Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Tulisanku ketika merindukanmu, Ibu..



Liburan musim panas. Aku dan temanku, Ismail, sedang menuju Bali. Ismail adalah pemuda Kalimantan sepertiku, ia punya waktu beberapa hari sebelum memulai kursus bahasa Inggris di Pare, Kediri.

Ini pertama kalinya kami ke pulau Bali, tanpa pemandu, tanpa tujuan yang jelas. Dan disinilah kami, dalam bis ekonomi dengan suara riuh dan para bule backpacker yang berpakaian tak pantas.


-Belasan tahun sebelumnya-

Ibuku adalah seorang guru. Dia mengajar di Sekolah Dasar sebuah desa di Kalimantan. Disana aku dilahirkan. Kami tinggal disebuah rumah dinas kecil. Presiden saat itu berbaik hati memberikan rumah bagi para guru.

Sejak balita ibuku selalu membawaku ke sekolah bersepeda. Kakiku diikatnya dengan kain agar tak kena roda. Ibuku adalah penemu solusi tiap masalah. Ia membuat ayunan kecil di pojok kelas agar aku bisa tidur disana, atau sekedar duduk untuk mendengarnya mengajar.

Jika balita zaman sekarang begitu beruntung bisa masuk play grup sampai TK, maka aku mencuri start dengan masuk SD sejak balita.

Di umur ke-lima, ibuku memasukkan ku ke Taman kanak-kanak. Tak banyak yang kudapat disana. Ibu paruh baya ramah yang mengajar disana berkata pada ibuku,

"Ia sudah bisa membaca, berhitung."

Tak berselang lama, ibuku mengeluarkan ku dari sekolah yang ada prosotannya itu. Membuatku berada disana hanya menyusahkannya mengantar jemput.

Di usia ke tujuh, aku benar-benar menjadi murid SD. Kali ini aku duduk di kursi kayu, bukan diayunan kain pojok kelas.

Di tahun itu juga, meski konyol kelihatannya, aku mulai menyukai wanita.Rahmi namanya. Ia adalah semangatku berangkat sekolah. Jika sekolah dimulai jam 8 pagi. Maka aku sudah ada di sekolah satu jam setengah sebelumnya.Aku selalu ingin terlihat hebat untuknya, aku ingin juara kelas untuk menarik perhatiannya. Kawan, kisah cinta pertama selalu menyenangkan dibahas. Bukankah kalian juga pernah mengalaminya?
Bertahun-tahun lamanya, tiap caturwulan aku selalu juara kelas. Sekolah buatku sebuah perkara yang mudah. Aku tak pernah mau disuruh belajar dirumah, baik setiap hari atau ketika ujian, aku hanya bermain ke sungai, sawah atau lapangan.
Aku pandai berhitung, mengarang, pengetahuan umum dan lainnya. Satu-satunya kelemahan ku hanya menulis indah. Aku bahkan tak mengerti untuk apa keindahan dalam menulis.

Sampai di kelas 4, ibuku menjadi wali kelasnya. Itu artinya, ibuku mengajar semua mata pelajaran selain Agama dan Olahraga.

Di caturwulan pertama, aku mendapat rangking 2. Pertama kalinya. Nilaiku sama dengan murid lain bernama Nurul. Ibuku memilih Nurul menjadi juara kelas karna harus ada yang terbaik. Alasan beliau sederhana,

"Nurul tulisannya lebih baik darimu, lebih enak dibaca."

Aku tak bisa melawan, ia adalah ibu guruku. Sekaligus ibu kandungku.

Caturwulan kedua aku kembali menjadi juara. Semua nilaiku hampir sempurna.
Caturwulan ketiga ibuku memindahkanku kesekolah pinggir kota, pinggir jalan raya. Dekat rumah kakek.

Itu artinya aku meninggalkan sekolah yang ada Rahmi di dalamnya. Tinggal bersama kakek dan nenek. Hatiku ngilu. Namun sekali lagi, aku tidak bisa melawan guru sekaligus ibuku. Entah kenapa ia seolah tak suka aku selalu juara.
Sekolah baru, teman baru. Sangat sulit beradaptasi dengan pelajaran saat masuk dipertengahan tahun ajaran. Pinggiran kota muridnya lebih banyak, banyak anak-anak pintar. Untungnya aku masih mendapat rangking empat. Juaranya adalah Tatang, ia pendatang dari Jawa yang ayahnya dinas di Kalimantan.

Bulan-bulan pertama di kelas 5, aku belajar lebih giat. "Caturwulan depan aku harus juara", batinku. Terbiasa menjadi juara membuatku terobsesi.
Namun, suatu pagi ketika berangkat sekolah, entah kenapa aku berjalan terlalu ketengah, sebuah sepeda motor menabrakku. Orang-orang berteriak....

Gelap.

Aku pingsan. Aku terbangun di sebuah puskesmas dengan baju bersimbah darah. Banyak orang berkerumun disekitarku. Ibuku datang dengan wajah pucat, lalu aku dilarikan ke Rumah Sakit.

Alhamdulillah, aku tak mengalami cidera serius. Yang paling parah hanya memar di hidung. Setelah beberapa hari aku pulang ke rumah.

Mungkin ibuku menyesal memindahkanku. Setelah sembuh, aku kembali dipindahkan kesekolah yang lama. Kembali ke desa. Tentunya kembali melihat senyumnya. Rahmi, cinta pertama. Ah betapa konyolnya.

...........

Beberapa kali aku ikut lomba cerdas cermat, memenangkannya dan sampai ke tingkat yang lebih tinggi.Saat itu tingkat kecamatan. Sebuah lomba yang bergengsi. Ada banyak perwakilan. Lebih 20 peserta.Kejutan untukku karena ada Tatang disana. Kesempatan bagus membalas kekalahan dikelas yang lalu, pikirku.
Lombanya essai. Menjawab pertanyaan seperti ujian biasa.

Beberapa saat kemudian kami selesai. Lalu langsung dikoreksi untuk dibacakan pemenangnya.

Aku menyapa Tatang, ia terkejut melihatku bisa ikut lomba sepertinya.
"Pindah kemana sekarang?" Sapanya

"Ke sekolah yang lama" jawabku. Kami tak sempat berbincang lama. Pemenang lalu dibacakan.

"Juara ketiga...."

Aku gugup entah kenapa.

Sebuah nama disebutkan, bukan namaku. Aku panas dingin. Seperti Teh panas yang tak sengaja kemasukan es batu.

"Juara kedua...."

Ya. Namaku disebut. Bukannya senang, aku malah semakin gugup. Aku takut Tatang mengalahkanku lagi. Ia anak yang sangat cerdas. Aku tak ingin kalah lagi darinya. Apalagi ini ajang bergengsi.

Sang juri membacakan lagi.

"Juara pertama....."

Sebuah nama disebutkan, dan itu bukan Tatang. Konon nama itu katanya nama anak pejabat tinggi di daerahku.

Aku tak peduli. Aku senang bisa mengalahkan Tatang kali ini. Kulihat ibuku menatapku bangga dari kejauhan.Aku hanya salah satu pertanyaan. Aku mengamati kertas jawabanku yang dibagikan. Hanya satu soal yang salah. Membekas.

................

Tahun-tahun berlalu. Aku sekolah menengah di kota. Aku masih bisa berada di kelas unggulan. Semua berubah ketika aku mulai masuk Sekolah Menengah Atas, mengenal pergaulan yang salah. Aku sering pulang tengah malam. Bolos sekolah. Aku pernah mendapat rangking 38 dari 39 siswa. Menakjubkan.

Aku tak sadar, pintar ternyata bukan perkara tetap. Ia bisa berubah. Dan aku tidak siap.

Setelah lulus, ibuku menyarankan agar aku mulai merantau bekerja ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Aku menjadi tukang servis handphone, ikut pamanku.

Aku kembali terasing. Kali ini dengan dunia akademik. Dimana teman-teman sebayaku sibuk memulai kuliah. Aku duduk didepan meja berisi ratusan bangkai handphone, belajar memperbaikinya.

Anehnya, setahun setelahnya aku justru merantau ke pulau Jawa. Berpindah dari satu pondok ke pondok yang lain, belajar mengaji.

Sampai taqdir membawaku ke Madinah.Ke program persiapan bahasa. Kawan, hari pertama aku belajar. Aku sungguh merasa bodoh. Sangat bodoh. Aku tak mengerti kata.

Belasan tahun Tuhan menungguku menyadari apa yang diperlakukan ibuku kepadaku. Ibuku adalah seorang guru. Ia tidak ingin anaknya lalai dalam kepintaran.Ia ingin muridnya berjuang.Ia tau dunia akan cepat berubah.

Akhirnya aku sadar, juara bukan selamanya menjadi tujuan. Apa artinya menjadi juara namun membuat diri lalai? Apa artinya menjadi pintar namun membuat malas berjuang?

Disini, ditanah suci Madinah, tugasku adalah mencari ilmu dengan belajar giat, memahaminya, lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Lalu berjalan dengan perasaan rendah hati.

Karena tidak pantas menjadi pintar untuk orang yang tidak mau belajar.

.....

Kami sampai di Pulau Bali. Letih sekali rasanya badan setelah belasan jam duduk di bis yang sempit. Aku dan Ismail memang senang backpacker berkeliling nusantara saat liburan musim panas. Dan kami sedang penasaran dengan Bali.
Beberapa hari di Bali aku melihat banyak hal. Tentang keterbatasan makanan untuk muslim, sulitnya menjaga pandangan, patung dimana-mana, juga adat istiadat disana.

Aku tertarik dengan sebuah ritual bernama Ngaben. Membekas, Ngaben adalah satu-satunya pertanyaan yang tak bisa kujawab di lomba belasan tahun silam.Hari ini aku mengetahuinya. Puas rasanya mengetahui apa yang sebelumnya menjadi misteri.

Dan waktu menuntun kita menemukan jawaban-jawaban pertanyaan di masa lalu.
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger