Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

Shalat Merupakan Ibadah Yang Utama



Shalat Merupakan Ibadah Yang Utama

Allah menciptakan jin dan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Ta'aala kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Dalam ajaran Islam manusia diwajibkan melaksanakan ibadah yang diatur dalam syariat Islam.
Allah Ta'aala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ 
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[1]



Ibadah secara bahasa berarti merendahkan diri. Sedangkan ibadah menurut syara’ berarti satu nama yang mencakup segala apa yang Allah Ta'aala cintai berupa perkataan dan perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi. Ibadah terbagi menjadi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Ibadah hati meliputi meliputi rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), khasy-yah (takut)[2] dan rahbah (cemas). Ibadah lisan meliputi takbir, tasbih, tahlil, tahmid dan syukur. Sedangkan ibadah anggota badan meliputi shalat, zakat, puasa, haji dan jihad.[3]
Islam memiliki lima rukun yang dikenal dengan rukun islam, sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَ مُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إ لاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاَ ةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun diatas lima perkara : Bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadan.”[4]

Ibadah yang paling pokok dalam ajaran Islam adalah melaksanakan shalat. Perkataan al-shalaat memiliki pengertian yang banyak diantaranya adalah do’a, rahmat, permohonan ampun, ruku’, sujud, tasbih dan ibadah. Shalat terdiri dari i’tikad (niat), ucapan-ucapan, dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dari niat dan takbiratul ihram serta diakhiri dengan salam.[5] Shalat wajib bagi setiap muslim yang sudah baligh dan berakal kecuali bagi wanita haidh dan nifas. Shalat adalah rukun kedua dari lima rukun islam, merupakan tiang agama, dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta'aala. Kewajiban shalat ini menjadi hal yang utama karena amal dari shalatlah yang akan dihisab pertama kali di akhirat kelak.
Imam al-Thabarani di dalam kitabnya al-Ausath meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ لَهُ  سَائِرُ عَمَلِهِ

“Amalan yang pertama dihisab (dinilai) dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Jika ia baik, maka baiklah seluruh amalnya, sebaliknya jika ia jelek, maka jeleklah amalnya.”[6]

Shalat dapat dikerjakan secara sendiri-sendiri maupun secara berjama’ah, tetapi shalat berjama’ah lebih baik (afdhol) dan bermanfaat. Diantara dalilnya adalah dari Abdullah bin Umar  radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

صَلاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاةُ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat.”[7]

Shalat berjama’ah merupakan suatu tindakan ibadah shalat yang dikerjakan bersama-sama, dimana salah seorang di antaranya sebagai imam dan yang lainnya sebagai makmum.  Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat berjama’ah. Ada yang mengatakan hukumnya sunnah muakkad, fardhu ‘ain namun bukan syarat sahnya shalat, fardhu kifayah dan fardhu ‘ain yang merupakan syarat sahnya shalat. Pendapat yang paling rajih menurut jumhur ulama adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim laki-laki yang baligh dan berakal kecuali ada udzur syar’i yang menghalangi untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.[8]
Shalat berjama’ah terdiri dari minimal dua orang yang bertindak sebagai imam dan makmum. Allah mensyariatkan pengangkatan imam di dalam shalat untuk ditaati oleh makmum, artinya gerakan atau praktik amalan makmum harus mengikuti gerakan imam, tidak mendahuluinya juga tidak beriringan dengannya. Makmum harus melakukan gerakan setelah imam melakukannya terlebih dahulu. Seorang makmum tidak bertakbir sampai imam melakukan takbir, tidak juga rukuk sampai imam terlebih dahulu rukuk, tidak sujud sampai imam sujud dan tidak pula mengangkat kepalanya dari sujud sampai imam terlebih dahulu mengangkat kepalanya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا جُعِلَ الإمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
“Sesungguhnya imam dijadikan agar diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya! Apabila ia sudah bertakbir, maka bertakbirlah kalian.”[9]

Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memahami petunjuk nubuwah ini. Mereka pun mempraktikkannya dengan cara yang terbaik.
Diriwayatkan dari Amr bin Harits radhiallahu 'anhu,
 “Aku pernah shalat shubuh di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku mendengar nabi membaca ‘Fala uqsimu bilkhunnas. Aljawaril kunnas (QS At-Takwir)‘. Pada saat itu tidak ada seorang pun di antara kami yang menyondongkan punggungnya samapi nabi sujud dengan sempurna.”[10]
Dalam shalat berjama’ah, makmum juga dilarang menyalahi apa-apa yang dilakukan imam. Jika makmum mendahului dan menyalahi gerakan imam maka ia berdosa dan mendapat ancaman pada hari kiamat nanti kepala dan rupanya akan diubah menjadi kepala dan rupa keledai.
Melaksanakan shalat secara berjama’ah merupakan ibadah yang paling ditekankan dan merupakan ketaatan terbesar dari syi’ar Islam yang paling agung. Tetapi masih banyak umat islam yang menganggap remeh masalah shalat berjama’ah. Hal ini disebabkan karena mereka belum mengetahui ganjaran pahala yang melimpah yang telah Allah siapkan bagi siapapun yang shalat berjamaah.[11] Selain itu juga disebabkan karena mereka belum mengetahui hukum shalat berjama’ah di masjid bagi setiap laki-laki.[12]
Shalat jama’ah selain sarana ibadah kita kepada Allah  Ta'aala juga terdapat keutamaan dan aspek-aspek psikologis yang dapat memberikan motivasi sehingga akan membantu membentuk perilaku sosial seorang muslim. Setiap muslim yang selalu melaksanakan shalat jama’ah di masjid akan saling mengenal sehingga akan tumbuh rasa saling mencintai dan menyayangi diantara semua anggota shalat jama’ah. Ketika ada salah satu diantara mereka yang sakit atau kesusahan maka yang lainnya akan berusaha membantu.
Shalat jama’ah juga menumbuhkan perasan sama dan sederajat serta menghilangkan berbagai perbedaan sosial karena tidak ada perbedaan barisan antara yang kaya dengan yang miskin ataupun antara pejabat dengan rakyat. Semua anggota shalat jama’ah merasa sama dan sederajat dalam satu barisan untuk menjalankan ketaatan kepada imam. Kondisi ini akan membiasakan semua muslim untuk bersatu dan tidak terpecah belah sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka juga akan bersatu dalam ketaatan kepada pemimpin/pemerintah.
Jika setiap orang melaksanakan shalat sendiri-sendiri di rumah masing-masing maka masjid akan kosong dan mereka tidak bisa berhubungan satu sama lainnya. Akibatnya mereka menjadi tidak saling mengenal dan tidak tercipta rasa solidaritas sehingga ukhuwah Islamiyahpun juga tidak terwujud.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak kita saksikan saudara-saudara kita yang melakukan shalat berjama'ah, namun shalat berjama'ah tersebut tidak memberikan dampak dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak sekali dijumpai makmum datang untuk sholat berjama’ah namun setelah sholat langsung pergi meninggalkan masjid tanpa berinteraksi atau bertegur sapa dengan anggota shalat jama’ah lainnya. Tidak adanya interaksi antar anggota jama’ah inilah yang menyebabkan dampak shalat jama’ah dalam segi sosial kemasyarakatan tidak tercapai dan hilangnya rasa saling mencintai dan ukhuwah Islamiyah diantara jama’ah.

Abu 'Aaisyah Mukhtar bin Hasan al-Atsariy
1 Rabi'ul Awwal 1438 H / 14 Des 2015
Office Sakinah Supermarket

[1] QS, 51 (al-Dzariyat): 56.
[2] Ada sedikit perbedaan antara Khauf dan Khasyyah. Khasyyah itu lebih tinggi dan lebih berat daripada khauf. Oleh karenanya, khasyyah hanya dikhususkan untuk Allah saja sebagaimana dalam surah (al-Ra`du : 21). Khasyyah itu terjadi karena besarnya rasa takut sekalipun orang yang takut (khâsyî) adalah orang kuat. Sedangkan khauf terjadi karena kelemahan orang yang khawatir (khaif) sekalipun yang dikhawatirkan adalah perkara yang mudah. Ibnul al-Qayyim mengatakan, “khasyyah itu lebih khusus daripada khauf, karena khasyyah hanya dimiliki oleh orang alim yang mengetahui Allah. (Lihat: Disini)
[3] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Mulia dengan Manhaj Salaf  (Bogor:  Pustaka At-Taqwa) 2008, 274
[4] HR Bukhari No 8, Muslim No 62
[5] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Etika Imam dan Makmum (Bogor: Pustaka Ibnu ‘Umar) 2009, xi.
[6] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Ensiklopedi Shalat Jilid I (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i) 2006, 172.
[7] HR Bukhari No 390
[8] Said bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Etika….., xxi.
[9] HR Bukhari No, Muslim No 276
[10] HR Bukhari Muslim
[11] Fadhl Ilahi, Shalat Mengapa Mesti  Berjama’ah? (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir) 2010, 2.
[12] Ibid; 3.
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger