Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Manhaj Salaf. Show all posts
Showing posts with label Manhaj Salaf. Show all posts

Rahmat Islam Terhadap Orang Kafir

Rahmat Islam Terhadap Orang Kafir
Oleh: Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Al-Atsari

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ 
“Allah tidak melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah:8)

Sebab Turunnya Ayat
Adapun hadits yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini yaitu hadits Asma binti Abi Bakr radliyallahu `anha, diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5978. Asma’ berkata:

“Ibuku Raghibah (dalam suatu riwayat: la wanita musyrik, pent) datang kepadaku pada masa Nabi shallallahu ‘ alaihi wa sallam. Make saya bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah (boleh) saya menyambung silaturrahmi dengannya?” Beliau menjawab: “Ya.” Ibnu ‘Uyyainah berkata: Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat tentangnya: “Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama.”

Dan ada juga sebab turun ayat yang lain dari hadits Abdullah bin Zubair:
“Qatilah binti Abdul `Uzza bin Abdi As’ad dari Bani Malik bin Hasal datang kepada anaknya Asma’ bintu Abi Bakr dengan membawa hadiah berupa dhab (biawak), keju den samin. la (Qatilah) seorang wanita musyrik. Asma’ enggan untuk menerima hadiahnya dan enggan memasukkannya ke dalam rumahnya. `Aisyah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan (firman Nya): `Allah tidak melarang kalian dari orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama …” sampai akhir ayat. Beliau pun memerintahkan Asma’ untuk menerima hadiahnya dan memasukkannya ke rumahnya.”

“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 2 4/4, Ath-Thayalisi 2/228 no. 1639, Ath-Thabari dalam tafsirnya 28/66, Ibnu Sad dalam Ath-Thabaqat 8/253, Ibnu `Adi dalam Alkamil 6/361, Hakim 2/528 den Ibnu Basykuwal dalam AI-Ghawamidh 1/126-I27. Akan tetapi hadits ini lemah karma di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mush’ab bin Tsabit bin Abdullah bin Zubair. Bagi orang yang membaca biografinya akan nampak bahwa ia orang yang lemah haditsnya. Dan ada keanehan dalam penyebutan nama ibu Asma’ yang di dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa namanya adalah Raghibah. Wallahu a’lam.

Penjelasan ayat
Suatu hal yang sangat prinsip dalam syariat Islam dan harus diketahui oleh setiap Muslim bahwa loyalitas mereka hanyalah diberikan kepada Allah dan RasulNya serta kaum Muslimin. Juga memberikan sikap bara’ (berlepas diri dan benci) kepada orang-orang kafir yang merupakan musuh agama mereka.
Kalau diperhatikan sepintas lalu, akan dipahami tidak bolehnya sama sekali berhubungan dengan orang kafir sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat sebelum turunnnya ayat. Akan tetapi sungguh agama ini merupakan rahmat bagi seluruh makhluq, jin maupun manusia, Muslim maupun kafir, benda hidup maupun mati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَـٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً۬ لِّلۡعَـٰلَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Wahai Muhammad) kecuali rahmat bagi seluruh makhluk.” (Al Anbiya: 107).
Maka loyalitas walaupun hanya diperuntukkan untuk Islam dan kaum Muslimin. akan tetapi karena agama ini dibangun di atas kasih sayang bagi seluruh makhluk. Maka Allah Subhanahu wa Ta`ala tidak melarang kaum Muslimin untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir sepanjang mereka tidak memerangi kaum Muslimin. Adapun kalau mereka memerangi kaum Muslimin maka hal tersebut terlarang dalam syariat Islam.

Sikap ini merupakan salah satu dari keadilan Dienul Islam terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin adalah orang yang paling baik berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat.
Ada beberapa ayat lain yang semakna dengan ayat 8 surah Al-Mumtahanah di atas. Di antaranya Firman Allah jalla wa Alaa dalarn Al-Qur’an Surah Al-Baqarah 190:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah:190)

Dan di dalam Al-Baqarah 194 Allah Azza Dikruhu menegaskan:
“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah:194)

Dan di dalam An-Nahl 126, Allah jalla Tsanauhu menyatakan:
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl:126)

Berikut ini kami akan menurunkan beberapa dalil bolehnya berbuat baik dan berlaku adil yang menguatkan makna yang terkandung dalam ayat ke delapan dalam surah Al-Mumtahanah di atas.

Pertama: Allah `Azza wa jalla menyatakan dalam Al-Insan 8 

وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينً۬ا وَيَتِيمً۬ا وَأَسِيرًا
  
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (AL-Insan: 8)

Suatu hal yang kita maklumi bersama bahwa tawanan yang jatuh ke tangan kaum Muslimin adalah dari kaum kafir. Namun demikian mereka tetap mendapatkan kebaikan dengan dipujinya orang yang memberi makan kepada mereka.

Kedua: Dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10, Allah `Azza wa jalla menegaskan:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا جَآءَڪُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَـٰتُ مُهَـٰجِرَٲتٍ۬ فَٱمۡتَحِنُوهُنَّ‌ۖ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ بِإِيمَـٰنِہِنَّ‌ۖ فَإِنۡ عَلِمۡتُمُوهُنَّ مُؤۡمِنَـٰتٍ۬ فَلَا تَرۡجِعُوهُنَّ إِلَى ٱلۡكُفَّارِ‌ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ۬ لَّهُمۡ وَلَا هُمۡ يَحِلُّونَ لَهُنَّ‌ۖ وَءَاتُوهُم مَّآ أَنفَقُواْ‌ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka apa-apa yang telah mereka nafkahkan.” (Al-Mumtahanah:10)
Lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan nafkah para suami (yang musyrik) dari para wanita Mu’minah yang berhijrah tersebut, baik dalam bentuk mahar ketika mereka nikah atau sejenisnya. dan tidak ada keraguan bahwa ini adalah dari kelakuan baik dan adil dalam Islam kepada orang-orang kafir.
Ketiga: Kisah Tsumamah bin Utsal yang sangat dikenal permusuhannya kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Kita lihat bagaimana kisahnya tatkala ia ditawan oleh shahabat Nabi shallallahu, `alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah riwayat Bukhari Muslim. Beliau berkata:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan berkuda ke arah Najd. Ketika datang mereka membawa tawanan seorang lelaki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Para shahabat mengikatnya di salah satu tiang mesjid. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya seraya berkata: “Apa yang ada padamu, wahai Tsumamah.” Ia menjawab: “Pada saya ada kebaikan, wahai Muhammad. Kalau engkau membunuh saya maka engkau telah membunuh orang yang mempunyai darah. Kalau engkau memberi kenikmatan maka engkau akan memberikan kenikmatan kepada orang yang tahu balas budi. Dan kalau engkau menghendaki harta, maka mintalah dariku sesukamu.” 

Kemudian Nabi shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya. Esok harinya beliau kembali berkata kepadanya: “Apa yang ada padamu, wahai Tsumamah?” Maka ia menjawab: “Bukankah telah kukatakan kalau engkau memberikan kenikmatan maka engkau memberikan kenikmatan kepada orang yang tahu berterima kasih.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkannya hingga esok harinya kembali beliau berkata kepadanya: “Apa yang ada padamu, wahai Tsumamah?” la menjawab: “Padaku ada sesuatu yang telah kukatakan.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lepaskanlah Tsumamah. “Ia pun pergi ke pohon karma dekat masjid. Ia mandi kemudian masuk masjid seraya berkata: “Saya bersaksi bahwa tiada sembahan yang haq kecuali Allah dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. Wahai Muhammad, demi Allah tiada wajah di muka bumi ini yang lebih kubenci dari wajahmu. Lalu kemudian  wajahmu telah menjadi wajah yang paling kucintai. 

Demi Allah, tidak ada agama yang lebih kubenci dari agamamu, dan kemudian agamamu telah menjadi agama yang paling kucintai. Demi Allah, tidak ada negeri yang lebih kubenci dari negerimu. Lalu kemudian negerimu menjadi negeri yang paling kucintai. Namun pasukan berkuda menawanku ketika saya hendak menunaikan `umrah. Bagaimana pendapatmu?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar gembira kepadanya dan mengijinkannya untuk ber’umrah. Tatkala ia tiba di Mekkah, seseorang berkata kepadanya: “Engkau telah gila.” Tsumamah menjawab: “Tidak, akan tetapi saya masuk Islam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah tidak akan datang kepada kalian satu biji gandum pun dari Yamamah[3] sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengijinkannya.”

Lihatlah bagaimana rahmat Islam yang tergambar dari hadits ini wahai orang-orang yang berakal.

Keempat: Kisah wanita musyrik pemilik dua bejana air yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memeranginya, menawannya atau menghalalkan air yang dibawanya. Tetapi beliau meminta sedikit airnya kemudian mendo’akan air tersebut sehingga seluruh para sahabat minum dan memenuhi tempat-tempat air mereka. Kemudian beliau mengembalikan air itu seperti semula. Para sahabat pun memuliakan wanita tadi, berbuat baik kepadanya dan mengumpulkan makanan untuknya. Ketika wanita itu kembali, ia menceritakan hal tersebut pada kaumnya dan menyeru mereka untuk memeluk Islam. Lalu mereka pun masuk Islam. Kisahnya dalam hadits yang sangat panjang riwayat Bukhari Muslim dari hadits `Imran bin Hushain.

Kelima: Tentang orang-orang Yahudi yang memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan mereka dari Madinah dan mengepung mereka di Khaibar. Tetapi tatkala mereka sudah tidak memerangi kaum Muslimin dan mengeluarkannya dari negerinya, mereka kembali mendapatkan perlakuan yang baik dan tidak diperangi. Sehingga kadang mereka datang bertanya suatu permasalahan agama kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai contoh dalam hadits riwayat Bukhary -Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud:

“Tatkala saya berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu kebun dan beliau bertelekan sebuah tongkat kecil, tiba-tiba lewatlah beberapa orang Yahudi. Sebagian mereka berkata kepada yang lainnya: “Tanyakanlah kepadanya tentang ruh.” Maka sebagian mereka berkata: “Apa yang meragukan kalian? la tidak akan menerima kalian dengan sesuatu yang kalian tidak senangi.” Maka mereka berkata: “Tanyalah kepadanya!” Lalu berdiri kepada beliau sebagian dari mereka lalu bertanya tentang ruh. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak menjawab sesuatu apapun. Kata Ibnu Mas’ud: Saya mengetahui bahwa wahyu sedang turun kepadanya. Saya berdiri ditempatku lalu turunlah wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Maka katakanlah: ruh itu urusan Rabb-ku dan kalian tidak diberikan ilmu (tentangnya) kecuali sedikit.”[4]
Demikian pula di masa pemerintahan Abu Bakr AshShiddiq dan di awal pemerintahan Umar bin Khattab, masih ada di antara mereka yang datang kepada Umar bertanya sesuatu sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari & Muslim

“Diriwayatkan dari Thariq bin Syihab bahwa dia berkata: Seorang laki-laki dari Yahudi datang kepada `Umar bin Khattab lalu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Ada suatu ayat dalam kitab kalian yang apabila ayat itu turun kepada kami orang-orang Yahudi, maka kami akan menjadikan hari itu sebagai Hari Raya.” Maka Umar bertanya: “Ayat apakah itu?” Dia berkata: “Ayat (Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu; dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagimu).” Maka Umar berkata: “Sesungguhnya saya sangat mengetahui kapan dan dimana ayat itu turun pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu di Arafah pada hari Jum’at.”[5]

Masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mendukung makna ayat yang terkandung dalam ayat 8 surat Al-Mumtahanah tersebut. Bila kita mencermati Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kisah perjalanan hidup Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan peperangan beliau, kita akan menemukan hal-hal yang menunjukkan yang menunjukkan kasih sayang dan rahmat Islam terhadap orang non-Muslim.
Dengan keterangan di atas, runtuhlah tuduhan-tuduhan yang mendiskreditkan dan menghinakan Islam dan kaum Muslimin yang dianggap sebagai penyebab munculnya segala problem dan musibah yang melanda manusia. Bahkan telah terbukti bahwa musuh-musuh Islam dari kaum kafirlah, yang menlbuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka itu adalah srigala-srigala berbadan manusia yang meneriak kan slogan-slogan perdamaian dan kasih sayang dihiasi dengan retorika yang memukau dan suapan bantuan sandang dan pangan, lalu mereka tatkala telah mendapatkan kekuasaan dan kekuatan, maka mereka membantai kaum Muslimin dengan sangat buas dan biadab dan hal tersebut kita telah saksikan di beberapa tempat seperti di Bosnia, Maluku dan lain-lainnya.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kepada kita sekalian jalan yang lurus dan memberikan taufiq dan hidayah-Nya menyaksikan kebesaran dan kemuliaan agama-Nya. Innahu waliyya dzalika wa qadiru `alaihi. Wallahu a’lam wish-shawab.
_____________
  1. Yakni seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut:
    1. Tidak memerangi kalian dalam agama.
    2. Tidak mengusir kalian dari kampung halaman.
  2. Ada beberapa suku kecil dari kalangan Arab yang menggabungkan dirinya dengan suku-suku besar untuk menambah kekuatan mereka. Di antaranya adalah Habib bin Abi Balta’ah. Walaupun ia bukan dari suku Quraisy tapi ia telah mengadakan perjanjian penggabungan sukunya sejak lama. Ini yang diistilahkan dengan halif.
  3. Yakni boikot mereka dengan tidak menjual gandumnya kepada orang-orang musyrik karena Tsumamah adalah tokoh pedagang dari Yamamaah.
  4. Mereka bertanya tentang ruh sesungguhnya sebagai jebakan. Kalau dijawab justru menunjukkan kalau ia bukan Nabi sebab orang-orang Yahudi mengetahui bahwa perkara ruh tidak pernah Allah beritakan kepada seorang Nabi pun. Maka ketika Rasulullah menjawab dengan ayat tersebut, mereka tambah yakin kalau beliau benar-benar Rasul.
  5. Yaitu pada hari Arafah yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah yang memang merupakan hari raya kaum Muslimin. Demikian pula hari Jum’at merupakan hari besar kaum muslimin setiap pekannya.

atau: http://kaahil.wordpress.com/2012/03/12/islam-itu-indah-rahmatan-lil-alamiin-contoh-contoh-kisah-hadits-rahmat-islam-terhadap-orang-kafir-musyriknon-muslim-yang-tidak-menyerang-memerangi-kaum-muslimin-al-mumtahanah-ayat-8-al/
0 comments

UNTUKMU YANG TIDAK MENGERTI....!!!!!!!

UNTUKMU YANG TIDAK MENGERTI....!!!!!!!

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dikatakan juga as-Salafiiyun karena mereka mengikuti manhajnya as-Salafus Shalih dari ( KHAIRUL KURUUN ). Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka di sepanjang masa-, mereka itu disebut SALAFIIY ( walaupun ada yg membenci nama tsb ), karena dinisbatkan kepada SALAF.

SALAF bukan Hizb seperti yang dipahami sebagian kalangan akan tetapi merupakan MANHAJ ( sistem hidup dalam beragama dalam perkara 'Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah dll ).

Nama-nama lain dari kata SALAF atau SALAFIIY

1. Ahlus Sunnah wal Jama'ah. (Llihat penjelasannya dalam "Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah oleh Syaikh Abu Fat-hi Yazid bin Abdul Qadir Jawab Hafidzahullah. Hal:36")

Dimasyarakat kita khususnya kaum Nahdlatul Ulama dikenal dg sebutan ASWAJA. Namun banyak sekali amalan mereka menyelisihi Hakekat ASWAJA itu sendiri.

2. Ath-Taha-ifatul Manshuurah. (HR Mutafaqqun 'alaihi dari sahabat Mu'awiyah)

3. Al-Ghurbaa' (HR Muslim dari Abu Hurairoh)
Adapun makna Al-ghurobaa' adalah

اناسٌ صالحين في اناسٍ سوءٍ كثيرٍ مَن يعصيهم اكثر مِمَّن يطيعهم

"Orang2 yg Shalih yg berada ditengah banyaknya orang yg jelek, orang yg mendurhakai mereka lebih banyak dari pada yg mentaati mereka

(HR Ahmad dan di shahihkan oleh Ahmad Syakiir dlm Tahqiq Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Wadhdhah, dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash).

Oleh karena itu sungguh sangat ironis sekali orang2 yang mengikuti SALAF yang selanjutnya di sebut SALAFIIY dituduh sebagai aliran sesat dan menyesatkan, pemecah bela ummat dan tuduhan dusta lainnya.

Allahu mustaan

Padahal pada hakekatnya bila mereka mau jujur melihat kenyataan yg ada secara adil dan bijaksana, sesungguhnya dakwah salafiiy adalah dakwah yang HAQ

# Dakwah Tauhid (mengajak manusia untuk senantiasa hanya beribadah hanya kepada Allah) dalilnya sangat banyak.

# Menghidupkan Sunnah dan memberantas BID'AH sampai keakar-akarnya.

# Ketika datang perintah memelihara Jenggot mereka pun bersegera memelihara jenggotnya dan merapikan kumisnya.


 # Ketika datang perintah untuk mengangkat celananya sampai di atas mata kakinya, merekapun bersegera untuk tidak melakukan MUSBIL.

 # Ketika datang perintah kepada kaum Muslimah untuk menurut AURAT-nya mereka pun bersegera menutup seluruh tubuhnya kecuali yg biasa nampak (wajah dan kedua telapak tangan)

# dan masih sangat banyak sekali bahwasanya kaum SALAFIIY bersegera dalam menjalankan perintah dari Rabb dan Rasulullah. Bukan hanya asal tauh namun tidak diamalkan.
JADI KESESATAN TANG MANA YANG KAUM SALAFIIY, SALAFIIYUN, WAHABIIY, WAHABIIYUN LAKUKAN SEHINGGA PANTAS MEREKA DIKATAKAN ALIRAN SESAT DAN MENYESATKAN....??????

Pikirkanlah baik-baik wahai saudara2ku yang semoga senantiasa di Rahmati oleh Allah
Akhukum

Abu Aisyah Mukhtar bin Hasan al-atsariiy as-Salafiiy
Surabaya 7 Ramadhan 1434 H/16 Juli 2013
2 comments

Tauhid Dulu, Ataukah Khilafah?


Tauhid Dulu, Ataukah Khilafah?
At Tauhid edisi V/16

Oleh: Ammi Nur Baits

Khilafah adalah cita-cita yang didambakan oleh seluruh kaum muslimin, lebih-lebih bagi mereka yang menjadi aktivis dakwah. Khilafah merupakan hadiah yang Allah persembahkan bagi umat ini setelah mereka berusaha untuk meniti kebenaran. Karenanya, kami ingatkan tulisan ini hanyalah sekelumit usaha untuk mewujudkan cita-cita munculnya khilafah. Tulisan ini bukanlah upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslimin. Tulisan ini hanyalah sebatas nasehat antar sesama muslim yang mencita-citakan kesatuan dan persatuan kaum muslimin di atas kebenaran.

Kelompok yang Pertama Kali Menjadikan Khilafah Sebagai Prinsip Dakwah

Syaikh DR. Shalih bin Sa’ad As Suhaimi pernah ditanya tentang prinsip dakwah imamah (khilafah) dalam kesempatan dauroh bulan Juli 2008 di Mojokerto. Beliau menjawab:
“Imamah atau khilafah, yang pertama kali menjadikannya sebagai prinsip adalah kelompok Syi’ah dan Mu’tazilah. Imamah memang diharapkan. Setiap muslim berkeinginan agar kaum muslimin berada di bawah satu bendera dan satu khalifah. Namun keadaan ini (kaum muslimin di atas satu khilafah) sedah berakhir sejak masa Khulafa’ur rasyidun atau sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah….” (dikutip dari Majalah Adz Dzakhiirah edisi 42 tahun 1429 H).

Orang-orang syi’ah menjadikan Imamah (kekhalifahan) sebagai salah satu rukun iman mereka. Berikut adalah kutipan perkataan tokoh-tokoh syi’ah:
Muhammad Ridlo al Mudhofar Ar Rofidhi mengatakan: “Kami berkeyakinan bahwasanya imamah adalah salah satu asas agama. Keimanan tidak sempurna kecuali dengan memiliki keyakinan tersebut…” (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah)
Ibnul Muthohir al Hully dalam muqodimah kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah mengatakan: “Amma ba’du, ini adalah risalah dan makalah yang mulia, yang berisi tentang pembahasan paling penting dalam masalah agama dan permasalahan paling utama bagi kaum muslimin; yaitu masalah imamah, dengan imamah bisa didapatkan derajat kemuliaan. Imamah adalah salah satu rukun iman. (Minhajul Karomah 1/20, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam Manhajul Anbiya fi Da’wah).

Bahkan sebagian mereka beranggapan lebih jauh dari pada perkataan tokoh sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa imamah lebih penting dari pada masalah Nubuwah (kenabian). Salah satu tokoh dan ulama mereka di zaman ini, Hadi At Thohroni mengatakan: “Imamah itu lebih mulia dibandingkan nubuwah. Karena imamah adalah tingkatan ketiga yang dengannya Allah memuliakan Ibrohim setelah (seblumnya) mengalami derajat Nubuwah dan Al Khullah. (dikutip dari Madkhol Ila al aqidah al islamiyah).

Yang dimaksud Nubuwah adalah diangkatnya seseorang menjadi nabi. Sedangkan yang dimaksud Imamah adalah diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin. Dan yang dimaksud Al Khullah adalah diangkatnya seseorang menjadi kekasih terdekatnya Allah. Maksud perkataan Hadi At Thohroni adalah derajat diangkatnya seseorang menjadi imam atau pemimpin itu lebih mulia dari pada status diangkatnya seseorang menjadi nabi. Karena menjadi imam itu tingkatannya paling tinggi, yang di bawahnya ada tingkatan al khullah dan di bawahnya lagi baru tingkatan kenabian.

Hal yang senada juga pernah disampaikan oleh Abul A’la Al Maududi salah satu tokoh pergerakan di timur tengah. Beliau mengatakan: “Hakekat tujuan beragama adalah menegakkan aturan imamah yang baik dan lurus.” (Al Ushul Al Akhlaqiyah).

Alasan Mereka yang Gemar Meneriakkan Tegaknya Khilafah

Berikut kami sisipkan kutipan pendapat dan alasan mereka untuk menegakkan khilafah. Diambil dari salah satu makalah yang diterbitkan di situs mereka.
“Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.” (lih. Apa itu Khilafah?)
“Penderitaan dan kesengsaraan dunia yang dihasilkan dari negara-negara kapitalis, khususnya AS, tidak akan lenyap kecuali dengan tegaknya negara Khilafah yang akan menerapkan ideology yang haq, yaitu Islam yang agung yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.105)
“kita telah mengetahui bahwa umat Islam akan segera kembali menjadi negara adidaya, yaitu dalam Khilafah Rasyidah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.122)
“Masalah Timur Tengah ini tidak akan pernah dapat diselesaikan kecuali dengan berdirinya negara Khilafah Islam.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.135)
“Maka itu, keburukan yang telah mencengkeram dunia selama berabad-abad itu haruslah dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyah.” (Mafahim Siyasiyah li…hal.222)

Jika boleh disimpulkan, maka bisa ditarik satu benang merah bahwa tujuan utama kelompok ini dalam mendakwahkan tegaknya khilafah adalah menyelesaikan masalah umat. Karena bagi mereka, hanya dengan khilafah semata semua permasalahan umat ini bisa selesai. Setelah kaum muslimin berhasil mendirikan khilafah barulah mereka secara bersama-sama berdakwah menegakkan keadilan dan memerangi kedzaliman di muka bumi ini. Dakwah mengajak orang untuk mentauhidkan Allah baru diutamakan setelah tegaknya khilafah.

Tidak ada satupun orang yang menganggap jelek tujuan ini. Bisa dikatakan semua orang akan sepakat dengan tujuan yang indah dan mulia ini. Memperjuangkan kesejahteraan umat merupakan satu tekad yang mulia. Namun…ada yang perlu dijadikan bahan diskusi, benarkah bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi bagi permasalahan umat. Sehingga hampir semua masalah umat hanya diberi satu jawaban “SEMUA INI BISA SELESAI HANYA DENGAN KHILAFAH”..?? (lih. Judul Bulettin Al Islam ketika memberikan jawaban atas kasus Gaza dua bulan yang lalu).

Jalan Menuju Kejayaan Umat Hanya Satu

Banyak jalan menuju mekkah. Demikian anggapan sebagian orang. Karena prinsip ini, sebagian orang acuh terhadap berbagai fenomena perselisihan yang terjadi di kalangan kaum muslimin. Selama niatnya baik dan ada tekad untuk memperjuangkan islam, apapun caranya, semuanya tak jadi masalah. Mari sejenak kita renungkan. Kita meyakini bahwasanya Allah tidaklah menurunkan syariat ini baik yang penting maupun yang paling penting kecuali semuanya merupakan solusi terbaik bagi umat manusia untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka semua yang Dia ajarkan, baik melalui Al Qur’an maupun contoh perbuatan NabiNya merupakan jalan utama untuk menggapai kejayaan umat. Dengan kata lain, siapapun yang mengharapkan kejayaan umat namun dia memilih jalan yang tidak diajarkan oleh Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bisa dipastikan harapannya tidak akan tercapai. Disebutkan dalam hadis Ibn Mas’ud ketika menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat satu garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan Allah”. Setelah itu, beliau membuat beberapa garis cabang di sebelah kanan dan kiri garis lurus, kemudian beliau bersabda: “Ini ada banyak jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak untuk menuju jalan tersebut.” Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah di surat Al An’am 153, yang artinya: “Inilah jalanku yang lurus, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti banyak jalan cabang, karena kalian akan berpecah dari jalanya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Berdasarkan riwayat ini bisa kita tegaskan jalan yang benar menuju kejayaan HANYA SATU.

Antara Al Qur’an, Hadis dan Sejarah

Seringkali orang yang berprinsip khilafah sebagai prioritas utama ketika menjelaskan pentingnya khilafah mereka menunjukkan bukti-bukti sejarah. Terutama sejarah khilafah Utsmaniyah yang runtuh pada abad ke-18 M. Berikut beberapa klaim mereka tentang sejarah kemenangan khilafah:
“Daulah Utsmaniyah, sebagai Negara Khilafah Islamiyah, pernah menjadi negara pertama hampir tiga abad lamanya, tanpa satu pesaing pun untuk kedudukannya hingga pertengahan abad ke-18 M.” (Mafahim Siayasiyah li…hal.34)
“Daulah Utsmaniyah telah membangkitkan kengerian di semua orang Kristen Eropa dan terwujud suatu kebiasaan umum di kalangan Kristen bahwa pasukan Islam itu tidak terkalahkan,” (Mafahim Siayasiyah li…hal.45)
“Ringkasnya, kondisi berbagai negara di dunia yang mengalami perubahan adalah sebagai berikut: Dunia pada masa lampau didominasi oleh Daulah Utsmaniyah, Prusia, Rusia, Austria, Inggris, dan Perancis. Negara-negara inilah yang dahulu mengendalikan berbagai urusan dunia, mengancam perdamaian, dan memutuskan perang.” (Mafahim Siayasiyah li…hal. 71)

Meskipun kutipan di atas diakui belum mewakili keseluruhan, namun penulis menyimpulkan, setelah membaca buku Mafahim Siayasiyah li.. bahwa terkesan mereka lebih menonjolkan bukti-bukti sejarah untuk mendukung prinsip mereka. Jika begitu hebatnya sejarah untuk dijadikan bukti mutlak prioritas khilafah, di manakah porsi Al Qur’an dan As Sunnah? Bukankah prinsip dakwah adalah bagian yang sangat vital dalam islam? Lalu mungkinkah penjelasan Al Qur’an dan Hadis tentang ini kurang mencukupi, sehingga kita harus beralih pada klaim sejarah? Jangan sampai kita bersikap apriori dan menutup mata terhadp kajian Al Qur’an dan Hadis dalam menentukan jawaban. Kita memiliki koridor baku yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan Hadis. Semata klaim sejarah belum cukup. Sebagaimana penjelasan ahli sejarah bahwasanya sejarah belum tentu sesuai fakta. Sejarah bukanlah realita. Klaim sejarah bisa dimanipulasi berdasarkan sudut pandang masing-masing pengamat. Karenanya, kesimpulan sejarah banyak dilatar belakangi dengan berbagai kepentingan. Kita tidak menutup mata atas kebaikan daulah Utsmaniyah yang telah menaklukkan beberapa negeri kafir. Bagi pengamat yang dilatar belakangi obsesi khilafah mengatakan bahwa daulah Utsmaniyah merupakan khilafah islamiyah yang terakhir runtuh. Namun bagi pengamat lainnya khilafah islamiyah al udzma sudah berakhir sejak keluarnya Abdur Rahman Ad Dakhil dari kekhalifahan Abbasiyah. Karena sejak saat itu kekuasaan kaum muslimin sudah terpecah. (lih. Keterangan Syaikh Sholeh Suhaimi di majalah Adz Dzakhiroh edisi 42, 1419 H). Di sisi lain, bagi pengamat orang menganggap daulah Utsmaniyah merupakan bukti sejarah kejayaan umat karena khilafah. Namun bagi pengamat sejarah yang lain berpendapat sebaliknya, daulah Utsmaniyah sama sekali tidak menghukumi kaum muslimin dengan syariat Allah, kecuali dalam kaum muslimin yang tinggal di negeri mereka sendiri, dan itupun hanya sesuai dengan madzhab hanafi. Bahkan daulah Utsmaniyah telah menjadi pelindung bagi bid’ah dan kesyirikan. Lebih dari itu, raja terakhir dari daulah ini, Sultan Abdul Hamid II telah menjadikan Muhammad As Shayadi –pemimpin thariqoh Ar Rifa’iyah- sebagai penasehat utama kerajaan. (lih. Ar Rad ‘Ala Hizb. Karya Abdur Rahman bin Muhammad Sa’id Ad Dimsyaqi, hal. 71 & 72).

Ringkasnya, semata klaim sejarah bukanlah bukti utama untuk menegakkan satu prinsip dakwah. Bahkan klaim sejarah bukanlah bukti untuk menunjukkan realita. Namun bukan berarti kita menolak sejarah seutuhnya. Bahkan jika itu realita, kita terima seutuhnya. Akan tetapi selayaknya kita jadikan Al Qur’an dan Hadis sebagai acuan utama untuk menegakkan prinsip dakwah.

Mari kita pegangi dua prinsip di atas baik-baik, untuk memberikan jawaban yang tepat dan bijak terhadap permasalahan khilafah. Kita tetapkan jalan menuju kejayaan umat islam hanya satu, yaitu jalan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, jika meneriakkan prioritas khilafah adalah SESUAI DENGAN KORIDOR Al Qur’an dan Hadis maka mari kita sepakati bahwa Khilafah adalah JALAN SATU yang ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan keselamatan. Sebaliknya, jika memprioritaskan khilafah bukanlah jalan menuju kejayaan umat sebagimana yang DIGARISKAN Al Qur’an dan hadis maka berarti jalur ini termasuk diantara jalan menyimpang yang didiami setan.

Tinjauan Al Qur’an, Hadis dan Realita Sejarah

Penjelasan masalah ini bisa kita temukan dengan gamblang dalam Al Qur’an, Hadis, dan sejarah. Jika diantara kita ada yang merasa sulit untuk diajak menjawab masalah ini dengan Al Qur’an dan Al Hadis berdasarkan metode pemahaman ulama masa silam, mungkin bisa mempelajari REALITA SEJARAH kaum muslimin. Mudah-mudahan itu bisa memberikan jawaban yang menenangkan. Mengingat keterbatasan tempat, berikut hanya akan diberikan jawaban ringkas dan sederhana. Kami berharap semoga Allah menjadikannya bermanfaat.

Pertama, tinjauan dalil Al Qur’an

Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya
Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, Ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat tidak bisa disebut shalat keculai jika bersih dari pembatal shalat. Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat ibadah adalah menatuhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.

Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).

Dalam tafsir Al Jalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).

Oleh karena itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah ke madinah.

Kedua, tinjauan dari dalil hadis

Oleh karena itu, dalam sejarah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercatat bahwa beliau hanya mengajak umat untuk tunduk dan taat kepada Allah terutama tauhid. Tidak pernah sedikitpun mengajak umat untuk mendirikan daulah islam. Bahkan sebaliknya, beliau menolak semua tawaran orang-orang musyrikin Quraisy untuk menjadi raja Mekkah. Karena tujuan utama beliau bukanlah mencari kekuasaan namun mengajak manusia untuk memurnikan tauhid kepada Allah. Dan demikianlah keadaan dakwah para rasul ‘alaihim as sholatu was salam mereka tidaklah hadir di masyarakatnya untuk memusnahkan daulah yang berkuasa di sana kemudian membangun daulah yang baru. Mereka tidak menuntut untuk dijadikan raja maupun penguasa. Namun mereka datang dengan membawa hidayah bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kemusyrikan.

Bahkan beliau sendiri pernah ditawari oleh Rabnya (Allah ta’ala) dan diberi pilihan antara menjadi seorang rasul sekaligus raja ataukah menjadi seorang rasul yang statusnya hanya hamba biasa. Kemudian beliau memilih untuk menjadi rasul yang statusnya hanya hamba biasa. (sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Al Bukhari & Muslim). Andaikan obsesi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menegakkan khilafah di muka bumi ini maka tentu beliau akan memenuhi tawaran orang kafir Quraisy atau bahkan tawaran Allah ta’ala untuk menjadi penguasa jazirah arab baru kemudian mendakwahkan tauhid. Ini menunjukkan bahwa sedikitpun beliau tidak berobsesi untuk menegakkan kekuasaan, namun obsesi beliau hanya satu, yaitu mengajak umat untuk berislam dengan mentauhidkan Allah sepenuhnya.

Ketiga, bukti sejarah bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kemenangan

Sekali lagi, kita tidak menolak sejarah. Jika itu realita maka kita terima sepenuhnya. Berikut kami sisipkan beberapa realita sejarah bahwa kekuasaan tidaklah menjamin diterimanya dakwah.
Pertama, kisah raja Romawi yang sezaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja Heraklius. Disebutkan dalam shahih Al Bukhari hadis ke-7 di Bab “Bad’ul wahyi” bahwa setelah raja Heraklius menerima surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia paham betul bahwa beliau adalah Nabi akhir zaman setelah berdialog dengan salah satu orang Quraisy (Abu Sufyan) yang berdagang ke Syam dan membandingkannya dengan apa yang ada di injil. Kemudian Heraklius memerintahkan para pembesar-pembesar Romawi untuk berkumpul di Daskarah (istana yang dikelilingi benteng) yang berada di kota Hims. Setelah semuanya masuk, dia perintahkan untuk menutup semua pintu istana. Kemudian Raja Nasrani ini berpidato: “Wahai masyarakat Romawi, siapa yang ingin mendapatkan kejayaan, kebenaran, dan kerajaan yang kokoh maka hendaknya dia membai’at Nabi ini.” Tiba-tiba para hadirin bubar berlarian seperti keledai liar menuju pintu-pintu istana. Namun ternyata semuanya tertutup. Setelah Heraklius melihat mereka pada berlarian dan dia putus untuk bisa mengajak mereka beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, raja ini meminta agar mereka berkumpul kembali. Kemudian dia berpidato: “Apa yang aku katakan barusan sesungguhnya hanyalah untuk menguji komitmen kalian terhadap agama kalian (nasrani).” Kemudian para hadirin bersujud pada Heraklius dan mau menerima keputusannya. Dan inilah akhir keadaan Heraklius.

Kedua, kisah raja Najasyi sang penguasa negeri Habasyah. Disebutkan dalam buku-buku siroh nabawiyah bahwa setelah Raja Najasyi mendengar keterangan tentang dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendengar bacaan surat Maryam yang disampaikan oleh Ja’far (salah satu sahabat yang berhijrah ke Habasyah), beliau menangis dan masuk Islam. Hanya saja Raja yang adil ini menyembunyikan Islamnya di hadapan para uskup-uskupnya. Oleh karena itu, Allah ta’ala tidak memerintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Para ahli sejarah menjelaskan analisis hal tersebut disebabkan:
a) Posisi rijaluddin (tokoh agama) nasrani yang cukup kuat dalam pemerintahan. Keadaan ini selanjutnya membuat mereka mampu menghalangi dakwah islam di tengah masyarakat Habasyah
b) Raja Najasyi, meskipun beliau itu raja yang adil dan telah masuk islam, namun beliau tidak mampu menunjukkan secara terang-terangan kepada rakyatnya bahwa beliau telah meninggalkan nasrani. Ini menunjukkan kelemahan hukumnya. Sehingga setinggi apapun posisinya tidak mampu mengubah Habasyah menjadi daulah islamiyah. (lih. Siroh Nabawiyah jilid I, Mediu)

Demikianlah pelajaran berharga dari keadaan dua raja tersebut. Kekuasaannya tidak mampu menampakkan aqidahnya. Berbeda dengan Fir’aun. Sebab utama dia mampu menguasai kaumnya disebutkan oleh Allah dalam firmannya, yang artinya: “dia menakut-nakuti kaumnya, sehingga mereka mentaati Fir’aun..” (QS. Zukhruf: 54). Disebutkan dalam tafsir Jalalain bahwasanya Fir’aun menginginkan agar rakyatnya mendustakan Musa dengan menakut-nakuti mereka. Kemudian mereka-pun taat kepada Fir’aun. Mari kita bandingkan antara dua kasus di atas. Raja Najasyi dan Kaisar Romawi tidak mampu memaksakan aqidahnya karena sebelumnya dia tidak menyiapkan keadaan hati rakyatnya untuk menerima islam. Berbeda dengan Fir’aun, dia berhasil menguasai rakyatnya dan memaksa mereka untuk mewujudkan keinginannya setelah sebelumnya dia menyiapkan keadaan hati rakyatnya agar meyakini bahwa tujuan Musa adalah mengusir kalian dari Mesir.

Bisakah kita bayangkan, ketika Allah mewujudkan khilafah bagi kaum muslimin, sementara kebanyakan mereka tidak paham syariat islam. Mungkinkah mereka akan menerima aturan syariat yang ditetapkan oleh khilafah? Mungkin bisa kita pastikan; yang ada hanyalah kudeta. Bisa jadi ketika khalifah ingin menghilangkan kesyirikan, kemaksiatan, dan kebid’ahan, namun justru para pemuja kesyirikan, bid’ah dan maksiat akan melawan. Dengan kekuatan apa khilafah akan memaksa, sementara kelompok mereka (pemuja syirik, bid’ah dan maksiat) jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang memahami syariat. Atau… mungkin dengan alternatif yang kedua. Sistem Khilafah membiarkan sepenuhnya setiap kegiatan keagamaan rakyatnya meskipun itu sarat dengan syirik, khurafat, dan bid’ah. Karena yang penting rakyat bisa tenang, sehingga bersama-sama rakyat bisa menggulingkan kekuasaan hegemoni orang yahudi & nasrani. Membiarkan rakyatnya bergelimang dengan kesyirikan selama hukum hudud (seperti potong tangan, qisos, cambuk, dst.) ditegakkan? Demikiankah sistem khilafah yang diinginkan? Dengan tegas kita katakan: “Sistem ini bukan sistem khilafah islam!!!” ini sistem khilafah syirkiyah bukan islamiyah. Belum lagi ketika khilafah ini berdiri, sementara banyak masyarakat masih ambisi untuk meraih jabatan… apa yang terjadi? Tidak lain adalah perebutan kekuasaan.. dari mana kaum muslimin bisa bersatu.

Lalu mana yang lebih penting… berdakwah mengajak umat untuk membenahi agama mereka dengan menyempurnakan tauhid mereka masing-masing, ataukah… mengajak semua elemen untuk menegakkan khilafah tanpa peduli bagaimana aqidah mereka? Jika tujuannya untuk memahamkan rakyat dengan syariat maka harusnya yang pertama kali dilakukan adalah mendahulukan mengajarkan syariat islam sebelum mengajarkan fiqih politik. Kita mengkhawatirkan, jangan-jangan obsesi menggalang umat untuk mewujudkan khilafah ini hanyalah akan menjadi angan-angan belaka yang tidak mungkin terwujudkan selama kita membiarkan umat islam masih bergelimang dengan syirik, bid’ah dan maksiat. Mari kita renungkan perkataan para ulama:
“Siapa yang menginginkan sesuatu sebelum waktunya maka dia dihukum dengan tidak mendapatkannya”
Bahaya Sikap Lebih Mengutamakan Penegakan Khilafah Di Atas Lainnya

Ada beberapa konsekwensi negatif ketika seseorang itu berlebih-lebihan terhadap khilafah. Diantaranya:
Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).
Meremehkan dosa besar atau bahkan kekafiran. Setelah Khumaini berhasil memberangus rezim Reza Pahlevi, datanglah beberapa utusan dari kelompok yang gemar memprioritaskan khilafah untuk menemui Khumaini dan menawarkan penegakan khilafah kepadanya. (lih. Majalah Al Khilafah At Tahririyah, edisi 18 bulan Agustus 1989). Disamping itu, kelompok ini juga sempat memuji tulisan Al Khumaini yang berjudul Al Hukumah Al Islamiyah, dimana pada tulisan ini ditegaskan Khumaini bahwa Imam (Khalafah) itu lebih utama dibandingkan malaikat atau para nabi. (lih. Majalah Al Wa’i At Tahririyah edisi 26, tahun ke-3 Dzul Qo’dah 1409). Padahal para ulama telah menyatakan kafirnya orang yang beranggapan: “para imam lebih utama dibandingkan para nabi.” (lih. Pernyataan Syaikhul Islam dan beberapa ulama lainnya sebagaimana disebutkan oleh Ibn Hajar Al Haitami dalam Al I’lam bi Qowathi’il Islam).
Ditambah lagi keadaan orang-orang syi’ah yang mencela para sahabat, menghina para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengkultuskan ahli bait, menyimpangkan Al Qur’an dan beberapa penyelewengan syi’ah yang keterlaluan lainnya, bagi kelompok khilafah itu bukan masalah besar. Itu masalah kecil dalam pandangan mereka jika dibandingkan dengan masalah penegakan khilafah. Bukankah ini berarti merelakan untuk mengorbankan aqidah yang benar demi tegak dan kembalinya khilafah.
Menganggap ajaran agama terbagi dua; bagian inti dan kulit. Kenyataan lain ketika terlalu ambisi terhadap khilafah. Mereka menggolongkan ke dalam dua golongan. Bagian inti dan kulit. Setiap masalah penting bagi mereka digolongkan sebagai inti agama, sementara masalah yang kurang penting bagi mereka digolongkan bagian kulit, meskipun hakikatnya itu dosa besar. Akibatnya, ketika diingatkan bahaya bid’ah, atau ancaman untuk orang-orang yang celananya menyelisihi syariat, atau masalah wanita terjun ke jalan, mereka menganggap itu masalah kurang penting. Karena lebih penting menjaga perasaan masyarakat agar mau menerima dakwah mereka ketimbang mengingatkan mereka yang justru membuat mereka lari.
Munculnya obsesi kekuasaan sehingga tega untuk mencela ulama. Setelah mereka terkesima dengan sejarah khilafah daulah Utsmaniyah, mereka merasa terpukul berat dengan runtuhnya daulah ini. Sehingga tidak heran, ada sebagian di antara mereka yang memperingati tanggal mulai runtuhnya daulah Utsmaniyah dalam rangka mengenang sejarah berakhirnya khilafah bagi mereka. Sayangnya, kesedihan ini membuahkan satu sikap yang kurang tepat. Setelah meruntut sekian penyebab runtuhnya daulah Utsmaniyah mereka berkesimpulan bahwa salah sebab runtuhnya daulah ini adalah dakwah tauhid yang digencarkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bekerja sama dengan inggris. Abdul Qodim Zalum mengatakan: “Sesungguhnya tentara inggris telah membantu mereka (dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) dengan senjata dan harta untuk membangun asaa madzhab, mereka menginginkan untuk menguasai Karbala dan kuburan Al Hasan. Dan ketika kota Madinah sudah jatuh ke tangan mereka, merera hendak merobohkan kubah besar yang menaungi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam… dan masalah ini telah banyak diketahui, bahwa penyebab semua ini adalah Wahabiyah, anteknya inggris.” (lih. Kaifa Hudimat Al Khilafah hal. 10-12 karya Abdul Qodim Zalum, cet. 1962).

Perkataan Salah Satu Tokoh Pergerakan

Berikut perkataan salah satu tokoh da’i pergerakan, yang kebanyakan pengikutnya mendambakan tegaknya khilafah. Dalam kesempatan kajian di Darul Hadis di Mekkah, beliau juga pernah ditanya:
Isi pertanyaan: Sebagian mengatakan bahwa islam akan kembali jaya dengan hakimiyah (khilafah), sebagian yang lain mengatakan islam akan kembali jaya melalui jalur pelurusan aqidah dan tarbiyah jamaah. Manakah yang benar?
Beliau menjawab: “Dari manakah datangnya kekuasaan (khilafah) agama ini di muka bumi jika tidak ada da’i-da’i yang mengajak untuk meluruskan aqidah dan beriman dengan iman yang benar. Kemudian mereka diuji dalam beragama dan mereka bersabar, mereka juga berjihad di jalan Allah. Kemudian hukum agama Allah akan ditegakkan di bumi. Satu permasalahan yang sangat jelas sekali. Hakim (Khalifah) tidaklah datang dari langit, tidak pula turun dari langit. Segala sesuatu datang dari langit namun dengan usaha keras manusia. Allah tetapkan hal ini untuk manusia. Allah berfirman yang artinya: “Andaikan Allah menghendaki Allah akan menolong kalian dari (kejahatan) mereka (orang kafir). Namun Allah menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain..” (QS. Muhammad: 4). Maka wajib kita awali dengan meluruskan aqidah dan mendidik generasi dengan aqidah yang benar. Generasi yang akan diuji kemudian mereka mampu bersabar atas ujian, sebagaimana bersabarnya generasi yang pertama.” (Dikutip dari kitab: Minhaj Al Firqoh An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).

Terakhir kami akhiri tulisan ini dengan kutipan pidato salah satu da’i pergerakan internasional. Perkataan ini kami letakkan di akhir tulisan ini dengan harapan bisa menjadi kesimpulan bagi pembahasan di atas. Kami hanya bisa mengharapkan, andaikan pengikut beliau menuruti apa yang beliau sampaikan.

“Tegakkanlah daulah islam di hati kalian masing-masing, niscaya daulah ini akan tegak di bumi kalian” Kalam Syaikh al Muhadist al Allamah Muhammad Nashiruddin al Albani Rahimahullah


Sumber : http://buletin.muslim.or.id/manhaj/tauhid-dulu-ataukah-khilafah
0 comments

SEPUTAR PERISTIWA GAZA DAN SOLUSINYA

SEPUTAR PERISTIWA GAZA DAN SOLUSINYA

Syaikh Masyhûr Hasan Âlu Salmân


إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ؛ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد ألا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله. اما بعد
:

Sesungguhnya segala sanjungan hanyalah milik Alloh, yang kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan pengampunan dari-Nya. Kita memohon perlindungan kepada Alloh dari keburukan jiwa dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh, tidak ada yang mampu menyesatkannya, dan barangsiapa yang dileluasakan dalam kesesatan tiada yang mampu menunjukinya. Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak untuk diibadahi melainkan hanya Alloh semata, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma Ba’du :

Suatu hal yang tidak tersembunyi bagi setiap orang, tentang peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di bumi Palestina tercinta, kami memohon kepada Allôh Azza wa Jalla untuk mengembalikannya ke pangkuan Islam dan kaum muslimin dengan segera, dan menjaga penduduk Palestina secara umum dan penduduk Gaza secara khusus. Peristiwa yang terjadi di Gaza ini, mengharuskan kita untuk menetapkan beberapa hal. Namun karena waktu yang terbatas, tidak memungkinkan saya untuk berbicara secara terperinci, akan tetapi di kesempatan ini -insya Allôh- ada beberapa hal yang menyebabkan kami perlu untuk berusaha menggali hukum-hukum yang sepatutnya ditetapkan, khususnya berkenaan tentang bencana ini.

Patut diketahui, bahwa kewajiban seluruh kaum muslimin (di dalam menghadapi peristiwa ini) adalah mengerahkan segala daya upaya semampunya untuk menghentikan tertumpahnya darah (kaum muslimin) dan siapa saja yang meremehkan hal ini maka ia telah berdosa. Guru kami, al-Imâm al-Albânî rahimahullâhu di dalam komentarnya terhadap buku Syarh al-‘Aqîdah ath-Thohâwiyah yang beliau tulis lebih dari seperempat abad yang lalu, mengatakan bahwa seluruh kaum muslimin dalam keadaan berdosa disebabkan mereka meremehkan kejadian yang berlangsung di Palestina. Apabila dengan dirampasnya tanah Palestina oleh Yahudi –semoga Alloh melaknatnya dengan laknat yang berlipat- saja berdosa, lantas apa yang akan kita katakan pada hari ini tentang ditumpahkannya darah orang-orang tak berdosa oleh bangsa pembunuh para nabi ini di negeri Palestina?!

Maka wajib bagi para Shulahâ` (orang-orang yang ingin melakukan perbaikan) untuk berdoa dan bagi para ulama untuk memberikan penjelasan tentang hukum-hukum (yang berkaitan) secara tidak gegabah dan disertai dengan bukti dan dalil. Wajib bagi para penguasa dan orang-orang kaya untuk mengerahkan seluruh kemampuannya dengan segala bentuk cara yang mereka bisa, dalam rangka menghentikan aktivitas penumpahan darah ini. Dan wajib bagi seluruh kaum muslimin, selain dari kewajiban yang ada pada sekarang ini, sepatutnya untuk berupaya mencari tahu dan meletakkan jari di atas penyakit, akar dari penyakit yang menyebabkan musuh-musuh kita menjadi tamak terhadap kita, yaitu bahwa diri kita ini bagaikan ghutsâ` (buih). Dan sifat buih ini telah dijelaskan di dalam hadits Tsaubân yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabrânî serta selain keduanya dengan sanad yang shahih. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

يوشك أن تداعى عليكم الأمم

“Nyaris saja bangsa-bangsa selain kalian mengerumuni kalian”, dan di dalam riwayat lain ada tambahan :

الأمم من كل أفق كما تتداعى الأكلة على قصعتها


“bangsa-bangsa dari segala penjuru, seperti berkerumunnya mereka terhadap makanan yang berada di atas wadahnya.” Di dalam riwayat lain dikatakan, “sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas piringnya”

Ketika para sahabat mendengar hal ini dari Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, mereka berfikir, bagaimana bisa musuh dari segala penjuru mengerumuni kita sebagaimana mereka mengerumuni makanan di atas wadahnya. Mereka menduga hal ini disebabkan karena jumlah kaum muslimin yang sedikit. Lantas mereka bertanya meminta penjelasan kepada Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam :

أوً من قلة نحن يومئذ يا رسول الله


“Apakah jumlah kami sedikit pada saat itu wahai Rasulullâh?”

Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam menjawab :

لا ،بل أنتم كثير


“Tidak, bahkan jumlah kalian banyak”. Di dalam riwayat yang shahih dikatakan :

بل انتم أكثر من عددهم


“Bahkan jumlah kalian lebih banyak dari jumlah mereka.” Jumlah kalian sekitar semilyar dua ratus juta orang. Yang mana sekiranya mereka (dalam jumlah besar ini) bersatu di atas tauhid dan setiap orang dari mereka meludahi orang yahudi, niscaya orang yahudi tidak bisa melakukan apa-apa. Akan tetapi kalian seperti buih yang diombang-ambingkan banjir, yang menyebabkan rasa gentar di musuh-musuh kalian tercabut, di dalam riwayat lain dikatakan, “Allôh akan mengangkat rasa gentar dari kalian”, di dalam riwayat lain, “dan Alloh campakkan ke dalam sanubari kalian, al-Wahn (kelemahan).” Para sahabat bertanya, “Apakah wahn itu wahai Rasulullâh?”. Rasulullâh menjawab :

حب الدنيا وكراهية الموت

“Cinta dunia dan takut mati.”

Apa yang dilakukan oleh bangsa pembunuh nabi ini terhadap penduduk Gaza bukanlah suatu hal yang mengherankan. Tindak tanduk Yahudi ini bertolak dari aqidah mereka. Menurut aqidah mereka, manusia (selain bangsa mereka) itu seperti keledai –semoga Alloh memuliakan kalian (wahai kaum muslimin)-, dan Allôh menciptakan seluruh manusia adalah untuk melayani dan memenuhi segala keperluan mereka. Jika perlu, mereka akan membunuh seluruh manusia dan tidak mengecualikan seorang pun kecuali dari mereka dengan pembantaian dan penghancuran.

Keyakinan mereka ini, menyatakan bahwa Allôh menciptakan manusia adalah untuk memenuhi segala keperluan mereka dan boleh bagi mereka membunuh seluruh manusia (selain mereka). Jadi, bukanlah suatu hal yang aneh jika orang semisal mereka melakukan hal seperti yang terjadi di Gaza. Namun, suatu hal yang ironi adalah orang yang mengimani Islam sebagai agamanya, Allôh sebagai Rabbnya dan Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sebagai nabinya, mereka dalam keadaan yang, demi Allôh, saya katakan bukan hanya menangis meneteskan air mata, namun juga menangis meneteskan darah. Allôh Ta’âlâ berfirman :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang yang beriman itu saling bersaudara.” (QS al-Hujurât : 10)

Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadits Nu’mân bin Basyîr Radhiyallâhu ‘anhu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الأعضاء بالسهر والحمى

“Perumpaan orang-orang beriman di dalam kasih sayang, kecintaan dan kelemahlembutan bagaikan tubuh yang satu. Jika salah satu anggota tubuhnya mengeluh kesakitan maka akan menyebabkan seluruh tubuh menjadi terjaga dan demam.”

Beginilah seharusnya keadaan kaum muslimin! Namun musuh-musuh Islam selalu melakukan konspirasi terhadap kaum muslimin dan konspirasi mereka ini memiliki beberapa cara. Cara pertama mereka adalah menjauhkan bangsa non Arab dari permasalahan Palestina, dan cara berikutnya adalah membatasi permasalahan Palestina kepada suatu perhimpunan yang mereka sebut dengan “al-Mumatstsil asy-Syar’î al-Wahîd Li Filisthîn” (Dewan Perwakilan Tunggal bagi Palestina) sedangkan Palestina sendiri tidak menerima hak ini. Tidaklah mungkin bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Allôh saja, merasa enggan untuk turut memikirkan masalah Palestina.

Kecintaan kita kepada Palestina adalah dengan sebab aqidah. Rabb kita Jalla fî ‘Ulah mengikat negeri Palestina dengan aqidah kita di dalam sholat, karena Palestina adalah kiblat pertama kita. Rabb kita juga mengikatnya dengan ikatan yang kuat yang tidak terputuskan pada Mi’râj-nya Nabi, di saat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam di-isra’-kan ke Baitul Maqdis dan di-mi’raj-kan dari Baitul Maqdis ke atas langit. Sekiranya Allôh Jalla fî ‘Ulah tidak menghendaki kita untuk memperhatikan ikatan ini, yang tidak boleh bagi seorangpun melepaskannya, niscaya dengan kekuasaan Allôh Jalla fî ‘Ulah pula, Ia akan me-mi’raj-kan Nabi-Nya Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam langsung dari Makkah Mukarromah.

Saya katakan, wajib bagi kaum muslimin untuk mendoakan saudara-saudara mereka, dan mengerahkan segala kemampuannya untuk menjaga persaudaraan mereka. Setiap orang berkewajiban sesuai dengan kemampuannya, dan amanah itu tidak hanya satu. Yang kami khawatirkan adalah, Demi Dzat yang tidak ada sesembahan yang haq untuk disembah kecuali Dia, ada seorang pria yang lemah, atau wanita, atau anak-anak, mengangkat kedua tangannya seraya berdoa : “Ya Allôh, hinakanlah mereka yang telah menghinakan kita.” Doa ini, (saya khawatirkan) menimpa seluruh kaum muslimin. Lâ haula wa lâ quwwata illa billâh.

Pertolongan itu ada harganya. Allôh Ta’âlâ berfirman :

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ

“Jika kalian menolong Allôh niscaya Ia akan menolong kalian” (QS Muhammad : 7)

Dan firman-Nya :

أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Sesungguhnya pertolongan Allôh itu dekat.” (QS al-Baqoroh : 214)

Akan tetapi kita… wajib atas kita untuk melangkah di atas jalan (kemenangan), dan merubah umat ini menjadi umat Muhammad yang sejati, bukan tetap menjadi umat Ghutsâ`iyah (buih). Umat Muhammad yang sejati… bukanlah umat yang ceroboh dan serampangan, bukan pula umat yang gemar bermaksiat. Namun, umat yang berilmu dan memiliki pemahaman, umat yang mengetahui kewajibannya, mengagungkan Rabbnya dan mengenal-Nya dengan sebenar-benarnya. Umat yang mengenal nabinya, dan mengetahui hak-hak Rabbnya dan nabinya yang harus dipenuhinya…

Apa makna “jika kalian menolong Alloh niscaya Ia akan menolong kalian”? Artinya adalah, jika kalian memenuhi segala hal yang Allôh Azza wa Jalla wajibkan atas kalian, niscaya Ia akan menolong kalian. Tidak hanya ini, namun Allôh juga akan memperkokoh kedudukan kalian. Peristiwa yang terjadi di Gaza, apabila kebahagiaan yang ada pada mereka tidaklah khusus hanya untuk mereka saja, demikian pula ujian yang menimpa mereka, tidaklah khusus hanya bagi penduduk Gaza, namun juga bagi seluruh kaum muslimin. Maka, pertolongan ini adalah pertolongan bagi seluruh kaum muslimin. Apabila mereka tidak mau memberikan pertolongan, oleh sebab seluruh umat yang ada yang belum mengetahui kewajibannya dan belum memenuhi hak Allôh Azza wa Jalla, maka mereka belum berhak untuk mendapatkan pertolongan.

‘Umar bin Khaththâb Radhiyallâhu ‘anhu dan Sholâhuddîn (al-Ayyûbî) Rahimahullâhu telah memulangkan kembali Palestina (dari tangan kaum kafir). Suatu ketika pasukan Sholâhuddîn mengalami kekalahan, beliau berdiri di dekat sebuah tenda yang pasukannya tidak mendirikan sholat malam, beliau menunjuk tenda tersebut dan berkata : “dari kemah inilah sebab kalian mendapatkan kekalahan.”

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ


“Jika kalian menolong Allôh niscaya Ia akan menolong kalian dan meneguhkan posisi kalian” (QS Muhammad : 7)

Pertolongan itu memiliki pemahaman syar’i yang luas, dan kadang kala seseorang itu meninggal dunia belum mencapai apa yang diinginkannya. Akan tetapi, jika seseorang meniti jalan yang benar, mengetahui dan memenuhi hak Allôh Azza wa Jalla, maka buah yang akan ia capai adalah kemenangan. Jalan yang ia lalui, walaupun ia seorang diri dan dalam keadaan lemah, dan ia tetap senantiasa meniti jalan yang benar, niscaya ia mendapati kemenangan. Allôh berfirman kepada Nabi-Nya Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang ketika itu beliau sedang dalam perjalan ke Madinah :

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللّ
َهُ

“Jikalau kamu tidak menolongnya (Nabi) maka sesungguhnya Allah Telah menolongnya” (QS at-Taubah : 40)

Seorang ulama mengatakan : “Muqoddimâtul Mar`i Nashrun” (usaha seseorang –yang sesuai syar’î itu- merupakan pertolongan). Syaikhul Islam wafat di dalam penjara (di Damaskus), beliau dipenjara disebabkan permasalahan tentang tholaq. Maka Allôh menolong beliau di dalam masalah yang musuh-musuh beliau menyelisihinya, namun betapa banyaknya pengadilan agama di dunia ini memutuskan dengan hukum beliau, padahal pendapat beliau ini menyelisihi madzhab-madzhab yang diikuti saat ini. Ini merupakan bentuk pertolongan dari Allôh yang dialami oleh orang-orang sesudahnya.

Yang penting adalah, Anda mengetahui apa kewajiban yang dibebankan kepada Anda dan menunaikan hak Allôh atas Anda. Apabila Anda belum mampu untuk menunaikan suatu hal, sekurang-kurangnya Anda dapat menunaikan hak ini dengan do’a. Seorang hamba, hendaklah beradab dengan Rabbnya, sebagaimana telah tetap di dalam hadits riwayat Ahmad dan selainnya, bahwa kaum muslimin ketika mengalami kekalahan di perang Uhud, sampai-sampai paman Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam beserta tujuh puluh orang dari kalangan Anshar dan Muhajirin gugur, bahkan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam sendiri turut terluka, gigi serinya patah dan kepala beliau terluka.

Maka para sahabat bertanya kepada kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam : “Bagaimana bisa kaum musyrikin melakukan hal ini kepada kita, padahal kita yang berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebatilan.” Maka Allôh menurunkan firman-Nya :

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (QS Âli ‘Imrân : 165)

Apabila kita ditanya, “apakah kaum muslimin kalah di saat perang Uhud?”, maka kita jawab, “Iya”. Namun apabila kita ditanya, “apakah Islam kalah di saat perang Uhud?, maka kita jawab, “Tidak! Islam itu ditolong oleh Allôh dan pertolongan Allôh itu dekat.” Kaum muslimin akan mengalami kekalahan tatkala mereka mengabaikan kewajiban yang Allôh wajibkan atas mereka. Pada tahun 1948 dan 1967, Islam ditolong oleh Allôh walaupun kaum muslimin kalah. Di Andalus, Islam ditolong walau kaum muslimin kalah, dan di Iraq, Islam ditolong walau kaum muslimin kalah. Karena termasuk rahmat Allôh kepada kita adalah, Allôh tidak akan pernah menolong kita kecuali jika kita kembali kepada-Nya. Kita ini adalah umat yang mulia, dan diantara kemuliaan kita terhadap Rabb kita adalah, bahwa Allôh tidak akan memberikan kemuliaan kepada kita kecuali apabila kita kembali dan rujuk kepada-Nya.

Maka yang wajib atas kita semua di dalam menghadapi bencana ini, wahai saudaraku sekalian yang aku cintai karena Allôh, supaya merenungkan keadaan kita ini dan mengetahui kewajiban yang ada di atas bahu kita ini. Untuk itulah saya mengatakan kembali, kewajiban kita di kondisi seperti ini adalah untuk menghentikan tertumpahnya darah sebisa mungkin, mengerahkan diri kita dan memperbanyak umat kita dengan jumlah yang hakiki, untuk menjadi umat Muhammad yang sejati dan hakiki, atau jika tidak umat ini akan tetap menjadi umat buih. Kita juga harus mengubah umat ini dari umat yang bodoh dan ceroboh, menjadi umat yang berilmu, beramal, jujur dan ikhlas. Umat yang mengetahui harga diri dan kedudukannya di antara umat. Apabila kita menunaikan kewajiban kita, niscaya Rabb kita akan menganugerahkan kepada kita kemenangan. Sebagaimana hadits mu’allaq di dalam Shahih Bukhari rahimahullâhu dari Abû ad-Dardâ` Radhiyallâhu ‘anhu :

نحن قوم نقاتل عدونا بأعمالنا


“Kami adalah kaum yang memerangi musuh kami dengan amal perbuatan kami.”

Apa yang sampai kepada Rabb kita akan turun kepada kita, maka peperangan kita terhadap musuh kita ada dengan amal perbuatan kita.

Abû Bakr ash-Shiddîq Radhiyallâhu ‘anhu berkata :

عمالكم (أي حكامكم) أعمالكم

“Pemimpin kalian itu adalah amal perbutan kalian”

Jadi, amal perbuatan kita itu berkonsekuensi terhadap situasi kita. Tidak mungkin sama sekali kita bisa melampaui sunnatullâh Azza wa Jalla. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam ketika di Mekah, beliau dan para sahabat beliau disiksa dan disiksa, lantas beliau berhijrah dan mengerahkan semua harta benda dan jiwa, maka Allôh berikan pertolongan kepada beliau dan orang-orang yang beserta beliau, dan Alloh menangkan mereka.

Para ulama mengatakan, sebagaimana telah kita ketahui dari banyak pelajaran kita terutama pelajaran Ushul Fiqh, bahwa meninggalkan sesuatu itu merupakan perbuatan.

يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآَنَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”.” (QS al-Furqân : 30)

Meninggalkan al-Qur`an menyebabkan Alloh menjadikannya sebagai sebab ujian. Para ulama ahli fikih menetapkan hukum bahwa apabila ada seorang dokter yang melihat seorang terluka sampai darahnya berceceran dan tidak mau melakukan sesuatu yang ia mampu, maka ia berdosa. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

أيما أهل عرصة باتوا وفيهم امرؤ جائع إلا بريئت منهم ذمة الله

“Penduduk daerah mana saja, manakala ada diantara mereka orang yang kelaparan, niscaya Allôh akan melepaskan pertanggungan-Nya.”

Ibnu Hajar berkata : “Apabila ada seorang fakir miskin meninggal dunia karena kelaparan di suatu wilayah, maka aku menghukumi untuk menghukum semua penduduk wilayah tersebut, disebabkan oleh meninggalnya seseorang karena kelaparan sedangkan dia ada diantara mereka.”

Kaum muslimin didera dengan segala bentuk bencana, maka wajib bagi kita untuk mengerahkan semua yang kita mampu, sekurang-kurangnya membantu dengan doa. Saya tutup pembicaraanku ini dengan ucapan, bahwa doa akan dapat berfaidah dengan beberapa syarat syar’i. Allôh Ta’âlâ berfirman :

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا


“Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada doamu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh Telah mendustakan-Nya? Karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)”.” (QS al-Furqan : 77)

Ingatlah ayat ini, dan ikatlah diri kalian dengan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam, yang dikeluarkan oleh Ahmad, Bazzâr dan selainnya, dari hadits Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu :

لتأمرنَّ بالمعروف ولتنهون عن المنكر او ليدعون خياركم فلا يستجاب لكم

“Tegakkanlah amar ma’ruf nahi munkar, atau jika tidak niscaya orang yang terbaik dari kalian ketika memanjatkan doa tidak dikabulkan oleh Allôh.”

Wahai kaum muslimin, kalian semua jika tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka Allôh akan memberikan hukuman kepada kalian, dan doa ulama kalian dan orang shalih diantara kalian juga tidak akan dikabulkan. Doa orang-orang terbaik diantara kalian, yaitu para ulama dan orang shalih, terikat dan mustajab apabila kalian –wahai seluruh kaum muslimin- melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap orang-orang yang berada di bawah kalian, baik isteri dan puteri kalian, murid di sekolah, pegawai atau pekerja di kantor, atau tetangga, rekan dan sahabat kalian. Amar ma’ruf dan nahi munkar kalian, dapat menyebabkan orang yang terbaik di tengah umat, apabila mereka berdoa niscaya Allôh mengabulkan doanya.

Seakan-akan ayat ini, menjelaskan bahwa kehidupan umat ini dan rahasia kekuatan dan kelanggenganya, adalah di dalam doa.

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ

“Katakanlah, Rabbku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada doamu.”

Yaitu, dengan kelanggengan kalian di dalam doa. Rahasia langgengnya umat ini adalah dengan doa, yang mana tidak akan diterima Allôh jikalau seluruh kaum muslimin tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Jadi, upaya pengamalan kita ini bukan hanya di tangan para senior dan ulama kita, pengamalan kita ini seharusnya juga dilakukan setiap orang dari kita dengan tetap menjaga hubungan dan ikatan kepada Allôh Azza wa Jalla.

Meninggalkan kaum muslimin di Gaza seperti ini adalah bentuk meninggalkan perbuatan. Dan bentuk perbuatan ini adalah ketika setiap orang mampu untuk melakukan sesuatu, namun tidak mau melakukannya. Tidak ada pengobatan bagi bencana ini melainkan dengan pengobatan syar’i yang pahit dan perlu waktu lama. Namun, keadaan umat ini tidak akan pernah baik melainkan dengan bersatu di atas tauhid. Hendaknya setiap orang yang mengucapkan Lâ Ilâha illallôh dan Muhammad Rasûlullâh itu turut merasakan persaudaraan dengan mereka, yang memiliki hak yang harus ditunaikan, dan mengerahkan harta dan jiwanya bagi saudara mereka.

Adapun umat ini yang terputus dari segala sarana penghubungnya dan tercecer ke segala penjuru, dan sungguh menyedihkan, saya tidak mengatakan bagi bangsa Arab atau kaum muslimin saja, namun saya katakan juga bagi seluruh orang yang memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah Palestina, keadaan mereka ini menjadi seperti kaum Yahudi yang disifati oleh Rabb kita dengan :

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

“Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal.”

Apa yang ditunggu oleh orang-orang yang bertanggung jawab terhadap masalah Palestina secara khusus, sampai mereka mau menunaikan kewajibannya terhadap saudara-saudara mereka. Hal ini oleh sebab mereka adalah kaum yang tidak berakal, mereka tidak memiliki akal. Menunggu orang yang mau menolong mereka dan menggerakkan mereka bagaikan bidak catur, wa Lâ haula wa Lâ Quwwata billâh.

Saya memohon kepada Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ agar menjadikan kita orang yang menolong agama dan sunnah nabi-Nya Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam.

Dikutip Dari al akh Abu Salma al atsari
Sumber Asli : http://almenhaj.net/makal.php?linkid=2194

0 comments

RINSIP-PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH KHILAFIYAH

RINSIP-PRINSIP DASAR AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH DALAM MASALAH KHILAFIYAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah khilafiyah ? Dan apakah batasan masalah-masalah tersebut ?

Jawaban
Prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah (adalah) bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad dan (masalah itu) termasuk masalah yang dibolehkan ijtihad di dalamnya, maka (hendaknya) satu dengan yang lain saling memaafkan dengan perbedaan tersebut. Hendaknya mereka tidak menjadikan perbedaan perbedaan ini termasuk dalam perbedaan yang mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Dan siapa yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil maka pada hakikatnya dia tidaklah menyelisihi saya, karena manhaj tetap satu, baik saya yang menyelisihinya sesuai dengan konsekwensi dalil atau dia yang menyelisihi saya sesuai dengan konsekwensi dalil. Kalau begitu, maka kita sama. Dan perbedaan pendapat tetap ada dalam umat (ini) sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini.

Adapaun (masalah) yang tidak dibenarkan adanya khilaf adalah masalah yang menyelisihi perjalanan para sahabat dan tabi’in, seperti masalah-masalah aqidah orang-orang yang sesat. Dan waktu munculnya khilaf adalah setelah masa-masa yang mendapatkan keutamaan (Al-Quruun Al-Mufadhdhalah). Artinya khilaf belumlah tersebar dan meluas kecuali setelah Al-Quruun Al-Mufadhdhalah tersebut, walaupun sebagian khilaf dalam (masalah-masalah tersebut) terjadi di masa sahabat.

Namun harus diketahui jika kita katakan : (Setelah) masa sahabat, tidaklah itu berarti semua sahabat harus telah meninggal dunia, akan tetapi (yang dimaksud) adalah masa di saat tidak ada lagi ditemukan mayoritas para sahabat. Karena anda sekalian mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan ajal manusia itu saling susul menyusul. Misalnya jika kita katakan : Bahwa masa sahabat tidak berakhir kecuali bila tidak lagi tersisa satupun dari mereka, maka tentulah kita akan melewati begitu banyak dari masa tabi’in. Akan tetapu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Sesungguhnya suatu masa itu dihukumi selesai jika kebanyakan penghuninya telah tiada”. Maka apabila mayoritas sahabat –misalnya- telah tiada dan mereka tidak lagi tersisa mereka kecuali puluhan atau ratusan yang sedikit, maka ini berarti bahwa masa mereka telah berakhir, dan begitu pula dengan para tabi’in, serta demikian pula para pengikut mereka (atba’ At-Tabi’in) hingga masa kita ini.

Maka Al-Quruun Al-Mufadhdhalah telah selesai, dan tidak ditemukan adanya khilaf yang belakangan tersebar dalam masalah-masalah aqidah. Dan mereka yang menyelisihi kita dalam masalah aqidah (sebenarnya) mereka menyelisihi apa yang dijalani oleh para sahabat dan tabi’in, maka mereka itu harus diingkari dan tidak boleh diterima khilaf mereka.

Adapun masalah-masalah khilaf yang terdapat di masa sahabat, dan memungkinkan terjadi ijtihad di dalamnya maka tentulah khilaf ini akan tetap (ada). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seorang hakim menetapkan hukum, berijtihad, lalu benar (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad lalu salah (dalam ijtihadnya) maka mendapatkan satu pahala” [1]

Inilah batasannya. Jika ada yang mengatakan : Apakah khilaf tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat dibenarkan ? Maka kita katakan : Tidak, karena khilaf ini telah keluar dari manhaj para sahabat, sebab tidak pernah ada dua orang sahabat berselisih dalam masalah sifat Allah. Mereka semua meyakini sifat-sifat Allah itu benar sesuai dengan hakikatnya, tanpa (melakukan) tamtsil (permisalan). Dalil bahwa mereka meyakini hal tersebut adalah belum pernah ada khilaf di antara mereka dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang terdapat dalam masalah sifat-sifat (Allah). Maka apabila tidak terdapat khilaf di kalangan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat yang mulia atau hadits-hadits nabawi, maka ini berarti mereka berpegang pada yang demikian, karena Al-Qur’an adalah ‘arabi (diturunkan dengan bahasa Arab,-pent) dan As-Sunnah juga disampaikan dengan bahasa Arab, sedang mereka mengetahui bahasa Arab.

Bila tidak terdapat dari mereka sesuatu yang menyelisihi zhahir ayat atau hadits, maka kita mengetahui bahwa mereka berpegang pada zhahir ayat dan hadits itu. Oleh karenanya, kita ingkari setiap orang yang mengatakan (berpendapat) yang menyelisihi madzhab As-Salaf dalam masalah sifat-sifat Allah. Atau jika anda ingin mengatakan : Dalam masalah iman seluruhnya ; iman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir serta Qadar yang baik maupun yang buruk, maka setiap orang yang menyelisihi apa yang dahulu dijalani oleh para sahabat dalam keenam perkara ini, maka kita pun mengingkarinya dan tidak mengakuinya.

[Disalin dari kitab Al-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Muhammad Ihsan Zainuddin, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari No. 7353 dalam Kitab Al-I’thisham bab Ajrul Haakim Idza Ijthada Faashaba Auw Akhta'a, dan Muslim No. 1716 dalam Kitab Al-Uqdhiyah bab Bayaan Ajril Haakim Idza Ijtahada Faashaba Auw Akhta’a dari hadits ‘Amru Ibn Al-‘Ash Rasdhiyallahu ‘anhu.
0 comments

Ketimpangan Manhaj Muwazanah, Syubhat Manhaj Muwazanah Dan Bantahannya

Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2

SYUBHAT MANHAJ MUWAZANAH DAN BANTAHANNYA

Zaid Az-Zaid berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah telah mengajarkan kepada kita manhaj (muwazanah) ini, diantaranya firman Allah.

“Artinya : Di Antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]

Celaan diatas diiringi, bahkan didahului oleh pujian, dan penjelasan keadaan sebagia ahli kitab dan pengakuan bahwa sebagan mereka menunaikan amanah! [5]

Berkata Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali membantah syubhat ini :

Pertama.
Sepanjang sepengetahuanku tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan atas muwazanah antara kebaikan dan kejelekan atau yang semakna dengan ibarat ini, dan tidak selayaknya seorang muslim keluar dari fiqh salaf dan pemahaman mereka.

Kedua.
Yang difahami oleh para ulama tafsir dari ayat di atas adalah peringatan kepada umat Islam dari kejelekan ahli kitab sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Qurthubi di dalam Tafsirnya 4/116 : Allah mengkhabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang amanat dan ada yang pengkhianat, sedangkan orang-orang yang beriman tidak bisa memilah-milah mereka, maka selayaknya menjauhi ahli kitab semuanya.

Ketiga.
Di dalam kitab dan Sunnah banyak didapati nash-nash yang banyak sekali dalam mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang tidak menyebutkan kebaikan dan kejelekan mereka sekaligus, seperti firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 42]

Dan firman Allah.

“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertahankan) Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” [At-Taubah : 31]
Dimanakah manhaj muwazanah dalam nash-nash di atas ?!

Sesungguhnya penetapan manhaj muwazanah yang bid’ah in akan membuka pintu kepada orang-orang Yahudi, Nashrani, Komunis, dan Rasionalis untuk menyerang kaum muslimin, mencela Allah dan rasulnya, dan apa yang ditulis oleh para ulama Islam dalam mengkritik kelompok-kelompok sesat, dalam masalah jarh wat ta’dil. Hal ini merupakan bukti yang jelas atas kebatilan manhaj muwazanah ini.[6]

FATWA PARA ULAMA TENTANG MANHAJ MUWAZANAH

[1]. Fatwa Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.

Ada seorang yang bertanya kepada Samahatusy Syaikh : “Ada orang-orang yang mewajibkan muwazanah ; yaitu jika engkau mengkritik seorang ahli bid’ah maka wajib atasmu untuk menyebutkan kebaikannya agar engkau tidak mendholiminya?”.

Maka Samahatusy Syaikh menjawab : “Tidak, hal ini tidak harus, hal ini tidak harus, karena inilah jika engkau melihat kitab-kitab Ahli Sunnah, maka engkau akan mendapati apa yang dimaksud yaitu tahdzir, bacalah dalam kitab Bukhari Kholqu Af’alil Ibad dan Kitabul Adab dari Shahihnya, kitab As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, kitab Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, Bantahan Utsman bin Said Ad-Darimi kepada Ahli Bida’… dan yang lainnya.

Mereka tulis kitab-kitab ini sebagai peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan ahli bid’ah, dan bukan bertujuan memaparkan kebaikan-kebaikan mereka … maka yang dimaksud adalah peringatan kepada setiap muslim dari kebatilan mereka, sedangkan kebaikan mereka tidak bernilai sama sekali bagi yang kafir dari mereka, jika kebid’ahan mereka adalah bid’ah yang mengkafirkan pelakunya maka hapuslah kebaikannya, dan jika bid’ahnya belum mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya, maka yang dimaksud adalah penjelasan kesalahan mereka yang wajib untuk dihindari dan dijauhi”

[Dari kaset Ta’lim Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz di Thoif tahun 1413H sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Alamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 9]

[2] Fatwa Syaikh Al-Alamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Ada pertanyaan yang dilontarkan kepada Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan –setelah beliau ditanya tentang beberapa pertanyaan mengenai kelompok-kelompok Islam-. Baik ya Syaikh apakah engkau memperingatkan manusia dari mereka tanpa menyebut kebaikan mereka, atau engkau sebutkan kebaikan dan kejelekan mereka secara bersamaan ?

Maka Fadhilatusy Syaikh menjawab : “Jika engkau menyebut kebaikan mereka berarti engkau mengajak (manusia,-pent) kepada mereka, tidak ; jangan engkau sebut kebaikan mereka!, tetapi sebutkan kesalahan mereka saja, karena tugasmu bukanlah untuk mempelajari keadaan mereka dan menilainya… tetapi tugasmu adalah menyebutkan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat darinya, dan agar selain mereka menjauhi kesalahan itu. Demikian juga kesalahan yang ada pada mereka bisa jadi menghilangkan kebaikan mereka semuanya jika kesalahan itu berupa kekufuran atau kesyirikan, bisa jadi mengalahkan kebaikan mereka, dan bisa jadi itu adalah kebaikan menurut pandanganmu padahal sebenarnya bukanlah kebaikan di sisi Allah”

[Ajwibah Mufidah ‘An As’Ilatil Manahijil Jadidah hal. 13-14]

[3]. Fatwa Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

Ketika ditanya tentang manhaj muwazanah Syaikh Al-Albani berkata : ‘Ini adalah cara-cara ahli bid’ah. Ketika seorang ahli hadist menilai seorang perawi yang shalih atau alim atau faqih dengan perkataannya : “Fulan jelek hafalannya”, apakah dia juga mengatakan bahwa dia adalah seorang muslim atau seorang yang shalih atau seorang yang faqih atau seorang yang diambil dalam istinbath hukumnya ?! Allahu Akbar. Pada hakekatnya kaidah yang terdahulu (yaitu kaidah : setiap kebaikan adalah dalam ittiba’ kepada salaf) adalah kaidah yang sangat penting sekali yang mencakup cabang-cabang yang banyak khususnya pada zaman ini.

Dari mana mereka (pemilik manhaj muwazanah) mendapatkan dalil yang mengatakan jika seorang hendak menjelaskan kesalahan seorang muslim –jika dia adalah seorang da’i atau bukan- maka wajib bagi dia melakukan cermah yang mennjelaskan kebaikan orang tadi dari awal sampai akhir, Allahu Akbar ini adalah sesuatu yang aneh. Demi Allah ini adalah sesuatu yang aneh….”

[Silsilatul Huda wan Nur kaset no. 850 sebagaimana dalam Nashrul Aziz oleh Syaikhhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 96-97]

PENUTUP

Jelaslah dari uraian di atas bahwa :
[1]. Apa yang didakwakan dari wajibnya memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan, dan kelompok adalah dakwaan yang tidak ada dalilnya sama sekali dari kitab maupun sunnah, maka manhaj muwazanah adalah manhaj yang asing dan bid’ah.
[2]. Ulama salaf tidak pernah memakai manhaj muwazanah dalam mengkritik person, tulisan dan kelompok
[3]. Wajib memperingatkan umat dari bid’ah dan ahlinya dengan kesepakatan kaum muslimin, dan boleh bahkan wajib menyebut kebid’ahan mereka dan menjauhkan manusia dari mereka.
[4]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab dalam jarh wa ta’dil dan kitab-kitab yang khusus dalam jarh saja, kitab-kitab ini jumlahnya banyak sekali, tidak ada seorangpun dari mereka yang mewajibkan atau menyunahkan muwazanah, bahkan mereka mewajibkan jarh saja.
[5]. Para ulama salaf telah menulis kitab-kitab tentang sunnah dan bantahan kepad bid’ah dan ahlinya tanpa memakai manhaj muwazanah.
[6]. Manhaj salaf dilandaskan atas maslahat dan nasihat kepada umat.
[7]. Manhaj salaf adalah benteng yang teguh di dalam melindungi kaum muslimin dari bahaya dan makar ahli bid’ah
[8]. Manhaj muwazanah akan membuka pintu kepada semua ahli bid’ah untuk merusak aqidah kaum muslimin dan melancarkan berbagai macam fitnah kepada mereka.
[9]. Wajib bagi setiap muslim untuk waspada trehadap pemikiran-pemikiran yang membahayakan aqidah dan manhajnya, tidak sepantasnya setiap muslim untuk mengikuti setiap seruan yang memperdayakan, yang akan menyebabkan tercabutnya nikmat yang paling agung, yaitu keteguhan di atas manhaj salaf.


[Disalin dari Majalah Al-Furqon edisi 8 Th III hal.25-30. Ketimpangan Manhaj Muwazanah oleh Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu, Grresik JATIM]
_________
Foote Note
[5]. Dhawabith Raiisiyyah oleh Zaid Az-Zaid! Sebagaimana dalam Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah oleh Abu Ibrahim Al-Adnani hal. 43 dan semakna dengan ini perkataan Ahmad Shouyan dalam Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah Fi Taqwimir Rijal wa Muallafatihim sebagaimana dalam Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thowaif oleh Syaikhuna Al-Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 49
[6]. Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah Fi Naqdir Rijal Wal Kutub wath Thowaif hal. 49-51

0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger