Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Bantahan. Show all posts
Showing posts with label Bantahan. Show all posts

Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua PBNU Kiyai Haji Said Aqiel Siradj

Nasehat DR Said Aqiel Siradj, MA untuk Ketua PBNU Kiyai Haji Said Aqiel Siradj


Cukup tersentak hati saya tatkala membaca pernyataan-pernyataan berani yang diungkapkan oleh Prof DR Kiyai Haji Said Aqiel Siradj, MA, sebagaimana yang diberitakan dalam www.voa-islam.com. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah:

Pertama : Pernyataan beliau bahwa syi'ah di Indonesia tidak berbahaya, sebagaimana bisa dilihat di (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/06/16929/aneh-said-agil-siraj-bilang-syiah-di-indonesia-tidak-berbahaya/)

Dan ternyata memang beliau pernah bertemu dan menyambut tokoh syi'ah Hasan Nasrullah, silahkan lihat (http://www.dp-news.com/pages/detail.aspx?articleid=57160). Demikian pula beliau pernah menjadi pembicara tingkat internasional di Teheran (pusatnya Syi'ah Roafidhoh) selama dua kali, pada tahun 1999 dengan materi : Al-Taqriib baina al-Madzaahib, Al-Islam al-din al-tasamuh (Pendekatan antara madzhab-madzhab, Islam adalah agama toleransi), dan pada tahun 2000 dengan materi : Al-Taqriib baina al-Madzaahib, Huquq al-Insan fi al-Islam (Pendekatan antara madzhab-madzhab, Hak-hak manusia dalam Islam). Silahkan lihat (http://nubinong.blogspot.com/2010/03/riwayat-hidup-prof-dr-kh-said-aqiel.html). Selain itu beliau juga memberi kata pengantar dan menganjurkan masyarakat muslim Indonesia untuk membaca sebuah buku yang berisi banyak kedustaan karya Idahram, yang dalam buku tersebut sang penulis (Idahram) berkata :  "Dalam Islam sedikitnya ada tujuh madzhab yang pernah dikenal, yaitu madzhab Imam Ja'far As-Shiddiq (madzhab Ahlul Bait), madzhab Imam Abu Hanifah An-Nu'man, madzhab Imam Malik ibnu Anas, madzhab Imam As-Syafii, madzhab Imam Ahmad Ibnu Hanbal, madzhab Syi'ah Imamiah, dan madzhab Dawud Azh-Zhahiri. Sedangkan madzhab salaf tidak pernah ada"

Kedua : Penyamaan beliau antara trinitas ortodoks Kristen dengan tauhid Islam, sebagaimana bisa dilihat di (http://www.voa-islam.com/counter/christology/2011/10/06/16278/koreksi-aqidah-kh-said-aqil-sirajd-jangan-samakan-tauhid-islam-dengan-trinitas-kristen/), lihat juga (http://www.voa-islam.com/news/citizens-jurnalism/2011/11/24/16804/santri-menggugat-kenuan-ketua-umum-pbnu-kh-said-aqiel-siradj)


Ketiga : Pernyataan beliau bahwasanya salafy wahabi penebar terorisme, sebagaimana bisa dilihat di (http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/12/07/16943/ketum-pbnu-said-aqil-siradj-melempar-fitnah-ustadz-membalas-tausiyah/), lihat juga (http://nahimunkar.com/9926/kayak-bocah-bercerita-gendruwo-saja-said-agil-siradj-menuding-yayasan-yayasan-islam/)


Beliau DR Said Aqiel Siroj telah menghabiskan banyak usia beliau untuk mendalami bidang aqidah di karajaan Arab Saudi. Dari S1 hingga S3 beliau menuntut ilmu di Arab Saudi dan di bidang ushuul ad-diin (aqidah).

-         S1, beliau tempuh Universitas King Abdul Aziz, Jurusan Ushuluddin dan Dakwah, tamat 1982.

-         S2 beliau tempuh Universitas Ummu al-Qura, jurusan Perbandingan Agama, tamat 1987, dengan tesis yang berjudul رَسَائِلُ الرُّسُلِ وَأَثَرُهَا فِي انْحِرَافِ الْمَسِيْحِيَّةِ (Pengaruh Surat-Surat para rasul dalam Bibel terhadap penyimpangan Agama Kristen).

-         S3 Universitas Ummu al-Qura, jurusan Aqidah/Filsafat Islam, tamat 1414 H (1994 M), dengan judul disertasi : صِلَةُ اللهِ بِالْكَوْنِ فِي التَّصَوُّفِ الْفَلْسَفِي (Hubungan antara Allah dan alam menurut perspektif tasawwuf falsafi), yang disertasi beliau ini dibimbing oleh dosen beliau yang bernama As-Syaikh DR. Mahmuud Ahmad Khofaaji

Dari sini kita tahu bahwasanya beliau ini adalah seorang yang pakar dalam bidang aqidah, baik dalam memahami kesesatan kaum Kristen maupun kesesatan kaum sufi.

Berikut ini saya terjemahkan muqoddimah dari disertasi doktoral yang ditulis oleh Prof DR Said Aqiel Siraj (Desertasi tersebut bisa di download di http://resalty.waqfeya.com/index.php/category-96/thesis-51).

Muqoddimah ini sangat layak untuk dibaca kembali oleh penulisnya sendiri, yang merupakan nasehat yang sangat indah bagi sang penulis sendiri dan juga kaum muslimin di tanah air, terutama kaum yang dipimpin oleh beliau sekarang. Hal ini mengingat dalam muqoddimah disertasi tersebut beliau (Prof DR Said Aqiel Siradj) telah mentaqrir dan menetapkan landasan-landasan aqidah salaf, karena memang desertasi tersebut beliau tulis untuk membantah kaum sufi. Terlebih lagi dalam desertasi tersebut beliau sering menukil perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah untuk membantah pemikiran sufiah. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin Indonesia.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :
"Islam menolak segala bentuk kesyirikan, dan menolak perantara-perantara antara Allah dan manusia kecuali perantara kenabian dan kerasulan, dengan demikian Islam menetapkan keterpisahan yang sempurna antara Allah dan yang lainNya, antara Pencipta dan Makhluk, bahkan malaikat tidak terhubungkan dengan Allah melalui hubungan apapun selain hubungan yang tegak antara Allah dengan makhluk yang lain baik yang materi maupun ruh, yaitu hubungan antara makhluk dan Penciptanya, yaitu hubungan keterpisahan dan bukan hubungan ketersambungan"

Komentar :

Pernyataan Kiyai Haji Prof DR di atas persis sama dengan penjelasan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhaab rahimahumallah, bahwasanya Allah tidak butuh kepada washitoh (perantara) dalam penyembahan dan dalam meminta manfaat dan menolak mudhorot. Menjadikan washitoh (perantara) kepada Allah merupakan kesyirikan. Yang ada hanyalah perantaraan dalam hal risalah dan kenabian, yaitu para nabi dan para rasul merupakan perantara antara Allah dan manusia dalam menyampaikan risalah/wahyu Allah ta'alaa. 

Ibnu Taimiyyah berkata : "Dan hal ini merupakan perkara yang disepakati oleh seluruh pemeluk agama dari kalangan kaum muslimin, yahudi, dan nashrani, mereka menetapkan adanya perantara antara Allah dengan hamba-hambaNya. Perantara-perantara tersebut adalah para Rasul yang mereka menyampaikan dari Allah perintah Allah dan khabar dari Allah…."

Beliau juga berkata, "Adapun jika yang dimaksudkan dengan perantara adalah bahwasanya harus ada perantara dalam mendatangkan manfaat-manfaat dan menolak kemudorotan, seperti perantara dalam mendatangkan rizki para hamba, dan pertolongan kepada mereka dan hidayah untuk mereka, yang mereka meminta hal-hal tersebut kepada perantara ini dan mengharap kepada perantara ini maka ini merupakan kesyirikan yang paling besar yang karena kesyirikan inilah Allah mengkafirkan kaum musyrikin (Arab), dimana mereka menjadikan selain Allah sebagai penolong-penolong mereka dan para pemberi syafaat kepada mereka" (Majmuu' al-Fataawaa 1/122-123). Adapun perkataan Muhammad bin Abdil Wahhaab yang semakna dengan ini maka bisa dibaca di risalah beliau "Kasyf Asy-Syubhaat"


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :
"Dan jika kita mengamati Al-Qur'aan Al-Kariim maka kita akan mendapati Al-Quran menekankan keterpisahan yang sempurna ini, maka tidak ada sesuatupun yang berfungsi sebagai suatu perantara antara Allah dan makhlukNya. Sebagaimana Al-Qur'an berkali-kali dan berulang-ulang menafikan sifat uluhiyah dari selain Allah ta'aala dengan penafian secara mutlak, dan menekankan bahwasanya para nabi dan para rasul mereka dari golongan manusia dan dari tabi'at manusia. Inilah yang ditetapkan oleh rukun Islam yang pertama yaitu Syahadah (Persaksian) bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hambaNya dan rasulNya. Dan ini adalah syahadah penafian dan penetapan (itsbaat), menafikan secara mutlak uluhiah (ketuhanan) dari selain Allah dan tidak ditetapkan kecuali hanya untuk Allah semata, dan menetapkan bahwasanya Muhammad adalah hambaNya dan rasulNya, dan Muhammad adalah manusia sebagaimana seluruh manusia (*yang lain). Dan seluruh perbedaan antara Muhammad dan mereka adalah beliau diberi wahyu aqidah tauhid"


Komentar :

Dalam paragraf ini DR Said menekankan perkara yang sangat penting yaitu tentang aqidah yang benar terhadap Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwasanya beliau adalah manusia biasa sebagaimana seluruh manusia yang lain yang memiliki tabi'at manusia. Yang membedakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan manusia yang lain hanyalah Nabi telah diberi wahyu berupa aqidah tauhid. Hal ini tentunya bertentangan dengan keyakinan sebagian kaum sufi yang terlalu berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. (silahkan lihat http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/116-berlebih-lebihan-kepada-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-hingga-mengangkat-beliau-pada-derajat-ketuhanan)


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dan aqidah tauhid yang dibawa oleh Islam menolak seluruh kesyirikan, sama saja apakah kesyirikan yang tegak di atas pendapat berbilangnya Tuhan atau kesyirikan yang dibangun di atas keimanan kepada adanya perantara-perantara antara Allah dan manusia. Dari situ maka hubungan antara Allah dengan alam –termasuk di dalamnya adalah manusia- adalah hubungan keterpisahan. Allah maha Esa tidak ada syarikat baginya, terpisah dari alam dengan keterpisahan yang sempurna dengan ke-Esa-anNya dalam Dzatnya, sifat-sifatNya, dan perbuatan-perbuatanNya, dan Allah tersucikan dari seluruh bentuk penyamaan dengan makhluk-makhlukNya.

Aqidah ini dialah aqidah yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, baik salaf mereka (*golongan terdahulu) maupun kholaf mereka (*golongan belakangan), kecuali sufiah filsafat, sebagaimana akan kita lihat di tengah lembaran-lembaran pembahasan ini"

Komentar :

Dalam paragraph ini kembali DR Said Aqiel menekankan bahwasanya Islam menolak segala bentuk kesyirikan. Dan bentuk-bentuk kesyirikan ada dua:

Pertama : Dengan menjadikan Tuhan berbilang, sebagaimana trinitasnya kaum Nasrani, dan juga dewa-dewa Kaum Hindu.

Kedua : Menjadikan perantara antara Allah dan manusia. Hal ini sebagaimana keysirikan kaum musyrikin Arab (silahkan lihat kembali : http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :



"Kemudian Islam adalah berpegang teguh dengan perintah-perintah Allah dan perintah-perintah RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dan RasulNya, dan meneladani kehidupan Rasulullah dan mengikuti jalan-jalan dan sunnah-sunnah yang telah ditempuh oleh para sahabatnya –semoga Allah meridhoi mereka-

Allah berfirman : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat" (QS Al-Ahzaab : 21)

Dan Allah ta'aala juga berfirman : "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah" (QS Al-Hasyr : 7)

Allah juga berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)" (QS Al-Anfaal : 20)"

Komentar :

Dalam paragraf ini DR Said Aqiel menekankan untuk mengikuti jalan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan beliau mendoaakan para sahabat agar diridhoi oleh Allah. Dan ini tentunya bertentangan dengan aqidah Syi'ah yang justru berdoa agar Allah melaknat para sahabat dan juga mengkafirkan para sahabat.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

Dan perintah-perintah Allah dan RasulNya –demikian pula larangan-larangan Allah dan RasulNya- terjaga dalam Al-Qur'an Al-Kariim dan Sunnah-sunnah Nabi yang mulia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Aku meninggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan kedua perkara tersebut, yaitu kitabullah dan sunnah NabiNya"

Komentar :

Dalam paragraf ini DR Said Aqiel menegaskan akan pentingnya berlandaskan kepada Al-Qur'an dan Sunnah-Sunnah Nabi, yang keduanya merupakan sumber hukum kaum muslimin. Hal ini tentunya berbeda dengan:

-         Keyakinan sebagian kaum sufi yang terkadang berdalil dengan kisah-kisah…yang tidak tahu juntrung keabsahannya. Tidak jarang berupa cerita-cerita karomah yang masih dipertanyakan akan kevalidannya lantas cerita-cerita tersebut dijadikan dalil utama sehingga ditolaklah pendalilan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah

-         Sikap sebagian sufi yang taklid buta kepada gurunya, meskipun pemikiran-pemikiran gurunya bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga seakan-akan perkataan gurunya merupakan salah satu sumber hukum



DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :
"Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mentarbiah (membina) para sahabatnya dibawah naungan dan petunjuk kitabullah dan sunnahnya, yaitu dengan tarbiah percontohan agar mereka menjadi teladan bagi orang-orang yang datang setelah mereka hingga hari kiamat. Maka mereka adalah praktek nyata (hidup) dari ajaran-ajaran Allah dan arahan-arahan RasulNya. Mereka berittiba' dan meneladani serta tidak melakukan bid'ah dan mengada-ngadakan. Mereka adalah para wali-wali Allah yang tidak kawatir dan tidak bersedih. Mereka adalah teladan dan tolak ukur untuk mengenal al-haq (kebenaran) dari kebatilan, dan untuk membedakan petunjuk dari kesesatan".

Komentar :

Dalam paragraf ini beliau menekankan kembali akan mulianya para sahabat dari beberapa sisi:

Pertama : Para sahabat telah ditarbiyah/dibina dan dididik langsung oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya guru sangat berpengaruh kepada murid-muridnya

Kedua : Tarbiyah tersebut berdasarkan naungan dan cahaya al-Qur'an dan as-Sunnah

Ketiga : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mentarbiyah para sahabat dengan tarbiyah khusus yaitu tarbiyah percontohan, dengan maksud agar para sahabat menjadi contoh bagi generasi-generasi setelah mereka

Keempat : Amalan para sahabat adalah praktek hidup/nyata terhadap ajaran Al-Qur'an dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hal ini tentu sangatlah jelas ditinjau dari beberapa sisi

-         Para sahabatlah yang paham tentang maksud Allah dan RasulNya.

-         Ayat-ayat al-Qur'an yang pertama kali mempraktekannya adalah para sahabat.

-         Tatkala para sahabat menerapkan ayat-ayat Allah mereka dibimbing langsung oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sehingga jika mereka salah praktek, atau salah paham tentang Al-Qur'an maka akan ditegur langsung oleh Allah atau melalui Rasulullah yang merupakan guru dan pengawas mereka

Kelima : Para sahabat tidak melakukan bid'ah dan tidak mengadakan perkara-perkara baru dalam agama, akan tetapi mereka meneladani guru mereka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam

Keenam : Para sahabat adalah wali-wali Allah…maka yang memusuhi dan membenci mereka…apalagi mengkafirkan mereka tentunya wali-wali syaitan

Ketujuh : (Dan ini merupakan poin yang terpenting) yaitu DR Said Aqiel menjelaskan bahwa para sahabat adalah tolak ukur kebenaran, sehingga terbedakan hak dari kebatilan, dan terbedakan petunjuk dari kesesatan.

Sungguh ini adalah manhaj yang selalu dan senantiasa diserukan dan dipropagandakan oleh kaum wahabi (salafy) yaitu agar kembali kepada pemahaman dan manhaj para sahabat yang jauh dari bid'ah dan perkara-perkara baru dalam agama.

Dan inilah juga yang selalu diserukan oleh kaum yang disebut-disebut oleh orang yang memusuhinya “Salafy wahabi” agar senantiasa mencintai para sahabat dan memusuhi orang-orang yang membenci (bahkan mengkafirkan) para sahabat seperti kaum syi'ah. Jika para sahabat yang sedemikian mulianya (sebagaimana penjabaran DR Said Aqiel diatas) itu saja dikafirkan maka bagaimana lagi dengan para pengikut mereka yang jauh dari kemuliaan para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dan dibawah cahaya al-kitab dan as-sunnah dan siroh Rasulullah serta amalan para sahabatnya ditimbang amalan-amalan kaum muslimin dan perkataan mereka. Maka apa yang ada sandarannya dan dalil maka dihukumi dengan amalan/perkataan yang sah dan benar. "Dan apa yang menyelisihi al-kitab dan as-sunnah dan tidak ada atsarnya dalam kehidupan para sahabat maka dihukumi dengan fasad (rusak) dan batil. Dan semua yang keluar dari manhaj ini maka sungguh telah sesat dan menyesatkan".

Komentar :

Dalam paragraf ini kembali DR Said Aqiel menekankan akan pentingnya manhaj salaf yaitu manhaj yang berlandaskan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat. Beliau juga kembali menegaskan bahwa seluruh perkataan/pendapat dan amal perbuatan manusia harus ditimbang di atas manhaj salaf ini. Jika ada suatu pemikiran atau amal perbuatan yang tidak diriwayatkan ada di masa kehidupan para sahabat maka pemikiran dan amal perbuatan tersebut batil. Ini merupakan seruan yang tegas dari beliau kepada kaum muslimin –terutama di Indonesia- untuk kembali menimbang amalan-amalan yang sering mereka lakukan. Apakah amalan-amalan tersebut pernah dilakukan dan diamalkan oleh para sahabat??, jika tidak pernah maka hal itu adalah batil dan sesat, bahkan pelakunya sesat dan menyesatkan.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :


"Dan tatkala saya adalah salah seorang mahasiswa di jurusan Aqidah saya melihat bahwasanya merupakan kewajiban atas saya untuk mencari-cari/mengikuti dan menyelidiki manhaj-manhaj yang sesat dan jauh dari al-kitab dan as-sunnah. Dan telah beberapa lama saya menyelidiki manhaj-manhaj tersebut untuk saya jelaskan penyimpangan dan kesesatannya dan jauhnya manhaj tersebut dari Islam. Termasuk merupakan perkara yang menyusahkan dan menggelisahkan aku adalah apa yang aku dapati dari manhaj-manhaj para sufi ahli filsafat yang mereka telah jauh dari Islam, yaitu tentang pemahaman mereka tentang hubungan alam dengan penciptanya, dengan pemikiran-pemikiran mereka yang sesat berupa hulul dan ittihad dan wihdatul wujud (yiatu hulul/menempatinya Allah ke alam, dan ittihad/menyatunya alam dengan Allah, dan wihdah/kesatuan alam bersama Allah), yang hal itu melalui metode filsafat al-fanaa' dan fanaa al-fanaa, dan seluruhnya merupakan pemikiran-pemikiran yang aneh dan muhdatsah (diada-adakan) serta menyusup di tengah-tengah masyarakat islami"

Komentar :

Dalam paragraf ini DR Said Aqiel memaparkan bagaimana semangat beliau untuk bernahi mungkar. Beliau terpanggil bahkan beliau merasa wajib untuk mengikuti dan menyelidiki manhaj-manhaj yang sesat. Bahkan sangat menggelisahkan beliau kesesatan yang terdapat dalam manhaj kaum sufi philosofi, yang kesesatan ini merupakan perkara muhdats (bid'ah) yang telah menyusup dalam masyarakat islam.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dan permulaan munculnya pemikiran filsafat sesat tersebut di akhir-akhir abad kedua hijriah. Lalu berkembang dengan pesat di tengah abad ketiga hijriah. Dimulai dari Jabir bin Hayyan dan Abu Hasyim dan Abduk hingga Ibnu 'Arobi sang fhilosofi besar, Al-Ghunushy Al-Khothiir, dan melewati Dzu An-Nuun Al-Mishriy, Abi Yaziid Al-Busthoomy, Al-Hallaaj, Al-Junaid, An-Nafary, Al-Gozhaaly, lalu As-Sahrowardi yang terbunuh".

Komentar :

Dalam paragaf ini beliau menjelaskan tentang tokoh-tokoh sufi filsafat yang memiliki pemahaman sesat wihdatul wujud. Yang diantara tokoh-tokoh tersebut ada yang digandrungi oleh kaum sufi di Indonesia. Diantaranya adalah Ibnu 'Arobi dan Al-Ghozali.

Adapun Ibnu 'Arobi maka DR Said Aqiel telah menjelaskan kesesatannya dalam disertasinya tersebut pada hal 446 hingga hal 450. Beliau menjelaskan tentang pemikiran Ibnu Arobi dalam dua kitabnya yang berisikan tentang pemikiran wihdatul wujud (bersatunya Allah dengan alam). Kitab yang pertama adalah kitab Al-Futuhaat Al-Makkiyah, yang dimana Ibnu Arobi mengaku bahwa apa yang dituliskannya dalam kitab tersebut adalah wahyu dan didikte oleh Allah. Adapun kitab yang kedua adalah Fushus Al-Hikam maka Ibnu Arobi mengaku bahwa kitab tersebut datangnya dari Rasulullah. Dalam kitab Fushus Al-Hikam inilah Ibnu Arobi mengatakan bahwa Fir'aun adalah orang beriman dan masuk surga !!, hal ini karena tatkala Fir'aun mengatakan :"Aku adalah Tuham kalian yang maha tinggi" menunjukan bahwa Fir'aun paham bahwasanya Allah telah bersatu dengan alam, telah bersatu dengan dirinya. Jadi perkataan Fir'aun tersebut adalah perkataan yang hak dan benar

Adapun Abu Hamid Al-Ghozaali, maka kesesatannya tentang pemahaman wahdatul Wujud telah dijelaskan oleh DR Said Aqiel Siraj dalam disertasinya pada hal 168 hingga hal 172. Pemikiran wihdatul wujud Al-Ghozaali sangat nampak dalam kitabnya Ihyaa Uluumiddiin (yang kitab ini sangat digandrungi oleh kaum sufi di Indonesia) dan kitabnya Misykaat al-Anwaar. Adapun bantahan terhadap pemikiran Al-Ghozali ini maka telah ditulis dengan panjang lebar oleh DR Said Aqiel dalam disertasinya dari hal 199 hingga hal 221.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :


"Dan merupakan perkara yang diketahui bahwasanya kaum muslimin di Indonesia menghadapi problematika-problematika besar baik problematika politik, ekonomi, sosial dan problematika aqidah. Di hadapan mereka musuh-musuh mereka yang menanti-nanti (*keburukan bagi) kaum muslimin berupa gerakan kristenisasi, sekuler, bathiniyah, dan sekte-sekte sesat –Syi'ah, Ahmadiyah, dan Bahaaiyah, lalu Sufiyah"

Komentar :

Pada paragraf ini DR Said Aqiel menegaskan bahwasanya diantara musuh-musuh kaum muslimin Indonesia adalah gerakan kristenisasi dan sekuler. Selain itu juga sekte-sekte yang sesat seperti Syi'ah dan Ahmadiyah qodyaniah. Dan musuh kaum muslimin Indonesia yang terakhir beliau sebutkan adalah kaum sufi.

Ini merupakan nasehat yang sangat penting dari beliau akan bahayanya kaum Syi'ah dan kaum Sufi, karena mereka adalah musuh-musuh yang senantiasa menanti-nanti keburukan kaum muslimin Indonesia.



DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dan sufiyah di Indonesia sungguh telah sukses besar dalam menyebarkan ajaran-ajaran mereka yang sesat -meskipun kebanyakan mereka tidak beriman dengan aqidah hulul dan ittihad serta wihdatul wujud-. Dan ajaran sufiah ini senantiasa masih termasuk ajaran yang paling berbahaya yang tersebar di negeri Indonesia, hal ini disebabkan kejahilan kaum muslimin di Indonesia terhadap aqidah yang benar"

Komentar :


Pada paraghraf ini, beliau menyatakan bahwa kaum sufi telah sukses besar dalam menyebarkan pemahaman dan ajaran-ajaran mereka di Indonesia. Namun timbul pertanyaan di benak saya, "Siapakah kaum sufi dimaksud oleh beliau??, yang telah berhasil menyebarkan ajaran mereka ke penjuru Indoesia??", Apakah maksud beliau gerakan Muhammadiah?, ataukah Persis?, ataukah NU (Nahdatul Ulama) yang sedang beliau pimpin sekarang ini?, ataukah yang lainnya?. Semoga beliau bisa menjelaskan hal ini, dan semoga para pembaca juga mungkin bisa membantu menjelaskan maksud beliau. Terlebih lagi ada tariqah mu'tabar yang berada di bawah naungan NU, lihat (http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/1/34341/Warta/Habib_Luthfy__Pengurus_Thoriqoh_jangan_Seperti_Krupuk___.html) dan (http://alfiananda.wordpress.com/2010/07/17/thariqah-al-mutabarah-dari-waktu-ke-waktu/, dan http://alfiananda.wordpress.com/2010/07/23/lambang-jam%E2%80%99iyyah-ahlith-thoriqoh-al-mu%E2%80%99tabarah-an-nahdliyyah/, serta lihat komentar DR Said Aqiel tentang tasawwuf di http://nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/34786/Buku/Urgensi_Tasawuf_di_Era_Globalisasi.html

Dan saya sangat setuju dengan pendapat beliau bahwa ajaran-ajaran sesat seperti ini tersebar disebabkan karena kejahilan kaum muslim di Indonesia terhadap akidah yang benar sehingga mudah mereka terjangkiti ajaran-ajaran sufiah.


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dikarenakan hal ini seluruhnya dan setelah aku menulis tesisku untuk meraih gelar Master di bidang aqidah tentang bantahan kepada Kristen maka aku memilih pembahasan desertasiku untuk meraih gelar Doktor tentang bantahan kepada sufiah, terukhususkan sufiah filsafat, dengan judul :

"Hubungan Allah dengan alam menurut sufi filsafat, penelitian dan kritikan"


DR Said Aqiel Siradj, MA berkata :

"Dan telah ditulis banyak pembahasan dan telah tersebar banyak risalah-risalah ilmiah seputar perkara ini, akan tetapi saya melihat perkaranya masih butuh untuk ditinjau kembali, dengan tinjauan islami dengan timbangan/tolak ukurnya yang benar dan analogi yang benar, yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah, dan ditambah dengan manhaj para ulama salafus sholeh"

Komentar :

Pada paragraf ini beliau menegaskan kembali bahwasanya tolak ukur yang benar untuk digunakan dalam mengukur kebenaran yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah dengan manhaj Salaf.



Setelah itu DR Sa'id Aqiel Siraj menyebutkan khuttoh bahas disertasinya lalu beliau berkata :

"Adapun sisi kritikan maka saya memperhatikan manhaj/metode pengkritikan yang ilmiyah yang benar, maka saya mengkritik pendapat-pendapat mereka (kaum sufi) dan saya menjelaskan kebatilan pemikiran-pemikiran mereka dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, dan dengan dalil akal yang shahih, dan dengan perkataan para ulama yang sholihin. Dan dalam hal ini saya berusaha untuk menjauh dari fanatisme/ta'asshub dan sikap tidak inshoof (tidak adil)"

Komentar:

Pada paragraf ini DR Said Aqiel Siroj menjelaskan bahwa beliau menjauhi sikap fanatik dan sikap tidak inshoof (adil) dalam menulis disertasinya. Karenanya saya sangat berharap para pembaca membaca disertasi yang ditulis beliau ini yang sarat dengan faedah dan jauh dari sikap fanatik buta tanpa dalil. Bahkan dalam paragraf ini beliau (DR Said Aqiel) menegaskan bahwa beliau menjelaskan kebatilan pemikiran sufi falsafi dengan berdasarkan perkataan ulama yang sholihin. Siapakah yang dimaksud oleh beliau dengan Ulama yang sholihin ini??. Jika para pembaca menelaah disertasi karya DR Said Aqiel Siroj ini maka para pembaca akan menemukan bahwasanya perkataan alim ulama yang paling dijadikan landasan oleh DR Said Aqiel dalam membatilkan pemikiran sufi falsafi adalah perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang dituduh sebagai dedengkotnya salafy. Jadi sangat jelas bahwasanya DR Said Aqiel menganggap Ibnu Taimiyyah adalah sosok alim ulama yang sholih, karenanya DR Said Aqiel menjadikan perkataan-perkataannya untuk membantah tokoh-tokoh sufi seperti Ibnu Arobi dan Al-Ghozali.


DR Said Aqiel Siradj berkata :

"Dan tujuanku dalam disertasiku ini adalah menampilkan dirosah/penelitian yang sungguh-sungguh dan teliti/detail dengan harapan untuk menampakan dan menjelaskan hakikat/kebenaran, yang selanjutnya adalah untuk membela kebenaran dan untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Maka aku meminta kepada Allah Azza wa Jalla untuk merealisasikan harapan tujuan desertasi ini dan agar memberi faedah kepada para pembacanya dan menjadikannya ikhlash karena mengharapkan wajahNya, dan aku beristighfar kepada Allah atas seluruh kesalahanku yang ada dalam disertasiku ini, dan aku bersyukur kepadaNya atas kebenaran yang Allah hidayahkan kepadaku, dan segala puji bagi Allah di permulaan dan di akhir, dan Dialah cukup bagiku, dan sebaik-baik tempat bertawakal, dan semoga shalawat dan shalam tercurahkan bagi sayyidinaa Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya"

Komentar :

Semoga artikel yang saya paparkan ini membantu mewujudkan terkabulnya harapan DR Said Aqiel Siroj, sehingga risalah disertasi yang bagus ini bisa dipetik faedahnya oleh para pembaca sekalian, khususnya kaum muslimin di Indonesia.


Demikianlah muqoddimah yang ditulis oleh DR Said Aqiel Siraj di muqoddimah disertasi beliau dan sedikit komentar dari saya. Sungguh muqoddimah  yang sarat dengan penjelasan pokok-pokok usul aqidah Ahlus Sunnah yang dibangun di atas manhaj salaf.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 14-01-1433 H / 09 Desember 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
0 comments

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara

Syubhat-Syubhat Sekitar Masalah Demokrasi Dan Pemungutan Suara

Ditulis Oleh:

Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsar
i

Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.

Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. [An-Nisaa : 58]

Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali رضي الله عنهم maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.

Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).

Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:

[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.

[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.

[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.


MAKNA PEMUNGUTAN SUARA

Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.


MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA

Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:

[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.

[2]. Menekankan suara terbanyak.

[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.

[4]. Pengabaian wala' dan bara'.

[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.

[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.

[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.

[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.

[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.

[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.

[11]. Memecah belah kesatuan umat.

[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.

[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.

[14]. Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.

[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.

[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.

[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.

[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).

[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.

[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.

[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.

[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.

[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.

[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.

[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.

[26]. Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.

[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.

[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]

[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.

[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.

[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.

[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.

[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.

[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !

Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!

Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:

Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]

Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah

Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]

Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:

Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.

Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??

Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik -padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.

Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."

Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an

Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999, Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]


SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

[1]. Mereka mengatakan: Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah:

"Artinya :Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka". [Asy-Syuura : 38]

Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.

Bantahan:

Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !

Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.

"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm : 22-23]

[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman رضي الله عنهم telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]

Bantahan:

Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:

[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.

[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.

Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.

Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.

Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.

Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.

Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.

Kesimpulannya:

[a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.

[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.

[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.

[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah ijtihadiyah'

Bantahan:

Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.

Maka jawabannya:

[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.

[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.

Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami yang telah lalu.

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).

Sedang Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.

Maka jawabannya:

[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.

[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.

[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.


Bantahannya:

[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.

[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.

Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.

Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.

[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.

Bantahannya adalah:

Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram.

Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.

Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.

Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]

[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.

Bantahannya:

Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?

Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka sendiri.

Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.

[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.

Bantahannya:

Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur'an: "Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]

Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan: "Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]

Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]

[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya:

Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.

Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.

Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari setitik maslahat.

[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).
Bantahannya:

Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah       صلی الله عليه وسلم berpesan kepadanya: "Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah صلی الله عليه وسلم, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]

Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.

Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau صلی الله عليه وسلم.

Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah      صلی الله عليه وسلم berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah صلی الله عليه وسلم maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!

Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).

Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.

[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.

Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.

Bantahannya:

Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.

Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."

Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.

Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:

[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.

[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:

Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.

[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.

Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah     صلی الله عليه وسلم dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau صلی الله عليه وسلم?


[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama) hizbi ?

Jawabannya tentu saja tidak!

Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan:

[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.

[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:

Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!

Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:

"Artinya : Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih]

Rasulullah    صلی الله عليه وسلم juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib:

"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]

Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas رضي الله عنه, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]

Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.

Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.

[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]
0 comments

MENUNGGU KEBERANIAN GOLONGAN AHMADINAH


MENUNGGU KEBERANIAN GOLONGAN AHMADINAH

Oleh : Ustadz Qomar Minhal

Problematika yang timbul dari keberadaan penganut ajaran Ahmadiyah di tengah kaum muslimin tetap saja akan mencuat. Seiring dengan agresivitas golongan yang pertama kali muncul di daratan India itu dalam menyebarluaskan pemahaman-pemahaman si Nabi Palsu, antek penjajah Inggris.Sebagian orang meyakini kalau Ahmadiyah hanya sekedar firqoh (golongan sempalan) dalam Islam. Sebuah golongan yang mempunyai furu (dalam masalah fikih misalnya) yang berbeda dari golongan lainnya. Tidak ada titik perbedaan selain ini. Pendapat demikian ini dipatahkan oleh Syaikh Ihsan llahi Zhahir . Dalam keterangan beliau, seorang muslim hendaknya tahu betapa besar kesalahan asumsi di atas. Pasalnya, golongan yang juga dikenal nama Qadiyaniah tidak mempunyai hubungan apapun dengan Islam. Hanya saja mereka mengenakan baju Islam untuk mengecoh kaum muslimin.2 Berikut ini 2 (dua) fakta dari kitab-kitab mereka yang menguatkan kesimpulan tersebut, baik tulisan maupun pernyataan sang Nabi Palsu atau para penerus aqidah sesatnya. Wallahul Hadi3 Seorang Muslim Adalah Orang Kafir .


Sebelum Memeluk Agama Ahmadiyah

Keterangan di atas tidak mengada-ada. Bila seorang muslim meninggal, maka tidak akan disholati oleh Ahmadiyyun, juga tidak boleh dikuburkan di pemakaman mereka. Selain itu pula, pernikahan antara seorang lelaki yang menganut agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad ^ dengan wanita penganut ajaran Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad (semoga memperoleh hukuman setimpal dari Allah ®& ) tidak boleh terjadi. Karena ia dalam pandangan 'Nabi' Ghulam Ahmad sudah kafir. Berikut ini penuturan dan pernyataannya: "Orang yang tidak beriman kepadaku, berarti ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya". 4

Putranya yang meneruskan kedustaan sang ayah, Mahmud Ahmad menguatkan: "Seorang lelaki menemuiku di sebuah wilayah. la menanyakan mengenai berita yang telah beredar bahwa kalian mengkafirkan kaum muslimin yang tidak menganut agama Ahmadiyah. Apakah itu memang benar. Maka saya menjawab, lya. Tidak diragukan lagi. Kami memang mengkafirkan kalian". Maka lelaki tersebut merasa aneh dan kaget". 5

Anaknya yang lain, BasyTr Ahmad dengan tanpa malu-malu mengatakan: "Setiap orang yang beriman kepada Musa, tapi tidak beriman kepada Isa: , juga tidak beriman kepada Muhammad, maka dia kafir. Begitu pula orang yang tidak beriman kepada Ghulam Ahmad maka dia kafir juga, telah keluar dari Islam. Kami tidak mengatakan ini dari diri kami sendiri. Namun kami mengutip dari Kitabullah "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya.."(Qs. an-Nisa/ 4:151) (Kalimatul Fas/7/, BasyTr Ahmad bin Nabi Palsu).

Di sini bisa dilihat, bagaimana ia tak lupa mencatut dan membajak ayat al-Qur'an kepentingan golongannya yang lebih pantas disebut agama baru Ahmadiyah. Putra Ghulam pernah juga mengutip pernyataan Nuruddin, pengganti Ghulam yang pertama (Khalifah Ahmadiyah yang pertama setelah kebinasaan Nabi Palsu mereka) : "Sesungguhnya kaum muslimin selain penganut ajaran Qadiyaniah (Ahmadiyah) masuk dalam kandungan firman Allah : "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benamya". Kemudian ia membubuhkan catatan (ta'liq) setelah perkataan di atas, bunyinya: "Bagaimana mungkin orang yang mengingkari Musa 5$&jfe menjadi kafir dan terlaknat, yang mengingkari Isa juga kafir, sementara orang yang mengingkari Ghulam Ahmad tidak kafir. Padahal perkataan kaum mukminin adalah "Kami tidak membeda-bedakan antara seserangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya,". Sementara mereka itu membedakan sikap terhadap para rasul. Oleh karena itu, orang yang mengingkari Ghulam Ahmad pasti orang kafir dan masuk dalam firman Allah : "Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya" (Kalimatul Fashl, BasyTr Ahmad hal. 120, 174).

Dalam kitab an-Nubuwwah Fil llham, hasil karya salah satu ulama Ahmadiyah termaktub: "Sesungguhnya Allah & berkata kepadanya (Si Nabi Palsu): "Orang yang mencintai-Ku dan menaati-Ku, wajib atas dirinya mengikutimu dan beriman kepadamu. Kalau tidak, ia belum mencintai-Ku. Bahkan sebaliknya, ia adalah musuh-Ku. Apabila para pengingkar menolak ini, atau bahkan mendustakanmu dan menyakitimu, maka Kami akan membalas mereka dengan balasan yang buruk, dan Kami persiapkan bagi orang-orang kafir itu Jahannam sebagai penjara bagi mereka". Lalu penulis berkomentar mengenai ilham di atas,'bahwa Allah & telah menjelaskan di sini bahwa orang yang mengingkari Ghulam adalah orang kafir dan balasannya Jahannam". (an-Nubuwwah Wal llham, Muhammad Yusuf al-Qadiyani hal. 40).

Demikian cuplikan aqidah mereka tentang kaum muslimin melalui tulisan-tulisan sang Nabi palsu, keturunan dan tokoh agama mereka. Masih banyak aqidah buruk mereka yang lain, yang kian menegaskan kesimpulan di awal tulisan ini bahwa mereka bukan kaum muslimin lagi. Jadi, tinggal menunggu keberanian mereka untuk menyatakan dengan lantang dan keras bahwa mereka bukan kaum muslimin.

Dengan ini tensi permusuhan kaum muslimin dengan mereka (mungkin) sedikit
banyak akan mereda.[6] Terpaksa Sholat Dengan Kaum Muslimin Karena Takut Terbongkar Jati Dirinya Bukan Muslim

Karena vonis kafir yang mereka arahkan kepada kaum Muslimin, maka mereka tidak memperbolehkan sholat di belakang seorang muslim. Mesti dipastikan terlebih dahulu bahwa sang imam adalah juga penganut agama Ahmadiyah, sebelum mereka ikut serta dalam suatu sholat jamaah. Seandainya mereka ikut serta dalam sholat berjamaah dengan kaum muslimin, itu mereka lakukan sekedar untuk menutupi topeng mereka. Lantas mereka akan mengulangi sholat (ala mereka) di rumah.

Sang Nabi Palsu berkata: "Inilah (keterangan di atas) adalah madzhabku yang sudah jelas. yakni, tidak boleh bagi kalian untuk sholat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Dalam kondisi apapun, siapapun imamnya, walaupun nanti memperoleh pujian dari orang-orang. Inilah hukum Allah dan kehendak Allah (?). Orang yang ragu dan sangsi tentang ini termasuk dalam hitungan kaum yang mendustakan. Allah ingin membedakan kalian dari orang lain (Malfuzhat al-Ghulam/pernyataan-pernyataan Ghulam yang diterbitkan di Majalah al-Hikam milik Ahmadiyah) tanggal 10 Desember 1904 M).

Dalam kitab Arbain miliknya (hal 34-35), si Nabi palsu berkata: "Sesungguhnya Allah &. telah memberiku berita bahwa Dia secara qath'i mengharamkan untuk sholat di belakang orang yang mendustakanku atau ragu untuk taat kepadaku. Kewajiban kalian adalah mengerjakan sholat di belakang imam-imam kalian... kerjakan apa yang saya perintahkan. Apakah kalian ingin amalan kalian terhapus tanpa kalian sadari?".

Si anak pun tak mau kalah. Dalam masalah yang sama, ia menetapkan: "Tidak boleh sholat di belakang selain penganut Ahmadiyah. Orang-orang terus saja bertanya tentang ini, apakah boleh seorang penganut Ahmadiyah sholat di belakang orang yang bukan Ahmadiyah?. Saya katakan meski terus kalian bertanya tentang ini kepadaku, maka jawabnya Sesungguhnya tidak boleh penganut ajaran Ahmadiyah sholat di belangan orang yang bukan menganut (agama) Ahmadiyah, tidak boleh, tidak boleh".Fakta sejarah lain, dengan aktor Khalifah kedua Ahmadiyah, putra Nabi Palsu, Mahmud Ahmad. Dia sedang mengisahkan perjalanan hajinya ke Mekkah. 7 Katanya: "Saya pergi tahun 1912 M ke Mesir. Dari sana kemudian saya berangkat naik haji. Di Jedah, kakek dari ibu menemuiku. Lantas, kami bersama-sama pergi ke Mekkah. Di hari pertama, saat kami thowaf, waktu sholat datang. Saya berniat keluar (dari Masjidil Haram, red). Namun, jalan keluar sudah terhalangi karenanya kondisi sangat padat dengan jamaah sholat. Selanjutnya, saya akhirnya sholat. Kakekku menyuruh aku untuk sholat. Kami pun sholat. Ketika sampai di rumah, kami kemudian saling berkata: "Ayo, kita kerjakan sholat lagi karena Allah. Sholat tidak bisa dilaksanakan dan tidak diterima bila dikerjakan di belakang imam yang bukan penganut Ahmadiyah... "(?!)8

Fakta sejarah lain, dengan aktor Khalifah kedua Ahmadiyah, putra Nabi Palsu, Mahmud Ahmad. Dia sedang mengisahkan perjalanan hajinya ke Mekkah. 7 Katanya: "Saya pergi tahun 1912 M ke Mesir. Dari sana kemudian saya berangkat naik haji. Di Jedah, kakek dari ibu menemuiku. Lantas, kami bersama-sama pergi ke Mekkah. Di hari pertama, saat kami thowaf, waktu sholat datang. Saya berniat keluar (dari Masjidil Haram, red). Namun, jalan keluar sudah terhalangi karenanya kondisi sangat padat dengan jamaah sholat. Selanjutnya, saya akhirnya sholat. Kakekku menyuruh aku untuk sholat. Kami pun sholat. Ketika sampai di rumah, kami kemudian saling berkata: "Ayo, kita kerjakan sholat lagi karena Allah. Sholat tidak bisa dilaksanakan dan tidak diterima bila dikerjakan di belakang imam yang bukan penganut Ahmadiyah... "(?!)8

muslimin ataupun menyolati kaum muslimin (di luar jamaah Ahmadiyah). Karenanya, ketika pendiri Negara Pakistan meninggal, Muhammad AN Jinah $fe , sang menteri luar negeri pada zaman itu yang bernama Zhafrullah Khan tidak menyolati beliau. Sebabnya sangat jelas. Karena Muhammad Ali Jinah $K menurutpandangannya telah kafir lantaran memegangi petunjuk Muhammad dan membebaskan umat Islam dari cakar-cakar penjajah..."9


Penutup

Perkembangan ajaran Ahmadiyah harus diwaspadai setiap muslim. Sebab, hakikatnya merupakan usaha permurtadan. Hingga tidak boleh dilihat dengan sebelah mata. Tatkala mereka mengalami kegagalan dalam mendakwahkan agama Ahmadiyah di daratan India, mereka membidik benua Eropa dan Afrika. Dan ternyata 'lebih berhasil' dalam memurtadkan kaum muslimin. Pasalnya, dalam kurun waktu 70 tahun sejak pertama kali dideklarasikan dan dengan dukungan penuh dari kaum kolonialis, jumlah penganut Ahmadiyah India hanya berkisar pada angka ribuan. Padahal, Jawaharlal Nehru, saat menjabat PM India juga mendukung gerakan permurtadan ini. Karena kaum muslimin di sana mengetahui hakikat busuk Ahmadiyah. Akan tetapi, di benua Afrika dan Eropa, dalam rentang waktu 15 tahun saja, penganut Ahmadiyah berjumlah jutaan. Kata Syaikh Ihsan, penyebabnya ialah, pada waktu itu jumlah dai Islam di sana tidak banyak10.

Sebagai penutup, kami kutipkan pesan beliau kepada umat Islam: "Usaha untuk melawan Ahmadiyah guna menghentikan ancamannya sudah menjadi kewajiban dalam Islam, politik dan secara individual. Dari kaca mata agama, karena telah mengobrak-abrik ajaran Islam dan menghancurkan rukun-rukunnya. Adapun dari sudut politis, lantaran Ahmadiyah merupakan kepanjangan tangan kekuasaan kolonialis di setiap distrik yang ditempati. Dan, secara individu, telah dilakukan oleh DR. Muhammad Iqbal yang menyanggah pernyataan PM Jawaharlal Nehru yang mendukung ajaran agama Ahmadiyah".

Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah, yang tampak maupun tersembunyi. Wallahul a'lam.


Catatan Kaki
Diangkat dari al-Qadiyaniyah, Dirasat Wa Tahiti karya Syaikh IhsSn llahi Zhahir (1941-1987), Idarah Turjumanis Sunnah Lahore
Pakistan tanpa tahun, hal 37-42 al-Qadiyaniyah, Dirasat Wa Tahl/l hal. 37 Topik tentang Ahmadiyah dan Mirza Ghulam Ahmad pernah diangkat dari sudut yang berbeda dari tulisan di atas pada Majalah
as-Sunnah Edisi Khusus Tahun IX (1426H-2005M) Diterbitkan dalam Hazharatul Islam edisi V tahun 1386 H.
Kami tidak sedang ikut serta dalam memprovokasi umat untuk menggayang Ahmadiyah yang eksis di tanah air. Karena, tindakan nahi mungkar mesti memenuhi kaidah-kaidah syariat yang sudah baku. Tidak ditempuh dengan cara-cara serampangan, destruktif dan kekerasan atas dasar emosi atau perasaan belaka
Pada gilirannya, penganut Ahmadiyah dilarang memasuki kota suci Mekkah. Karena mereka telah kafir. Red).
Nukilan dari al-Qadiyaniyah hal. 39-40
al-Qadiyaniyah hal. 42
al-Qadiyaniyah hal. 21-22


Sumber : Majalah As-Sunnah Edisih Bulan November 2008
1 comments

Hizbut Tahrir atau Hizbut Syaithon..................?

Selalu ada pergelutan antara al haq dengan al bathil. Dan Allah telah mengirimkan sekelompok orang yang mempergunakan waktunya guna melindungi dan membela Dien ini (yaitu Al Qur'an dan As Sunnah). Di lain pihak, ada orang-orang yang mengaku dan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan. Padahal Allah telah berfirman tentang mereka

"Dan ketika dikatakan pada mereka supaya jangan berbuat kerusakan di muka bumi ini dengan perbuatannya, mereka berkata 'tapi kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan'. Tapi sesungguhnya mereka adalah pembuat kerusakan namun mereka tidak menyadarinya" (Al Baqarah 11-12)
Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, karena mereka menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan padahal kenyataannya mereka adalah perusak agama.
Pada abad ke 20, yang merupakan akhir dari kerajaan 'Utsmani, banyak bermunculan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam, yang menyatakan bahwa masuk ke dalam dunia politik atau mengambil cara-cara politik adalah merupakan jalan atau cara terbaik guna menjaga martabat Islam dan umat Islam. Namun mereka tidak menganggap bahwa problem utama dari turunnya martabat Islam adalah kelemahan umat Islam. Kelompok-kelompok ini mendasari pemikiran-pemikirannya dengan berdasarkan pada tekanan-tekanan dan emosional, bukan dengan ilmu (agama), dan mereka tidak berusaha untuk mencari ilmu itu. Tingkah laku mereka semrawut, sehingga dengannya tercipta kekacauan.
Klik gambar untuk Mendownload

2 comments

CARA AHLUL BID’AH BERARGUMENTASI

CARA AHLUL BID’AH BERARGUMENTASI
Oleh :IMAM ASY-SYATIBI

Pendahuluan

Setiap (kelompok) yang menyimpang dari Sunnah namun mendakwahkan dirinya menerapkan Sunnah, mesti akan takalluf (memaksakan diri) mencari-cari dalil untuk membenarkan tindakannya (penyimpangan) mereka. Karena, kalau hal itu tidak mereka lakukan, (perbuatan mereka) mengesampingkan Sunnah itu sendiri telah membantah dakwaan mereka. Setiap pelaku bid’ah dari kalangan umat Islam ini mengaku bahwa dirinya adalah pengikut Sunnah -berbeda dengan firqah-firqah lain yang menyelisihinya- hanya saja mereka belum sampai kepada derajat memahami tentang Sunnah secara utuh. Hal itu mungkin karena tidak dalamnya pemahaman mereka tentang perkataan bahasa arab dan kurang paham maksud-maksud yang dikandung Sunnah. Atau, mungkin juga karena tidak dalamnya pemahaman mereka dalam hal pengetahuan kaidah-kaidah ushul sebagai landasan ditetapkannya hukum-hukum syari’at, atau mungkin pula karena dua hal tersebut sekaligus.
Tentang golongan kedua, yaitu tidak dalam pengetahuannya tentang kaidah-kaidah ushul , yang condong dan menyimpang dari kebenaran, kita mendapatkan dua sifat pada mereka berdasarkan ayat Al-Qur’an.
Sifat Pertama, yaitu sifat condong dan menyimpang, yaitu pada firman Allah Ta’ala:
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada

kecondongan (dari kebenaran).”(Qs. Ali Imran:7)

Condong dalam ayat di atas maknanya adalah menyimpang dari jalan yang lurus; dan hal itu merupakan bentuk celaan terhadap mereka.

Sifat Kedua, tidak mendalamnya ilmu mereka (tentang kaidah-kaidah ushul). Menurutmu, bagaimana jadinya bila dia mengikuti (suatu dalil) hanya karena ingin mencari fitnah? Kita sering melihat orang-orang bodoh berhujjah untuk (membela) diri mereka dengan dalil-dalil yang batil; atau dalil-dalil yang shahih, (tapi hanya sepotong-sepotong); sebagian dalil dilirik dan dalil-dalil yang lain dibuang, baik dalam urusan pokok maupun cabang, baik yang mendukung pendapatnya ataupun yang bertentangan dengannya.

Banyak di antara mereka yang mengaku memiliki ilmu, ternyata mengambil cara ini sebagai jalannya. Dia pun mungkin saja memberikan fatwa sesuai dengan yang dikehendaki dalil dan mengamalkan apa yang telah difatwakannya itu dan tujuan (tertentu). Cara seperti ini bukan merupakan kebiasaan orang-orang yang mendalam ilmunya. Cara itu tidak lain merupakan kebiasaan orang-orang yang tergesa-gesa, yang menurut dakwaannya hal itu adalah menjadi solusi.

Dari ayat yang telah disebutkan di muka kita dapatkan bahwa sifat menyimpang dari kebenaran tidak akan terjadi pada seorang yang mendalam ilmunya. Walaupun tidak semuanya begitu, akan tetapi seseorang yang mendalam ilmunya tidak akan menyimpang dari kebenaran dengan sengaja.

Jalan Yang ditempuh Orang Yang Menyimpang

Sesungguhnya orang yang mendalam ilmunya memiliki jalan yang mereka tempuh dalam mengikuti kebenaran, dan orang-orang yang menyimpang mempunyai jalan lain yang berbeda.

Kita perlu mengetahui jalan-jalan yang ditempuh oleh mereka (orang-orang yang menyimpang) untuk kita jauhi. Mari kita perhatikan sebuah ayat yang menyebutkan bagaimana jalan mereka dan bagaimana jalan orang-orang yang mendalam ilmunya. Allah Ta’ala berfirman:


“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lainnya karena itu akan mencerai Beraikan kalian dari jalan-Nya.” (Qs. Al-An’am: 153).

Ayat di atas menyebutkan bahwa jalan kebenaran hanyalah satu, sedangkan kebatilan memiliki jalan-jalan yang banyak; tidak hanya satu, dan tidak terbatas jumlahnya.

Kemudian mari kita perhatikan pula sebuah hadist yang menafsirkan ayat tersebut yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra.

“(Suatu Ketika) di hadapan kami Rasulullah menggambarkan satu garis, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan Allah yang lurus.” Kemudian beliau menggambarkan garis-garis lain yang banyak di kanan dan kiri garis tadi, lalu berkata, ‘Ini adalah jalan-jalan lain (selain jalan Allah), yang pada setiap jalan tersebut ada syaitan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan ayat ini.” (Hadist Shahih)

Dalam hadist di atas disebutkan adanya garis(maksudnya kelompok-kelompok sesat) yang banyak, beragam dan tidak terbatas jumlahnya. Secara naqli kita tidak boleh membatasi jumlahnya; begitu juga secara aqli ataupun istiqra’ (penelitian). Akan tetapi akan kita sebutkan beberapa patokan secara umum untuk dijadikan pedoman melihat kelompok-kelompok tersebut, yaitu:

1. Mereka bersandar kepada hadist-hadist lemah

Hadist-hadist yang lemah sandnya besar kemungkinan tidak diucapkan pleh Nabi. Jadi tidak mungkin suatu hukum didasarkan kepada hadist-hadist seperti itu. Bagaimana bila hadist-hadist yang mereka jadikan hujjah telah dikenal dusta?

2. Mereka menolak hadist-hadist (shahih), yang tidak sejalan dengan tujuan dan madzhab mereka

Mereka mengatakan bahwa (hadist-hadist) seperti itu menyelisihi akal, tidak mengacu kepada maksud suatu dalil, maka harus ditolak. Dengan berdalih seperti itu mereka mengingkari siksa kubur, ash-shirath (jembatan), mizan (timbangan amal), dan ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat nanti. Mereka juga menolak hadist tentang ‘lalat’ dan perintah untuk) membunuhnya (yaitu dengan membenamkan ke dalam minuman yang dimasukinya. pent). Mereka tidak mempercayai bahwa pada salah satu sayap lalat terkandung penyakit sedangkan pada sayap satunya terkandung obat penawarnya, dimana Rasulullah lebih dahulu menyebutkan sisi sayap yang terkandung penyakit (Lihat Kitab Shahih Bukhari (Hadist no.3142) dan kitab lainnya. Pent). Dan masih banyak hadist-hadist shahih lainnya (yang mereka tolak) yang diriwayatkan oleh orang-orang yang adil (terpercaya). Bahkan, mereka mencela para periwayat hadist-hadist tersebut, dari kalangan sahabat maupun tabi’in sekalipun; dan juga mencela orang-orang yang telah disepakati keadilan dan keimanan mereka oleh para muhadditsin (ahli hadist). Semua itu mereka lakukan untuk membantah siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka. Mereka menolak fatwa-fatwa dari orang-orang yang menyelisihi mereka dan menjelek-jelekannya dihadapan khalayak manusia, untuk menjauhi umat Islam dari Sunnah dan orang-orang yang mengikutinya.

3. Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab.

Mereka menerka-nerka maksud perkataan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab, padahal mereka tidak memiliki ilmu bahasa Arab yang cukup untuk memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya itu. Akhirnya mereka membuat kebatilan terhadap syari’at dengan pemahaman dan cara mereka, menyelisihi orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan mereka lakukan hal itu tidak lain karena berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri dan berkeyakinan bahwa mereka termasuk golongan ahli ijtihad yang berhak menetapkan hukum, padahal realitanya mereka bukan termasuk golongan tersebut.

4. Mereka menyeleweng dari prinsip-prinsip agama yang telah jelas dan mengikuti perkara-perkara yang samar (mutasyabihat) yang mungkin diperselisihkan oleh akal masing-masing orang

Para ulama telah menetapkan bahwa setiap dalil yang didalamnya mengandung kesamaran dan kesulitan, pada hakekatnya bukanlah dalil, sampai menjadi jelas maknanya dan terang apa yang dimaksud. Karena hakekat sebuah dalil adalah keadaan dzanya sendiri harus jelas dan bisa (secara jelas pula) menunjukkan kepada sesuatu yang lain. Jika tidak demikian berarti masih membutuhkan dalil lagi. Lalu jika dalil tersebut menunjukkan akan ketidak shahihannya (sebagai SEBUAH DALIL berarti tidak layak untuk dikatakan sebagai dalil.

Sumber kekeliruan mereka dalam hal ini tidak lain adalah kebodohan mereka tentang maksud-maksud syari’at dan tidak mau memadukan dalil-dalil syar’I satu dengan lainnya. Kerena menurut orang-orang yang mendalam ilmunya, dalam mengambil dalil-dalil syar’I haruslah secara utuh dan memenuhi kaidah-kaidah syar’I, misalnya:

- Suatu unsur merupakan juz’iyyat (bagian) dari suatu kulliyat (kumpulan besar);

- sesuatu yang ‘am (umum) biasanya diikuti dengan sesuatu yang khas (khusus);

- sesuatu yang muthlaq (mutlak) biasanya diikuti dengan muqayyid (yang membatasi);

- sesuatu yang mujmal (global) biasanya diikuti dengan bayan (penjelas);

- dan lain-lain yang serupa dengan itu.

5. Menyimpangkan dalil-dalil dari arti yang sebenarnya

Bila ada dalil yang membahas perkara tertentu, (mereka) palingkan dari perkara tersebut kepada perkara lain dengan anggapan bahwa dua perkara itu sama. Inilah di antara bentuk penyimpangan tersembunyi yang mereka lakukan terhadap dalil-dalil dari makna yang sebenarnya. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan demikian.

Besar kemungkinan, orang yang mengakui Islam dan mengetahui tercelanya tindakan menyimpangkan kata-kata dari makna sebenarnya itu, tidak akan melakukan penyimpangan semacam itu. Akan tetapi mereka mungkin melakukan hal itu tatkala ada kesamaran yang melintas pada dirinya, atau karena kebodohan yang menghalangi dirinya untuk mengetahui kebenaran, bahkan adakalanya disertai hawa nafsu yang membutakan hatinya untuk mengambil dalil dari sumbernya. Nah, bila sebab-sebab tersebut terkumpul jadilah dia seorang pelaku bid’ah.

Penjelasannya sebagai berikut. Dalil syar’I yang mengandung suatu perintah global dalam urusan peribadatan, seperti: berdzikir, berdo’a, amalan-amalan sunnah yang dianjurkan, dan amalan-amalan lainnya yang pelaksanaannya tidak diatur tatacara pelaksanaannya oleh Allah Ta’ala, maka harus dilakukan oleh seorang mukallaf secara global juga. Jadi dalil tersebut harus dia pahami dari dua sisi: (yaitu) sisi maknanya dan bagaimana para Salafus salih mengamalkan dalil tersebut. Jiak seorang mukallaf mengerjakan perintah tersebut dengan tata cara tertentu, atau di waktu tertentu, dan dia konsisten melakukan itu sehingga dia menganggap bahwa tata cara, atau waktu, atau tempat tersebut adalah yang dimaksudkan oleh syari’at dengan tanpa dalil yang menunjukkan kepada hal itu, maka dalil yang global tersebut telah dia lepas dari makna seharusnya.

Untuk memperjelas kita berikan gambaran demikian. Kita tahu, bahwa syari’at menganjurkan kita berdzikir kepada Allah Ta’ala. Lalu ada suatu kaum yang (senantiasa melakukannya) dengan cara berjama’ah secara serempak dengan satu suara, atau pada waktu tertentu, dengan dikomandoi oleg seorang seperti yang biasa terjadi di masjid-masjid, padahal kita tahu syari’at tidak menganjurkan yang seperti itu, bahkan justeru sebaliknya. Maka, perbuatan seperti itu jelas menyelisihi kaidah. Karena, pertama, dia telah meyelisihi kemutlakan suatu dalil dengan memberi batasan-batasan tertentu sekehendak akalnya; dan kedua, dia menyelisihi orang-orang yang lebih paham tentang syari’at daripada dirinya, yaitu para Salafus shalih. Padahal Rasulullah sendiri pernah meninggalkan suatu amalan –padahal beliau senang melakukannya- karena khawatir hal itu akan diikuti oleh manusia yang kemudian diwajibkan kepada mereka. Bukankah kita mengetahui, bahwa yang senantiasa Rasulullah lakukan secara jama’ah, bila bukan shalat fardhu berarti shalat sunnah muakkad, menurut para ulama, seperti dua shalat Id, yaitu Idul Fitri dan Idul adh-ha, shalat Istisqa’ (minta hujan), shalat kusuf (gerhana matahari), atau semisalnya? Beliau tidak melakukannya secara berjama’ah untuk shalat malam dan perbuatan-perbuatan sunnah lainnya, karena shalat-shalat tersebut hanya mustahab (yang dianjurkan) saja hukumnya. Rasulullah sendiri menganjurkan kita melaksanakan shalat-shalat tersebut secara sendiri-sendiri. Hal itu tidak lain karena bisa menyusahkan bila shalat-shalat tersebut pelaksanaannya ditunjukkan dan dinampakkan (dengan berjama’ah).

Contoh kasus lain dalam hal ini adalah membiasakan berdo’a setelah sholat dengan cara bersama-sama dan mengeraskannya. Masalah ini akan dibahas secara khusus di bagian belakang Insya Allah Ta’ala.

6. Ada diantara mereka yang menetapkan perkara-perkara syar’I berdasarkan takwil yang tidak bisa diterima akal.

Mereka mendakwakan (hasil penetapannya itu) bahwa itulah yang dimaksud dan yang diinginkan oleh syari’at. Sementara mereka tidak (memahami dalil-dalil syar’I) seperti yang dipahami oleh orang Arab. Mereka berkata: “Setiap apa yang terdapat dalam syari’at, baik menyangkut hal-hal yang harus dilakukan oleh manusia, masalah dikumpulkannya manusia dan membeberkannya amalan-amalan mereka (pada hari kiamat), serta perkara-perkara yang terkait dengan penyembahan (kepada Allah), maka itu adalah contoh-contoh urusan yang ghaib.”

7. Berlebihan dalam mengangungkan guru-guru mereka

mereka mendudukkan guru-guru mereka itu pada tempat yang tidak selayaknya. Kalau tidak karena berlebih-lebihan dalam beragama, berlebihan membela madzhab, dan berlebihan dalam mencintai pelaku bid’ah, tentu tidak akan ada pada pikiran seseorang untuk mengagungkan guru seperti itu. Akan tetapi Rasulullah telah bersabda:

“Sungguh kalian akan mengikuti jalannya orang-orang sebelum

kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta.”

(HR.Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669

dan yang lainnya dari hadist Abu Sa’id Al-Khudri)

Jadi, mereka itu berlebih-lebihan (terhadap guru-guru mereka) seperti halnya orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa bin Maryam, yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryam.” Maka, Allah berfirman:


Katakanlah (Wahai Muhammad), ”Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian dengan cara yang tidak benar. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sejak dahulu telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad); dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka pun tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.s. Al-Ma’idah: 77)

Rasulullah Bersabda:

“Janganlah kalian berlebih-lebihan (memuji)ku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan (memuji) ‘Isa Putera Maryam, tetapi katakanlah: (Aku ini) Hamba Allah dan Rasul-Nya.”

(HR. Bukhari no. 6830 dari Umar bin Al-Khathab)

barangsiapa memperhatikan orang-orang (yang melakukan tindakan seperti di atas) niscaya akan menemukan banyak perbuatan bid’ah yang mereka lakukan dalam cabang-cabang syari’at. Karena, memang, yang namanya Bid’ah bila telah masuk ke dalam perkara pokok (ushul), maka akan mudah masuk kedalam cabang-cabangnya (furu’).

8. Berhujjah dengan mimpi-mimpi

Hujjah yang paling lemah adalah hujjah suatu kaum yang menyandarkan kepada mimpi-mimpi untuk melaksanakan atau meninggalkan suatu amalan. Mereka biasanya berkata, “Kami bermimpi bertemu dengan si fulan, -biasanya seseorang yang shalih-, lalu dia berkata kepada kami, ‘Tinggalkan amalan itu, dan lakukan amalan ini!” Sebagian yang lain berkata, “Aku bermimpi (berjumpa) Rasulullah di waktu tidur, lalu beliau berkata begini dan memerintahkan begitu,”kemudian mengamalkan atau meninggalkan suatu amalan berdasarkan mimpinya itu, berpaling dari batasan-batasan yang telah dibuat oleh syari’at.”

Jelas itu suatu kesalahan. Karena, menurut syari’at, selain mimpi para nabi sama sekali tidak bisa diambil sebagai hukum. Mimpi-mimpi tersebut harus dikembalikan kepada hukum-hukum syari’at yang ada. Kalau cocok dengan hukum syari’at, maka mimpi tersebut boleh diamalkan, namun bila tidak cocok, maka wajib ditinggalkan dan dijauhi. Mimpi bisa kita jadikan sebagai kabar gembira atau peringatan saja;tidak bisa dijadikan ketetapan hukum.

Dan tidak bisa kita berkata, “Mimpi adalah satu bagian dari kenabian yang tidak boleh diabaikan. Bisa jadi yang mengabarkan dalam mimpi itu adalah Rasulullah,karena beliau bersabda:

“Barangsiapa melihatku di waktu tidur maka dia benar-benar telah melihatku, karena syetan tidak dapat menyerupaiku.”

(Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 6993, Muslim no. 2266 dari Abu Hurairah. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari no. 6994 dari Anas no. 6997 dan dari Abu Said Al-Khudri;serta Muslim no. 2268 dari Jabir).

Jadi pengabaran beliau pada saat tidur (mimpi) sama seperti pengabaran beliau pada saat terjaga.

Tidak bisa kita berkata seperti perkataan di atas), karena:

1. Jika mimpi adalah salah satu bagian dari kenabian, maka mimpi tersebut bukan merupakan wahyu secara keseluruhan, melainkan hanya sebagiannya saja. Sedangkan satu bagian itu tidak bisa menduduki tempat secara keseluruhan dalam segala sisi, melainkan hanya mendudukinya pada beberapa sisi saja. Mimpi bisa dipakai sebagai bentuk kabar gembira (bisyarah) dan peringatan (nidzarah) saja, tidak menjangkau aspek hukum.

2. Mimpi merupakan bagian dari kenabian di antara syaratnya adalah harus merupakan mimpi yang benar dari seorang yang shalih. Padahal terpenuhinya syarat-syarat tersebut jelas membutuhkan penelitian, sehingga bisa jadi terpenuhinya dan bisa pula tidak.

3. Mimpi sendiri terbagi-bagi. Ada mimpi yang merupakan mimpi biasa yang datangnya dari syetan; ada yang merupakan khayalan; dan ada juga yang merupakan rekaman peristiwa yang terjadi sebelum tidur. Kapan kita bisa menentukan mimpi yang benar sehingga bisa diambil sebagai patokan hukum dan mana mimpi yang tidak benar untuk kita tinggalkan?

Mimpi yang menggambarkan Rasulullah mengabarkan tentang suatu hukum pun perlu dilihat. Bila (di dalam mimpi orang tersebut) beliau mengabarkan tentang suatu hukum yang sesuai dengan syari’at, maka (pada hakekatnya) hukum yang dipegang adalah hukum yang telah ada (dalam syari’at) tersebut. Dan jika beliau mengabarkan tentang sesuatu yang menyelisihi (syari’at), maka itu mustahil. Karena setelah Rasulullah wafat, syari’at yang telah ditetapkan semasa hidupnya tidak akan manshukh (diganti dengan yang lainnya). Sebab agama Islam ini, meskipun Rasulullah telah wafat, ketetapan hukumnya tidak akan berubah dengan sebab mimpi seseorang. Karena hal itu suatu kebatilan menurut ijma’. Jadi barang siapa yang bermimpi (mendapati Rasulullah mengabarkan suatu hukum yang bertentangan dengan syari’at yang telah ada) itu, maka tidak boleh diamalkan. Dan pada saat tersebut kita katakana: Mimpi orang tersebut tidak benar. Karena kalau dia benar-benar (bermimpi) melihat Rasulullah, tentu beliau tidak akan mengabarkan sesuatu yang menyelisihi syari’at.

Sekarang, mari kita bicarakan makna sabda Rasulullah

“Barangsiapa yang melihatku di waktu tidur, berarti ia telah melihatku.”

Dalam hal ini ada dua penafsiran, yaitu:

Pertama. Makna hadist tersebut (adalah):

“Barangsiapa(bermimpi) melihatku sesuai bentuk di mana aku diciptakan maka ia telah melihatku; karena syetan tidak bisa menyerupaiku.”

Karena beliau tidak mengatakan, “Barang siapa yang berpendapat bahwa dia melihatku (dalam mimpi), maka dia telah melihatku”, tetapi mengatakan, “Barangsiapa melihatku (dalam mimpi) maka dia telah melihatku”. Darimana orang yang berpendapat bahwa dirinya melihat Rasulullah itu memastikan kalau yang dia lihat dalam mimpinya itu betul-betul wujud beliau? Jika dia tetap (bersikeras) telah melihat beliau, padahal dia tidak bisa memastikan kalau yang dilihatnya itu adalah betul-betul wujud beliau, maka ini adalah sesuatu yang sulit untuk dipercaya.

Kesimpulannya: apa yang dilihat dalam mimpi seseorang bisa saja bukan Rasulullah, meskipun orang yang bermimpi meyakini bahwa itu adalah beliau.

Kedua. Para ahli ta’bir mimpi berkata, “sesungguhnya syetan bisa mendatangi seseorang yang sedang tidur dalam bentuk tertentu, seperti dalam bentuk orang yang dikenal oleh yang bermimpi tersebut atau yang lainnya. Lalu (syetan) menunjukkannya kepada orang lain (sambil berkata): ‘Fulan ini adalah Nabi!’ Cara seperti itulah yang ditempuh syetan dalam menjalankan tipu dayanya terhadap orang yang bermimpi. Padahal, sosok Nabi mempunyai tanda-tanda tertentu. Kemudian, sosok yang ditunjukkan oleh syetan tersebut menyampaikan perintah atau larangan yang tidak sesuai dengan syari’at kepada orang (yang bermimpi). Orang yang bermimpi itu mengira kalau itu dari Rasulullah, padahal bukan, sehingga ucapan, perintah, atau larangan yang disampaikan dalam mimpi itu tidak boleh kita percaya.”

Jadi, jelaslah sudah permasalahan ini. Yaitu, bahwa suatu hukum tidak bisa diambil dari mimpi-mimpi sebelum dicocokkan terlebih dahulu dengan dalil, karena gambaran yang ada dalam mimpi kemungkinan tercampur dengan kebatilan.

Hanya orang-orang yang lemah hatinya sajalah yang berdalil dengan mimpi dalam masalah hukum-hukum (syar’I). Memang, bisa saja orang yang dilihat (dalam mimpi) itu dating dengan membawa pemberitahuan, kabar gembira, maupun peringatan secara khusus, akan tetapi para ahli ta’bir mimpi itu tidak menjadikannya sebagai pedoman dalam menentukan hukum dan membangun suatu kaidah. Memang sikap yang benar dalam menyikapi apa yang terlihat dalam mimpi adalah dengan selalu berpatokan dengan syari’at yang ada, wallahu a’lam.

Barangsiapa yang memperhatikan cara ahli bid’ah dalam berdalil, niscaya dia akan mengetahui bahwa mereka itu tidak memiliki alas an yang mapan. Karena alasan-alasan mereka itu terus saja mengalir berubah-ubah, tidak akan pernah berhenti pada satu alas an tertentu. Dan berdasarkan alas an-alasan itulah, orang-orang yang menyimpang dan orang-orang kafir mendasarkan penyimpanmgan dan kekufurannya, serta menisbatkan ajarannya itu kepada syari’at.

Barangsiapa yang tidak ingin terperosok ke dalam tindakan semacam itu, hendaknya mencari kejelasan jalan mana yang lurus baginya. Karena siapa yang berani meremehkan (hal ini), niscaya tangan-tangan hawa nafsu akan melemparkan kedalam berbagai kebinasaan yang tiada seorang pun dapat membebaskannya, kecuali bila Allah menghendaki lain.

Sumber : Kutaib “Muhtashar Al-I’tisham”

Edisi Indonesia “Ringkasan Al-I’tisham, Imam Asy-Syatibi,
Membedah Seluk Beluk Bid’ah ”
Peringkas Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As-Saqqaf
Bab 4. Hal 107-108


0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger