Sebuah Masukan (1)

Tahdzir yang beliau katakan adalah wujud pertanggungjawaban atas pengetahuan
yang dimiliki, sebagai pembina grup. Tahdzir bukan barang yang asing[2]
meski substansinya sah-sah saja jika ada yang tidak sepakat. Yang menjadikan
ramai – selain oknum yang menyebarkan keluar grup – adalah gorengan dan
tambahan kata-kata oleh oknum tak bertanggung jawab yang bernada provokatif.
Misalnya : Kembalilah kepada para asatidz yang jelas manhajnya yaitu para
asatidz Rodja yang pasti benar dan di atas manhaj yang benar.
Ada
juga framing berita dengan judul : Takut
Ditinggal Jama’ah! Ustadz Rodja’ Ini Larang Jama’ahnya Dengarkan Ceramah
Ustadz Adi Hidayat!. Benar-benar dagelan…. Saya yakin, ini bukan berasal
dari Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, dan memang bukan tipikal beliau. Entah
siapa….
Maybe
‘they’ realize, making a lie is the only way to win the war (?).
Kembali,…
kemarin, saya menyimak respon positif Ustadz Adi Hidayat terkait perkataan
Ustadz ‘Abdullah Taslim hafidhahumallah (yang saat ini sedang menjalankan
ibadah umrah). Intinya, beliau terbuka menerima kritikan dari siapapun dan
bersedia rujuk apabila kritikan tersebut memang benar, serta ajakan bersinergi
dalam kebaikan (https://goo.gl/XiepHX dan https://goo.gl/MK16ga). Tentu ini sangat baik, karena sikap beliau
tersebut didasari oleh pemahaman yang sangat baik atas sabda Nabi ﷺ:
كُلُّ
ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Semua anak Adam banyak berbuat kesalahan,
dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat kesalahan adalah orang-orang yang
banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198,
Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Oleh karena itu, izinkan di
sini saya memberikan sedikit catatan atau kritikan terkait dengan beberapa isi
ceramah Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah yang rekamannya banyak
bertebaran di Youtube.
1.
Taqdir
Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah dalam satu
rekaman video yang berjudul Memahami
Takdir Allah dengan Benar,
membacakan sebuah pertanyaan:
"Apakah semua orang telah ditetapkan taqdirnya
oleh Allah subhaanahu wa ta'ala, dan apakah orang kafir itu sudah taqdir Allah ?".
Kemudian direspon:
"Pertama begini, antum pahami dulu apa itu
taqdir. Taqdir itu pilihan hidup. Yang pilihan kita itu KEMUDIAN DITETAPKAN
oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Jadi Anda bisa terbuka, ingin mengambil atau
tidak. Itu pilihan Anda. Karena itu manusia diberikan kemampuan untuk memilih......dst.
(kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang menguatkan itu yang intinya
manusia diberikan pilihan antara yang positif dan negatif)......”
Dalam rekaman video yang berjudul Perbedaan Takdir dan Qodarullah, awal ceramah (menit 00:24) beliau
mengatakan :
“yang seperti ini, seperti aliran Qadariyyah[3]. Semua terserah Allah. Semua terserah Allah.
Bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali kecuali Allah berkehendak. Tidak
mungkin saya minum kecuali saya berkehendak. Tapi kesimpulannya salah. Anda
harus bedakan antara Qadar dan Taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi
kita di dalamnya, itu disebut Qadar”
Kemudian beliau hafidhahullah mencontohkan qadar
adalah ajal dan rizki. Selanjutnya beliau berkata (menit 01:23):
“Tapi, ada sesuatu yang disebut dengan taqdir. Taqdir
itu adalah ketetapan Allah yang dikukuhkan/ditetapkan berdasarkan ikhtiyar
makhluk. Kita ikhtiyar dulu, BARU ALLAH MENETAPKAN. Jadi bukan seketika Allah
tetapkan. Contoh, perbuatan itu takdir. Amal baik atau buruk, amal shalih atau
salah, maka itu adalah taqdir, bukan qadar……dst.”.
Abu-Jauzaa’ berkata:
Ini adalah pemahaman keliru dalam masalah keimanan
terhadap taqdir. Secara istilah, makna al-qadar adalah:
تقدير الله للكائنات حسبما سبق به علمُه،
واقتضته حكمته
“Ketetapan (taqdiir) Allah bagi semua makhluk
sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan yang dikehendaki oleh
hikmah-Nya” [Rasaail fil-‘Aqiidah oleh Muhammad bin Shaalih
Al-‘Utsaimiin, hal. 37].
Pembedaan dua hal tersebut (qadar dan takdir) tidaklah
benar. Tidak mungkin ketetapan Allah datang menyusul setelah adanya ketetapan
dari makhluk dalam ikhtiyarnya. Bahkan Allah ta’ala telah
menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun sebelum
Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi.
Maka, tidak ada
sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh
Mahfuudh. Allah ta’ala berfirman:
مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ
قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuudh) sebelum Kami menciptakannya”
[QS. Al-Hadiid : 22].
Rasulullah ﷺ bersabda:
كَتَبَ
اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah
menulis seluruh takdir makhluk-makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan
langit-langit dan bumi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].
Bahagia dan celaka, neraka dan surga seseorang; maka
semua itu telah ditetapkan oleh Allah ta'ala; sama seperti ajal dan
rizki. Bukankah dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu secara
marfuu’ dari Nabi ﷺ
telah disebutkan:
إِنَّ
أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا،
ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ
مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ،
وَشَقِيٌّ، أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ
حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan
penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari, kemudian menjadi ‘alaqah
(segumpal darah) seperti itu pula (40 hari). Kemudian menjadi mudhghah
(segumpal daging) seperti itu pula (40 hari). Kemudian seorang Malaikat diutus
kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis
empat hal, yaitu menuliskan RIZKINYA, AJALNYA, AMALANYA, dan CELAKA atau
BAHAGIANYA. Maka demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak diibadahi melainkan-Nya,
sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga,
sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi
CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka
dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal
dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya
tinggal sehasta, tetapi CATATAN (TAKDIR) MENDAHULUINYA lalu ia beramal dengan
amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3207 dan Muslim no. 2643].
Juga tentang kisah perdebatan antara Adam dan Muusaa ‘alaihimas-salaam:
احْتَجَّ آدَمُ، وَمُوسَى، فَقَالَ لَهُ
مُوسَى: يَا آدَمُ، أَنْتَ أَبُونَا خَيَّبْتَنَا وَأَخْرَجْتَنَا مِنَ الْجَنَّةِ،
قَالَ لَهُ آدَمُ: يَا مُوسَى، اصْطَفَاكَ اللَّهُ بِكَلَامِهِ وَخَطَّ لَكَ
بِيَدِهِ، أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ
يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَة، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى
ثَلَاثًا
“Aadam dan Muusaa saling berhujjah
(berdebat). Muusaa berkata kepadanya (Aadam) : “Wahai Aadam, engkau adalah ayah
kami, engkau telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga”. Aadam
berkata kepadanya : “Wahai Muusaa, Allah telah memilihmu dengan firman-Nya dan
telah menuliskan (Taurat) dengan tangan-Nya untukmu. Apakah engkau mencelaku
atas perkara yang Allah telah mentakdirkannya untukku 40 tahun sebelum Allah
menciptakanku ?”. Maka Aadam mengalahkan Muusaa, Aadam mengalahkan Muusaa”
– sebanyak tiga kali [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 6614 dan Muslim no. 2652].
Yaitu, ketetapan Allah ta'ala telah mendahului
perbuatan Adam yang menyebabkannya keluar dari surga.
Ahlus-Sunnah
berpendapat bahwa keimanan terhadap takdir tidak akan sempurna kecuali dengan mengimani
empat tingkatan takdir atau disebut juga rukun takdir. Mulai al-‘ilmu[4],
al-kitaabah[5],
al-iraadah wal-masyii’ah[6],
dan al-khalq[7]
yang uraiannya dapat dibaca dalam banyak referensi.
Pernyataan ketetapan Allah baru datang menyusul
setelah adanya ikhtiyaar makhluk mengkonsekuensikan penafikan terhadap
banyak nash. Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar adalah tingkatan ilmu
dan kitaabah; maka ini tergolongan pemahaman Qadariyyah purba yang muncul
di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum. Para shahabat radliyallaahu
‘anhum mengkafirkan mereka, karena mereka menisbatkan kepada Allah ta’ala
sifat bodoh (al-jahl). Allah (dianggap) tidak tahu kecuali setelah
terjadinya sesuatu (yaitu perbuatan hamba). Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa pernah berkata tentang mereka:
فَإِذَا
لَقِيتَ أُولَئِكَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ
مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، لَوْ أَنَّ
لِأَحَدِهِمْ، مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ،
حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Apabila engkau
berjumpa dengan mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri
dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku. Demi Dzat yang ‘Abdullah bin
‘Umar bersumpah dengannya, seandainya salah seorang diantara mereka memiliki
emas sebesar Uhud lalu ia menginfakkannya, Allah tidak akan menerimanya hingga
ia beriman kepada takdir” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 8].
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْقَدَرِيِّ، فَلَمْ
يُكَفِّرْهُ إِذَا أَقَرَّ بِالْعِلْمِ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata :
Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Qadariy
(penganut Qadariyyah), maka ia tidak mengkafirkannya apabila menetapkan ilmu
(Allah) [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 868].
وَأَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، يَقُولُ: إِذَا جَحَدَ
الْعِلْمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لا يَعْلَمُ الشَّيْءَ حَتَّى
يَكُونَ، اسْتُتِيبَ، فَإِنْ تَابَ وَإِلا قُتِلَ
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr, ia berkata
: Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : “Apabila ada seseorang yang mengingkari
ilmu (Allah) dengan mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla
tidak mengetahui sesuatu hingga terjadi’; maka ia diminta untuk bertaubat. Jika
ia bertaubat, maka diterima, dan jika enggan maka dibunuh[8]” [idem
no. 869].
Jika yang dinafikkan dalam fase ikhtiyaar itu
adalah tingkatan al-iraadah wal-masyii’ah dan al-khalq (dengan
tetap mengimani tingkatan al-‘ilmu dan al-kitaabah), maka inilah
keumuman paham qadariyyah yang masih eksis hingga saat ini. Kehendak dan
perbuatan hamba adalah murni dari hamba itu sendiri; bukan terjadi karena
kehendak dan penciptaan Allah ta’ala.
Dua jenis Qadariyyah di atas adalah sama-sama sesat yang
tidak ada jalan lain bagi pelakunya kecuali harus rujuk darinya.
2.
Semua Muslim adalah Salafiy
Dalam Perbedaan Muhammadiyah, NU
dan Salafi, ketika menjawab apa
perbedaan Muhammadiyyah dan Salafi, maka Ustadz Adi Hidayat menjawab (setelah
menjelaskan tentang Muhammadiyyah dan NU – mulai menit 05:23):
“Kalau Salafi, itu bukan Ormas, bukan
madzhab. Tapi dari kata salaf. Salaf itu manhaj. Salaf itu artinya sesuatu yang
lampau, yang lalu. Kenapa disebut dengan salaf, karena saat kita berusaha untuk
beribadah menunaikan pendekatan ibadah kita kepada Allah subhaanahu wa ta’ala,
maka cara ibadah kita mesti seperti siapa ?. Rasululah ﷺ.
Rasulullah itu hidup di jaman kita atau di jaman dulu ?. Jaman dulu. Dulu itu
bahasa Arabnya salaf. Jadi, mengikuti yang dulu, dulu bahasa Arabnya salaf.
Kalau disebutkan mengikuti, ditambah dengan i ujungnya dalam bahasa Arab dengan
ya’ nisbah. Ya’ nisbah itu gampangnya ditambah i saja di ujungnya. Misal, salaf
, dulu, ikut yang dulu disebut dengan salafi. Ni asalnya salafi itu bukan
madzhab, bukan kelompok, bukan ormas, tapi manhaj. Satu cara, sata arah, supaya
kita beribadah mengikuti tuntunan yang dulu yang Rasulullah ﷺ yang disampaikan kepada para shahabat, yang
disampaikan kepada para tabi’in. Itu masa lalu dulu. Kita ikuti jalannya. Nah,
maka cara kita mengikuti jalan itu, cara kita disebut salafi. Sebetulnya
semua orang Islam itu gak ada yang gak Salafi. Semua salafi. Semua salafi.
Tidak mungkin. Misalnya ada orang yang mengaku : ‘saya bukan salafi’, maka
berarti shalatnya beda itu. Pasti salafi. Nggak mungkin. Pasti salafi, karena
salafi itu artinya ikut yang dulu. Ikut Nabi ﷺ.
Manhajnya. Salafi itu bukan golongan tertentu, bukan kelompok tertentu, bukan
eksklusif ini salafi yang lain bukan, maka tidak. Salafi itu manhaj. Nanti satu saat akan saya tunjukkan. Ibu
kalau mau akan saya berikan slidenya…..”.
Kemudian beliau mencontohkan praktek ibadah
shalat dengan variasi dalil yang ada. Dalam kesempatan lain (video berjudul Semua
Muslim Adalah Salafi) dikatakan
hal yang senada (menit : 00:28):
Maka di sini ada istilah manhaj salaf.
Orang-orang yang mengikuti manhaj ini, sejalur dengan ini sampai ke ujungnya
kemudian bermuara ke Rasulullah ﷺ,
maka orangnya disebut dengan salafi. Jadi salafi itu bukan istilah khusus, atau
nama khusus, untuk golongan tertentu, aliran tertentu, kelompok tertentu. Semua
orang Islam pasti salafi. Bapak Salafi ya ?...Bukan pak, saya Doni…. Iya,
nama bapak Doni, cuma bapak pasti melewati jalur ini… pasti ini…. Jadi
teman-teman sekalian, tidak ada yang tidak salafi. Pasti salafi. Dan jangan
juga mengatakan kepada orang : ‘O ini manhajnya bukan salaf ini’. Lalu apa
(kalau bukan salafi) ?”
[selesai kutipan sampai menit 01:12].
Abu-Jauzaa’ berkata:
Jika salafiy adalah orang-orang yang
mengikuti cara beragama as-salafush-shaalih, maka mereka itu (as-salafush-shaalih) utamanya adalah
tiga generasi pertama : Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya, taabi’iin,
dan atbaa’ut-taabi’iin. Mereka adalah generasi yang diridlai Allah ta’ala
sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ
الأوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan
mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar” [QS. At-Taubah : 100].
Generasi terbaik, sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik
manusia adalah orang-orang yang hidup pada jamanku (generasiku) kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah
mereka. Kemudian akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang dari
mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya" [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 3651, Muslim no. 2533, At-Tirmidziy no. 3859, Ibnu Maajah
no. 2363, dan yang lainnya].
Setelah
itu, Nabi ﷺ
bersabda tentang keadaan umat sepeninggal beliau:
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوا: وَمَنْ هِيَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh
puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu (yang masuk surga)”.
Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau
menjawab : “Apa-apa yang aku dan para
shahabatku berada di atasnya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2641, Al-Haakim
1/218-219, Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ hal.
85, Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah
1/127-128 no. 23-24, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
مَنْ كَانَ عَلَى مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ
وَأَصْحَابِي
“Siapa saja yang berada di atas jalan
yang aku dan para shahabatku berada di atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam
Ash-Shaghiir 2/29-30 no. 724 dan Al-Ausath 5/137 no. 4886].
Dalam riwayat lain:
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ia
adalah Al-Jamaa’ah” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 4597].
Hadits di atas selaras dengan hadits ‘Irbaadl bin
Saariyyah, dari Nabi ﷺ, beliau
bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ.....
“Karena siapa saja di antara kalian yang
hidup setelahku akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Wajib atas kalian
berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang
mendapatkan petunjuk. Peganglah erat dan gigitlah ia dengan gigi geraham….”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad 4/126-127,
dan yang lainnya; shahih].
Hadits-hadits ini menginformasikan bahwa umat
Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu kelompok saja yang selamat,
yaitu orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya dengan sebenar-benarnya.
Merekalah salafi (sesuai dengan pengertian sebelumnya). Merekalah Ahlus-Sunnah,
sebagaimana dikatakan As-Sam'aaniy rahimahullah mengenai ciri pokok
mereka:
شعار أهل السنَّة اتباعهم السلف الصالح، وتركهم كل
ما هو مبتدع محدث
"Syiar Ahlis-Sunnah adalah sikap ittiba'
mereka kepada As-Salafush-Shaalih, dan meninggalkan segala sesuatu yang
diada-adakan (dalam agama)" [Al-Intishaar li-Ashhaabil-Hadiits hal.
31].
Selain mereka (Salafi/Ahlus-Sunnah), maka
masuk dalam 72 golongan sisanya yang terdiri dari kelompok-kelompok menyimpang
dalam Islam yang tidak mengikuti jalan as-salafush-shaalih.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah
berkata:
شعار أهل البدع: هو ترك انتحال اتباع السلف
"Syiar Ahli Bid'ah adalah meninggalkan
penerimaan dalam ittiba' terhadap salaf" [Majmuu' Al-Fataawaa,
4/155].
Kelompok menyimpang/ahli bid’ah yang masuk ke
kelompok sempalan yang 72 buah itu diantaranya apa yang dikatakan oleh Yuusuf
bin Asbath rahimahullah:
أُصُولُ الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ،
وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ
فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً، فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً،
وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا
النَّاجِيَةُ "
“Pokok-pokok kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu
Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah. Kemudian masing-masing firqah
tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18 golongan sehingga totalnya menjadi 72
firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah yang disabdakan Nabi ﷺ : ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Ada perkataan ulama lain yang merinci untuk
72 kelompok sempalan ini selain dari penjelasan Yuusuf bin Asbath rahimahullah
di atas. Ke-72 kelompok tersebut masih memiliki pokok Islam, namun
menyimpang dari jalan as-salafush-shalih.
Jika demikian, apakah dapat dibenarkan untuk
dikatakan semua muslim adalah salafiy ?. include di dalamnya kelompok-kelompok
sempalan/ahli bid’ah yang menggembosi Islam dari dalam ?. Tentu tidak.
Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan
biografi para ulama Ahlus-Sunnah yang kuat ittiba’-nya kepada as-salafush-shaalih,
menyifatinya dengan salafiy. Diantaranya, ketika menyifati
Ad-Daaraquthniy rahimahullah:
لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض
في ذلك، بل كان سلفيا
“Ia
(Ad-Daaraquthniy) tidak masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jidal
(perdebatan), serta tidak pula mendalaminya. Bahkan ia seorang salafy” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’ 16/457].
Juga Abul-‘Abbas
Ahmad bin Al-Muhaddits Al-Faqiih Majduddiin ‘Isaa bin Al-Imaam Al-‘Allamah
Muwaffaquddiin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah:
وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى
“Ia seorang yang tsiqah
(terpercaya), tsabt, pandai, salafiy, hati-hati, punya sifat wara’ dan
taqwa…” [Idem, 23/118].
Sebaliknya, ketika menyebut orang-orang yang
manhaj atau ‘aqidahnyanya ‘bermasalah’, Adz-Dzahabiy rahimahullah mensifati
mereka dengan kebid’ahannya. Misalnya, Ibraahiim bin Abi Yahyaa Al-Aslamiy
Al-Madaniy:
قدري، معتزلي، يروى أحاديث ليس لها أصل. وقال البخاري:
تركه ابن المبارك والناس. وقال البخاري أيضا: كان يرى القدر، وكان جهميا.
“Qadariy, mu’taziliy. Ia
meriwayatkan hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Al-Bukhaariy berkata :
‘Ibnul-Mubaarak dan orang-orang meninggalkannya’. Al-Bukhaariy juga berkata : ‘Ia
memiliki pandangan qadariyyah, seorang jahmiy” [Miizaanul-I’tidaal,
1/57-58 no. 189].
Ibraahiim bin Thahmaan :
ثقة متقن من رجال الصحيحين، وكان مرجئاً
“Tsiqah, mutqin, termasuk perawi kitab
Ash-Shahiihain, namun ia seorang Murji’ (memiliki pemikiran Murji’ah)”
[Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim, hal. 35 no. 1].
Al-Hasan bin Shaalih bin Hay :
مع جلالة الحسن وامامته كان فيه خارجية.
“Bersamaan dengan keagungan dan keimaman
Al-Hasan, namun padanya ada pemikiran Khawaarij (Khaarijiyyah)” [Tadzkiratul-Huffadh,
1/217].
So, apakah kita pikir paham Raafidlah,
Khawaarij, Qadariyyah, Murji’ah, dan yang lainnya itu telah punah di dunia saat
ini ?. Jawabannya : tidak. Malah mereka telah bermutasi dengan berbagai nama
sehingga hakekatnya menjadi samar dari kejauhan.
Diantaranya, Khawaarij pada hari ini berada
di bawah bendera ISIS yang menghalalkan darah kaum muslimin di berbagai penjuru
negeri, dari Timur sampai Barat. Mereka muslim,…. tapi apakah mereka salafi ?.
Kalau Anda mengatakan Salafi; mohon maaf, saya jelas tidak sependapat.
Apabila, slogan semua muslim adalah salafi
dimaksudkan sebagai ajakan liberalisasi salafi/ahlus-sunnah dengan menyatukan
semua kelompok Islam, tak peduli benar atau salahnya ‘aqidah dan manhaj mereka
dalam baju salafiy; tentu ini menyalahi kaedah. Tidak mungkin dua hal yang berlawanan
untuk disatukan : Sunnah dengan Bid’ah, Salafi/Ahlus-Sunnah dengan Ahli Bid’ah.
Di sini point pentingnya.
[bersambung,
insya Allah – abul-jauzaa’, 300032017, 9:52 WIB]
[1] Pertama, karena itu merupakan
jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Sama seperti ketika Anda ditanya : ‘Apa
pandangan Anda tentang Ayam Bakar Wong Solo ?’. Tentu Anda bebas menjawab
sesuai pandangan Anda. Enak, tidak enak, tidak tahu, atau bahkan tidak menjawab
sama sekali.
Kedua,
jawaban tersebut sifatnya tertutup untuk anggota grup, khususnya yang bertanya.
Hanya saja, karena kurangnya sifat amanah sebagian anggota grup, rekaman
jawaban itu pun menyebar keluar (padahal sudah dipesan untuk tidak disebarkan).
Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" [QS. Al-Anfaal : 27].
Inilah
adab yang banyak dilupakan oleh banyak anggota grup media sosial yang sifatnya
tertutup (WA, path, dll.). Nabi ﷺ bersabda:
أَدِّ
الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Tunaikanlah
amanah pada orang yang memberikan amanah kepadamu dan jangan khianati orang
yang telah mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1264, Abu
Daawud no. 3535, Ad-Daarimiy no. 2600, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Musykiilil-Aatsaar no. 1831-1832, dan yang lainnya; dihasankan oleh
Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 423].
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ، إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga : Jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak
menepati, dan jika dipercaya dia berkhianat” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 33 & 2682 & 2749 & 6095, Muslim no. 59,
At-Tirmidziy no. 2631, dan yang lainnya].
[2] Itulah yang dilakukan para ulama zaman ke
zaman. Bukan hanya dilakukan oleh ‘duaat Rodja’ saja (sebenarnya saya
tidak nyaman menggunakan frasa ini). Bahkan (sebaliknya), yang mentahdzir ‘duaat Rodja’,
‘pendengar Rodja’, salafi, wahabi, dan yang semisalnya; banyak, dan lebih banyak. Termasuk diantaranya yang menggoreng
masalah ini…. Gak percaya ?
Tentang
tahdzir,….. dulu, ‘Aliy bin Abi Khaalid pernah menceritakan kepada Al-Imaam
Ahmad bin Hanbal rahimahumullah tentang seorang syaikh yang duduk
bermajelis dengan Al-Haarits Al-Muhaasibiy (mubtadi’). Syaikh tersebut
telah dinasihati agar tidak bermajelis dengannya, namun tetap saja ia
bermajelis dengannya. ‘Aliy bin Abi Khaalid berkata:
فرأيت
أَحْمَد قد أحمر لونه، وانتفخت أوداجه وعيناه، وما رأيته هكذا قط، ثم جعل ينفض،
ويقول: ذاك؟ فعل اللَّه به وفعل، ليس يعرف ذاك إلا من خبره وعرفه، أويه، أويه،
أويه، ذاك لا يعرفه إلا من خبره، وعرفه، ذاك جالسه المغازلي، ويعقوب، وفلان،
فأخرجهم إلى رأي جهم، هلكوا بسببه،
فقال
الشيخ: يا أبا عَبْد اللَّه، يروي الحديث، ساكن خاشع، من قصته، ومن قصته؟ فغضب
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وجعل يقول: لا يغرك خشوعه ولينه، ويقول لا يغتر بتنكيس
رأسه، فإنه رجل سوء، ذاك لا يعرفه، إلا من قد خبره، لا تكلمه، ولا كرامة له، كل من
حدث بأحاديث رَسُول اللَّهِ ﷺ وكان مبتدعا، تجلس إليه؟ لا، ولا كرامة، ولا نعمى
عين
Maka
aku melihat wajah Ahmad memerah, serta urat leher dan kedua matanya menjadi
membesar (karena menahan amarah). Aku belum pernah melihatnya seperti ini
sebelumnya sama sekali. Setelah mereda, beliau rahimahullah berkata :
“Orang itu (Al-Haarits) ? Semoga Allah menimpakan sesuatu kepadanya. Tidak ada
orang yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal dengannya. Ah…ah…ah…
Orang itu, .... tidak ada yang mengenalnya kecuali orang yang tahu dan kenal
dengannya. Al-Maghaazaliy, Ya’quub, dan Fulaan telah bermajelis dengannya, lalu
ia (Al-Haarits) menjerumuskan mereka kepada pemikiran Jahm (bin Shafwaan),
hingga mereka binasa dengan sebab dirinya”.
Maka
syaikh itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ia (Al-Haarits) meriwayatkan hadits,
tenang, lagi khusyu’. Dan ceritanya begini dan begitu”. Abu ‘Abdillah
marah dan berkata : “Jangan engkau tertipu dengan kekhusyukan dan
kelembutannya. Jangan engkau tertipu dengan kepalanya yang tertunduk, karena ia
adalah orang yang jelek. Tidak ada orang yang mengenalnya kecuali orang yang
tahu tentangnya. Jangan engkau berbicara dengannya. Tidak ada kemuliaan
padanya. Apakah semua orang yang berbicara tentang hadits-hadits Rasulullah ﷺ sementara ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah); boleh
untuk bermajelis dengannya ?. Tidak, tidak ada kemuliaan padanya. Kita tidak
boleh membutakan mata kita (terhadap hal itu)” [Thabaaqatul-Hanaabilah,
2/149-150].
Beberapa
pelajaran dari kisah di atas:
a. Hakekat
kesalahan/kesesatan seseorang seringkali hanya diketahui oleh orang-orang tertentu
yang telah mengenalinya.
b. Tahdzir
dilakukan para ulama terhadap ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan dalam
rangka menjaga agama dan kaum muslimin.
c. Nasihat
untuk tidak bermajelis dengan ahli bid’ah dan/atau pelaku penyimpangan karena
dapat menjerumuskan dalam kesesatan/penyimpangannya tanpa disadari.
d. Sebagian
manusia terkelabuhi oleh ilmu yang disampaikan ahli bid’ah dan/atau pelaku
penyimpangan dan akhlaq yang nampak darinya, sehingga kesesatan/penyimpangannya
menjadi samar.
e. Anjuran
untuk bertanya kepada ahli ilmu terkait permasalahan agama yang ia hadapi.
Wallaahu
a’lam.
[3] Mungkin ini keseleo lidah (slip of
tongue), karena yang dikatakan tersebut adalah aliran Jabriyah sebagai
opposite dari Qadariyyah. Mereka (Jabriyyah) berkata : Sesungguhnya para hamba
dipaksa dalam perbuatan-perbuatan mereka, dan mereka tidak mempunyai pilihan.
Apabila suatu perbuatan disandarkan kepada makhluk, maka itu hanyalah majaziy
saja, karena yang berbuat secara hakiki adalah Allah. Hamba tidak ubahnya
seperti kayu yang hanyut di air atau daun yang tertiup angina.
Adapun
Qadariyyah, maka mereka menafikkan takdir dengan berbagai tingkatannya.
قِيلَ
لابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّ قَوْمًا يَقُولُونَ: لا قَدَرَ،
قَالَ: فَقَالَ: أُولَئِكَ الْقَدَرِيُّونَ أُولَئِكَ مَجُوسُ هَذِهِ الأُمَّةِ
Dikatakan
kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya ada satu kaum yang
mengatakan : ‘tidak ada qadar”. Makai ia (Ibnu ‘Umar) berkata : “Mereka adalah
Qadariyyah. Mereka adalah Majusinya umat ini” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
Ahmad dalam As-Sunnah no. 958 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no.
1517].
[4] Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala
mengetahui segala sesuatu yang ada maupun yang tidak ada; yang mungkin maupun
yang tidak mungkin (mustahil); yang telah terjadi, sedang terjadi, dan yang
belum terjadi; serta mengetahui bagaimana terjadinya. Dalilnya diantaranya
adalah firman Allah ta’ala:
لِتَعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar
kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” [QS.
Ath-Thalaq : 12].
[5] Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala
telah menuliskan segala sesuatu di sisi-Nya, di Lauh Mahfuudh, 50.000 tahun
sebelum Allah ta’ala menciptakan langit dan bumi. Maka, tidak ada
sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi luput dari Lauh
Mahfuudh.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُّ
شَيْءٍ فَعَلُوهُ فِي الزُّبُرِ * وَكُلُّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ مُسْتَطَرٌ
“Dan
segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan
segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis” [QS.
Al-Qamar : 52-53].
[6] Yaitu beriman bahwa segala sesuatu yang ada
hanya terjadi dengan keinginan dan kehendak Allah ta’ala. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi melainkan apa yang telah dikehendaki Allah. Apa yang
dikehendaki Allah ta’ala pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki
Allah ta’ala tidak akan terjadi.
[7] Yaitu, beriman bahwa Allah ta’ala adalah
Pencipta segala sesuatu, baik dzat maupun perbuatannya; semua yang bergerak dan
gerakannya; serta yang ada, yang pernah ada, maupun yang belum ada. Oleh karena
itu, tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi kecuali Allah ta’ala adalah
Penciptanya.
[8] Juga diriwayatkan dari ‘Umar bin
‘Abdil-‘Aziiz radliyallaahu ‘anhu.
عَنْ
مَالِك، عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ
مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، فَقَالَ: " مَا رَأْيُكَ فِي هَؤُلَاءِ
الْقَدَرِيَّةِ ؟ فَقُلْتُ: رَأْيِي أَنْ تَسْتَتِيبَهُمْ فَإِنْ تَابُوا وَإِلَّا
عَرَضْتَهُمْ عَلَى السَّيْفِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " وَذَلِكَ
رَأْيِي ". قَالَ مَالِك: وَذَلِكَ رَأْيِي
Dari
Maalik, dari pamannya yaitu Abu Suhail bin Maalik, ia berkata : Aku pernah berjalan
bersama ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, lalu ia bertanya : "Apa pendapatmu
tentang orang-orang Qadariyah?". Aku menjawab : "Menurutku, engkau
mesti meminta mereka untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat, maka diterima.
Namun jika tidak mau bertaubat, maka engkau bunuh mereka dengan pedang”. ‘Umar
bin ‘Abdil-‘Azii berkata : "Itu juga pendapatku". Maka Maalik (bin
Anas – perawi riwayat ini) berkata : "Dan itu juga pendapatku” [Al-Muwaththa’].
Post a Comment
Perihal :: Mukhtar Hasan ::
لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا
Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.
Atau silahkan gabung di Akun facebook saya
================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda