aku
rindu pada ayah. Rindu tak terkira.
...
Beberapa
musim berganti dengan cepatnya. Banyak hal-hal yang tak pernah kita kira dan
kita duga. Sebuah doa melesat ke langit dan dijawab oleh Tuhan Pemilik Semesta.
Aku akhirnya diterima. Aku dapat beasiswa ke Madinah. Lagi-lagi aku merantau
jauh meninggalkan seorang lelaki tua. Sebelum pergi aku memeluknya. Ia kembali
menjadi dirinya yang tak banyak berkata. Tapi aku tahu, pelukan itu sudah
mengatakan semuanya. Bahwa ia bangga. Ia bangga anaknya bisa ke kota impiannya.
Kota yang sering ia ceritakan. Bahwa ia pun rela jika seandainya tak pernah
bisa ke Madinah, asal anaknya bisa. Anaknya bisa lebih baik darinya. Bisa
berangkat haji. Bisa salat dengan ganjaran ribuan kali. Lalu kudengar kata
keluar dari mulutnya, pujian untuk Ilahi Robbi.
...
Hari
ini, di mana aku berdiri, di kota yang mulia ini, adalah giliranku yang
berusaha berbuat untuknya. Aku masuk dalam program persiapan bahasa, dua tahun
lamanya, sebelum bisa kuliah di salah satu jurusan yang tersedia. Berada di
sini adalah level terendah seorang mahasiswa. Aku di sini adalah gabungan
antara kejahilan bahasa dan keberuntungan bisa berada di sini semakin lama.
Kau
tahu, Kawan, Kau bisa saja merendahkanku karena hinanya aku di mata kalian,
kita berbeda, Kawan. Aku masih memiliki ayah yang harus kubahagiakan. Tiap uang
yang kuterima kusisihkan, tiap lantunan doa kuselipkan. Aku ingin pergi haji
bersama ayahku. Aku ingin mengitari ka’bah bersamanya.
Menuntunnya. Berlari kecil di sampingnya antara Shafadan Marwa.
Aku ingin membimbingnya. Aku ingin suatu hari ia melihatku berada di kampus
kita, yang ia sangka terbaik di dunia. Aku ingin ia tahu kalau aku sudah bisa
membaca Al-Quran di Masjid Nabawi. Aku ingin memanjatkan
doa bersamanya di Raudhoh. Ingin kuceritakan ia tentang seluk beluk
kota ini, kota impiannya. Seperti ia menceritakan padaku ketika aku kecil.
Kapankah
itu? Entahlah, Kawan. Entahlah kapan. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum
lagi. Tersenyum saat pergi haji.
…
Ayahku
adalah lelaki tua seperti biasanya. Lelaki sepertinya bisa kita jumpai di mana
saja. Tapi bagiku, ayah adalah lelaki istimewa. Aku bertahan di sini
menunggunya. Menunggu keajaiban Tuhan untuknya. Akan tibakah saatnya?
...
Ini
adalah cerita sederhana sebuah kata. Kata yang kita semua memilikinya. Entah
kita masih memilikinya, atau telah tiada.
‘Ayah.’
Nb: Cerita diangkat dari kisah nyata seorang mahasiswa (Penulis) Univ. Islam
Madinah angkatan tahun 1433-1434 H. Tulisan ini berhasil memenangkan Lomba
Karya Tulis Bebas dan terpilih sebagai Juara Satu dalam acara tahunan Pekilo
(Pekan Kegiatan Ilmiah dan Olahraga) UIM 1434 H.
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda