Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Dalil-Dalil Shalat Berjama’ah

# Dalil-Dalil Shalat Berjama’ah #
 
1. Al-Qur’an
Perintah shalat berjama’ah sangat banyak di dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: 

وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” [Al-Baqarah : 43]
Ibnu al-Jauzi mengatakan tentang tafsir ayat : 

وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

“Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”, yakni, shalatlah bersama orang-orang yang shalat. al-Baidhawi mengatakan, “Dalam jama’ah mereka”. [Fadhl Ilahi, Shalat. Mengapa....., 99.]

Abu bakar al-Kasani al-Hanafi menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, dan itu terjadi pada saat turut serta (bersamaan) dalam ruku’. Jadi, ini adalah perintah untuk mendirikan shalat berjama’ah. Perintah yang mutlak menunjukkan kewajiban untuk melaksanakannya.[Fadhl Ilahi, Shalat. Mengapa.....,99.]

Allah juga berfirman di dalam ayat yang lain:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nisa':103]

Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu berkata : “Yaitu difardlukan/diwajibkan”. Beliau berkata pula : Sesungguhnya shalat memiliki waktu seperti waktu haji sebagaimana juga dikatakan oleh Ibnu Mas’ud.[‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i)2008, 398.]
Dalam ayat yang lain Allah Ta'aala berfirman:

وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

“Dan apabila kamu (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.”[An-Nisa':103]
Di dalam ayat ini terdapat dua dalil:

  • Allah Ta'aala memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat berjama’ah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada shalat Khauf. Ini menjadi dalil wajibnya shalat berjama’ah pada saat Khauf (shalat dalam keadaan takut ketika sedang berhadapan dengan musuh). Atas dasar itu, tentu lebih utama lagi jika ayat ini dijadikan dalil wajibnya shalat berjama’ah dalam kondisi aman.
  • Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencontohkan shalat Khauf secara berjama’ah. Pada shalat khauf, beliau membolehkan hal yang tidak dilakukan ketika tanpa udzur, seperti membelakangi kiblat dan banyak bergerak. Kedua hal ini tidak boleh dilakukan tanpa udzur menurut kesepakatan ulama. Tidak boleh juga memisahkan diri dengan imam sebelum salam menurut jumhur ulama. Demikian pula tidak boleh tertinggal mengikuti imam, sebagaimana tertinggalnya shaf yang di belakang setelah ruku’ bersama imam, jika musuh berada di hadapan mereka dalam shalat khauf. Hal ini dapat membatalkan shalat jika dilakukan tanpa udzur. Seandainya shalat berjama’ah itu tidak wajib, namun hanya mustahab, berarti ia telah melakukan perbuatan terlarang yang bisa membatalkan shalat, dan ini artinya kewajiban mengikuti imam ketika shalat ditinggalkan demi sesuatu yang hukumnya mustahab. Padahal, mereka mungkin saja mengerjakan shalat sendiri-sendiri secara sempurna (ketika itu). Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwasanya shalat berjama’ah itu hukumnya wajib. [Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis Jilid I (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i) 2006, 549-550.] 

2. As-Sunnah
Sedangkan dalam as-Sunnah, dapat dilihat melalui hadits Mu’adz radhiallahu 'anhu ketika dia di utus oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke Yaman, beliau berkata kepadanya : 

فَــــأَعْـلِـمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

“Beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam satu hari satu malam.” [HR Bukhari No: 1308, Muslim No: 27.]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu :

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَ ةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

“Barangsiapa mendengar suara adzan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.” [HR Ibnu Majah No: 785, al-Tirmidzi No: 201]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda melalui hadits dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk adzan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat. Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang (yang tidak ikut shalat berjama'ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperaleh daging yang gemuk, atau dua potongan daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti shalat 'Isya berjama'ah." [HR Bukhari No: 608, al-Nasa’i No: 839 dan Imam Malik dalam al-Muwaththo No: 266]

3. Ijma’
Imam Ibnul Qayyim telah menyebutkan ijma’ para sahabat yang mengharuskan shalat berjama’ah. Dia juga menyebutkan nash-nash mereka berkenan dengan hal tersebut. Lebih lanjut, dia mengungkapkan: “Nash-nash para sahabat ini, sebagaimana yang anda saksikan, adalah otentik, pepuler, tersebar, dan tidak seorangpun sahabat yang menentang hal tersebut. Setiap atsar-atsar itu merupakan dalil tersendiri dalam satu masalah seandainya dalil itu hanya sendirian. Bagaimana jika masalah itu banyak. [Kitab as-Shalah, hal 81-82 melalui Ensiklopedi Shalat Jilid 1, Hal 558-559.]

Surabaya 6 Jumadal Akhirah 1437 H / 15 Maret 2016 M
Abu Muhammad Mukhtaar bin Hasan al-Atsari
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger