Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Headline.....!!!
print this page
Artikel Berdasarkan Tanggal.
Showing posts with label Nasehat. Show all posts
Showing posts with label Nasehat. Show all posts

Agama Adalah Nasihat (2)

Adapun hak-hak Allah yang sunnah, contohnya adalah:
  1. Mengutamakan hal-hal yang dicintai oleh Allah ta’ala atas hal-hal yang dicintai oleh diri sendiri. Jika suatu saat seorang hamba dihadapkan kepada dua perkara salah satunya berkaitan dengan pribadinya dan yang lain berkaitan dengan hak Allah, maka dia mendahulukan yang merupakan hak Allah, serta mengakhirkan hak pribadinya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692). Tentunya yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara yang mustahab hukumnya.
  2. Selalu mengingat bagaimana kelak di hari kiamat dia berdiri di hadapan Allah (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
Kedua: Nasihat Untuk Kitab-Nya (al-Qur’an).
Nasihat untuk al-Qur’an maksudnya adalah: menjalankan hak-hak al-Qur’an, baik itu hak-hak yang wajib maupun yang sunnah hukumnya.
Adapun hak-hak al-Qur’an yang wajib antara lain:
  1. Meyakini bahwasanya al-Qur’an itu betul-betul kalam (perkataan) Allah ta’ala, baik itu huruf-hurufnya maupun makna yang terkandung di dalamnya. Allah ta’ala benar-benar berfirman dengannya, lantas malaikat Jibril menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar dibacakan kepada umatnya Kita harus mengagungkan dan mencintainya karena dia adalah kalamullah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, Allah berfirman,

  2. إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
    “Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus”. (QS. Al-Israa: 9)

  3. Beriman bahwasanya al-Qur’an adalah sebaik-baik perkataan, juga hukum-hukum yang terkandung di dalamnya adalah sebaik-baik hukum, tidak ada yang setara dengannya. Allah ta’ala berfirman,

  4. اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً
    “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”. QS. Az-Zumar: 43.

  5. Menjalankan perintah-perintah Allah yang Dia wajibkan di dalamnya, serta menjauhi larangan-larangan yang Dia haramkan atas umat-Nya di dalamnya. 
  6. Meyakini kebenaran berita-berita yang disebutkan di dalamnya, tanpa dicemari dengan keraguan sedikit pun. Jika Allah ta’ala telah memberitakan di dalamnya tentang adanya kehidupan sesudah dunia yang fana ini, kita pun harus mempercayainya, tanpa berusaha untuk memustahilkannya dengan otak kita yang terbatas. Sebagaimana yang diperbuat oleh para ahli filsafat dari dulu sampai sekarang, yang terlalu mendewakan akal mereka yang lemah. Allah ta’ala menceritakan perkataan nenek moyang mereka,

  7. إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
    “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. QS Al-An’am: 29.
  8. Melindungi al-Qur’an dari ulah orang-orang yang menafsirkannya semaunya sendiri, serta membantah dan mengungkap kebatilan mereka.
(Lihat: Shiyanah Shahih Muslim, karya Ibnu ash-Sholah, hal 224, dan Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136).
Sedangkan hak-hak al-Qur’an yang sunnah hukumnya, contohnya:
  1. Memperbanyak dalam membaca, menghafalkan dan menghayatinya. Ini adalah salah satu bentuk merapatnya hubungan seorang hamba dengan kitab Rabbnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan keutamaan membaca al-Qur’an dalam sabdanya,

  2. اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه
    “Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya dia akan menjadi syafa’at di hari kiamat bagi orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim, I/553 no. 804)

    Dan masih banyak hadits-hadits nabawi lainnya yang menceritakan keutamaan membaca kitabullah yang agung ini. Menilik besarnya keutamaan membaca al-Qur’an para salaf sangat memperhatikan hal itu, sebagai contoh: Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu senantiasa mengkhatamkan al-Qur’an setiap delapan hari sekali, Tamim ad-Daary radhiyallahu ‘anhu seminggu sekali, dan al-Aswad bin Yazid enam hari sekali. (Lihat: Fadhail al-Qur’an, karya Ibnu Katsir, hal 250-251)

  3. Tentunya seorang muslim yang menginginkan kebaikan di dunia dan di akheratnya tidak mencukupkan diri dengan hanya membaca dan menghafal al-Qur’an saja, akan tetapi dia juga berusaha semampunya untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Sebab hal itu akan melapangkan hatinya, mendatangkan rasa bahagia dan ketenangan jiwa, serta membantu agar bisa mengamalkannya. Di antara faktor yang amat membantu seorang muslim dalam memahami kitabullah, adalah kembali kepada kitab-kitab tafsir di saat dia menemukan kesulitan. Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir as-Sa’dy, merupakan salah satu pilihan terbaik seorang muslim yang ingin menghayati isi al-Qur’an (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38). Ibnul Qayim dengan sangat piawai berpetuah, “Seandainya orang-orang tahu apa yang akan mereka petik jika mereka membaca al-Qur’an dengan tadabbur (perenungan), niscaya dia akan menyibukkan diri dengannya dan tidak mempedulikan urusan lainnya. Di saat melewati suatu ayat, yang kebetulan dia sangat membutuhkannya untuk mengobati sebuah penyakit yang bercokol di hatinya, dia akan mengulang-ulanginya meskipun sampai seratus kali atau bahkan semalam suntuk. Membaca al-Qur’an dengan penghayatan dan pemahaman lebih baik daripada mengkhatamkan al-Qur’an tanpa merenungi dan memahami maknanya. Sebab tadabbur itu akan lebih bermanfaat untuk hati, lebih menambah keimanan, serta seorang hamba bisa lebih merasakan manisnya al-Qur’an.” (Miftah Daar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim, I/553).
  4. Mengajarkan al-Qur’an terhadap kaum muslimin dan memasyarakatkannya (Ta’dzim Qadr ash-Shalah (II/693), dan Qawa’id wa Fawa’id min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Muhammad Sulthan, hal 93). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung,

  5. خيركم من تعلم القرآن وعلمه
    “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Ketiga: Nasihat Untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nasihat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam al-Qurthuby tatkala beliau menafsirkan ayat: إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ “Jika mereka menunaikan nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya”. (QS. At-Taubah: 91). Beliau berkata: “Nasihat untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti: mempercayai kenabiannya, senantiasa menaatinya di setiap perintah dan larangannya, mencintai siapa yang mencintainya serta memusuhi siapa yang memusuhinya, menghormatinya, mencintainya dan mencintai keluarganya, mengagungkannya serta mengagungkan sunah-sunahnya dengan cara menghidupkannya tatkala dia padam, mencari dan berusaha memahaminya, melindungi, menyebarkan dan mengajak umat manusia untuk kembali kepadanya, serta berusaha untuk berakhlak dengan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.” (Tafsir al-Qurthuby, VIII/210).
Jadi, nasihat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup berbagai hal, antara lain:
  1. Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah ta’ala, dan beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir yang merupakan penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 56)
  2. Menaati perintahnya dan menjauhi larangan. Allah menegaskan,

  3. وما آتاكم الرسول فخذوه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
    “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)
  4. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, karena hal itu adalah wahyu yang bersumber dari Allah ta’ala. Di dalam al-Qur’an,

  5. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
    Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An-Najm: 3-4)
  6. Beribadah kepada Allah dengan tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambahi ataupun dikurangi. Allah ta’ala berfirman, لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُول الله أسوة حسنةِ Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
  7. Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan,

    من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
    “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak”. (HR. Muslim, III/1344 no. 1718)
  8. Meyakini bahwa apa yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan apa yang datang dari Allah ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam as-Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah ta’ala berfirman,

  9. مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
    “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
  10. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghapal, memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menghidupkan sunnahnya serta menyebarkannya di kalangan masyarakat.
  11. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Suatu hari Umar bin Khattab shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri!”. Nabi pun menyahut, “Tidak demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri!”. Maka Umar berkata, “Adapun sekarang demi Allah engkau betul-betul lebih aku cintai dari diriku sendiri!”. Nabi pun bersabda, “Sekarang baru (engkau benar-benar mencintaiku).” (HR. Bukhari no. 6632).
  12. Akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang mengarahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan untuk Allah ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: beristighatsah dan memohon kepadanya, meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrim ini,

    لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم, إنما أنا عبده, فقولوا: عبد الله ورسوله
    “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani terlalu berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 3445)
  13. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para sahabatnya (Asy-Syifa bita’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl (II/573), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, (III/407), untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi (I/344-358)), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, 2/575, untuk pembahasan lebih lanjut silakan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi, I/359-361)
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Sumber:  www.muslim.or.id
0 comments

Agama Adalah Nasihat (1)

عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا: لمن؟ قال: «لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم». رواه مسلم

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)

Derajat Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, hadits no. 55 dan no. 95.

Biografi Singkat Perawi Hadits:
Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari negeri Palestina, tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem). Meninggal pada tahun 40 H. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini, yang mana dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, (II/442-448))

Kedudukan Hadits Ini:
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya maupun hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54).

Penjelasan Hadits:
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»
“Agama itu nasihat.”
Kata ad-dien dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:
  1. Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan. (QS. Al-Fatihah [1]: 4)
  2. Agama, contohnya firman Allah ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Adapun dalam hadits kita ini, yang dimaksud dengan kata ad-dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).
Kata an-nashihah berasal dari kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:
  1. Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
  2. Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.
Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang dinasihati, definisi ini berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang dimaksud adalah merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.
Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian besar ajaran agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الدعاء هو العبادة »
 “Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828), At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid (bagus), Al-Albani berkata: shahih.)
Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« الحج عرفة »
“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai (V/256), Ibnu Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.)

Bukan berarti bahwa ibadah dalam agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual ibadah haji hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah: menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.

Akan tetapi jika kita amati dengan seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -yang disebutkan dalam hadits ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam semuanya adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54-55)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal siapa saja yang berhak mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk siapakah nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah itu diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala seseorang mengungkapkan suatu hal secara global, para pendengar akan mengharap-harap perincian hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa berharap serta menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika perincian suatu ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak awal pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)

قلنا: لِمَـنْ؟
Kami (para sahabat) bertanya, “Hak siapa nasihat itu wahai Rasulullah?”

Huruf lam dalam perkataan para sahabat لِمنْ fungsinya adalah untuk istihqaq (menerangkan milik atau hak), yang berarti: nasihat ini haknya siapa wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 55).

قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم.
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”.

Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak untuk mendapatkan nasihat ada lima:
Pertama: Nasihat untuk Allah ta’ala
Nasihat untuk Allah ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak yang wajib maupun yang sunnah (Ibid, lihat pula: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-692).
Hak-hak Allah yang wajib mencakup antara lain:
  1. Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti: meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu, satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan doa, Yang Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26). Allah ta’ala berfirman,
  2. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
    “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1)
  3. Beriman terhadap uluhiyah Allah ta’ala, yang berarti: mengesakan Allah ta’ala dalam segala macam bentuk ibadah (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih al-Fauzan, hal 30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa takut), al-mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya. Allah ta’ala berfirman,
  4. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
  5. Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-sifat) Allah ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan Allah ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta sifat-sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, sembari mengimani makna dan hukum-hukumnya, tanpa mengotorinya dengan tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (berusaha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti sifat-sifat para makhluk). Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam berfirman,
  6. لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11). (Lihat: Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil Asma’ wash Shifat, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal 31)
  7. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan-Nya. Ini adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, karya Dr. Bandar al-’Abdaly, hal 37). Allah berfirman,
  8. قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
    “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)
    Hal-hal yang wajib contohnya: mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berdakwah kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan: syirik, berzina, bermain judi, dan lain sebagainya.
  9. Tidak rela melihat larangan-Nya dilanggar, serta merasa bahagia jika melihat para hamba-Nya taat dalam menjalankan perintah-Nya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah, II/692).
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
Sumber: www.muslim.or.id
0 comments

Nasihat Asy Syaikh Rabi’ Pada Pertemuan Salafiyyin Di Qatar


Nasihat Asy Syaikh Rabi’ Pada Pertemuan Salafiyyin Di Qatar


بسم الله الرحمن الرحيم
 
 Setelah hamdalah dan shalawat serta salam kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau berkata:
Pada pertemuan ini saya ingin berbicara bersama saudara-saudaraku dan orang-orang yang aku cintai karena Allah seputar perkara-perkara yang bermanfaat bagiku –insyaAllah- dan bermanfaat bagi mereka (juga) di kehidupan dunia ini dan (kehidupan) akhirat (kelak)

Sesungguhnya perkara terpenting dalam agama ini adalah mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam peribadatan kepada-Nya dan pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan perkara ini telah ditunjukkan oleh Al Qur’an Al Karim dan sunnah nabawiyah dan semua Rasul –Alaihimus-Shalatu was-Salam- mengajak (umat mereka) kepada perkara ini. Landasan pokok ini merupakan poros dakwah segenap Nabi –Alaihimus-Shalatu was-Salam- karena pentingnya perkara ini. Dan juga karena hal ini merupakan pokok utama dari landasan-landasan agama. Agama ini tidak akan menjadi lurus tanpanya dan amalan seseorang tidak akan diterima kecuali apabila ia menegakkan perkara ini. Perbedaan yang ada di antara para nabi –Alaihimus-Shalatu was-Salam- hanyalah pada perkara tauhid ibadah yang merupakan makna dari syahadat “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad Rasulullah, yaitu pada risalah penutup, “dan bahwasanya Nuh rasululah”, “dan bahwasanya Ibrahim rasulullah, “dan bahwasanya Shalih rasulullah” dstnya.

Semua Nabi –Alaihimus-Shalatu was-Salam- datang dengan membawa dakwah yang besar ini. Dan tidak seorang pun ketinggalan dari berdakwah kepadanya. Dan dalam mendakwahkannya mereka mendapatkan gangguan yang hanya Allah Ta’aala saja yang mengetahui (kadarnya). Nuh Alaihissalaam berdakwah selama 950 tahun, menyeru kepada tauhid ini, tauhid ibadah kepada Allah dan mengikhlaskan agama ini hanya untuk-Nya dan menunggalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam peribadahan. Dan perkara ini merupakan kandungan dari syahadat: Laa ilaaha illallaah. Seribu tahun (kurang) beliau tidak melangkahinya dan konsentrasi kepadanya.

Begitu pula Shalih Alaihissalaam dan Ibrahim dan selain mereka dari para rasul yang kisah mereka Allah ceritakan kepada kita di dalam Al Qur’an dan selain mereka dari (rasul-rasul) yang tidak Allah kisahkan kepada kita. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menceritakan kisah rasul-rasul ini dan sebagian nabi-nabi dan sejarah mereka dan Dia tidak menceritakan kepada kita (nabi-nabi) yang lainnya. Maka wajib bagi kita untuk beriman kepada nabi-nabi tersebut seluruhnya, dari yang telah disebutkan di dalam Al Qur’an dan yang tidak disebutkan.

Termasuk dari landasan pokok keimanan: beriman kepada rasul-rasul tersebut, yang mana mereka mengajak untuk mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan mencintai mereka serta memberikan loyalitas kepada orang-orang yang loyal kepada mereka dan memusuhi orang-orang yang memusuhi mereka. Rasul-rasul tersebut, setiap mereka berkata kepada kaumnya;

Beribadahlah kalian kepada Allah. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain Dia.” (Qs. Al A’raf: 59)

Dan kami telah mengutus pada setiap ummat seorang rasul: (mereka berkata: beribadahlah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah peribadahan kepada thaghut.” (Qs. An-Nahl: 36)

Berdakwah kepada mentauhidkan Allah dan peribadahan kepada-Nya semata Subhanahu Wa Ta’ala serta mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya dan meninggalkan thaghut-thaghut yaitu sesembahan-sesembahan yang dahulu diibadahi oleh umat-umat yang sesat. Dan masih saja sampai saat ini –sangat disayangkan- di dunia ini (orang-orang) dari selain muslimin, meskipun mereka meninggalkan peribadahan kepada berhala, batu, akan tetapi mereka mengambil tandingan-tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari para wali-wali dan orang-orang shalih –sangat disayangkan- seperti kaum Rafidhah dan Sufiyah dan selain mereka dari orang-orang yang mengikuti mereka di dalam medan yang jelek dan kelam ini.

Maka wajib bagi kita untuk memberi perhatian terhadap jenis-jenis tauhid ini. Kita mempelajarinya dari Kitabullah dan sunnah Rasullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan dari akidah-akidah salaf Rhadiyallahu ‘Anhum. Mereka telah menulis seputar masalah ini dan menyusun bagitu banyak (tulisan) dan banyak sekali tulisan dalam perkara ini, mengingat pentingnya hal ini. Dan diantara yang akan saya sebutkan: As-Sunnah karya Al Khalal dan Asy-Syariah karya Al Aajurri dan Syarah I’tiqad Ahlissunnah atau Ushul Ahlissunah karya Al Laalika’i dan kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim serta kitab-kitab Al Imam Muhammad bin Abdulwahhab dan putra-putranya serta murid-murid beliau.

Kitab-kitab ini harus bagi kita untuk mempelajarinya dan memahaminya dan mengajak manusia kepada apa yang dikandungnya. Dan pada kalian ada kitab At-Tauhid dan syarahnya Fathul Majid dan Taysir Al Aziz Al Hamid. Karena kesesatan terjadi dari masa ke masa pada ummat ini. Dan para imam-imam menghadapi mereka (menerangkan) kesesatan-kesesatan ini dengan berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan tulisan dan lisan dan berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahkan sebagian mereka berjihad di jalan ini seperti Al Imam Muhammad bin Abdulwahhab berjihad dengan pedang dan tombak dan dengan pena dan lisan.

Maka mulailah men-tarbiyah manusia dengan macam-macam tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini. Yang mana ia merupakan inti pokok dari agama ini. Kita memulai dengannya sebelum yang lainnya. Dan apabila manusia dan negeri menyambut seruan kepada pokok yang agung ini kita bawa mereka. Dan muslimin mudah (bagi kita) membawa mereka. Karena orang-orang yang beriman dengan shalat, zakat, puasa dan haji bagaimana pun dahsyatnya penyimpangan dan kesesatan mereka sesungguhnya mereka menyambutmu dengan mudah. –Barakallahufikum-

Dan kita tidak menyibukkan diri dengan perkara politik dan tidak pula dengan khurafat-khurafat sufiyah dan tidak juga dengan selainnya. Karena di antara dakwah-dakwah yang rusak di zaman ini, orang-orang yang meninggalkan landasan-landasan pokok ini dan menyibukkan diri dengan memainkan perasaan-perasaan awam dan orang-orang bodoh melalui khurafat dan cerita-cerita bohong dan menjauh dari medan dakwah tauhid kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena ingin mengumpulkan manusia kepada dakwahnya, apakah dakwah politik atau dakwah sufiyah khurafat. Dan mereka membahayakan ummat dan tidak berguna bagi mereka bahkan mereka telah menghalangi manusia dari mengetahui dakwah para nabi dan manhaj-manhaj mereka Alaihimus-Shalatu was-Salam. Mereka menyibukkan manusia dengan apa yang mereka punya dari khurafat-khurafat dan kebohongan-kebohongan dari mengenal kebenaran yang dibawa para rasul Alaihimus-Shalatu was-Salam terlebih lagi penutup mereka Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Maka sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan petunjuk para nabi. Allah telah menyebutkan sejumlah nabi kemudian Dia berfirman setelah menyebutkan satu per satu nama-nama mereka (yang artinya) : “Merekalah orang-orang yang Allah beri petunjuk, maka dengan petunjuk merekalah hendaknya kalian menauladani.” (Qs. Al An’am: 90)

Allah menunjuki mereka kepada agama yang hak, kepada mentauhidkan-Nya, kepada mengikhlaskan agama ini untuk-Nya dan memerintahkan Rasulullah dan ummatnya untuk mencontoh para nabi tersebut di dalam mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya serta mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya dan mengajak manusia kepadanya

Inilah dakwah para nabi Alaihimus-Shalatu was-Salam dan datang perkara shalat, zakat dan syari’at-syari’at yang banyak, datang pada agama-agama yang lalu. Akan tetapi memulai (dakwah) tetap pada yang terpenting kemudian perkara penting setelahnya. Sebagaimana yang terdapat pada hadits Mu’adz Rhadiyallahu ‘Anhu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengutusnya ke Yaman, beliau berkata: “Sesungguhnya engkau mendatangi kaum ahli kitab, jadikanlah yang pertama kali kamu seru mereka adalah kepada: syahadat Laa ilaaha illallaah dan sesungguhnya aku utusan Allah. Apabila mereka mentaatimu dalam hal ini beritahu mereka bahwasanya Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan apabila mereka mentaatimu dalam hal ini, bertahu mereka bahwasanya Allah mewajibkan atas mereka sedekah pada harta-harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada fakir-miskin dari mereka. Dan apabila mereka mentaatimu dalam hal ini, jauhilah harta-harta mereka yang paling baik. Karena tidak ada antara doa orang yang terzalimi dengan Allah satu pun penghalang“.

Yang dimaukan dari hadits ini adalah: bahwa Nabi mengarahkan Mu’adz dan dia akan pergi menuju kaum ahli kitab. (Ahli kitab) beriman kepada risalah Musa Alaihissalaam dan nabi-nabi sebelumnya dan mereka mengucapkan: Laa ilaaha illallaah. Akan tetapi mereka telah merusak maknanya dan tidak beriman kepada penutup para rasul ini Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Muadz untuk mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada pokok seruannya kepada Allah, yaitu beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Dan demikianlah para mushlihun (orang-orang yang mengajak kepada perbaikan): seperti Ibnu Taimiyah dan selain mereka dari orang-orang yang mendapati masyarakat islam telah menyimpang disebabkan kaum sufi dan Rafidhah. Mereka berdakwah kepada tauhid dan menulis seputar masalah ini tulisan yang banyak dan monumental. Maka kita berjalan di atas manhaj para nabi dan para mushlihin di dalam berdakwah ke jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Inilah pokok dan inti dari dakwah Islam. Kita mengajak manusia kepadanya. Apabila mereka menyambut dakwah ini dan menyambut untuk berpegang dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta untuk mentaati Rasul yang mulia ini Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah Allah utus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, maka kita telah mencintai Rasul ini dan mentaatinya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kita mencintai beliau lebih daripada anak-anak kita dan diri-diri kita serta harta benda kita.

Tidaklah kalian beriman sampai aku lebih dia cintai dari dirinya sendiri dan anaknya dan bapaknya dan manusia sekalian.” (Al Hadits)

Maka beliaulah yang paling kita cintai daripada perkara-perkara ini semua Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sebagaimana kita (juga) mencintai para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ‘Anhum dan ahlulbait beliau yang istiqamah di atas manhajnya. Kita mencintai mereka dan mendahulukan mereka daripada diri-diri kita dan anak-anak kita Radhiyallahu ‘Anhum. Para shahabat yang mulia berhak mendapatkan penghormatan kita dan kecintaan kita yang besar. Karena merekalah yang menyampaikan agama ini kepada kita, merekalah yang menyebarkan agama ini, merekalah yang mengorbankan diri-diri mereka dan harta benda mereka dalam menyebarkan agama ini Radhiyallahu ‘Anhum pada masa hidupnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelahnya sehingga kebanyakan ummat pada waktu itu menjadi dekat dengan mereka Rhadiyallahu ‘Anhum. Maka kenalilah kedudukan mereka dan kehormatan mereka Radhiyallahu ‘Anhum.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan kita dari mencela mereka: “Jangan kalian cela shahabatku sungguh demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, apabila salah seorang kalian menyedekahkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan menyamai segenggam sedekah mereka bahkan setengahnya.”. Kita mencintai Rasul ini dan mencintai para shahabatnya yang mulia dan ahlulbait beliau yang terhormat Radhiyallahu ‘Anhum, (semua ini) karena Allah.

Kita mencintai Allah dan mencintai para rasul dan di antara mereka penutup para Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat yang mulia, kita mencintai mereka karena hal ini di antara kesempurnaan kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan Allah tidak menerima kita hanya mencintainya saja. Bahkan wajib atas kita untuk mencintai-Nya dan mencintai rasul-rasul-Nya dan mencintai wali-wali-Nya yang beriman, loyal kepada mereka dan mendahulukan loyalitas kita kepada mereka daripada loyalitas yang lainnya. Bahkan kita tidak berloyal kepada siapa pun di sisi loyalitas kita kepada mereka Radhiyallahu ‘Anhum. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah dan kerabatnya serta para shahabatnya semua.

Kita mentaati Rasul ini. Dan Al Qur’an telah memulai atau banyak ayat Al Qur’an lebih dari tiga puluh nash mengajak kepada ketaatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengikutinya:

Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul.” (Qs. Al Ma’idah: 92)

Dan barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya sesungguhnya untuknya neraka jahannam mereka kekal di dalamnya.” (Qs. An-Nisaa’: 14)

Maka mentaati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan satu-satunya jalan setelah mentauhidkan Allah yang mengantarkan kepada surga-Nya yang luas (surga-Nya) seluas langit dan bumi. Maka kita mencintai Allah, kita mencintai tauhid, kita mencintai para malaikat, kita mencintai para rasul dan kita mentaati Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada setiap perintahnya dan pada setiap larangannya:

Apa yang aku perintahkan kepada kalian kerjakanlah semampu kalian dan apa yang aku larang tingalkanlah.” (Al Hadits)

Maka berhati-hatilah orang-orang yang menyelisihi perintahnya bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau akan ditimpa oleh azab yang pedih.” (Qs. An-Nur: 63)

Maka orang yang menyelisihi Rasulullah bisa saja ditimpa fitnah atau azab yang pedih. Tahukah kalian apa itu fitnah?! Fitnah adalah: kekufuran.

Menyelisihi Rasulullah akan berakibat hatinya menjadi menyimpang dan mengantarkan kepada kekufuran –hanya kepada Allah kita berlindung- kita mohon kepada Allah keselamatan. “Maka berhati-hatilah orang-orang yang menyelisihi perintahnya bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau akan ditimpa oleh azab yang pedih.” (Qs. An-Nur: 63) 

Fitnah adalah kekufuran dan kemurtadan dan penyimpangan dari apa yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka kita harus berhati-hati dari menyelisihinya karena menyelisihi beliau akibatnya bahaya. Kita mentaati beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membenarkannya pada setiap beritanya dan mentaatinya pada setiap perintahnya dan berhenti dari perkara-perkara yang beliau larang atau peringatkan kita darinya. Kita mencintai para shahabatnya dan mencintai sesama mukminin.

Dan wajib bagi kita untuk saling mencintai di antara kita dan saling menjalin hubungan di antara kita dan saling kasih sayang di antara kita dan saling mengajak kepada yang ma’ruf dan saling mengingatkan dari yang mungkar dan saling menasihati untuk mentaati Allah Subhanahu Wa Ta’alaDan pihak yang keliru dari saudara-saudara kita salafiyyin kita nasihatkan dengan hikmah dan kita jelaskan kepadanya dan kita tegakkan hujjah kepadanya karena yang demikian lebih bermanfaat dan berguna dan jangan langsung kita memutus hubungan dengannya. Karena penyakit ini merebak pada kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri-diri mereka kepada manhaj salaf sampai-sampai menyeret sebagian mereka kepada perpecahan dan menyeret sebagian mereka kepada penyimpangan dari manhaj ini kepada manhaj lainnya. Hanya kepada Allah kita mohon keselamatan.

Maka jagalah persaudaraan di antara kalian dan saling mendekat dan saling mengasihi di antara kalian dan saling menjalin hubungan di antara kalian dan saling mengajak kepada yang ma’ruf dan saling mengingatkan dari yang mungkar. Karena amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah di antara ciri khusus yang ada pada ummat ini, dengannya ummat ini berbeda dengan ummat-ummat lainnya. Karena Allah telah memilih mereka, karena mereka saling mengajak kepada yang ma’ruf dan saling melarang dari yang mungkar.

Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.” (Qs. Ali Imran; 110)

Dan saling cinta di sini bukan berarti saling cinta yang menyeret kepada sikap basa-basi, bukan maksud saling cinta kita berbasa-basi dan mendiamkan kesalahan bahkan barangsiapa yang melakukan kesalahan besar maupun kecil kita jelaskan hal ini kepadanya bahwa dia terjatuh pada kesalahan ini, dia telah menyelisihi dalil ini dari Al Kitab dan menyelisihi nash ini dari As-Sunnah dan menyelisihi manhaj salaf. Kita jelaskan hal ini kepadanya. Dan apabila ia terjatuh kepada suatu bid’ah kita nasihatkan dia dan kita jelaskan hal ini padanya. Dan apabila dia menentang dan sombong dan terus mengajak kepada bid’ahnya maka yang seperti ini berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (ummat) diperingatkan darinya dan dia (harus) diboikot. Dan apabila dia terjatuh kepada bid’ah terlebih lagi bid’ah yang besar dan dinasihati tapi tidak menerima nasihat dan sombong bahkan dia terus menerus mengajak kepada bid’ahnya dan fitnah. Maka yang seperti ini ketika itu (ummat) diperingatkan darinya.

Saya mohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatukan kita di atas kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengokohkan kita di atasnya dan mewafatkan kita di atasnya sesungguhnya Rabb kita Maha Mendengar doa.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya serta para shahabatnya.

Wassalamualaikum warahmatullahu wabarakatuh.
Shahibul qaul: Asy Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah
Judul asli: Kalimatun Taujihiyyah Dhimnal-Liqa’aat As-Salafiyah Al Qatariyah
Transkrip oleh: Abu Ubaidah Munjid bin Fadhl Al Haddad
Penataan dan penyusunan kembali: Abdullah bin Zaid Al Khalidi
Penerjemah: Ustadz Ja’far Salih
Artikel asli dari akun facebook Ust Ja’far Shalih dipublish ulang oleh Muslim.Or.Id
0 comments

BEGINILAH CARA MENASEHATI SAUDARAMU



Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb al-‘Aqîl

Pertanyaan : Ahsanallôhu ilaykum (Semoga Alloh menjadikan Anda lebih baik), Syaikh kami –semoga Alloh Ta’âlâ menjaga Anda- Saya mengharapkan Anda sudi menjelaskan kepada kami bagaimana cara (thorîqoh) yang syar’i di dalam memberikan nasehat secara benar, terutama apabila yang dinasehati tersebut adalah seorang sunni yang bermanhaj salafi yang melakukan satu atau lebih kekeliruan?

Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb al-‘Aqîl hafizhahullâhu menjawab :

Nasehat itu (wahai saudara) semoga Alloh menjaga kalian semua, merupakan perkara yang agung. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

الدّين النّصيحة ، ثلاثا ، قُلنا لمن يا رسول اللّه؟ قال: للّه ولكتابه ولرسوله ولأئمّة المسلمين وعامّتهم

“Agama itu adalah nasehat” sebanyak tiga kali. Kami (para sahabat) bertanya : “untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Untuk Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin beserta seluruh kaum muslimin”

Jadi, menasehati saudara-saudara kita, (adalah dengan) menyeru mereka kepada yang ma’rûf, melarang dari yang munkar, mengajak mereka kepada kebaikan. Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

وأن تأتي النّاس بمثل ما تُحبّ أن يأتوك به

“Perlakukan seseorang sebagaimana Anda ingin diperlakukan”

Kaidah ini –semoga Alloh menjaga Anda-, “Perlakukan seseorang sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Bagaimana Anda menginginkan orang lain menasehati Anda? Bagaimana Anda menginginkannya? Bagaimana Anda ingin dinasehati orang lain? Apakah Anda ingin dinasehati orang lain dengan kekerasan? Dengan celaan? Dengan pukulan? Ataukah dengan cara yang baik?

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ

“Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang baik, maka tiba-tiba orang yang memiliki permusuhan diantaramu dengan dirinya…”

Tidak diragukan lagi –semoga Alloh menjaga Anda- bahwa kita masih banyak sekali memiliki kekurangan dalam hal ini. Kita masih memiliki kekurangan di dalam interaksi (mu’amalah) kita dengan bapak dan ibu kita. Kekurangan yang besar!
0 comments

Lapangkan Hatimu Dalam Menerima Nasehat dan Kebenaran

Lapangkan Hatimu Dalam Menerima Nasehat dan Kebenaran

Di antara sebab tersebarnya kebatilan dan bertambah buruknya keadaan masyarakat adalah berbagai macam alasan yang diada-adakan oleh syaitan dan bala tentaranya demi melestarikan kemungkaran. Umat-umat terdahulu yang menentang dakwah para rasul pun demikian. Ketika para rasul itu menyeru mereka untuk mengesakan Allah dan taat kepada utusan-Nya, maka serentak muncullah berbagai dalih dan argumentasi mereka untuk mengelak dari kewajiban tersebut.


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila dikatakan kepada mereka; ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, maka mereka mengatakan; ‘Bahkan kami akan tetap mengikuti apa-apa yang kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. Apakah mereka akan tetap mengikutinya apabila ternyata nenek moyang mereka adalah orang-orang yang tidak memahami apa pun dan sama sekali tidak berada di jalan petunjuk?” (Qs. al-Baqarah: 171)

Wahyu dari Allah yang semestinya mereka hormati dan patuhi pun seolah tidak ada artinya. Para rasul yang telah diberi tugas untuk membimbing mereka pun tak ubahnya mereka anggap seperti orang biasa. Bahkan yang lebih keji lagi mereka menuduh kaum beriman pengikut rasul telah mengikuti seorang lelaki yang tersihir, aduhai betapa besar kedustaan mereka! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang zalim itu mengatakan; tidaklah kalian mengikuti kecuali seorang lelaki yang dikuasai oleh sihir.” (Qs. al-Furqan: 8). Inilah sunnatullah! Perjalanan dakwah senantiasa dirintangi oleh makhluk-makhluk durhaka yang nekad membangkang kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, Kami menjadikan bagi setiap nabi musuh dari kalangan para pendosa.” (Qs. al-Furqan: 31)

Saudaraku –semoga Allah menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat- apabila kita cermati secara seksama, sekian banyak kemungkaran yang ada di atmosfer kehidupan kaum muslimin pada hari ini, maka akan kita dapatkan bahwa ternyata salah satu senjata syaitan paling ampuh yang menyimpangkan bani Adam dari jalan yang lurus adalah hujjah-hujjah palsu dan kerancuan pemahaman yang memoles kebatilan sehingga tampak menjadi sesuatu yang indah dan menyenangkan. Tidakkah Anda lihat, orang-orang yang sampai saat ini masih enggan meninggalkan gemerlapnya dunia panggung hiburan –entah penyanyi atau bintang film dan sinetron-, kalau anda bertanya kepada mereka; apa yang melatar belakangi mereka dengan suka rela dan tanpa sungkan-sungkan mengobral aurat di layar-layar kaca dan berdandan ala jahiliyah demi memuaskan selera penonton dan sutradara? Maka jawaban mereka tidak lauh dari ungkapan klise dan menyakitkan hati para pecinta Allah dan rasul-Nya; “Ini adalah seni, ini demi menghidupi keluarga saya, ini adalah potret kebebasan hak asasi manusia, ini adalah ekspresi budaya,” atau seabrek kepalsuan yang lainnya. Maha suci Allah, sudah sedemikian rusakkah aqidah kita?

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah, seorang mukmin hidup bukan untuk memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Seorang mukmin menyadari bahwa ujian yang Allah berikan di alam dunia ini adalah kesempatan baginya untuk membuktikan penghambaan dirinya kepada Allah semata. Betapa banyak orang yang mengira bahwa apa yang dilakukannya merupakan kebaikan padahal di sisi Allah ta’ala itu semua tidak ada artinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; maukah Aku kabarkan kepada kalian orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia namun mereka mengira telah melakukan amal dengan sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi: 103-104)

Lalu apa yang semestinya kita kerjakan? Sebuah pertanyaan yang penting untuk dikaji. Untuk mengatasi jerat syaitan yang satu ini, maka seorang hamba memerlukan bimbingan ilmu yang benar di samping keteguhan sikap dalam memihak kepada kebenaran. Orang yang tidak dibekali ilmu yang benar, maka tindakan yang diambilnya pun hampir bisa dipastikan menyimpang dari jalan kebenaran. Oleh sebab itulah setiap harinya kita diajari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah hidayah menuju jalan yang lurus. Sementara jalan yang lurus itu dibentangkan di atas pondasi ilmu dan keberpihakan konkret kepada kebenaran. Dengan pondasi ilmu maka para peniti jalan tersebut akan terbebas dari kebodohan dan sikap serampangan yang cenderung pada perilaku sesat dan menyimpang. Sedangkan dengan pondasi yang kedua maka para peniti jalan itu akan senantiasa terjaga dari kemurkaan Allah dengan keistiqomahan mereka di atas rel kebenaran. Iman kepada Allah tidak cukup jika tidak disertai keistiqomahan. Sebagaimana ucapan syahadat di lisan tidak cukup jika tidak diiringi dengan ketundukan dan kecintaan. Demikian pula ilmu, tidaklah ia mencukupi apabila tidak disertai dengan amalan.

Sebagian manusia diseret oleh hawa nafsu dan kebodohannya untuk mengikuti aliran orang-orang yang sesat (adh-dhaallin) lagi menyimpang. Bukan karena niat mereka yang buruk, namun karena persepsi mereka tentang kebenaran dan pengabdian telah mengalami distorsi pemikiran. Sedangkan sebagian yang lain cenderung kepada aliran orang-orang yang dimurkai (al-maghdhubi ‘alaihim) akibat pemahaman mereka tidak disertai dengan kecintaan kepada kebenaran dan ketulusan mengabdi kepada ar-Rahman. Mereka tahu tapi enggan mengikuti kebenaran.

Nah, yang kita perbincangkan sekarang bukanlah orang-orang yang enggan mengikuti kebenaran. Yang ingin kita soroti adalah segolongan manusia yang dengan niat baik mereka ‘terpaksa’ harus memposisikan diri mereka di barisan orang yang menyimpang. Meskipun hal itu tidak mereka sadari. Dan inilah yang menyakitkan. Banyak sekali tipu daya Iblis yang mereka serap dan adopsi demi melegalkan penyimpangan yang selama ini mereka tekuni. Di antara alasan yang sering kita dengar dari banyak orang yang menuturkan keadaan orang-orang semacam ini adalah ucapan mereka, “Saya tidak berniat buruk. Niat saya baik. Hanya saja keadaan memaksa saya untuk melakukan hal ini. Saya sadar hal ini akan mengundang banyak kontroversi. Namun, hal itu tidak penting bagi saya. Toh, saya tidak mencari ridha manusia. Apa boleh buat, keadaan menuntut saya melakukannya, dan lagi kalau mau diambil sisi positifnya kan tidak sedikit. Kita harus realistis, tidak semua orang bisa bersikap ideal seperti yang anda inginkan.” Kurang lebih itulah alasan mereka.

Sekilas, ucapan ini terdengar bijak dan menyejukkan. Namun di balik itu semua, syaitan ingin menggiring manusia agar memandang baik diri mereka sendiri dan menempatkan orang lain sebagai penonton belaka. Sehingga mereka tidak lagi berhak untuk mengkritik atau pun mengoreksi sikapnya. Karena sutradara kehidupannya adalah dia, adapun orang lain mungkin tidak mengerti realita dalam pandangannya. Ada ungkapan yang mengatakan, “Sang pemilik rumah tentu lebih mengerti tentang isi rumahnya.” Ya, itu ada benarnya, tapi ingat betapa banyak pemilik rumah yang kebingungan mencari barangnya sendiri yang hilang gara-gara lupa atau terselip di suatu tempat, padahal kejadian itu sama sekali tidak keluar sejengkal pun dari pagar rumahnya! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Qs. an-Nahl: 43)

Banyak orang yang mudah menerima kebenaran ketika kebenaran itu tidak mengusik urusan pribadinya. Namun, tidak sedikit pula orang yang menolak kebenaran hanya gara-gara kebenaran itu telah mengusik urusan pribadinya. Tidakkah kita ingat kisah Abu Thalib paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Pada dasarnya dia mengakui kebenaran ajaran yang dibawa oleh keponakannya itu, namun hanya karena khawatir apabila dia mengikuti ajaran itu maka celaan dan komentar miring akan terlontar dari lisan suku Quraisy kepadanya, akhirnya syahadat pun tak mau diucapkannya, walau sekali. Hal itu menunjukkan bahwa keteguhan orang dalam meniti jalan kebenaran akan benar-benar tampak ketika kebenaran itu harus berhadap-hadapan dengan kemauan hawa nafsu dan kebiasaan yang dijalaninya atau yang dijalani oleh masyarakatnya. Ketika berada dalam posisi seperti itu, bagaimanakah sikap yang diambilnya? Itulah cerminan penghambaan dirinya yang sebenarnya.

Sebagian orang –semoga Allah memberi mereka petunjuk- mengira bahwa nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah bentuk kelancangan dan kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara menasehatinya, maka tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan cara yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas atau tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah kekeliruan- tanpa menyimpan dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf dan berlapang dada dalam menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Di sisi lain kita tidak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan kritik kepada kita. Wallahul musta’an.

Yogyakarta, 14 Shafar 1430 H

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
0 comments
 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger