Homepage Pribadi Abu Muhammad Mukhtar bin Hasan al-Atsari

PUASA JALAN MENUJU SURGA Bag : Kesembilan

PUASA JALAN MENUJU SURGA Bag : Kesembilan
Oleh: Abu Hamzah Utsman Abdul Mujieb Al Banjary
 

الصيام طريق إلى الجنة
الصوم أحكامه وفضائله وآدابه وسننه
باللغة الإندونيسية
إعداد:
أبي حمزة  عثمان عبد المجيب البنجاري
➡BEBERAPA GOLONGAN YANG MENDAPATKAN RUKHSHAH UNTUK TIDAK PUASA RAMADHAN

1- Orang yang sakit bila ia berpuasa menjadikan mudharat bagi dirinya, bukan sakit ringan, seperti flu, pusing ringan dan sebagainya.

2-Musafir (orang yang mengadakan perjalanan).


Musafir boleh berbuka jika terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  • Jarak safar yang ditempuh adalah jarak yang diperbolehkan untuk mengqashar shalat menurut Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu sejauh 48 mil sama dengan kurang lebih 80 km. [Majmu` Fatawa li Syaikh bin Baz: 12/ 267], atau apa yang disebut safar secara `urf  (kebiasaan masyarakat). 
  • Orang yang akan mengadakan safar, telah meninggalkan tempat atau negeri yang ia tinggal di dalamnya. Jumhur ulama melarang kepada orang yang akan melakukan safar berbuka sebelum keluar dari negeri yang ia tinggal didalamnya, karena orang tersebut belum termasuk kategori musafir.
  • Hendaknya safar tersebut bukan safar dalam rangka berbuat maksiat. (hal ini menurut jumhur ulama).
  • Hendaknya safar tersebut bukan bertujuan supaya dihalalkannya berbuka.
Dua golang diatas (orang yang sakit dan musafir), adalah rukhshah yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka, berdasarkan Firman-Nya:


  فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka  (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [Q.S. Al-Baqarah: 184].

3- Wanita haidh dan nifas.

Adapun dasar tidak wajibnya berpuasa bagi wanita yang haidh dan nifas adalah hadits Abu Said t, bahwa ia berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:



(( أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا ))

“Bukankah apabila ia (wanita) haidh tidak shalat dan tidak puasa? maka itulah (sebab) kurang agamanya.”  [HR. Al Bukhari: 4/ 108/ 1951].

Maka jika wanita haidh dan nifas berpuasa, puasanya tidaklah diterima bahkan berdosa karena diantara syarat sahnya puasa adalah suci dari haidh dan nifas, hanya bagi wanita yang haidh dan nifas diwajibkan mengqada.


Berdasarkan hadits `Aisyah ia berkata:



((كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ )).

“Adalah kami mengalami hal itu (haidh dan nifas) kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan mengqadha shalat.” [HR Muslim: 335 dan At-Tirmidzi: 720].

4- Wanita yang hamil dan menyusui.
Wanita yang hamil dan menyusui jika mereka tidak mampu puasa atau takut akan kesehatan janinnya atau  anaknya maka dua golongan ini boleh berbuka dan wajib atasnya membayar fidyah. Pendapat ini berdasarkan fatwa Shahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhumaa dan yang lainnya diantara para Shahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhumaa  berkata:



((وَاْلحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْن))

“Wanita yang hamil dan menyusui apabila khawatir (akan kesehatan anaknya) maka mereka boleh berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin.” [Sanadnya kuat dan Baihaqi: 4/ 230 shahih dikuatkan oleh Al- Bani didalam Irwa: 912 dan Al Bukhari]

Dan juga diriwayatkan dari Shahabat Ibnu Abbas t ia berkata:



(( إِذَا خَافَتِ اْلحَامِل عَلَى نَفْسِهَا وَالْمُرْضِعُ عَلَى وَلِدِهَا فِي َرمَضَانَ قَالَ: يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمَا )).

“Apabila wanita hamil ia khawatir atas dirinya dan wanita yang menyusui (khawatir atas kesejahteraan) anaknya pada bulan ramadhan, Beliau (Ibnu Abbas) berkata: Maka keduanya boleh tidak puasa dan mereka memberi makan sebagi ganti  puasa, setiap harinya seorang miskin dan mereka tidak mengqadha puasanya.” [Shahih, dikuatkan oleh al-Albani didalam Irwa-nya: 4/ 19 At- Tabrani: 2758 dan ia berkata sanadnya shahih atas syarat Muslim, lihat Zaadul Ma`ad: 2/29].

Dari Nafi` ia berkata:



(( كَانَتْ بِنْتُ ِلابْنِ عُمَرَ تَحْتَ رَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانَتْ حَامِلاً فَأَصَابَهَا عَطْشٌ فِي رَمَضَانَ فَأَمَرَهَا ابْنُ عُمَرَ أَنْ تُفْطِرَ وَتُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً )).                                                   

“Adalah putri Ibnu Umar dibawah tanggungan seorang laki-laki dari Quraisy (suami putrinya Ibnu Umar dari suku Quraisy) adalah putri Ibnu Umar hamil, maka hauspun menimpa padanya pada saat ia puasa ramadhan, maka Ibnu Umar memerintahkan  putrinya supaya berbuka puasa dan memberi makan pada tiap harinya (yang ia tidak puasa) seorang miskin.” [Shahih isnadnya, Irwa: 4/ 20 dan Daruquthni: 2/ 207/ 15].

Diantara Ulama berpendapat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila mereka khawatir akan kesehatan atau keselamatan dirinya dan anaknya, maka dua golongan ini boleh tidak puasa dan wajib baginya mengqadha saja tanpa membayar fidyah. Pendapat ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam surat al-Baqarah: 184, yaitu bahwa wanita yang hamil dan menyusui dihukumi atau digolongkan, golongan orang-orang yang sakit. Diantara sebagain Ulama juga ada yang berpendapat wajib atas mereka (wanita hamil dan haidh), mengqadha dan membayar fidyah.


5- Orang-orang yang lemah berpuasa, disebabkan karena sudah lanjut usia ataupun karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Maka golongan ini boleh tidak puasa dan wajib atasanya memberi makan setiap harinya seorang miskin. Berdasarkan Firman Allah Azza wa Jalla  :



{وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْن}.

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” [Q.S. Al-Baqarah: 184].

Dari `Atha bahwasannya ia mendengar Ibnu Abbas t membaca ayat ini [Q.S. Al-Baqarah: 184), lalu Ibnu Abbas  mengatakan:


(( لَيْسَتْ بِمَنْسُوْخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ اْلكَبِيْرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيْرَة ُ لاَ يَسْتَطِعَانِ أَنْ يَصُوْمَا فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً )).   
            

“(Ayat ini) Tidaklah dihapus (hukumnya), yaitu laki-laki dan perempuan yang sudah lanjut usia yang mereka sudah tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka mereka (berkewajiban) memberi makan sebagai ganti puasa setiap harinya seorang miskin.” [Shahih, Irwa: 4/19 dan al- Bukhari: 8/ 179/ 4505]
KADAR MAKANAN YANG WAJIB DIKELUARKAN
 Diriwayatkan dari Shahabat Anas Bin Malik radhiyallahu ’anhu  :
(( أَنَّهُ ضَعِفَ عَنِ الصَّوْمِ عَاماً فَصَنَعَ جُفْنَةَ ثَرِيْدٍ وَدَعَا ثَلاَثِيْنَ مِسْكِيْناً فَأَشْبَعَهُم ْ)).

“Bahwasannya ia (Anas radhiyallahu ’anhu ) lemah (tidak mampu) untuk berpuasa satu tahun, maka ia membuat adonan roti dengan mangkok besar, lalu ia mengundang tiga puluh orang-orang miskin hingga mereka kenyang.”
Para Ulama fiqih menambah/ menggabungkan empat golongan yang mendapatkan udzur boleh berbuka atau tidak berpuasa, empat golongan itu mereka adalah:
1- Alharom (pikun), yaitu orang yang sudah lanjut usia dan sudah hilang tamyiznya (diantara ciri anak yang mumayyiz : dia bisa membedakan antara yang baik dan yang tidak baik, dia sudah merasa malu ketika tidak menutup aurat, dia mengerti shalat harus serius). Maka puasa tidak wajib baginya dan tidak pula membayar fidyah, karena ia telah gugur beban taklifnya (kewajiban untuk menjalankan syari'at) disebabkan hilangnya tamyiz pada dirinya.
2. Orang yang butuh berbuka dalam rangka menolak atau menolong marabahaya orang lain, seperti menyelamatkan orang muslim yang tenggelam atau kebakaran atau yang semisalnya, maka ia boleh berbuka dan ia wajib mengqadhanya.
3- Orang yang sangat lapar dan dahaga hingga ia takut jika tidak berbuka maut menjemputnya. Maka ia boleh berbuka, bahkan wajib berbuka, karena Allah Azza wa Jalla melarang seseorang mencampakkan dirinya di dalam kebinasaan dan ia wajib mengqadhanya.
4- Orang yang dipaksa untuk berbuka sedangkan ia tidak bisa mengelaknya. Maka ia boleh berbuka dan ia wajib mengqadhanya.

Sumber:
BUKU: "PUASA JALAN MENUJU SURGA"
Karya:
Abu Hamzah Utsman Abdul Mujieb Al Banjary
Copas and  Posted by
BC WA Info Dakwah Islamic Center
+966556214044 & WA Dakwah Majlis TaKlim Akhowat +966508293088
Silakan Share Artikel Ini :

Post a Comment

Perihal :: Mukhtar Hasan ::

لا عيب على من أظهر مذهب السلف وانتسب إليه واعتزى إليه، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق؛ فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقًا

Tidaklah aib (tercela) bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, bernisbat kepadanya dan berbangga dengannya. Bahkan wajib menerima pernyataan tersebut darinya dengan kesepakatan, karena sesungguhnya tidaklah madzhab salaf itu melainkan kebenaran.

Atau silahkan gabung di Akun facebook saya

================================
Semoga komentar anda bermanfaat bagi kami dan bagi anda

 
Support me : On Facebook | On Twitter | On Google_Plus
Copyright © 2011. Website's : Mukhtar Hasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger