Liburan
musim panas. Aku dan temanku, Ismail, sedang menuju Bali. Ismail adalah pemuda
Kalimantan sepertiku, ia punya waktu beberapa hari sebelum memulai kursus
bahasa Inggris di Pare, Kediri.
Ini
pertama kalinya kami ke pulau Bali, tanpa pemandu, tanpa tujuan yang jelas. Dan
disinilah kami, dalam bis ekonomi dengan suara riuh dan para bule backpacker
yang berpakaian tak pantas.
-Belasan
tahun sebelumnya-
Ibuku
adalah seorang guru. Dia mengajar di Sekolah Dasar sebuah desa di Kalimantan.
Disana aku dilahirkan. Kami tinggal disebuah rumah dinas kecil. Presiden saat
itu berbaik hati memberikan rumah bagi para guru.
Sejak
balita ibuku selalu membawaku ke sekolah bersepeda. Kakiku diikatnya dengan
kain agar tak kena roda. Ibuku adalah penemu solusi tiap masalah. Ia membuat
ayunan kecil di pojok kelas agar aku bisa tidur disana, atau sekedar duduk
untuk mendengarnya mengajar.
Jika
balita zaman sekarang begitu beruntung bisa masuk play grup sampai TK, maka aku
mencuri start dengan masuk SD sejak balita.
Di
umur ke-lima, ibuku memasukkan ku ke Taman kanak-kanak. Tak banyak yang kudapat
disana. Ibu paruh baya ramah yang mengajar disana berkata pada ibuku,
"Ia
sudah bisa membaca, berhitung."
Tak
berselang lama, ibuku mengeluarkan ku dari sekolah yang ada prosotannya itu. Membuatku
berada disana hanya menyusahkannya mengantar jemput.
Di
usia ke tujuh, aku benar-benar menjadi murid SD. Kali ini aku duduk di kursi
kayu, bukan diayunan kain pojok kelas.
Di
tahun itu juga, meski konyol kelihatannya, aku mulai menyukai wanita.Rahmi
namanya. Ia adalah semangatku berangkat sekolah. Jika sekolah dimulai jam 8
pagi. Maka aku sudah ada di sekolah satu jam setengah sebelumnya.Aku selalu
ingin terlihat hebat untuknya, aku ingin juara kelas untuk menarik
perhatiannya. Kawan, kisah cinta pertama selalu menyenangkan dibahas. Bukankah
kalian juga pernah mengalaminya?
Bertahun-tahun
lamanya, tiap caturwulan aku selalu juara kelas. Sekolah buatku sebuah perkara
yang mudah. Aku tak pernah mau disuruh belajar dirumah, baik setiap hari atau
ketika ujian, aku hanya bermain ke sungai, sawah atau lapangan.
Aku
pandai berhitung, mengarang, pengetahuan umum dan lainnya. Satu-satunya
kelemahan ku hanya menulis indah. Aku bahkan tak mengerti untuk apa keindahan
dalam menulis.
Sampai
di kelas 4, ibuku menjadi wali kelasnya. Itu artinya, ibuku mengajar semua mata
pelajaran selain Agama dan Olahraga.
Di
caturwulan pertama, aku mendapat rangking 2. Pertama kalinya. Nilaiku sama
dengan murid lain bernama Nurul. Ibuku memilih Nurul menjadi juara kelas karna
harus ada yang terbaik. Alasan beliau sederhana,
"Nurul
tulisannya lebih baik darimu, lebih enak dibaca."
Aku
tak bisa melawan, ia adalah ibu guruku. Sekaligus ibu kandungku.
Caturwulan
kedua aku kembali menjadi juara. Semua nilaiku hampir sempurna.
Caturwulan
ketiga ibuku memindahkanku kesekolah pinggir kota, pinggir jalan raya. Dekat
rumah kakek.
Itu
artinya aku meninggalkan sekolah yang ada Rahmi di dalamnya. Tinggal bersama
kakek dan nenek. Hatiku ngilu. Namun sekali lagi, aku tidak bisa melawan guru
sekaligus ibuku. Entah kenapa ia seolah tak suka aku selalu juara.
Sekolah
baru, teman baru. Sangat sulit beradaptasi dengan pelajaran saat masuk
dipertengahan tahun ajaran. Pinggiran kota muridnya lebih banyak, banyak
anak-anak pintar. Untungnya aku masih mendapat rangking empat. Juaranya adalah
Tatang, ia pendatang dari Jawa yang ayahnya dinas di Kalimantan.
Bulan-bulan
pertama di kelas 5, aku belajar lebih giat. "Caturwulan depan aku harus
juara", batinku. Terbiasa menjadi juara membuatku terobsesi.
Namun,
suatu pagi ketika berangkat sekolah, entah kenapa aku berjalan terlalu
ketengah, sebuah sepeda motor menabrakku. Orang-orang berteriak....
Gelap.
Aku
pingsan. Aku terbangun di sebuah puskesmas dengan baju bersimbah darah. Banyak
orang berkerumun disekitarku. Ibuku datang dengan wajah pucat, lalu aku
dilarikan ke Rumah Sakit.
Alhamdulillah,
aku tak mengalami cidera serius. Yang paling parah hanya memar di hidung.
Setelah beberapa hari aku pulang ke rumah.
Mungkin
ibuku menyesal memindahkanku. Setelah sembuh, aku kembali dipindahkan kesekolah
yang lama. Kembali ke desa. Tentunya kembali melihat senyumnya. Rahmi, cinta
pertama. Ah betapa konyolnya.
...........
Beberapa
kali aku ikut lomba cerdas cermat, memenangkannya dan sampai ke tingkat yang
lebih tinggi.Saat itu tingkat kecamatan. Sebuah lomba yang bergengsi. Ada
banyak perwakilan. Lebih 20 peserta.Kejutan untukku karena ada Tatang disana.
Kesempatan bagus membalas kekalahan dikelas yang lalu, pikirku.
Lombanya
essai. Menjawab pertanyaan seperti ujian biasa.
Beberapa
saat kemudian kami selesai. Lalu langsung dikoreksi untuk dibacakan
pemenangnya.
Aku
menyapa Tatang, ia terkejut melihatku bisa ikut lomba sepertinya.
"Pindah
kemana sekarang?" Sapanya
"Ke
sekolah yang lama" jawabku. Kami tak sempat berbincang lama. Pemenang lalu
dibacakan.
"Juara
ketiga...."
Aku
gugup entah kenapa.
Sebuah
nama disebutkan, bukan namaku. Aku panas dingin. Seperti Teh panas yang tak
sengaja kemasukan es batu.
"Juara
kedua...."
Ya.
Namaku disebut. Bukannya senang, aku malah semakin gugup. Aku takut Tatang
mengalahkanku lagi. Ia anak yang sangat cerdas. Aku tak ingin kalah lagi
darinya. Apalagi ini ajang bergengsi.
Sang
juri membacakan lagi.
"Juara
pertama....."
Sebuah
nama disebutkan, dan itu bukan Tatang. Konon nama itu katanya nama anak pejabat
tinggi di daerahku.
Aku
tak peduli. Aku senang bisa mengalahkan Tatang kali ini. Kulihat ibuku
menatapku bangga dari kejauhan.Aku hanya salah satu pertanyaan. Aku mengamati
kertas jawabanku yang dibagikan. Hanya satu soal yang salah. Membekas.
................
Tahun-tahun
berlalu. Aku sekolah menengah di kota. Aku masih bisa berada di kelas unggulan.
Semua berubah ketika aku mulai masuk Sekolah Menengah Atas, mengenal pergaulan
yang salah. Aku sering pulang tengah malam. Bolos sekolah. Aku pernah mendapat
rangking 38 dari 39 siswa. Menakjubkan.
Aku
tak sadar, pintar ternyata bukan perkara tetap. Ia bisa berubah. Dan aku tidak
siap.
Setelah
lulus, ibuku menyarankan agar aku mulai merantau bekerja ke Palangkaraya,
Kalimantan Tengah. Aku menjadi tukang servis handphone, ikut pamanku.
Aku
kembali terasing. Kali ini dengan dunia akademik. Dimana teman-teman sebayaku
sibuk memulai kuliah. Aku duduk didepan meja berisi ratusan bangkai handphone,
belajar memperbaikinya.
Anehnya,
setahun setelahnya aku justru merantau ke pulau Jawa. Berpindah dari satu
pondok ke pondok yang lain, belajar mengaji.
Sampai
taqdir membawaku ke Madinah.Ke program persiapan bahasa. Kawan, hari pertama
aku belajar. Aku sungguh merasa bodoh. Sangat bodoh. Aku tak mengerti kata.
Belasan
tahun Tuhan menungguku menyadari apa yang diperlakukan ibuku kepadaku. Ibuku
adalah seorang guru. Ia tidak ingin anaknya lalai dalam kepintaran.Ia ingin
muridnya berjuang.Ia tau dunia akan cepat berubah.
Akhirnya
aku sadar, juara bukan selamanya menjadi tujuan. Apa artinya menjadi juara
namun membuat diri lalai? Apa artinya menjadi pintar namun membuat malas
berjuang?
Disini,
ditanah suci Madinah, tugasku adalah mencari ilmu dengan belajar giat,
memahaminya, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lalu berjalan
dengan perasaan rendah hati.
Karena
tidak pantas menjadi pintar untuk orang yang tidak mau belajar.
.....
Kami
sampai di Pulau Bali. Letih sekali rasanya badan setelah belasan jam duduk di
bis yang sempit. Aku dan Ismail memang senang backpacker berkeliling nusantara
saat liburan musim panas. Dan kami sedang penasaran dengan Bali.
Beberapa
hari di Bali aku melihat banyak hal. Tentang keterbatasan makanan untuk muslim,
sulitnya menjaga pandangan, patung dimana-mana, juga adat istiadat disana.
Aku
tertarik dengan sebuah ritual bernama Ngaben. Membekas, Ngaben adalah
satu-satunya pertanyaan yang tak bisa kujawab di lomba belasan tahun silam.Hari
ini aku mengetahuinya. Puas rasanya mengetahui apa yang sebelumnya menjadi
misteri.
Dan
waktu menuntun kita menemukan jawaban-jawaban pertanyaan di masa lalu.
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda