Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Mabahts. Show all posts
Showing posts with label Mabahts. Show all posts

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah

Puasa dan Berhari Raya Bersama Pemerintah


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih‘” (HR. Tirmidzi 632, Ad Daruquthni 385)

Dalam lafadz yang lain:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ

Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka” (HR Ad Daruquthni 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya 238)

Derajat Hadits

At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan gharib”. An Nawawi berkata: “Sanad hadits ini hasan” (Al Majmu’, 6/283). Syaikh Al Albani berkata: “Sanad hadits ini jayyid” (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/440).

Faidah Hadits

Pertama: Puasa dan lebaran bersama pemerintah dan mayoritas orang setempat
At Tirmidzi setelah membawakan hadits ini ia berkata: “Hadits ini hasan gharib, sebagian ulama menafsirkan hadits ini, mereka berkata bahwa maknanya adalah puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia”.

Ash Shan’ani berkata: “Hadits ini dalil bahwa penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mereka dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha” (Subulus Salam 2/72, dinukil dari Silsilah Ash Shahihah 1/443)

Al Munawi mengatakan: “Makna hadits ini, puasa dan berlebaran itu bersama Al Jama’ah dan mayoritas manusia” (At Taisiir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 2/106)

Syaikh Al Albani menjelaskan, bahwa makna ini juga dikuatkan oleh hadits ‘Aisyah, ketika Masruq (seorang tabi’in) menyarankan beliau untuk tidak berpuasa ‘Arafah tanggal 9 Dzulhijjah karena khawatir hari tersebut adalah tanggal 10 Dzulhijjah yang terlarang untuk berpuasa. Lalu ‘Aisyah menjelaskan kepada Masruq bahwa yang benar adalah mengikuti Al Jama’ah. ‘Aisyah radhiallahu’anha berdalil dengan hadits:

النحر يوم ينحر الناس، والفطر يوم يفطر الناس

An Nahr (Idul Adha) adalah hari ketika orang-orang menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah 1/444)

Perlu diketahui, bahwa istilah Al Jama’ah maknanya adalah umat Islam yang berkumpul bersama ulama dan penguasa muslim yang sah, mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi. Mengenai istilah ini silakan baca artikel Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Maka mengikuti Al Jama’ah dalam hal penentuan Ramadhan dan hari raya adalah mengikuti keputusan pemerintah muslim yang sah yang berkumpul bersama para ulamanya yang diputuskan melalui metode-metode yang sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Hal ini juga dalam rangka mengikuti firman Allah Ta’ala :

أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ

Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Memang bisa jadi imam atau pemerintah berbuat kesalahan dalam penetapan waktu puasa, semisal melihat hilal yang salah, atau menolak persaksian yang adil dan banyak, atau juga menerima persaksian yang sebenarnya salah, atau kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Namun yang dibebankan kepada kita sebagai rakyat adalah hal ini adalah sekedar ta’at dan menasehati dengan baik jika ada kesalahan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا

Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Kedua: Urusan penetapan waktu puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah
As Sindi menjelaskan, “Nampak dari hadits ini bahwa urusan waktu puasa, lebaran dan idul adha, bukanlah urusan masing-masing individu, dan tidak boleh bersendiri dalam hal ini. Namun ini adalah urusan imam (pemerintah) dan al jama’ah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk tunduk kepada imam dan al jama’ah dalam urusan ini. Dari hadits ini juga, jika seseorang melihat hilal namun imam menolak persaksiannya, maka hendaknya orang itu tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sendiri, melainkan ia hendaknya mengikuti al jama’ah” (Hasyiah As Sindi, 1/509).

Hal ini juga didukung oleh dalil yang lain yang menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa dan lebaran adalah urusan pemerintah. Sebagaimana yang dipraktekan di zaman Nabi. Sahabat Ibnu Umar berkata:

«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ

Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Hadits Ibnu Umar di atas menunjukkan bahwa urusan penetapan puasa diserahkan kepada pemerintah bukan diserahkan kepada masing-masing individu atau kelompok masyarakat.
Ketiga: Persatuan umat lebih diutamakan daripada pendapat individu atau kelompok
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menuturkan:
Ketentuan seperti inilah yang layak bagi syariat yang samahah ini yang salah satu tujuannya adalah persatuan ummat dan bersatunya mereka dalam satu barisan, serta menjauhkan segala usaha untuk memecah belah umat dengan adanya pendapat-pendapat individu. Pendapat-pendapat individu (walaupun dianggap benar), dalam perkara ibadah jama’iyyah seperti puasa, shalat jama’ah, pendapat-pendapat itu tidak teranggap dalam syariat.

Tidakkah anda lihat para sahabat Nabi bermakmum kepada sahabat yang lain? Padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, keluar darah adalah pembatal wudhu sedangkan sebagiannya tidak berpendapat demikian. Sebagian mereka ada yang shalat dengan rakaat sempurna ketika safar, dan ada yang meng-qashar. Namun ikhtilaf ini tidak membuat mereka enggan bersatu dalam satu shaf shalat dan menjadi makmum bagi yang lain dan tetap menganggap shalatnya sah. Itu karena mereka mengetahui bahwa berpecah-belah dalam masalah agama itu lebih buruk daripada kita menyelisihi sebagian pendapat.

Pernah terjadi di antara mereka, sebuah kasus adanya sahabat yang enggan mengikuti pendapat imam yang berkuasa dalam sebuah masyarakat yang besar di Mina. Bahkan sampai ia enggan beramal dengan pendapat sang imam secara mutlak karena khawatir terjadi keburukan jika beramal sesuai dengan pendapat sang imam. Abu Daud (1/307) meriwayatkan

أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، ومع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا! فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعا؟ ! قال: الخلاف شر

Utsman bin ‘Affan radhiallahu’anhu shalat di Mina empat raka’at. Maka Ibnu Mas’ud pun mengingkari hal ini dan berkata: “Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dua raka’at (diqashar), bersama Abu Bakar dua raka’at, bersama Umar dua rakaat, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at, tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at. Namun setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Ada yang bertanya: ‘Ibnu Mas’ud, engkau mengkritik Utsman namun tetap shalat empat raka’at?’. Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Perselisihan itu buruk’
Sanad hadits ini shahih, diriwayatkan juga oleh Ahmad (5/155) semisal ini dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu.

Renungkanlah hadits ini dan juga atsar yang kami sebutkan, khususnya bagi orang-orang yang selalu saja berselisih dalam shalat mereka, tidak mengikuti para imam masjid. Terutama dalam shalat witir di bulan Ramadhan, dengan alasan beda madzhab. Sebagian mereka juga ada yang menyerukan ilmu falak, lalu mereka berlebaran sendiri lebih dahulu atau lebih akhir daripada mayoritas kaum muslimin, karena menggunakan pendapat dan ilmu falak mereka. Dengan sikap acuh-tak-acuh mereka menyelisihi kaum muslimin. Hendaknya mereka ini merenungkan ilmu yang kami sampaikan, mudah-mudahan mereka bisa memahaminya. Sebagai obat dari kejahilan dan ketertipuan mereka. Sehingga akhirnya mereka bisa bersatu dalam barisan bersama kaum muslimin yang lain, karena tangan Allah bersama Al Jama’ah (Silsilah Ahadits Shahihah, 1/445)
Keempat: Isyarat tentang adanya perselisihan umat dalam masalah penetapan puasa
Hadits di atas juga merupakan isyarat dari Nabi bahwa akan ada orang dan kelompok-kelompok yang menyelisihi petunjuk Nabawi dalam penentuan waktu puasa. Al Mubarakfuri berkata: “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini, maknanya adalah kabar bahwa manusia akan terpecah menjadi kelompok-kelompok dan menyelisihi petunjuk Nabawi. Ada kelompok yang menggunakan hisab, ada kelompok yang berpuasa atau berwukuf lebih dulu bahkan mereka menjadikan hal itu syi’ar kelompok mereka, merekalah bathiniyyah. Namun yang selain mereka adalah mengikuti petunjuk Nabawi, yaitu golongan orang-orang yang zhahir ‘alal haq, merekalah yang didalam hadits di atas disebut an naas, merekalah as sawaadul a’zham, walaupun jumlah mereka sedikit”. (Tuhfatul Ahwazi, 3/313)

Jika Pemerintah Menggunakan Metode Hisab?

Syaikh Dr. Saad asy Syatsri, mantan anggota Lajnah Daimah dan Haiah Kibar Ulama KSA, mengatakan, “Seandainya penguasa di sebuah negara menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka apa yang seharusnya dilakukan oleh rakyat ketika itu?” Hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama mengatakan hendaknya rakyat mengikuti keputusan pemerintah. Dosa ditanggung pemerintah sedangkan rakyat bebas dari tanggung jawab terkait hal ini. Alasan mayoritas ulama adalah karena dalil-dalil syariat memerintahkan dan mewajibkan rakyat untuk mentaati pemerintah. Dengan demikian, gugurlah kewajiban rakyat dengan mentaati keputusan pemerintah dan tanggung jawab di akhirat tentang hal ini dipikul oleh pemerintah.

Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa jika pemerintah menetapkan hari raya berdasarkan hisab maka keputusannya tidak ditaati sehingga rakyat berhari raya sebagaimana hasil rukyah yang benar. Rakyat tidak boleh beramal berdasarkan keputusan pemerintah tersebut. Imam Malik mengatakan bahwa alasannya adalah adanya ijma ulama yang mengatakan bahwa hisab tidak boleh menjadi dasar dalam penetapan hari raya dan dalil-dalil syariat pun menunjukkan benarnya hal tersebut.

Dalam kondisi tidak taat kepada pemerintah tidaklah bertentangan dengan berbagai dalil yang memerintahkan rakyat untuk mentaati pemerintah dalam kebaikan semisal hadits

إنما الطاعة في المعروف

Ketaatan kepada makhluk itu hanya berlaku dalam kebaikan

dan hadits:

لا طاعة لمخلوق في معصية الله

Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Allah
Kesimpulannya, yang tepat pendapat mayoritas ulama dalam masalah ini itu lebih kuat dari pada pendapat Imam Malik. Sehingga wajib bagi rakyat untuk mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan hari raya sedangkan dosa menjadikan hisab sebagai landasan penetapan hari raya itu ditanggung oleh pemerintah yang memutuskan hari raya berdasarkan hisab” (Di kutip dari blog ustadz aris munandar)
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 comments

Menggugat Demokrasi – Daftar Isi

 Menggugat Demokrasi – Daftar Isi


Berikut Daftar Isi Buku “Menggugat Demokrasi dan Pemilu, Menyingkap Borok-borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya”, karya Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam yang dinukil oleh Blog Ulama Sunnah dari situs http://www.assunnah.cjb.net:

1 Menggugat Demokrasi – Mukaddimah Penyusun

2 Menggugat Demokrasi – Definisi Demokrasi

3 Menggugat Demokrasi – Unsur Demokrasi

4 Menggugat Demokrasi – Pandangan Islam Terhadap Orang Yang Menerima Paham Demokrasi

5 Menggugat Demokrasi – Mendekatkan Ajaran Islam Dengan Demokrasi

6 Menggugat Demokrasi – Apakah Demokrasi dan Pemilu Sama Dengan Musyawarah Dalam Islam?

7 Menggugat Demokrasi – Membantah Syubhat

8 Menggugat Demokrasi – Sistem Demokrasi Selaras Dengan Islam?

9 Menggugat Demokrasi – Pemilu Sudah Ada di Awal Sejarah Islam?

10 Menggugat Demokrasi – Boleh Mengambil Sebagian Sistem Jahiliyah?

11 Menggugat Demokrasi – Pemilu Adalah Perkara Ijtihadiyah?

12 Menggugat Demokrasi – Pemilu Termasuk Mashalih Al Mursalah?

13 Menggugat Demokrasi – Pemilu dan Hizbiyyah Adalah Persoalan Artifisial Bukan Substansial?

14 Menggugat Demokrasi – Kami Berniat Baik?

15 Menggugat Demokrasi – Mendirikan Negara Islam?

16 Menggugat Demokrasi – Menegakkan Syariat Secara Bertahap?

17 Menggugat Demokrasi – Kami Akan Mengalihkan UU Sekuler Menuju UU Islam!

18 Menggugat Demokrasi – Kami Tidak Ingin Memberi Peluang Kepada Musuh!

19 Menggugat Demokrasi – Kami ‘Terpaksa’ Terjun Ke Dalam Pemilu dan Parlemen!

20 Menggugat Demokrasi – Kami Masuk Ke Dalam Pemilu Karena Darurat!

21 Menggugat Demokrasi – Dengan Ikut Pemilu Berarti Memilih Bahaya Yang Paling Ringan!

22 Menggugat Demokrasi – Ulama-Ulama Yang Mulia Telah Berfatwa Tentang Disyariatkannya Pemilu!

23 Menggugat Demokrasi – Nasehat: Jangan Membela Kebatilan

24 Menggugat Demokrasi – Nasehat: Jangan Berkata Tanpa Ilmu

25 Menggugat Demokrasi – Nasehat: Ambillah Ilmu Dari Ahlinya

26 Menggugat Demokrasi – Nasihat Kepada Para Penuntut Ilmu

27 Menggugat Demokrasi – Penutup dan Ucapan Terima Kasih

0 comments

Masa Muda Cerminan Masa Tua



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberi nasehat pada Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ

“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.”[1]
1 comments

Kedudukan As-Sunnah dalam Islam - Manziilatus-Sunnah fil-Islaam


Kedudukan As-Sunnah dalam Islam - Manziilatus-Sunnah fil-Islaam

Oleh : Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah.Alhamdulillaah, wash-shalaatu was-salaamu ’alaa Rasuulillah wa aalihi wa shahbihi wa man waalaahu, wa ba’d :

Ini merupakan muhadlarah yang pernah aku (Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah) sampaikan di kota Dauhah ibu kota Qatar, pada bulan Ramadlan tahun 1342 H. Namun sebagian ikhwan meminta kepadaku agar ceramah tersebut ditulis menjadi sebuah buku; karena muhadlarah tersebut mengandung banyak faedah yang penting.

Maka akupun memenuhi permintaan tersebut untuk menyebarkan manfaatnya. Sebagai peringatan, aku tambahkan pula sebagian judul untuk membantu pembaca dalam memahami inti permasalahan setiap pembahasannya. Aku berharap Allah agar mencatatku termasuk orang yang membela agama-Nya, membela syari’at-Nya, serta menuliskan pahala untukku. Dia adalah semulia-mulianya tempat meminta.

Segala puji bagi Allah, kami memuji, meminta pertolongan, meminta ampun serta meminta perlindungan kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa dan amalan kami. Barangsiapa yang telah diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang telah disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk. Aku bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhaq untuk disembah melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.

Allah berfirman :

”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan beriman” [QS. Aali Imran : 102].

”Wahai manusia, bertaqwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan menciptakan darinya istri, kemudian mengembangkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kalian kepada Allah yang (dengan menggunakan nama-Nya) kalian meminta-minta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian” [QS. An-Nisaa’ : 1].

”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang baik. Niscaya Allah akan membaikkan amalan kalian dan mengampunkan dosa-dosa kalian. Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya sungguh telah mendapat kemenangan yang besar” [QS. Al-Ahzaab : 70-71].

Amma ba’du

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah Kitabullah, dan petunjuk yang paling baik adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun perkara yang paling jelek adalah perkara yang diada-adakan, dan semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah itu sesat, dan semua kesesatan itu di neraka. Dan setelah itu :

Aku telah mempunyai perkiraan bahwa aku tidak akan bisa membawakan materi yang asing dalam acara ini, apalagi di sini banyak ulama dan ustadz yang terpandang. Kalau benar perkiraanku ini, cukuplah perkataanku ini sebagai pengingat, mengamalkan firman Allah :

”Berilah peringatan, karena peringatan itu akan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” [QS. Adz-Dzaariyaat : 55].

Ceramahku di malam bulan Ramadlan yang mulia ini tidak berkaitan dengan masalah keutamaan puasa, keutamaan shalat tarawih, atau yang lainnya, seperti yang biasa disampaikan oleh para penasihat dan pembimbing lainnya. Sehingga bisa memberikan manfaat bagi orang yang menjalankan puasa, dan menghasilkan kebaikan dan barakah bagi mereka.

Namun tema yang aku pilih dalam pertemuan ini adalah masalah yang sangat penting, karena merupakan salah satu pokok syari’at yang mulia, yaitu penjelasan pentingnya As-Sunnah dalam syari’at Islam.


Allah tabaaraka wa ta’ala telah memilih Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan nubuwwah, memuliakannya dengan risalah, menurunkan kepadanya kitab-Nya Al-Qur’an Al-Karim dan memerintahkannya untuk menerangkan kepada manusia. Allah ta’ala berfirman :

”Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr (Al-Qur’an) agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan bagi mereka” [QS. An-Nahl : 44].

Menurut pandanganku (Asy-Syaikh Al-Albani), Al-Bayan (penjelasan) yang disebutkan dalam ayat ini mencakup 2 macam penjelasan :

Pertama, penjelasan lafadh dan susunannya, yaitu penyampaian Al-Qur’an tidak menyembunyikannya dan menyampaikan kepada umat, sebagaimana Allah ta’ala menurunkannya kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala :

”Wahai Rasul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu…” [QS. Al-Maaidah : 67].

Telah berkata Sayyidah ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam haditsnya :

”Barangsiapa yang mengatakan kepada kalian bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan perkara yang dia perintahkan untuk menyampaikannya, berarti ia telah berbuat kedustaan yang besar kepada Allah”. Kemudian beliau membaca ayat tersebut". [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].

Dalam riwayat Muslim : “Kalaulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyembunyikan suatu perkara yang disuruh untuk disampaikan, sungguh dia akan menyembunyikan firman Allah ta’ala : ”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang-orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak ditakuti” (QS. Al-Ahzab : 37)”.

Kedua, Penerangan makna lafadh atau kalimat atau ayat yang membutuhkan penjelasannya. Yang demikian ini banyak dalam ayat-ayat yang mujmal (global), ammah (umum), atau muthlaq. Maka datanglah As-Sunnah menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang muthlaq. Yang demikian ini semuanya terjadi dengan perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana terjadi pula dengan perbuatan dan taqrir beliau.

Pentingnya As-Sunnah untuk Memahami Al-Qur’an dan Contoh-Contohnya

Firman Allah ta’ala :

”Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka….” [QS. Al-Maaidah : 38].

Ayat ini merupakan contoh yang baik dalam masalah ini, karena kata pencuri dalam ayat ini bersifat muthlaq. Demikian pula dengan tangan. Jadi, sunnah qauliyah menerangkan yang pertama (yaitu pencuri) dengan membatasi pencuri yang mencuri ¼ dinar dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Tidak dipotong tangan kecuali mencapai ¼ dinar atau lebih” [Diriwayatkan oleh Al- Bukhari dan Muslim].

Sebagaimana sunnah menerangkan maksud “tangan” dengan perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, perbuatan shahabatnya, dan ijma’ bahwa mereka dahulu memotong tangan pencuri pada batas pergelangan, sebagaimana telah dikenal dalam kitab-kitab hadits.

Demikian pula ketika sunnah qauliyyah menerangkan ayat tentang tayamum :

”Usaplah pada wajah-wajah dan tangan-tangan kalian….” [QS. Al-Maidah : 6].

Maksud tangan di sini adalah telapak tangan. Hal itu berdasarkan pada sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Tayamum itu dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya dari hadits ‘Ammar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu].

Demikian pula sebagian ayat-ayat yang lain tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar sesuai dengan keinginan Allah ta’ala kecuali dari jalan Sunnah seperti :

Firman Allah ta’ala :

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orangyang mendapatkan petunjuk” [QS. Al-An’am : 82].

Para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memahami perkataan beliau, yaitu adh-dhulm (الظلم) secara umum yang mencakup segala macam bentuk kedhaliman walaupun kecil. Oleh karena itu ayat ini menjadi berat bagi mereka, sehingga mereka berkata : “Ya Rasulullah, siapa di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kedhaliman ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :

”Tidak demikian yang dimaksud ! Tetapi yang dimaksud dengan adh-dhulm (kedhaliman) di sini adalah syirik. Tidakkah kalian menyimak perkataan Luqman : “Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya].

Firman Allah ta’ala :

”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” [QS. An-Nisaa’ : 101].

Dhahir ayat ini menghendaki dikerjakannya shalat qashar dalam safar itu dengan syarat adanya perasaan takut. Oleh karena itu shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya : “Apakah kita mengqashar padahal telah aman ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Ini adalah shadaqah, Allah bershadaqah dengannya kepada kalian, maka terimalah shadaqah-Nya”.

Firman Allah ta’ala :

”Telah diharamkan bagi kalian bangkai dan darah…” [QS. Al-Maidah : 3].

As-Sunnah menerangkan bahwa bangkai yang halal adalah bangkai belalang dan ikan. Sedangkan hati dan limpa termasuk darahyang halal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah, yaitu : bangkai belalang dan ikan (semua jenis ikan) serta hati dan limpa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi secara marfu’ dan mauquf. Adapun hadits yang bersanad mauquf adalah shahih yang dihukumi dengan marfu’. Hal tersebut dikarenakan bahwa perkataan tersebut tidak mungkin diucapkan hanya berdasarkan ra’yu semata].

Firman Allah ta’ala :

”Katakanlah : “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor. Atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-An’am : 145].

Kemudian datanglah Sunnah yang mengharamkan sesuatu yang tidak disebut dalam ayat ini seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang berkuku pencakar tajam adalah haram”.

Dalam bab ini ada hadits-hadits lain yang melarang dari hal selain itu seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada waktu perang Khaibar :

”Allah dan Rasul-Nya melarang kalian dari (memakan) himar yang jinak karena rijs (kotor)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].

Firman Allah ta’ala :

”Katakanlah : Siapa yang telah mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yng baik ?” [QS. Al-A’raf : 32].

As-Sunnah menerangkan pula bahwa ada zinah (perhiasan) yang haram. Telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pada suatu hari keluar menuju salah seorang shahabat yang pada salah satu tangannya ada sutera dan di tangan lainnya ada emas. Kemudian beliau bersabda :

”Kedua hal ini (sutera dan emas) haram bagi laki-laki umatku dan halal bagi para wanitanya” [Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan beliau menshahihkannya].

Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak dan ma’ruf, baik dalam Shahihain ataupun selainnya. Dan banyak lagi contoh-contoh lain yang dikenal di kalangan ahlul-‘ilmi tentang hadits dan fiqh.

Dari uraian di atas menjadi jelaslah bagi kita tentang pentingnya Sunnah dalam syari’at Islam. Karena jika kita kembalikan pandangan kita untuk menleihat contoh yang telah lewat. Terlebih lagi dari contoh lain yang tidak disebutkan. Kita akan yakin bahwasannya tidak ada jalan untuk memahami Al-Qur’an dengan pemahaman benar kecuali dengan diiringi As-Sunnah. Contoh yang pertama, pemahaman para shahabat dari kata dhulm (ظلم) yang tersebut dalam ayat, menurut dhahirnya saja. Padahal mereka (para shahabat) adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud : “Yang paling utama dari umat ini yang paling baik hatinya dan paling tidak berbuat takalluf (memberatkan diri secara berlebihan).

Namun walaupun demikian, mereka salah dalam memahaminya. Kalaulah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak meluruskan kesalahan mereka dan membimbing mereka kepada pengertian yang benar; bahwasannya dhulm (ظلم) dalam ayat tersebut maknanya adalah syirik. Niscaya kita tidak akan mengikuti kesalahan tersebut.

Akan tetapi Allah ta’ala melindungi kita dari yang demikian dengan keutamaan bimbingan dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

Contoh yang kedua, kalaulah tidak ada hadits tersebut, minimal kita akan ragu dalam meng-qashar dalam safar dan waktu aman --- jika kita berpendapat kepada pensyaratan “takut” sebagaimana dhahir ayat --- sebagaimana timbul yang demikian pada sebagian shahabat. Jika mereka tidak melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meng-qashar, dan mereka pun meng-qashar bersamanya dalam keadaan aman.

Dalam contoh yang ketiga, kalaulah tidak ada hadits tentu kita akan mengharamkan makanan-makanan yang baik yang dihalalkan bagi kita, yaitu belalang, ikan, hati, dan limpa.

Dalam contoh keempat, kalaulah tidak ada hadits yang sebagianya telah disebutkan niscaya kita akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allahbagi kita melalui lisan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti binatang buas, atau burung yang mempunyai kuku pencakar.

Demikian pula contoh yang kelima. Kalaulah tidak ada hadits, maka kita akan menghalalkan apa yang diharamkan Allah melalui lisan Nabi-Nya yaitu emas dan sutera bagi laki-laki. Oleh karena itu dari sinilah berkata sebagian salaf :

As-Sunnah itu menjelaskan Al-Kitab (menyampaikan pemahaman kepada Kitab)

Kesesatan Para Pengingkar Sunnah

Di antara hal yang memprihatinkan adalah ditemuinya sebagian mufassirin dan penulis-penulis sekarang ini yang berpendapat dengan membolehkan dua contoh terakhir di atas, yaitu membolehkan memakan binatang buas dan memakai emas serta sutera bagi laki-laki karena bersandar dengan Al-Qur’an semata.

Dewasa ini telah ditemukan satu kelompok yang menamakan qur’aniyyin yang menafsirkan Al-Qur’an dengan nafsu dan akal-akal mereka, tanpa meminta bantuan dengan As-Sunnah Ash-Shahiihah.

Bagi mereka As-Sunnah hanya sebagai pengikut hawa nafsu mereka. Jika sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka mereka berpegang dengannya dan yang tidak sesuai mereka buang ke belakang punggung mereka.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengisyaratkan tentang mereka dalam hadits yang shahih :

Salah seorang dari kalian betul-betul akan menjumpai seseorang yang sedang duduk di singgasananya, kemudian datang urusanku kepadanya dari apa yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia berkata,”Aku tidak tahu! Semua yang kami dapatkan di dalam Kitabullah itulah yang kami ikuti” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi].

Dalam riwayat lain : Dia berkata : “Apa-apa yang kami jumpai (pada Al-Qur’an) sebagai sesuatu yang haram, maka kami mengharamkannya”. Berkata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya (hadits) bersamanya”

Dan diriwayat yang lain lagi : Berkata (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) :
”Ketahuilah, sesungguhnya semua yang dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah seperti apa yang dilarang oleh Allah”

Bahkan juga di antara yang memprihatinkan bahwa sebagian penulis yang menulis kitab-kitab dalam syari’at Islam dan aqidah Islam menyebutkan dalam muqaddimah-nya bahwa dia menyusun kitab tersebut tanpa rujukan selain Al-Qur’an.

Hadits shahih di atas menjelaskan secara tegas bahwa syari’at Islam bukan Al-Qur’an saja, melainkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa berpegang dengan salah satunya, berarti dia tidak berpegang dengan yang lain. Padahal masing-masing dari keduanya memerintahkan untuk berpegang dengan yang lain seperti firman Allah :

”Barangsiapa mentaati Rasul berarti dia mentaati Allah” [QS. An-Nisaa’ : 80].

”Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].

”Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzab : 36].

”Apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” [QS. Al-Hasyr : 7].

Sehubungan dengan ayat terakhir ini (QS. Al-Hasyr : 7), ada kejadian yang menakjubkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu yaitu bahwasannya ada seorang wanita yang datang kepadanya kemudian berkata kepadanya : “Kamukah yang berkata bahwa Allah melaknat namishaat ( = wanita yang mencabut rambut alis) dan mutanaamishaat ( = wanita yang dicabut rambut alisnya) dan waasyimaat ( = wanita yang membuat tato) ?”. Ibnu Mas’ud menjawab,”Ya, benar”. Perempuan tadi berkata,”Aku telah membaca Kitabullah dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan”. Maka Ibnu Mas’ud menjawab,”Jika kamu betul-betul membacanya, niscaya engkau akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca :

”Apa-apa yang disampaikan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” (QS. Al-Hasyr : 7).

Aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

”Allah melaknat An-Naamishaat…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim].

Tidak Cukup Pengertian Bahasa Saja untuk Memahami Al-Qur’an

Dari penjelasan di atas telah jelas dan terang bahwasannya tidak mungkin seorang memahami Al-Qur’an walaupun dia mahir dalam bahasa Arab dan sastra-sastranya jika tidak dibantu dengan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik qauliyyah maupun fi’liyyah. Karena dia tidak mungkin lebih alim atau lebih mahir dalam bahasa Arab daripada para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan pada waktu tersebut belum tercampur bahasa ‘ajam, awam, dan lahn (kesalahan bahasa). Namun walaupun demikian, mereka para shahabat telah salah dalam memahami ayat-ayat yang telah lewat, ketika mereka hanya bersandar dengan bahasa mereka saja.

Atas dasar itu jelaslah bahwasannya seseorang jika semakin alim dalam sunnah, dia lebih pantas untuk memahami Al-Qur’an dan mengambil istinbath hukum darinya dibandingkan orang yang bodoh tentang sunnah. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak menganggap sunnah dan tidak pula meliriknya sama sekali ? Oleh karena itu sudah merupakan suatu kaidah yang disepakati oleh ahli ilmu bahwasannya Al-Qur’an ditafsirkan dengan As-Sunnah[1], kemudian dengan perkataan shahabat…..dan seterusnya.

Dari sini jelas bagi kita sebab-sebab kesesatan tokoh-tokoh Ahli Kalam dulu dan sekarang serta perbedaan mereka dengan as-salafush-shalih radliyallaahu ‘anhum dalam keyakinan-keyakinan mereka terutama dalam hukum-hukum mereka, karena jauhnya ahlul-kalam dari Sunnah dan dangkalnya pengetahuan mereka tentang Sunnah dan mereka menghakimi ayat-ayat tentang shifat (Allah) dan yang lainnya dengan akal dan nafsu mereka.

Betapa indahnya perkataan dalam kitab Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah halaman 212 cetakan ke-4 : “Bagaimana mungkin kita berbicara tentang pokok agama orang yang tidak menerima agamanya dari Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah melainkan hanya menerima perkataan si fulan? Walaupun dia mengaku atau menganggap mengambil dari Kitabullah tetapi tidak menerima penafsiran Kitabullah dari hadits-hadits Rasul, tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan para shahabat dan pengikut mereka yang mengikuti dengan baik (tabi’in) yang disampaikan kepada kita oleh orang yang terpercaya yang dipilih oleh para pakar. Karena para shahabat tidak hanya meriwayatkan matan Al-Qur’an saja tetapi juga menyampaikan maknanya. Mereka tidak belajar Al-Qur’an seperti anak kecil, tetapi mempelajarinya dengan makna-maknanya. Barangsiapa tidak menempuh jalan mereka berarti berbicara dengan pikirannya sendiri. Barangsiapa berbicara dengan pikirannya dan sangkaannya sendiri tentang agama Allah ini, serta tidak menerimanya dari Al-Kitab, dia berdosa walaupun kebetuln benar. Barangsiapa mengambil Kitab dan Sunnah, dia mendapatkan pahala walaupun salah (dalam berijtihad). Tetapi jika benar, akan dilipatkan pahalanya”.

Kemudian berkata di halaman 217 : “Maka wajib menyempurnakan kepatuhan kepada Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tunduk pepada perintahnya dan menerima khabarnya dengan perkataan dan keyakinan, tidak menentangnya dengan khayalan yang bathil yang dinamakan ma’qul (logis), atau menganggap sebagai syubhat (samar) atau meragukannya atau mendahulukan pendapat-pendapat manusia dan sampah-sampah pikiran mereka di atasnya. Kita menyendirikan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam berhukum, patuh, tunduk, sebagaimana kita mentauhidkan Allah subhaanahu wa ta’ala dalam ibadah, ketundukan. Kehinaan, inabah, dan tawakal.

Kesimpulannya : Sesungguhnya wajib atas semua muslim untuk tidak membedakan Al-Qur’an dengan As-Sunnah dari sisi kewajiban mengambil dan berpegang dengan keduanya serta menegakkan syari’at di atas keduanya bersama-sama. Karena ini adalah penjamin mereka agar tidak berpaling ke kiri dan ke kanan. Agar mereka tidak mundur dengan kesesatan sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan :

”Aku tingalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga Haudl” [Diriwayatkan oleh Malik dan Al-Hakim, dengan sanad hasan].

Peringatan

Suatu hal penting yang ingin saya (Asy-Syaikh Al-Albani) kemukakan adalah bahwa Sunnah yang begitu pentingnya dalam syari’at hanyalah Sunnah yang shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cara-cara ilmiah dan sanad yang shahih yang dikenal oleh ahlul-‘ilmi tentang hadits dan rawi-rawinya. Bukanlah yang dimaksud seperti yang terdapat dalam kitab-kitab yang beraneka ragam baik dalam masalah tafsir, fiqh, targhib dan tarhib, raqaaiq, nasihat-nasihat, dan lain-lain. Karena dalam kitab-kitab tersebut banyak hadits-hadits yang dla’if, munkar, dan maudlu’, sebagian lagi tidak diterima dalam Islam seperti hadits Harut dan Marut, serta kisah Gharaaniq. Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) mempunyai risalah khusus dalam menolak kisah ini.[2] Dan telah aku bawakan pula sebagian besarnya dalam Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah wa Atsaruhas-Sayyi-il-Ummah yang jumlahnya sampai saat ini mencakup 4000 hadits mencakup hadits dla’if dan maudlu’ dimana sampai saat ini baru dicetak 500 hadits saja ( - pada saat itu, akan tetapi sekarang telah tercetak lengkap – Pent. ).

Wajib atas semua ahlul-‘ilmi terutama yang menyebarkan kepada manusia pemahaman dan fatwa-fatwa agar jangan berhujjah dengan hadits-hadits kecuali setelah meyakini keshahihannya karena biasanya kitab-kitab fiqih yang dijadikan tempat rujukan penun dengan hadits-hadits yang lemah, munkar, serta tidak ada asal-usulnya sebagaimana dikenal di kalangan para ulama.

Kelemahan Hadits Mu’adz tentang Ra’yu dan Apa-Apa yang Diingkari Darinya

Sebelum mengakhiri uraian ini, aku (Asy-Syaikh Al-Albani) memandang perlu memalingkan perhatian ikhwan sekalian kepada hadits yang masyhur yang sering dibawakan dalam kitab ushul-fiqh, yaitu berkisar tentang dla’ifnya hadits tersebut dari sisi sanadnya dan karena bertentangan dengan larangan membedakan antara Al-Kitab dan As-Sunnah (dalam syari’at) serta wajibnya berpegang dengan keduanya secara bersama, yaitu hadits Mu’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya ketika mengutusnya ke Yaman :

”Dengan apa kamu akan berhukum?”. Mu’adz berkata,”Dengan Kitabullah”. Rasulullah berkata,”Jika tidak engkau dapati dalam Kitabullah?”. Mu’adz menjawab,”Dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasalam”. Rasulullah berkata,”Jika engkau tidak menemui dalam Sunnah ?”. Mu’adz menjawab,”Aku akan berijtihad dengan ra’yu dan aku akan berusaha keras”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada perkara yang dicintainya”.

Tentang kelemahan sanadnya, tidak layak untuk dibahas sekarang. Aku telah menjelaskannya dengan penjelasan yang cukup dan mungkin belum ada yang mendahului saya dalam pembahasan itu dalam kitab As-Silsilah yang telah disebutkan sebelumnya.[3] Cukup bagiku dalam kesempatan ini untuk menyebutkan bahwa Amiirul-Mukminiin dalam masalah hadits, yaitu Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, berkata tentang hadits ini,”Hadits munkar”. Setelah itu layak bagiku untuk mulai menjelaskan pertentangan yang telah aku sebutkan tadi.

Maka aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan : “Hadits Mu’adz ini memberikan manhaj bagi seorang hakim dalam berhukum dengan tiga marhalah ( = yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ra’yu). Tidak boleh mencari hukum dengan ra’yu kecuali setelah hukum itu tidak ditemukan dalam As-Sunnah, dan tidak boleh pula mencari hukum suatu hukum dari As-Sunnah kecuali jika tidak ditemui dalam Al-Qur’an. Manhaj ini jika dilihat dari sisi ra’yu adalah benar menurut seluruh ulama’. Mereka berkata juga,”Jika telah ada atsar, maka batallah nadhar (penyelidikan)”. Tetapi (manhaj ini) jika dilihat dari sisi As-Sunnah, tidaklah benar. Karena As-Sunnah adalah hakim atas Al-Qur’an. Maka wajib membahas/mencari hukum dalam As-Sunnah walaupun disangka ada hukum tersebut dalam Al-Qur’an. Tidaklah kedudukan Al-Qur’an dengan As-Sunnah seperti kedudukan ra’yu dengan As-Sunnah. Tidak, sekali lagi tidak !! Tetapi wajib menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai suatu sumber yang tidak dapat dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Ketahuilah, aku diberi Al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya”, yaitu As-Sunnah.

Dan sabdanya yang lain :

”Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Haudl (telaga)”

Pengelompokan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan antara keduanya dan hal ini adalah bathil, seperti telah disebutkan penjelasannya. Inilah yang ingin aku ingatkan. Jika benar itu datangnya dari Allah dan jika salah itu dari diriku sendiri. Kepada Allah aku meminta agar menjagaku dan Anda sekalian dari kesalahan-kesalahan dan segala sesuatu yang tidak diridlai-Nya. Dan penutup doa kita : Alhamdulillaahi rabbil-‘aalamiin.


Abul-Jauzaa’ – Senayan, Jakarta.

Teks asli : 
بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وآله وصحبه ومن والاه.وبعد:فهذه محاضرة كنت قد ألقيتها في مدينة الدوحة عاصمة قطر، في شهر رمضان المبارك من عام 1392 هـ، وقد اقترح عليَّ بعض الإخوان طبعها لما فيها من فوائد هامة، ولحاجةِ المسلمين إلى مثلها. واستجابة لطلبهم أنشرها تعميماً للنفع بها، ومراعاة للذكرى والتاريخ، وقد أضفنا إليها بعضَ العناوين التفصيلية إعانة للقارئ الكريم على استجماع أفكارها الرئيسية، وأرجو الله ـ عز وجل ـ أن يكتبني في جملة الدافعين عن دينه، والناصرين لشرعه، وأن يثيبني عليها، وإنه أكرم مسئول.
منزلة السنة في الإسلام وبيان أنه لا يُستغنى عنها بالقرآن
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله. ( يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون )، ( يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالاً كثيراً ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيباً ) ، ( يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولاً سديداً يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزاً عظيماً ) .أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم ، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار.
وبعد : فإني لأَظن أنني سوف لا أستطيع أن أقدم لهذا الحفل الكريم ـ لا سيما وفيه العلماء الأجلاء والأساتذة الفضلاء – شيئاً من العلم لم يسبق أن أحاطوا به علماً، فإن صَدَقَ ظني فحسبي من كلمتي هذه أن أكون بهذا مذكراً، متبعاً لقول الله تبارك وتعالى : ( وذَكِّر فإن الذكرى تنفع المؤمنين ) [الذاريات:55]. إن كلمتي في هذه الليلة المباركة من ليالي شهر رمضان المعظم لم أر أن تكون في بيان شيء من فضائله، وأحكامه، وفضلِ قيامه، ونحو ذلك مما يطرقه فيه عادةً الوعاظ والمرشدون، بما ينفع الصائمين، ويعود عليهم بالخير والبركة ، وإنما اخترتُ أن يكون حديثي في بحثٍ هام جداً ؛ لأنه أصل من أصول الشريعة الغراء، وهو بيان أهمية السنة في التشريع الإسلامي .
وظيفة السنة في القرآن
تعلمون جميعاً أن الله تبارك وتعالى اصطفى محمداً صلى الله عليه وسلم بنبوته ، واختصه برسالته ، فأنزل عليه كتابه القرآن الكريم ، وأمره فيه ـ في جملة ما أمره به ـ أن يبينه للناس ، فقال تعالى : ( وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نُزِّل إليهم ) [النحل:44]. والذي أراه أن هذا البيان المذكور في هذه الآية الكريمة يشتمل على نوعين من البيان :الأول : بيان اللفظ ونظمه ، وهو تبليغ القرآن ، وعدم كتمانه ، وأداؤه إلى الأمة، كما أنزله الله تبارك وتعالى على قلبه صلى الله عليه وسلم . وهو المراد بقوله تعالى : ( يا أيها الرسول بلِّغ ما أنزل إليك من ربك ) [المائدة:67]، وقد قالت السيدة عائشة ـ رضي الله عنها ـ في حديث لها : " ومن حدثكن أن محمداً كتم شيئاً أُمر بتبليغه ، فقد أعظم على الله الفرية . ثم تلت الآية المذكورة " [ أخرجه الشيخان] . وفي رواية لمسلم : " لو كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كاتماً شيئاً أُمر بتبليغه لكتم قوله تعالى : ( وإذ تقول للذي أنعم الله عليه وأنعمت عليه أمسك عليك زوجك واتق الله وتخفي في نفسك ما الله مبديه وتخشى الناس والله أحق أن تخشاه ) [الأحزاب : 37] " .والآخر: بيان معنى اللفظ أو الجملة أو الآية الذي تحتاج الأمة إلى بيانه ، وأكثر ما يكون ذلك في الآيات المجملة ، أو العامة ، أو المطلقة ، فتأتي السنة ، فتوضح المجمل ، وتُخصِّص العام ، وتقيد المطلق . وذلك يكون بقوله صلى الله عليه وسلم ، كما يكون بفعله وإقراره .
ضرورة السنة لفهم القرآن وأمثلةٌ على ذلك
وقوله تعالى: ( والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما ) [ المائدة : 38] مثال صالح لذلك، فإن السارق فيه مطلقٌ كاليد ، فبينتِ السنة القولية الأول منهما، وقيدته بالسارق الذي يسرق ربع دينارٍ بقوله صلى الله عليه وسلم: " لا قطع إلا في ربع دينار فصاعداً " [أخرجه الشيخان ]. كما بينتِ الآخَرَ بفعله صلى الله عليه وسلم أو فعل أصحابه وإقراره، فإنهم كانوا يقطعون يد السارق من عند المفصل، كما هو معروف في كتب لحديث، وبينت السنة القولية اليد المذكورة في آية التيمم : ( فامسحوا بوجوهكم وأيديكم ) [النساء : 43، المائدة :6] بأنها الكف أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم : "التيمم ضربة للوجه والكفين " [أخرجه أحمد والشيخان وغيرهم من حديث عمار بن ياسر رضي الله عنهما].
وإليكم بعض الآيات الأخرى التي لم يمكن فهمها فهماً صحيحاً على مراد الله تعالى إلا من طريق السنة :1 ـ قوله تعالى : ( الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون ) [الأنعام : 82 ] فقد فهم أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم قوله : ( بظلم ) على عمومه الذي يشمل كل ظلم ولو كان صغيراً، ولذلك استشكلوا الآية فقالوا: يا رسول الله ! أيُّنا لم يلبس أيمانه بظلم؟ فقال صلى الله عليه وسلم : " ليس بذلك ، إنما هو الشرك ؛ ألا تسمعوا إلى قول لقمان : ( إن الشرك لظلم عظيم ) [ لقمان : 13 ] ؟ " [ أخرجه الشيخان وغيرهما ] .
2 ـ قوله تعالى : ( وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا ) [ النساء : 101] فظاهر هذه الآية يقتضي أن قصر الصلاة في السفر مشروط له الخوف ، ولذلك سأل بعض الصحابة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا : ما بالنا نقصر وقد أَمِنَّا ؟ قال : " صدقة تصدق الله بها عليكم ، فاقبلوا صدقته " [ رواه مسلم ].3 ـ قوله تعالى : ( حرمت عليكم الميتة والدم ..) [ المائدة : 3 ] فبينت السنة القولية أن ميتة الجراد والسمك ، والكبد والطحال من الدم حلال ، فقال صلى الله عليه وسلم : " أحلت لنا ميتتان ودمان : الجراد والحوت ( أي السمك بجميع أنواعه )، والكبد والطحال " [أخرجه البيهقي وغيره مرفوعاً وموقوفاً، وإسناد الموقوف صحيح ، وهو في حكم المرفوع ، لأنه لا يقال من قِبَلِ الرأي ].4 ـ قوله تعالى : ( قل لا أجد في ما أوحي إلي مُحرَّماً على طاعم يطعمه إلا أن يكون ميتة أو دماً مسفوحاً، أو لحم خنزير فإنه رجس أو فسقاً أهل لغير الله به ) [الأنعام : 145 ] . ثم جاءت السنة فحرمت أشياء لم تُذكر في هذه الآية، كقوله صلى الله عليه وسلم : " كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير حرام " . وفي الباب أحاديث أخرى في النهي عن ذلك. كقوله صلى الله عليه وسلم يوم خيبر: " إن الله ورسوله ينهيانكم عن الحمر الإنسية، فإنها رجس " [ أخرجه الشيخان ].5 ـ قوله تعالى : ( قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق ) [ الأعراف : 32 ] فبينت السنة أيضاً أن من الزينة ما هو محرم، فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه خرج يوماً على أصحابه وفي إحدى يديه حرير، وفي الأخرى ذهب ، فقال : " هذان حرام على ذكور أمتي ، حل لإناثهم " [ أخرجه الحاكم وصححه ].
والأحاديث في معناه كثيرة معروفة في " الصحيحين " وغيرهما. إلى غير ذلك من الأمثلة الكثيرة المعروفة لدى أهل العلم بالحديث والفقه. ومما تقدم يتبين لنا أيها الإخوة أهمية السنة في التشريع الإسلامي، فإننا إذا أعدنا النظر في الأمثلة المذكورة ـ فضلاً عن غيرها مما لم نذكر ـ نتيقن أنه لا سبيل إلى فهم القرآن الكريم فهماً إلا مقروناً بالسنة.ففي المثال الأول فهم الصحابة (الظلم) المذكور في الآية على ظاهره، ومع أنهم كانوا ـ رضي الله عنهم ـ كما قال ابن مسعود : ( أفضل هذه الأمة ، أبرها قلوباً، وأعمقها علماً، وأقلها تَكلُّفاً ) فإنهم مع ذلك قد أخطئوا في ذلك الفهم ، فلولا أن النبي صلى الله عليه وسلم ردهم عن خطئهم وأرشدهم إلى أن الصواب في ( الظلم ) المذكور إنما هو الشرك لاتبعناهم على خطئهم ، ولكن الله تبارك وتعالى صاننا عن ذلك. بفضل إرشاده صلى الله عليه وسلم وسنته. وفي المثال الثاني: لولا الحديث المذكور لبقينا شاكين على الأقل في قصر الصلاة في السفر في حالة الأمن ـ إن لم نذهب إلى اشتراط الخوف فيه كما هو ظاهر الآية ـ وكما تبادر ذلك لبعض الصحابة لولا أنهم رأوا رسول الله صلى الله عليه وسلم يقصر، ويقصرون معه وقد أمنوا. وفي المثال الثالث : لولا الحديث أيضاً لحرمنا طيبات أحلت لنا : الجراد والسمك ، والكبد والطحال. وفي المثال الرابع : لولا الأحاديث التي ذكرنا فيه بعضها لاستحللنا ما حرم الله علينا على لسان نبيه صلى الله عليه وسلم من السباع وذوي المخلب من الطير. وكذلك المثال الخامس: لولا الأحاديث التي فيه لاستحللنا ما حرم الله على لسان نبيه من الذهب والحرير، ومن هنا قال بعض السلف: السنة تقضي على الكتاب.
ضلال المستغنين بالقرآن عن السنة
ومن المؤسف أنه قد وجد في بعض المفسرين ، والكُتَّاب ، المعاصرين من ذهب إلى جواز ما ذُكر في المثالين الأخيرين من إباحة أكل السباع ولبس الذهب والحرير اعتماداً على القرآن فقط، بل وجد في الوقت الحاضر طائفة يَتَسَمَّوْنَ بـ ( القرآنيين ) يفسرون القرآن بأهوائهم وعقولهم ، دون الاستعانة على ذلك بالسنة الصحيحة ، بل السنة عندهم تبعٌ لأهوائهم ، فما وافقهم منها تشبثوا به ، وما لم يوافقهم منها نبذوه وراءهم ظهرياً.وكأن النبي صلى الله عليه وسلم قد أشار إلى هؤلاء بقوله في الحديث الصحيح : " لا أَلْفِيَّنَ أحدكم متكئاً على أريكته ، يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به، أو نهيت عنه ، فيقول : لا أدري ! ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه " [رواه الترمذي ]. وفي رواية لغيره : " ما وجدنا فيه حراماً حرمناه ، ألا وإني أتيت القرآن ومثله معه ". وفي أخرى : " ألا إن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله " .
بل إن من المؤسف أن بعض الكتاب الأفاضل ألَّف كتاباً في شريعة الإسلام وعقيدته، وذكر في مقدمته أنه ألفه وليس لديه من المراجع إلا القرآن !. فهذا الحديث الصحيح يدل دلالة قاطعة على أن الشريعة الإسلامية ليست قرآناً فقط، وإنما قرآن وسنة، فمن تمسك بأحدهما دون الآخر، لم يتمسك بأحدهما، لأن كل واحد منهما يأمر بالتمسك بالآخر كما قال تعالى : ( من يطع الرسول فقد أطاع الله ) [ النساء :80 ] ، وقال : ( فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيت ويسلموا تسليماً ) [ النساء : 65 ] ، وقال : ( وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمراً أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ، ومن يعص الله ورسوله فقض ضل ضلالاً مبيناً ) [ الأحزاب : 36 ] ، وقال : ( وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا ) [الحشر : 7 ].وبمناسبة هذه الآية يعجبني ما ثبت عن ابن مسعود ـ رضي الله عنه ـ وهو أن امرأة جاءت إليه ، فقالت له : أنت الذي تقول : لعن الله النامصات والمتنمصات، والواشمات .. الحديث ؟ قال : نعم ، قالت : فإني قرأت كتاب الله من أوله إلى آخره ، فلم أجد فيه ما تقول ! فقال لها : إن كنت قرأتيه لقد وجدتيه، أما قرأت : ( وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا ) قالت : بلى! قال : فقد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لعن الله النامصات .. الحديث [متفق عليه] .
عدم كفاية اللغة لفهم القرآن
ومما سبق يبدو واضحاً أنه لا مجال لأحدٍ مهما كان عالماً باللغة العربية وآدابها أن يفهم القرآن الكريم ، دون الاستعانة على ذلك بسنة النبي صلى الله عليه وسلم القولية والفعلية ، فإنه لم يكن أعلم في اللغة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم الذين نزل القرآن بلغتهم ، ولم تكن قد شابتها لوثةُ العُجمة والعامية واللحن ، ومع ذلك فإنهم غلطوا في فهم الآيات السابقة حين اعتمدوا على لغتهم فقط.وعليه فمن البدهي أن المرء كلما كان عالماً بالسنة ، كان أحرى بفهم القرآن واستنباط الأحكام منه؛ ممن هو جاهل بها، فكيف بمن هو غير معتَدٍّ بها، ولا ملتفتٍ إليها أصلاً ؟ولذلك كان من القواعد المتفق عليها بين أهل العلم : أن يفسر القرآن بالقرآن والسنة1 ثم بأقوال الصحابة .. إلخ .
ومن ذلك يتبين لنا ضلال علماء الكلام قديماً وحديثاً ومخالفتهم للسلف ـ رضي الله عنهم ـ قي عقائدهم ـ فضلاً عن أحكامهم ـ وهو بُعدهم عن السنة والمعرفة بها وتحكيمُهم عقولهم وأهواءهم في آيات الصفات وغيرها. وما أحسن ما جاء في " شرح العقيدة الطحاوية " ( ص 212 ـ الطبعة الرابعة ) :( وكيف يتكلم في أصول الدين من لا يتلقاه من الكتاب والسنة، وإنما يتلقاه من قول فلان ؟ ! وإذا زعم أنه يأخذه من كتاب الله. لا يتلقى تفسير كتاب الله من أحاديث الرسول صلى الله عليه وسلم ولا ينظر فيها ولا فيما قاله الصحابة والتابعون لهم بإحسان، المنقول إلينا عن الثقات الذي تخيرهم النُّقَّاد ؛ فإنهم لم ينقلوا نظم القرآن وحده، بل نقلوا نظمه ومعناه، ولا كانوا يتعلمون القرآن كما يتعلم الصبيان، بل يتعلمونه بمعانيه. ومن لا يسلك سبيلهم فإنما يتكلم برأيه. ومن يتكلم برأيه ، وبما يظنه دين الله، ولم يتلق ذلك من الكتاب فهو مأثوم ( ! ) وإن أصاب . ومن أخذ من الكتاب والسنة فهو مأجور وإن أخطأ. لكن إن أصاب يضاعف أجره ) .
ثم قال ( ص 217) :( فالواجب كمال التسليم للرسول صلى الله عليه وسلم، والانقياد لأمره ، وتلقي خبره بالقبول والتصديق دون أن نعارضه بخيالٍ باطل نسميه معقولاً، أو نحمله شبهة أو شكاً، أو نقدم عليه آراء الرجال وزبالة أذهانهم، فنوحده صلى الله عليه وسلم بالتحكيم والتسليم والانقياد والإذعان، كما نوحد المُرسِلَ ـ سبحانه وتعالى ـ بالعبادة والخضوع والذل والإنابة والتوكل ). وجملة القول : أن الواجب على المسلمين جميعاً أن لا يُفرِّقوا بين القرآن والسنة، من حيث وجوب الأخذ بهما كليهما، وإقامة التشريع عليهما معاً. فإن هذا هو الضمان لهم أن لا يميلوا يميناً ويساراً، وأن لا يرجعوا القهقرى ضُلالاً،
كما أفصح عن هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقوله: " تركت فيكم أمرين ، لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما : كتاب الله وسنتي ، ولن يتفرقا حتى يرِدا على الحوض " [ رواه مالك بلاغاً، والحاكم موصلاً بإسناد حسن].
تنبيه هام
ومن البدهي بعد هذا أن نقول :إن السنة التي لها هذه الأهمية في التشريع ، إنما هي السنة الثابتة عن النبي صلى الله عليه وسلم بالطرق العلمية والأسانيد الصحيحة المعروفة عند أهل العلم بالحديث ورجاله . وليست هي التي في بطون مختلف الكتب من التفسير والفقه ، والترغيب والترهيب ، والرقائق والمواعظ وغيرها ؛ فإن فيها كثيراً من الأحاديث الضعيفة والمنكرة والموضوعة ، وبعضها مما يتبرأ منه الإسلام . مثل حديث هاروت وماروت، وقصة الغرانيق، ولي رسالة خاصة في إبطالها وهي مطبوعة ، وقد خرجت طائفة كبيرة منها في كتابي الضخم " سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة وأثرها السيئ في الأمة " ، وقد بلغ عددها حتى الآن قرابة أربعة آلاف حديث ! وهي ما بين ضعيف وموضوع وقد طبع منها خمس مئة فقط!
فالواجب على أهل العلم ، لا سيما الذين ينشرون على الناس فقههم وفتاويهم أن لا يتجرأوا على الإحتجاج بالحديث إلا بعد التأكد من ثبوته ، فإن كتب الفقه التي يرجعون إليها عادة، مملوءة بالأحاديث الواهية المنكرة وما لا أصل له، كما هو معروف عند العلماء .وقد كنت بدأت مشروعاً هاماً في نظري، وهو نافع جداً للمشتغلين بالفقه سميته " الأحاديث الضعيفة والموضوعة في أمهات الكتب الفقهية " وأعني بها :1 ـ الهداية للمرغيناني في الفقه الحنفي.2 ـ المدونة لابن القاسم في الفقه المالكي.3 ـ شرح الوجيز للرافعي في الفقه الشافعي.4 ـ المغني لابن قدامة في الفقه الحنبلي.5 ـ بداية المجتهد لابن رشد الأندلسي في الفقه المقارن.ولكن لم يُتح لي إتمامه - مع الأسف - لأن مجلة (الوعي الإسلامي الكويتية) التي وعدت بنشره، ورحبت به، حين اطلعت عليه لم تنشره.وإذ قد فاتني ذلك، فلعلي أوفق في مناسبة أخرى ـ إن شاء الله تعالى ـ إلى أن أضع لإخواني المشتغلين بالفقه منهجاً علمياً دقيقاً يساعدهم، ويسهل لهم طريق معرفة درجة الحديث بالرجوع إلى المصادر التي لا بد من الجوع إليها من كتب الحديث ، وبيان خواصها ومزاياها، وما يمكن الاعتماد عليه منها، والله تعالى ولي التوفيق.
ضعيف حديث معاذ في الرأي وما يستنكر منه
وقبل أن أنهي كلمتي هذه أرى أنه لا بد لي من أن أُلفت انتباه الإخوة الحاضرين إلى حديث مشهور، قلما يخلو منه كتاب من كتب أصول الفقه، لضعفه من حيث إسناده ولتعارضه مع ما انتهينا إليه في هذه الكلمة من عدم جواز التفريق في التشريع بين الكتاب والسنة، ووجوب الأخذ بهما معاً، ألا وهو حديث معاذ بن جبل - رضي الله عنه - أن النبي صلى الله عليه وسلم قال له حين أرسله إلى اليمن :" بم تحكم ؟ " قال : بكتاب الله ، قال : " فإن لم تجد ؟ " قال : بسنة رسول الله، قال : " فإن لم تجد ؟ " قال : أجتهد رأيي ولا آلو . قال : " الحمد لله الذي وفَّقَ رسولَ رسولِ الله، لما يحب رسول الله ".أما ضعف إسناده، فلا مجال لبيانه الآن، وقد بينت ذلك بياناً شافياً ربما لم أسبق إليه في السلسلة السابقة الذكر ، وحسبي الآن أن أذكر أن أمير المؤمنين في الحديث الإمام البخاري ـ رحمه الله تعالى ـ قال فيه : ( حديث منكر ). وبعد هذا يجوز لي أن أشرع في بيان التعارض الذي أشرت إليه فأقول :
إن حديث معاذ هذا يضع للحاكم منهجاً في الحكم على ثلاث مراحل، لا يجوز أن يبحث عن الحكم في الرأي إلا بعد أن لا يجده في السنة، ولا في السنة إلا بعد أن لا يجده في القرآن. وهو بالنسبة للرأي منهج صحيح لدى كافة العلماء، وكذلك قالوا إذا ورد الأثر بطل النظر. ولكنه بالنسبة للسنة ليس صحيحاً؛ لأن السنة حاكمة على كتاب الله ومبينة له ، فيجب أن يبحث عن الحكم في السنة، ولو ظن وجوده في الكتاب لما ذكرنا، فليست السنة مع القرآن ، كالرأي مع السنة ، كلا ثم كلا، بل يجب اعتبار الكتاب والسنة مصدراً واحداً لا فصل بينهما أبداً ، كما أشار إلى ذلك قوله صلى الله عليه وسلم : " ألا إني أُتيت القرآن ومثله معه " يعني السنة وقوله : " لن يتفرقا حتى يردا علي الحوض" . فالتصنيف المذكور بينهما غير صحيح لأنه يقتضي التفريق بينهما وهذا باطل لما سبق بيانه .فهذا هو الذي أردت أن أنبه إليه ، فإن أصبت فمن الله. وإن أخطأت فمن نفسي، والله تعالى أسأل أن يعصمنا وإياكم من الزلل ومن كل ما لا يرضيه. وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

Catatan kaki :

[1] (Berkata Syaikh Al-Albani) : “Kami tidak mengatakan seperti yang sudah masyhur di kalangan sebagian besar ahlul-ilmi, dimana mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kemudian baru dengan Sunnah seperti yang akan datang penjelasan di akhir tulisan dalam pembahasan ini dalam hadits Mu’adz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu.

[2] Namanya Nashbul-Majaaniq fii Nisfi Qishshatil-Gharaaniq cetakan Al-Maktab Al-Islami

[3] Terdapat pada nomor 885 dari kitab As-Silsilah yang telah disebutkan – Silsilah Al-Ahadits Adl-Dla’iifah wal-Maudluu’ah (dan kami berharap agar proses pencetakan dan pembukuannya dapat segera terwujud dalam waktu dekat, insyaAllah).
0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger